Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil.
"Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya.
"Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan.
"Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.
Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu.
"Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.
Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"
Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya."
"Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"
Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "Sayang saja, beli mobil begini, tapi enggak ada isinya."
"Daripada enggak punya mobil," celetuk Dirgan sambil melirik Irkhas.
"Terakhir ketemu, perasaan kepalamu masih masih gue toyor deh, kenapa sekarang jadi berani begini sih?" ujar Irkhas yang mengingatkan Dirgan pada masa lalunya, di mana ketika mereka masih duduk di bangku SMA, Irkhas selalu bersikap sebagai bos terhadap sahabatnya itu.
"Biar kamu tahu," ucap Dirgan, lalu melirik Irkhas dan melanjutkan ucapannya, "Dunia ini selalu berputar."
Namun kata-kata itu bukan lagi sebuah celetukan, kata-kata itu masuk begitu dalam di pikiran Irkhas, sehingga ia kembali mengingat semua kesialan yang telah dialaminya.
Tidak mendapat respon dari Irkhas, Dirgan kembali bicara, "Karena aku harus memantau perkembangan proyek-proyek perusahaan kita, mau enggak mau aku harus terjun langsung ke lapangan, yang tempatnya kamu tahu sendirilah. Jadi, aku pilih mobil ini."
"Oh iya, bagaimana perkembangan perusahaan?" tanya Irkhas.
"Perkembangan perusahaan kita sangat baik," jawab Dirgan. "Hanya saja ... aku cukup lelah harus melakukan pekerjaan yang seharusnya jadi tugas kamu."
Irkhas nampak bingung dengan pernyataan sahabatnya itu.
"Kamu kan CEO di perusahaan ini."
Pernyataan Dirgan seperti menerbangkan Irkhas ke puncak tertinggi. Irkhas benar-benar terkejut mendengar penyataan sahabatnya itu.
"Bagaimana bisa?" tanya Irkhas yang masih tidak percaya.
"Tante Mila telah membangun perusahaan Konstruksi dan Properti. Karena aku udah dianggap seperti saudara kamu dan dirasa cukup kompeten di bidang ini, maka Tante Mila memintaku buat mengelola perusahaan ini," tutur Dirgan dengan serius.
"Lalu kenapa aku baru tahu sekarang?" tanya Irkhas yang masih belum sepenuhnya percaya.
"Tante Mila khawatir aset satu-satunya akan direbut oleh ayah kamu, dan ketika tante Mila meninggal, mengurus perusahaan ini membuat aku enggak punya waktu membicarakan ini sama kamu, sementara kamu terlalu cepat kembali ke Jerman."
"Kamu enggak lagi main-main kan?" tanya Irkhas yang sudah mulai percaya.
"Tentu saja," jawab Dirgan sambil menoleh, lalu melanjutkan ucapan seraya memperhatikan jalan, "Seorang sahabat enggak akan pernah mengambil hak dari sahabatnya sendiri."
"Berarti sekarang, aku punya kekuatan untuk membuktikan, bahwa Ayahku telah salah memilih orang."
Pernyataan itu membuat Dirgan langsung menoleh dan bicara, "Kamu mau melawan ayahmu?"
"Eh, aku bukan anak durhaka iya, Gan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa penilaiannya salah," ucap Irkhas dengan begitu ekspresif.
"Bukan itu masalahnya," sambut Dirgan yang meragukan kemampuan Irkhas. "Masalahnya, UNI Group itu adalah korporasi besar yang memiliki banyak sekali company-company raksasa yang siap melahap pesaingnya. Perusahaan kita cuma seekor anak Ayam yang baru menumbuhkan sayap, sedangkan perusahaan Ayah kamu seperti elang yang menguasai udara. Bagaimana mungkin kita bisa menyaingi perusahaan sebesar itu?" ucap Dirgan yang begitu takut akan ambisi dari sahabatnya itu.
"Eh, seharusnya kamu mendukungku, bukannya malah berusaha membuatku jadi pesimis gini," kata Irkhas yang mencoba mempertahankan diri.
"Bermimpi boleh saja Khas, tapi jangan sampai kita tidak membuka mata. Karena kalau tidak membuka mata, maka kita tidak akan pernah bisa bangun," ucap Dirgan yang masih menganggap remeh cita-cita besar sahabatnya itu.
"Eh, Gan. Jangan lupa ... seekor rayap yang tidak bermata sekali pun, bisa terbang pada waktunya."
Dirgan hanya bisa menarik napas dalam-dalam setelah mengetahui cita-cita Irkhas yang begitu besar dan mustahil untuk dicapai. Sementara Irkhas, ia kembali memikirkan gadis yang telah menolongnya membayar taksi.
"Siapa nama gadis itu?"
