Beranda / Romansa / I'm Sorry Laras / Penderitaan Laras berlanjut

Share

Penderitaan Laras berlanjut

Penulis: mangpurna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 08:10:52
Kata-kata itu menggema di ruangan, menghantam hati Laras seperti palu yang menghancurkan sisa harapan yang pernah ada. Laras mengangguk pelan, matanya kembali berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. "Terima kasih, Mas," katanya dengan suara gemetar, suaranya nyaris hilang di tengah kepedihan yang menyelimuti hatinya. Meski talak itu memberinya kebebasan yang ia minta, rasanya seperti kehilangan terakhir dari apa yang pernah menjadi hidupnya bersama Damar.

Isak tangis Sofia semakin keras, membuat perhatian semua orang kembali terarah padanya. Sofia berlutut di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat. Pisau yang tadi dipegangnya sudah tidak lagi menjadi ancaman, tergeletak di meja prasmanan, tetapi luka di hatinya jelas belum terobati. Ratna segera menghampiri Sofia, memeluknya dengan penuh drama, seolah ingin menenangkan. "Sofia, sekarang kamu tenang ya, Nak," ucapnya, suaranya dibuat lembut namun penuh perhitungan. "Lihat
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Sofia

    Aku capek, Sofia,” jawab Damar tanpa berhenti, suaranya datar dan penuh kelelahan. “Aku mau ke kamar dan langsung tidur.”Sofia mengerutkan kening, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. “Jangan tidur dulu, Mas,” ucapnya, suaranya sedikit meninggi, penuh keberatan. “Ini kan hari pernikahan kita! Dan masih ada banyak tamu di sini. Masak kamu mau ninggalin begitu saja?”Damar berhenti sejenak di tangga, menoleh sekilas ke arah Sofia, namun matanya kosong tanpa semangat. “Itu semua kan hanya keluargamu,” ucapnya, suaranya tetap datar. “Bilang saja kalau aku sedang tidak enak badan. Kamu saja yang menemani mereka semua.” Tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan langkahnya, menghilang di ujung tangga, meninggalkan Sofia yang berdiri dengan wajah kesal dan bingung.“Ih… Mas Damar kok gitu sih,” gumam Sofia, suaranya penuh kekesalan, tangannya mencengkeram ujung kebaya dengan jengkel. Ia kembali duduk di kursi dengan wajah cemberut, pandangannya kosong menatap tamu-tamu ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • I'm Sorry Laras   Mendatangi Laras

    Dengan wajah malas dan hati penuh kewaspadaan, Laras melangkah mendekat untuk membukakan pintu gerbang. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya masih memegang keranjang kosong, matanya menatap Ratna dan Bu Maryam dengan dingin. “Ibu mau apa lagi datang kemari?” tanyanya, suaranya tajam namun penuh kelelahan. “Kita sudah tidak punya urusan lagi.”Ratna mendengus, melangkah masuk tanpa permintaan, seolah rumah itu adalah miliknya. “Laras, kau jangan kurang ajar, ya!” bentaknya, matanya menyipit penuh kemarahan. “Bukannya disuruh masuk dulu, malah sudah berkata kurang ajar seperti ini!”“Iya, Bu Ratna,” Bu Maryam menimpali dengan nada penuh ejekan, melangkah di belakang Ratna dengan wajah penuh kebencian. “Anak ini memang tidak pernah diajarkan sopan santun sama orang tuanya.”Laras yang mendengar orang tuanya yang sudah meninggal disebut-sebut menjadi geram. Matanya menyala penuh kemarahan, tangannya mengepal erat di samping tubuh. “Bi, jangan pernah berkata seperti itu tentang orang tua s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • I'm Sorry Laras   Fitnah Ratna

    Bu Maryam yang mendengar gumaman Ratna segera melirik keluar jendela, matanya mencari-cari sosok yang dimaksud. “Faris? Siapa dia, Bu? Apa Ibu mengenalnya?” tanyanya, suaranya penuh rasa penasaran, alisnya terangkat tinggi.Ratna menoleh ke arah Bu Maryam, matanya menyipit penuh perhitungan sebelum menjawab. “Dia itu sahabatnya Damar,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh makna. “Orang yang selingkuh dengan Laras.”“Oh, jadi dia orang yang Ibu suruh untuk menfitnah Laras?” tanya Bu Maryam, suaranya penuh rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan, wajahnya menunjukkan ekspresi penuh minat.“Iya, dia orangnya,” jawab Ratna, anggukan kecil mengiringi kata-katanya. Namun, tatapannya kembali tertuju pada sosok Faris yang kini melangkah perlahan di sisi jalan, seolah sedang mencari-cari sesuatu. “Tapi mau apa dia ke mari, ya?” gumamnya lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri, suaranya penuh kecurigaan.Bu Maryam melirik Ratna dengan ekspresi penuh dugaan. “Apa mungkin dia mau menceritak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • I'm Sorry Laras   15 Tahun kemudian

