Bu Yuni tersenyum kecil, tangannya mengelus pundak Laras dengan lembut. “Nanti juga kamu akan tahu, Laras,” ucapnya, suaranya penuh kehangatan. “Biarkan dia menyelesaikan masalahmu dengan Surti dulu. Kamu tenang saja.”Laras hanya mengangguk kecil, meski kebingungan masih terpancar di matanya. Ia lalu memperhatikan perdebatan yang terjadi di depannya, antara Surti dan wanita asing yang sepertinya sangat peduli padanya.Surti melipat tangannya di dada, wajahnya kembali memasang ekspresi angkuh. “Kalau begitu, suruh dia bayar utang-utangnya kalau tidak mau kami sakiti!” bentaknya, suaranya penuh intimidasi, matanya melirik Laras dengan tatapan merendahkan sebelum kembali menatap Indira.Indira tak gentar, ia menatap Surti dengan tatapan penuh kemarahan namun tetap terkontrol. “Memang berapa utangnya? Biar aku lunasi!” ucapnya, suaranya tegas, tangannya sudah mencengkeram tas mahalnya, siap mengeluarkan apa pun yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini.Laras yang mendengar itu ters
Laras menutup mulutnya dengan tangan, air matanya kembali mengalir lebih deras mendengar cerita itu. “Ya Tuhan, anakku,” gumamnya, suaranya penuh kepedihan, tangannya mencengkeram tangan Indira lebih erat seolah ingin menghapus semua penderitaan yang pernah dialami anaknya.“Indira diselamatkan oleh orang baik, Bu,” lanjut Indira, suaranya sedikit lebih tenang meski masih tersendat oleh tangis. “Ada seorang pengusaha yang kebetulan lewat, dia membawa Indira ke dokter, lalu dia mengadopsi Indira. Dia orang baik, Bu. Dia memberikan Indira kesempatan untuk sekolah tinggi. Indira belajar di Eropa dan sekarang Indira punya perusahaan sendiri, Lunara Skin Essence. Tetapi selama ini, Indira tidak pernah lupa sama Ibu. Indira selalu mencari Ibu, hanya saja tidak tahu caranya.”Laras mendengarkan dengan penuh perhatian, air matanya tak hentinya mengalir, namun kini ada kebanggaan yang terselip di matanya saat mendengar cerita tentang kesuksesan anaknya. “Kamu, kamu jadi orang hebat sekarang, Na
Laras tersenyum lebar kepada Indira, wajahnya kini berseri penuh kebahagiaan. “Kalau itu suara Dika, Nak,” ucapnya, suaranya penuh kelembutan, tangannya memegang tangan Indira dengan erat.Indira tersenyum bahagia, ada rasa haru yang menyelimuti hatinya. “Wah, Dika ini panjang umur, ya, Bu,” ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya penuh kebahagiaan. “Baru saja kita bicarakan, orangnya sudah ada di depan rumah.”Pintu rumah kayu tua itu terbuka dengan suara berderit, dan seorang remaja laki-laki masuk dengan langkah cepat. Dika, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun, tampak sederhana dengan seragam sekolah yang sedikit kusut namun rapi. Wajahnya yang polos dan penuh semangat langsung berubah menjadi ekspresi penuh kebingungan saat melihat banyak orang di dalam rumah kecil mereka. “Ibu, ada apa ini?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, matanya memindai ruangan yang kini dipenuhi oleh wajah-wajah asing baginya—Indira, Bu Yuni, dan Dewi.Laras tersenyum lembut, lalu memanggil anakny
Laras tersentak mendengar kata-kata Indira, wajahnya memucat penuh kekhawatiran. “Jangan, Nak,” ucapnya cepat, suaranya penuh ketegasan meski ada nada takut di dalamnya. “Ibu tidak mau kamu terlibat dalam urusan dendam. Biarkan masa lalu tetap jadi masa lalu. Yang penting sekarang kita sudah bersama lagi, itu sudah cukup untuk Ibu.”Namun Indira menggelengkan kepala, tangannya mengepal di atas meja, matanya penuh tekad yang tak tergoyahkan. “Gak bisa, Bu,” ucapnya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Mereka telah menghancurkan hidup Ibu, memisahkan kita selama lima belas tahun! Indira gak akan biarkan mereka hidup tenang setelah semua yang mereka lakukan!”Dika, yang selama ini mendengarkan dengan penuh perhatian, tiba-tiba ikut angkat suara. “Ibu, Kak Indira benar,” ucapnya, suaranya polos namun penuh keberanian. “Aku juga gak terima liat Ibu menderita selama ini. Kalau Kak Indira mau balas dendam, aku dukung! Mereka harus tahu bahwa kita gak lemah!”Laras menatap Dika dengan mata penu