-o0o-
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng
"Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Satpam di depan pintu kantor sambil membukakan pintu. "Pagi, Pak Janu," jawab Dirgan sambil memasuki pintu. Irkhas yang kagum karena sang Direktur Utama bisa menghapal nama seorang satpam di kantornya terus mengikuti Dirgan. Lelaki itu mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan sahabatnya. Perasaannya sedikit berdebar, karena hari itu akan menjadi salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya. Setelah melewati pintu kantor, Dirgam membawa Irkhas mendekati Office Lady kantornya. "Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Office Lady yang berwajah oriental dan begitu anggun dengan senyumannya. "Pagi Wulan." Dirgan berhenti tepat di depan meja office Lady kantornya, kemudian bertanya, "Semua Direktur dan Kepala Devisi sudah datang?" "Sudah, Pak Dirgan. Semuanya sedang menunggu Bapak di Meeting Room," jawab wanita itu dengan suara yang santun. "oke," jawab Dirgan, lalu menoleh pada Irkhas untuk mem
"Kalau tubuhku gatal-gatal karena baju ini, bagaimana?" ucap Irkhas sambil memperhatikan kaos lusuh di tangannya. Kaos kumal itu dibeli seharga ratusan ribu oleh Dirgan dari salah satu pemulung yang dijumpainya sehari yang lalu. "Itu sih resiko kamu, aku tidak pernah memintamu jadi kuli hanya untuk mengetahui bagaimana struktur perusahaan dari devisi terbawah," ucap Dirgan dengan entengnya. "Aku juga ingin mencari tahu siapa yang menelan anggaran dari proyek kita," sambut Irkhas, lalu bertanya sambil menunjuk blazer dan kaos oblong yang tengah dikenakannya, "kalau pakai ini saja, bagaimana?" Dirgan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan semuanya, kemudian bertanya balik, "Itu blazer hargannya berapa?" "Dua ratus dollar," jawab Irkhas. Dirgan kembali bertanya, "Terus kaos berapa?" "Seratusan dollar," jawab Irkhas dengan polosnya. "Kalau terkena semen, masih mau dipakai?" tanya Dirgan lagi. Irkhas mengge
"Kamu mau bikin perusahaan ini bangkrut, iya?"Ucap Pak Tarno yang secara tiba-tiba telah berada di belakang Irkhas, sedangkan Irkhas yang tengah membuat campuran semen di depan molen nampak bingung, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga Mandor rewel itu menegur."Empat satu itu maksudnya, empat gerobak pasir dicampur dengan satu sak semen," bentak Pak Tarno yang menjelaskan, "bukan empat sak semen dicampur dengan satu gerobak pasir."Irkhas yang bercucuran keringat di bawah panas terik matahari hanya bisa diam saat dimarahi mandornya. Ia seperti singa yang patuh pada seekor tikus di tempat itu."Sekarang sebaiknya kamu ambil Arco dan kembali memasukkan semen ke dalam gudang," titah sang Mandor.Irkhas hanya bisa mengiyakan, meski dalam pikirannya, ia ingin sekali menendang bokong mandor itu.Ketika Irkhas masuk ke dalam gedung membawa semen dengan sempoyongan, Ana baru tiba di samping Pak Tarno dengan skuter kesayangannya.Pak
"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan."Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu."Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe."Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja.""Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang."By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum."Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.-o0o-"Aduh!" ringih Irkhas."Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di ata
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men
Irkhas yang baru tiba di dalam kafe menatap kursi yang telah ia duduki tengah ditempati oleh orang lain, matanya menyapu seisi kafe, namun tetap tak melihat Dirgan.Irkhas bertanya pada Gatot, "Ke mana Dirgan?"Gatot yang tengah menyiapkan kopi menjawab, "Dia sedang mengantar Ana ke rumah sakit. Tunggu saja, nanti dia akan kembali."Irkhas melenguh panjang, "Ya Tuhan!" Lalu berceloteh, "Kenapa sekarang malah dia yang bucin sih?"Gatot menyeringai, kemudian memberitahu Irkhas, "Dirgan dengan Ana itu dulunya tetanggaan, mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, jangan heran kalau Dirgan sangat perhatian sama Ana."Irkhas mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Matanya mencari sebuah nama di daftar kontak, hingga jarinya berhenti pada sebuah nama yang bernama, 'Irham Mandiling.'Tak lama setelah menempelkan ponsel itu di telinganya, Irkhas mengatakan, "Saya bisa bertemu dengan anda malam ini."-o0o-Ana namp
"Apa Ayah tidak salah memilih Angga sebagai Direktur di Perusahaan keluarga kita?"Itulah kalimat pertama yang dikeluarkan seorang pemuda berusia 27 tahun begitu tiba di hadapan sang ayah setelah menghabiskan waktu selama 14 Jam di dalam pesawat.Semenjak kehilangan ibu, dan ayahnya yang tak lain ialah Artami Hadinata menikahi seorang janda bernama Murti, Irkhas tak begitu akur dengan sang ayah. Hubungan Irkhas dengan Arta seolah-olah hanya terikat oleh darah dan status, sementara dalam kehidupan nyata, tak sekalipun mereka pernah saling memedulikan. Arta lebih sibuk membimbing Angga yang berstatus sebagai anak tiri ketimbang mengurus Irkhas yang berstatus sebagai putra kandung, sementara Irkhas lebih sibuk mengurus beberapa proyek kerja di luar negeri ketimbang memperbaiki hubungan dengan Arta.Arta yang tengah menyantap makanan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian berdiri untuk melangkah mendekati Irkhas dan menjawab, "Itu adalah keputusan yang