    “Ya siapa lagi kalau bukan anaknya Faris!” Ratna menjawab dengan cepat, suaranya penuh keyakinan yang dibuat-buat. “Kamu lihat sendiri kan bagaimana wajah mereka seperti bahagia di dalam foto itu?” Ia menunjuk layar ponsel lagi, menekankan kata-katanya dengan nada penuh sindiran.Damar kembali memperhatikan foto itu dengan lebih teliti. Dalam gambar itu, Laras dan Faris memang terlihat sedang berbicara dengan ekspresi yang tampak akrab—Faris memegang tangan Laras dengan lembut, sementara Laras tersenyum kecil, wajahnya penuh ketenangan meski perutnya membesar. Bagi Damar, yang sudah terbakar oleh cemburu dan fitnah yang ditanamkan Ratna selama ini, gambar itu seperti pukulan telak di hatinya. “Mereka benar-benar keterlaluan,” geramnya, suaranya penuh kemarahan. “Mereka berdua benar-benar sudah menusukku dari belakang!”“Makanya, Damar, kamu tidak usah pedulikan Laras lagi!” Ratna memotong dengan cepat, suaranya penuh dorongan. “Kamu kan sudah punya Sofia sekarang, yang siap selalu bera

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • I'm Sorry Laras   Kenyataan pahit

    Setelah bertahun-tahun berusaha sendiri tanpa hasil, Indira akhirnya menyewa seorang detektif swasta dengan reputasi baik untuk membantu mengungkap masa lalunya. Detektif itu bekerja keras, menelusuri jejak-jejak tipis yang tersisa, hingga akhirnya berhasil menemukan alamat yang sesuai dengan potongan informasi di foto Indira, dengan harapan yang membuncah, segera pergi ke alamat tersebut, membayangkan bahwa ia akhirnya akan bertemu dengan ibunya setelah sekian lama terpisah. Namun, ketika sampai di sana, harapannya pupus. Rumah itu sudah berganti pemilik. Pasangan muda yang kini tinggal di sana mengatakan bahwa mereka membeli rumah itu dari seseorang beberapa tahun lalu, dan mereka tak tahu ke mana pemilik lama pergi. Indira meninggalkan rumah itu dengan hati yang hampa, namun tekadnya tak goyah.Dengan sisa-sisa ingatan masa kecilnya yang samar, Indira tiba-tiba teringat pada rumah kakeknya, yang berada di Sukamulya. Ia ingat beberapa kali ibunya mengajaknya menginap di sana, rumah s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • I'm Sorry Laras   Sandiwara Ibu dan anak

    Bu Maryam terkejut, wajahnya kembali memucat. Ia tidak menyangka akan disuruh mengantar Indira ke makam Laras—sesuatu yang jelas tak ada karena Laras sebenarnya masih hidup. Agar sandiwaranya tidak ketahuan, ia segera mencari alasan lain, pikirannya berputar cepat untuk menutupi kebohongannya. “Makamnya sudah dipindahkan,” ucapnya dengan cepat, suaranya dibuat penuh penyesalan. “Aku tidak tahu dia dimakamkan di mana sekarang. Dulu dia dimakamkan di kampung ini, tapi karena tidak ada yang pernah mengurus makamnya dan dia tidak punya keluarga lagi, jadi tidak ada yang tahu makamnya dipindah ke mana.”Indira yang mendengar itu kembali menangis tersedu-sedu, tangisannya kini lebih keras, penuh kepedihan yang tak tertahankan. “Ibu… kenapa semua jadi seperti ini…” ratapnya, tubuhnya limbung seolah kehilangan pijakan. Dewi segera memeluknya lebih erat, mencoba memberikan kekuatan meski ia sendiri mulai merasa curiga dengan sikap Bu Maryam yang terlalu defensif.Tangisan Indira yang keras itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • I'm Sorry Laras   Perjalanan menuju kebenaran

    Indira segera menyuruh Dewi untuk membukakan pintu mobil. “Buka pintunya, Wi,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh harapan kecil yang tiba-tiba muncul. Dewi mengangguk, lalu dengan cepat membukakan pintu mobil, memungkinkan wanita tua itu mendekat.Wanita tua itu menunduk sedikit, wajahnya yang penuh kerutan menunjukkan ekspresi penuh perhatian. “Maaf, Nak, Nenek mengganggu,” ucapnya, suaranya lembut namun penuh keberanian. “Tadi Nenek tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian dengan Maryam… kalau kamu adalah anaknya Laras yang hilang itu.”Indira terperangah, matanya membelalak penuh kejutan mendengar ucapan itu. Jantungnya berdegup kencang, seolah harapan yang sempat padam kembali menyala. “Nenek siapa?” tanyanya cepat, suaranya penuh harapan bercampur kecurigaan. “Apakah Nenek kenal dengan ibu saya?”Wanita tua itu tersenyum kecil, senyum itu penuh kehangatan yang tulus. “Perkenalkan, nama Nenek Yuni,” ucapnya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Iya, Nenek tahu ibu kamu, Lara

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • I'm Sorry Laras   Datang di waktu yang tepat

    Bu Yuni mendesah panjang, wajahnya yang penuh kerutan menunjukkan ekspresi campur aduk antara simpati dan kemarahan yang terselubung. Ia menatap Indira dengan penuh kelembutan, tangannya yang keriput memegang tangan Indira dengan lembut untuk memberikan sedikit kekuatan. “Wanita itu namanya Maryam,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh penegasan. “Dia sebenarnya bibinya ibumu. Secara tidak langsung, kamu masih punya hubungan keluarga dengan dia.”Indira mengerutkan kening, kebingungan jelas terpancar di wajahnya. “Bibi ibu saya?” ulangnya, suaranya penuh keheranan. “Tapi kenapa dia sepertinya tidak suka dengan saya ataupun ibu saya?”Bu Yuni mengangguk kecil, matanya menatap keluar jendela sejenak, seolah mengingat kembali masa lalu yang penuh intrik. “Maryam itu sejak dulu memang tidak senang dengan ibumu, Laras,” ucapnya, suaranya penuh penyesalan. “Jadi tidak heran kalau dia tidak suka melihat kamu bertemu kembali dengan ibumu.”Indira semakin penasaran, alisnya terangkat penuh pert

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04

Bab terbaru

  • I'm Sorry Laras   rencana terakhir

    Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam

  • I'm Sorry Laras   kemarahan sofia

    Tanpa basa-basi, Sofia berhenti di sisi ranjang, tangannya terlipat di dada. “Mas, sekarang katakan kepadaku, siapa wanita yang meneleponku tadi, mengatakan kalau kamu sedang berada di Rumah Sakit ini?” Suaranya tajam, penuh tuduhan, seperti anak panah yang ditembakkan untuk melukai. Damar mengerutkan kening, wajah pucatnya menegang. Tubuhnya masih rapuh, namun sikap Sofia membangkitkan percikan kemarahan di dadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, Sofia?” balasnya, suaranya rendah namun bergetar kesal. “Aku baru saja pingsan, nyaris kehilangan nyawa. Kamu datang bukannya menanyakan kabarku, malah menuduhku yang tidak-tidak? Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?” Sofia tak bergeming. Ia melangkah lebih dekat, matanya menatap Damar dengan kecurigaan yang membakar. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Mas!” bentaknya, suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku dengar suara wanita itu di telepon tadi—dan jangan bilang

  • I'm Sorry Laras   Kebimbangan Damar

    “Tidak semudah itu,” ucap Dika dengan tegas. “Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan keluarga Anda kepada ibu saya selama ini. Memfitnahnya dan memisahkannya dari orang yang dicintainya, benar-benar membuat hidup ibu saya seperti di neraka. Sedangkan Anda, apa yang Anda lakukan? Tidak ada. Anda tidak melakukan apa pun untuk mencari ibu saya atau berusaha mendengar penjelasannya. Yang Anda lakukan hanyalah tidak peduli kepadanya, dan sekarang dengan mudahnya Anda minta untuk dimaafkan? Jangan bermimpi, Pak Damar,” ucap Dika, suaranya penuh kekesalan dan amarah yang membara. Damar menatap anak yang baru ia ketahui itu, matanya penuh penyesalan. “Ayah memang salah, Dika,” ucapnya, suaranya serak oleh rasa bersalah. “Ayah tahu dosa Ayah sangat besar kepada kalian. Tapi tolong mengerti, saat itu keadaan Ayah sangat terpukul ketika melihat dengan mata kepala sendiri ibu kalian tidur bersama laki-laki lain di kamar kami. Ayah akui, saat itu Ayah dibutakan oleh rasa cemburu dan terluka seh

  • I'm Sorry Laras   Penyesalan yang terlambat

    Saat Laras hendak melanjutkan penjelasannya, tiba-tiba pintu kamar rawat Damar terbuka perlahan. Indira dan Dika masuk, wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ekspresi yang tidak bersahabat. Laras menoleh ke arah pintu, senyum tipis muncul di bibirnya meskipun matanya masih basah oleh air mata. Ia telah mengabari kedua anaknya tentang kondisi Damar. Awalnya, Indira menolak keras untuk datang, tetapi Laras memaksa mereka, dan kini keduanya berdiri di hadapannya.Damar terkejut melihat Indira dan Dika. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyambungkan potongan informasi yang baru ia dengar. Laras tadi menyebut anaknya bernama Dika—dan adik Indira juga bernama Dika. Lalu ada Indira, nama yang begitu akrab di hatinya. Ia teringat anak kecil yang dulu pernah memanggilnya “Ayah” dengan penuh kasih, sebelum tes DNA menyatakan bahwa Indira bukan darah dagingnya dan menghancurkan segalanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk bercampur harapan menguasai benaknya.“Indira, Dika… akhirnya

  • I'm Sorry Laras   cerita di rumah sakit

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram. Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima Damar kembali, meski rindu dan sayang itu masih hidup, membakar se

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status