Ratna terdiam, jantungnya berdegup lebih kencang. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk. Jika Indira benar-benar telah kembali dan kini menjadi orang yang berpengaruh, itu berarti ancaman besar bagi dirinya dan semua yang telah ia rencanakan selama ini. “Kamu yakin itu Indira?” tanyanya lagi, suaranya penuh keraguan, mencoba mencari celah untuk menyangkal kabar itu.Maryam mengangguk lebih tegas kali ini, matanya kini menatap Ratna dengan penuh keyakinan. “Aku sangat yakin, Bu. Dia bilang sendiri namanya Indira, anaknya Laras. Dan… wajahnya mirip banget sama Laras waktu muda,” ucapnya, suaranya penuh penegasan.Ratna menutup mata sejenak, tangannya memegang dahi seolah mencoba menenangkan diri dari gelombang emosi yang menyerangnya. “Ini tidak boleh dibiarkan,” gumamnya, suaranya rendah namun penuh ancaman, matanya kini terbuka lagi dan menyala penuh rencana gelap. “Kita harus cari cara supaya dia tidak membuat masalah. Kalau dia tahu apa yang kita lakukan dulu, semua yan
Dika, yang menyadari kakaknya terlalu fokus memandang ke depan, menoleh dengan ekspresi heran. “Kak, mengapa Kakak memandangi orang itu sampai tidak berkedip? Ada apa?” tanyanya, suaranya polos namun penuh rasa ingin tahu, matanya mengikuti arah pandangan Indira.Indira tersentak kecil dari lamunannya, lalu menoleh ke arah Dika dengan ekspresi penasaran. “Kamu mengenal anak laki-laki itu, Dika?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, tangannya masih memegang kemudi mobil dengan erat.Dika mengangguk kecil, wajahnya kini menunjukkan sedikit ketidaknyamanan. “Ya, Kak, aku mengenalnya,” jawabnya, suaranya pelan, matanya memandang ke bawah seolah menghindari tatapan Indira. “Namanya Doni. Dia orang yang arogan, Kak. Merasa dirinya anak orang paling kaya di sini, sehingga dia sering merundung orang-orang yang dianggapnya lemah dan miskin, termasuk aku.”Mendengar itu, Indira terkejut, matanya membelalak penuh keterkejutan. “Merundung?” ulangnya, suaranya sedikit meninggi karena kaget, ta
Indira dan Dika keluar dari mobil dengan langkah cepat, hati mereka dipenuhi oleh campuran emosi yang sulit diuraikan—kaget, penasaran, dan sedikit harapan. Mereka berjalan mendekati laki-laki paruh baya yang baru saja selesai berbicara dengan Doni. Jarak mereka semakin dekat, dan Indira sudah membuka mulut untuk memanggilnya, tangannya terangkat untuk menarik perhatian. Namun, sebelum suaranya sempat keluar, laki-laki itu dengan cepat membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam, seolah tak menyadari kehadiran mereka.Indira menghentikan langkahnya, wajahnya menunjukkan kekecewaan bercampur frustrasi. “Kita telat,” gumamnya, suaranya penuh penyesalan, tangannya mengepal di samping tubuh. Ia menoleh ke arah Dika yang berdiri di sampingnya, matanya penuh tekad meski ada sedikit kekecewaan. “Dika, kamu masuk sekolah sekarang. Kakak akan mengejar dia. Kakak harus pastikan itu bener Ayah kita.”Dika mengangguk kecil, wajahnya masih menunjukkan kebingungan, tetapi ia mempercayai kakaknya sepen
Sofia mengeluarkan suara decakan kesal dari ujung telepon, nada suaranya kini lebih tajam. “Aku lelah, Mas Damar! Mas gak perlu marah-marah seperti ini hanya karena hal sepele. Lagipula, aku sudah menyuruh asisten rumah tangga kita untuk menyiapkan semuanya. Apa masalahnya?” balasnya, suaranya penuh kejengkelan.Damar semakin kesal mendengar jawaban itu, alisnya berkerut dalam, dan wajahnya memerah karena menahan amarah. “Yang menjadi istri dan ibu itu kamu, Sofia, bukan asisten rumah tangga! Untuk apa aku memiliki istri kalau hanya menyuruh orang lain mengurus semua keperluan keluarga?” bentaknya, suaranya semakin meninggi, tangannya kini mengetuk meja dengan keras.Sofia tidak mau kalah, nada suaranya juga meningkat penuh pembelaan. “Lah, untuk apa aku membayar asisten rumah tangga mahal-mahal kalau mereka tidak ditugaskan untuk melayani Mas sama Doni? Hanya begitu saja kok ribet!” balasnya, suaranya penuh kejengkelan, seolah merasa Damar terlalu berlebihan.Damar semakin murka mende
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika
“Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete
Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s
Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa
Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek