Dunia seolah berhenti berputar untuk Laras. Napasnya tertahan, tubuhnya gemetar hebat. "Indira...?" bisiknya, seolah nama itu membawa gelombang kenangan dan rasa sakit yang tak terkatakan. Air matanya mulai berjatuhan, deras, membasahi pipinya.
Tanpa pikir panjang, Laras bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Ia berlari, nyaris tersandung, dan langsung merengkuh Indira dalam pelukan yang erat. "Anakku..." suaranya pecah oleh tangis yang membanjiri perasaannya. "Indira... ini benar kamu kan,
Laras melepaskan pelukan dari Indira, lalu berbalik menghadapi Surti dengan tatapan penuh kemarahan. "Surti, aku tidak akan membiarkanmu memaksa anakku membayar hutang yang sudah kulunasi. Kalau kau masih menginginkan TV itu, silakan...ambillah! Aku sudah tidak peduli lagi!"Surti hanya tertawa kecil, lalu melipat tangannya di dada dengan penuh kesombongan. "Tidak bisa, Laras. Tadinya aku memang hanya mengincar TV bobrokmu itu, tapi setelah melihat anakmu yang seperti 'dompet berjalan', aku berubah pikiran. Lebih baik kau suruh saja dia melunasi hutangmu sekarang juga."Yuni, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya maju dengan nada penuh kemarahan. "Surti! Jangan bicara seperti itu! Kau tidak tahu apa-apa soal keluarga ini, jadi jangan coba-coba memanfaatkan situasi demi keuntunganmu sendiri. Kau benar-benar keterlaluan!"Surti tersenyum sinis, tatapannya tak gentar sedikit pun. "Tentu saja aku memanfaatkan situasi ini. Aku ini adalah seorang pebisnis, Nek Yuni. Aku harus pintar meliha
Indira tersentak. Matanya melebar, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Adik? Ibu... aku punya adik?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.Laras mengangguk pelan, matanya mulai basah. "Iya, Nak. Kau punya adik laki-laki. Namanya Dika. Saat kau... hilang dulu, Ibu sedang mengandungnya."Indira masih sulit memproses kenyataan bahwa ia memiliki seorang adik. Pikirannya berputar-putar, mencoba menghubungkan semua yang baru saja ia dengar. Ia mengusap matanya yang masih basah dan bertanya lirih, "Ibu, kalau begitu... Dika di mana sekarang? Aku ingin bertemu dengannya."Laras tersenyum lembut, mengusap rambut Indira penuh kasih. "Sekarang Dika sedang sekolah, Nak. Jam segini dia pasti ada di kelas."Indira mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Kalau begitu, aku akan menunggu sampai dia pulang. Aku tidak sabar bertemu dengannya, Bu. Aku ingin melihat wajah adikku sendiri."Laras tersenyum lebih lebar, meski matanya tetap basah. "Dia pasti sangat senang kalau ta
\Pertanyaan itu menggantung di udara, seolah waktu berhenti sejenak. Laras terdiam, wajahnya tiba-tiba berubah, seolah ada beban berat yang kembali ia rasakan. Dika memandang ibunya dengan cemas. "Ibu, tidak apa-apa kan?" tanyanya pelan. "Kalau Ibu memang belum siap menceritakan semuanya, tidak apa-apa. Mungkin lain kali Ibu bisa ceritakan pada kami," lanjut Dika, mencoba meringankan suasana.Laras menggeleng pelan, lalu menarik napas dalam. "Tidak, Dika. Ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan apa yang Ibu alami dulu. Kenapa Ibu bisa berakhir di tempat ini," ucap Laras dengan suara yang lembut namun tegas. Matanya berpindah ke Dika, dan ia melanjutkan, "Bukankah dari dulu kamu ingin tahu semua cerita tentang ayahmu? Kenapa dia meninggalkan kita? Dan Ibu kira sekaranglah saatnya kamu tahu, Dika."Dika dan Indira saling pandang, lalu mengangguk perlahan. Ruangan itu kembali sunyi, seolah menunggu Laras untuk membuka lembaran lama yang telah lama tersimpan rapat.Laras mulai berc
“Ya, bu Indira? Ada apa?” suara Dewi terdengar dari seberang sana.Indira menggigit bibirnya, menahan emosi yang masih menggelegak di dadanya. “Dewi… aku butuh bantuanmu.”“Apa yang bisa saya bantu bu? , katakan saja.”Indira menatap langit malam yang mulai gelap. Napasnya bergetar. “Cari detektif terbaik. Aku ingin tahu di mana ayahku sekarang. Akan kuberitahu info secara detail tentang ayahku yang sudah kudapatkan dari ibu. Nanti informasinya akan ku kirim ke ponselmu”Hening sejenak di seberang sana, sebelum akhirnya Dewi bertanya dengan hati-hati, “Ibu yakin? ingin mencari ayah ibu?”Indira mengangguk meski Dewi tidak bisa melihatnya. “Sangat yakin. Aku ingin tahu… apakah dia benar-benar hidup bahagia setelah menghancurkan hidup ibuku. Aku ingin tahu… apakah dia masih bisa tidur nyenyak setelah membuang keluarganya sendiri.”Dewi menarik napas panjang sebelum menjawab, “Baik bu. Saya akan cari tahu secepatnya.”Indira mengepalkan tangan. Matanya berkilat dengan tekad yang belum pe
Maryam dan Ratna tersentak. Mata mereka melebar saat melihat sosok Damar berdiri di ambang pintu. Tatapannya tajam dan penuh kecurigaan, membuat Maryam langsung menundukkan kepala, sementara Ratna dengan cepat menyusun ekspresi tenangnya kembali.“Damar... kau sudah pulang?” suara Ratna terdengar sedikit gemetar, tetapi ia segera berdeham, mencoba menguasai dirinya.Damar melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan perlahan, tapi penuh tekanan. “Aku mendengar nama Laras disebut tadi. Apa yang terjadi padanya?”Ratna menatap Maryam sekilas, memberi isyarat agar tidak gegabah. Lalu, dengan suara tenang namun dingin, ia berkata, "Tidak ada yang terjadi padanya, Damar. Ibu hanya... tiba-tiba teringat saja dengan wanita itu. Makanya ibu menanyakannya pada Maryam."Damar menoleh tajam ke arah Maryam, bibinya yang selama ini selalu ada dalam hidupnya. Wajahnya penuh selidik, mencoba menangkap kejujuran dari sorot mata wanita itu."Apa benar begitu, Bibi?" tanyanya, suaranya
Dengan napas tertahan, Indira menatap adiknya dan menunjuk ke arah pria yang masih sibuk mengejar Doni. "Dia... dia ayah kita, Dika."Dika terperanjat. Matanya membulat, menatap kakaknya dengan ekspresi tidak percaya. "Nggak mungkin! Kakak pasti salah orang! Itu... itu ayah Doni! Mana mungkin ayah Doni adalah ayah kita?"Namun, Indira tak mengubah pendiriannya. "Kakak tidak salah orang, Dika. Kakak mengenal betul wajahnya, walaupun kakak sudah lama tidak melihat wajahnya, kakak yakin kalau orang itu adalah ayah kita. Kakak tidak mungkin lupa..."Jantung Dika berdegup kencang. Segala sesuatu yang ia tahu tentang hidupnya terasa mulai runtuh. Sementara itu, Indira tak ragu lagi. Dengan langkah mantap, ia membuka pintu mobilnya."Ayo turun, kita lihat lebih dekat," ajaknya pada Dika.Dika menatap pria itu sekali lagi,
Damar mengernyit, mencoba mengingat apakah ia pernah mengenal orang itu. "Aku tidak pernah punya koneksi dengan mereka. Apa tujuan CEO itu ingin bertemu denganku?"Sekretarisnya menjawab, "Beliau ingin membahas kemungkinan kerja sama dengan VITECH."Damar mengangguk kecil. Tawaran kerja sama dari perusahaan besar tentu menarik, tapi tetap saja, ia merasa ada sesuatu yang janggal. "Siapa namanya?""Indira, Pak. Seorang wanita muda berusia 22 tahun yang sangat sukses di dunia bisnis."Damar terdiam. Nama itu menohoknya begitu keras hingga ia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Indira... nama yang dulu begitu dekat di hatinya, nama yang selalu ia panggil dengan penuh kasih sebelum ia mengetahui kebenaran pahit bahwa gadis itu bukan anak kandungnya. Sejak saat itu, ia menghapus Indira dari hidupnya, memaksakan diri untuk melup
Setelah mendengar pemaparan proposal yang dijelaskan panjang lebar oleh Indira, Damar merasa tertarik. Ia mengangguk pelan, jemarinya mengetuk-ngetuk sampul proposal di meja. “Menarik sekali,” gumamnya. “Saya akan mempelajari lebih dalam lagi mengenai proposal yang ibu berikan, sebelum saya memberikan keputusan.”Indira tersenyum percaya diri. “Tentu, Pak Damar. Saya yakin kerja sama ini akan membawa keuntungan besar bagi kedua belah pihak.”Setelah berbincang serius mengenai bisnis, suasana perlahan mencair. Damar, yang masih merasa ada sesuatu dalam diri Indira yang begitu familiar, memutuskan untuk berbincang lebih santai. Ia mulai bertanya tentang kehidupan pribadi Indira, hingga akhirnya, dengan nada penuh pertimbangan, ia mengundang Indira ke acara ulang tahun putranya, Doni, yang akan diadakan tiga hari lagi di sebuah hotel mewah.Indira terdiam sesaat, menyembunyikan keterkejutan di balik ekspresi tenangnya. Kesempatan
Dika mengusap sudut bibirnya yang terasa perih. Namun, bukannya mundur, dia justru tersenyum miring. Senyum yang membuat Doni sedikit terkejut, seolah Dika tidak merasakan sakit sama sekali.Doni semakin panas. Dia maju dengan serangan bertubi-tubi. Dika menghindari beberapa pukulan, tapi satu pukulan telak mengenai perutnya, membuatnya sedikit terhuyung mundur. Penonton semakin gaduh, beberapa siswa mulai berteriak memberi semangat.Doni yang melihat itu tersenyum miring. "Apa lo pikir bisa ngelawan gue, hah?" suaranya penuh ejekan. "Lo masih anak miskin yang nggak ada harganya, Dika. Kakak lo boleh kaya, tapi lo tetap sampah dimata gue!"Dika mengepalkan tangan. Kata-kata Doni baginya bukanlah hal baru. Sudah bertahun-tahun dia diperlakukan seperti ini. Tapi hari ini, dia tidak akan diam saja.Tanpa aba-aba, Don
Dika terdiam sejenak. Dalam benaknya, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk mengakhiri permusuhannya dengan Doni sekaligus memberi pelajaran kepada bocah angkuh itu. Tapi ada satu hal yang mengganjal—Doni adalah saudara tirinya, meskipun mereka berbeda ibu. Bagaimana mungkin ia memukul saudara kandungnya sendiri?Doni melihat keraguan di wajah Dika dan tersenyum miring. "Jangan-jangan lo takut sama gue, Dik? Makanya lo lama mikirnya."Dika mengangkat wajahnya, menatap Doni dengan tatapan tajam penuh ketegasan. "Takut sama lo? Nggak ada dalam kamus hidup gue. Gue terima tantangan ini!"Meskipun ada perasaan tak nyaman dalam hatinya, Dika tahu bahwa Doni butuh diberi pelajaran. Jika ini satu-satunya cara untuk membuatnya sadar, maka ia akan melakukannya.Nadine yang sejak tadi mendengarkan perdebatan itu mulai merasa ragu. Ia menggigit bibirnya dan berkata, "Apa-apaan sih kalian? Harus banget adu jotos segala?"Namun Doni segera menatapnya dengan tajam. "Nadine, lo nggak usah
Sorot mata Doni membara, penuh kemarahan saat melihat Nadine duduk begitu dekat dengan Dika. Rahangnya mengeras, otot-otot di lengannya menegang."Apa maksud lo duduk di sini sama dia, Nadine?!" suaranya bergetar menahan emosi.Nadine tersentak. Seketika, ia menggeser tubuhnya menjauh dari Dika, raut wajahnya berubah tegang. Namun, Dika? Ia sama sekali tidak bereaksi. Ia hanya melirik Doni sekilas, lalu dengan santai kembali menyuap baksonya.Sikap acuh tak acuh itu membuat Doni semakin berang. Ia merasa diremehkan, seolah Dika sama sekali tidak menganggapnya sebagai ancaman.Brak!Doni langsung mencengkeram kerah seragam Dika dan menariknya dengan kasar. Mata mereka kini hanya berjarak beberapa inci."Lo pikir lo siapa, hah?!" desis Doni dengan suara rendah namun penuh ancaman.Namun, alih-alih panik, Dika tetap tenang. Ia menatap Doni tanpa gentar, seolah tak terpengaruh sedikit pun. Detik berikutnya, dengan gerakan cepat, Dika menepis tangan Doni dengan keras, membuat pemuda itu se
Dika mengangkat alis, sementara Wisnu menoleh dengan ekspresi geli."Tumben banget," gumam Wisnu dengan nada menggoda. "Biasanya, lo kalo jalan ya jalan aja seolah-olah Dika ini nggak ada. Tapi sekarang kok malah nyamperin?"Nadine melirik Wisnu dengan sinis. "Gue ngomong sama Dika ya, bukan sama lo!"Wisnu terkekeh, menikmati situasi ini. "Dulu mah Dika lu cuekin? Sekarang ketika dia sudah berubah tambah ganteng, baru deh lo lirik."Nadine mendengus kesal, lalu mengabaikan Wisnu. Dia menatap Dika dengan senyum manis—senyum yang sama sekali tidak dipercaya oleh Dika.Wisnu hanya tertawa kecil, menikmati bagaimana Nadine yang biasanya angkuh kini justru berusaha menarik perhatian sahabatnya. Nadine kemudian kembali menoleh ke Dika, menatapnya dengan mata berbinar. "Kamu kok diem aja? Salam ku nggak dijawab?" Dika menatapnya datar, kemudian bersuara dengan nada dingin. "Apa sebenarnya maumu? Mau menghina aku lagi?" Nadine tersenyum manis—senyum yang tampak dibuat-buat di mata Dik
Laras tersentak. Matanya membulat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Damar.. maksud ibu Ayah kalian… membelamu?” suaranya terdengar ragu.Indira mengangguk. “Ya. Dia berdiri di pihakku, meskipun di depan istri dan anaknya sendiri.”Laras terdiam, jemarinya meremas ujung bajunya. “Bagaimana keadaannya? Apakah dia sehat? Apakah dia… baik-baik saja?”Indira dan Dika saling berpandangan. Mereka bisa merasakan nada rindu yang tersirat dalam pertanyaan-pertanyaan itu.“Ibu…” Indira menatap ibunya tajam. “Apa Ibu masih mencintai Ayah?”Laras menunduk, wajahnya memerah. “Ibu…” suaranya bergetar. “Ibu tidak bisa membohongi perasaan ibu, Nak. Meski bertahun-tahun sudah berlalu, meski ibu berusaha melupakan ayah mu, namun hati ini tetap menyimpan namanya.”Dika mendesah. “Tapi, Bu… Ayah sudah meninggalkan kita. Dia bahkan tidak pernah mencari ibu selama ini.”Indira menyusul, suaranya lebih dingin. “Bahkan ayah memilih menikah dengan wanita lain dan membiarkan Ibu mend
Ratna tertegun. Dada tuanya bergemuruh hebat saat sosok Indira berdiri di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata yang begitu dingin, begitu menusuk. Ternyata, dugaannya memang benar—Indira yang kemarin datang ke pesta Doni adalah Indira, anak Laras yang telah lama hilang.Indira melangkah maju, matanya menyala penuh amarah. "Apa salah ibuku sampai kau tega menamparnya seperti itu?" suaranya menggema, tajam seperti pisau.Ratna mendengus, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Karena ibumu sudah berani kurang ajar padaku," jawabnya, penuh keangkuhan.Maryam mengangguk setuju, seolah ingin memperkuat kata-kata Ratna.Indira mendengus tidak percaya. "Ibuku tidak mungkin bertindak kurang ajar tanpa alasan!" Pandangannya menusuk, seakan mencoba menembus kebohongan yang mereka tutupi. ""Sepertinya aku harusnya bertanya oada kalian... siapa sebenarnya yang kurang ajar di sini? Dan apa sebenarnya tujuan kalian datang ke sini? Bukankah kalian sudah tidak ada hubungan apa pun lagi dengan ibuk
Di antara bayang-bayang meja dan kursi yang tertata rapi, sepasang mata mengawasi dengan napas tertahan. Tangan yang mengepal erat bergetar, bukan karena takut, tetapi karena amarah yang meluap-luap.Sosok itu menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan desakan untuk keluar dari persembunyian dan mengakhiri adegan terlarang yang sedang terjadi di depan matanya. Tidak pernah, sekalipun dalam mimpi terburuknya, ia membayangkan Raka dan Sofia akan berani melakukan hal sehina ini—di rumah ini, di bawah atap yang sama dengan suami Sofia, di tempat yang seharusnya menjadi simbol kehormatan keluarga.Dadanya naik turun, menyesakkan. Pandangannya kabur karena kemarahan yang berkecamuk. Setiap sentuhan, setiap desahan yang samar terdengar membuat hatinya semakin tercabik-cabik."Sebaiknya aku pergi dari sisni."Orang itu menelan kekecewaannya, memilih untuk tidak lagi menyaksikan adegan panas dari 2 orang yang berlainan jenis ini. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mundur, menjauh dari pemandangan
Setelah pesta ulang tahun yang berantakan itu berakhir, keluarga Damar kembali ke rumah mewah mereka. Malam yang seharusnya penuh kemeriahan berubah menjadi malam yang dipenuhi ketegangan.Begitu pintu utama tertutup, Sofia meledak.“Apa yang kau pikirkan, Mas Damar?!” suaranya melengking memenuhi ruangan, penuh kemarahan yang sejak tadi ia pendam. “Pesta Doni hancur gara-gara ulahmu! Seharusnya Mas Damar tidak mengundang Indira! Dan Dika?! Apa mas tidak tahu kalau dia adalah orang yang paling Doni benci di sekolah?!”Damar melepas jasnya dengan santai, seolah tidak terpengaruh. “Memangnya salahku kalau Doni tidak bisa mengendalikan emosinya?” jawabnya datar.Raka yang sejak tadi diam kini ikut maju. “Tapi, Kak, apa yang dikatakan Sofia benar. Kau seharusnya tidak membela orang asing dan malah mempermalukan Doni di depan semua tamunya. Kau pikir harga dirinya tidak hancur setelah itu?”D
Langkahnya tenang namun penuh tekanan saat ia mendekat. “Semua yang dikatakan Nona Indira benar,” ucapnya, suaranya tak terbantahkan. “Akulah yang memberikan undangan itu.”Sofia langsung melangkah maju, sorot matanya penuh kecurigaan. “Jadi benar?! Kau dan perempuan ini ada hubungan?!”Damar mendengus, tatapannya menusuk tajam. “Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan, Sofia? Aku dan Nona Indira hanya rekan bisnis. Tidak lebih.”Nada suaranya begitu tegas hingga tak seorang pun berani menyela.Doni yang sejak tadi menahan diri, akhirnya meledak. “Tapi aku tetap tidak terima, Pa! Kenapa mereka masih ada di sini?! Dia sudah menamparku! Harusnya Papa usir mereka!”Namun, yang terjadi justru kebalikan dari harapannya.Damar berbalik, menatapnya dengan mata yang kini penuh kekecewaan."Kalau kau sampai ditampar, itu artinya kau pantas mendapatkannya."Ruangan itu seketi