Laras menutup mulutnya dengan tangan, air matanya kembali mengalir lebih deras mendengar cerita itu. “Ya Tuhan, anakku,” gumamnya, suaranya penuh kepedihan, tangannya mencengkeram tangan Indira lebih erat seolah ingin menghapus semua penderitaan yang pernah dialami anaknya.“Indira diselamatkan oleh orang baik, Bu,” lanjut Indira, suaranya sedikit lebih tenang meski masih tersendat oleh tangis. “Ada seorang pengusaha yang kebetulan lewat, dia membawa Indira ke dokter, lalu dia mengadopsi Indira. Dia orang baik, Bu. Dia memberikan Indira kesempatan untuk sekolah tinggi. Indira belajar di Eropa dan sekarang Indira punya perusahaan sendiri, Lunara Skin Essence. Tetapi selama ini, Indira tidak pernah lupa sama Ibu. Indira selalu mencari Ibu, hanya saja tidak tahu caranya.”Laras mendengarkan dengan penuh perhatian, air matanya tak hentinya mengalir, namun kini ada kebanggaan yang terselip di matanya saat mendengar cerita tentang kesuksesan anaknya. “Kamu, kamu jadi orang hebat sekarang, Na
Laras tersenyum lebar kepada Indira, wajahnya kini berseri penuh kebahagiaan. “Kalau itu suara Dika, Nak,” ucapnya, suaranya penuh kelembutan, tangannya memegang tangan Indira dengan erat.Indira tersenyum bahagia, ada rasa haru yang menyelimuti hatinya. “Wah, Dika ini panjang umur, ya, Bu,” ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya penuh kebahagiaan. “Baru saja kita bicarakan, orangnya sudah ada di depan rumah.”Pintu rumah kayu tua itu terbuka dengan suara berderit, dan seorang remaja laki-laki masuk dengan langkah cepat. Dika, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun, tampak sederhana dengan seragam sekolah yang sedikit kusut namun rapi. Wajahnya yang polos dan penuh semangat langsung berubah menjadi ekspresi penuh kebingungan saat melihat banyak orang di dalam rumah kecil mereka. “Ibu, ada apa ini?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, matanya memindai ruangan yang kini dipenuhi oleh wajah-wajah asing baginya—Indira, Bu Yuni, dan Dewi.Laras tersenyum lembut, lalu memanggil anakny
Laras tersentak mendengar kata-kata Indira, wajahnya memucat penuh kekhawatiran. “Jangan, Nak,” ucapnya cepat, suaranya penuh ketegasan meski ada nada takut di dalamnya. “Ibu tidak mau kamu terlibat dalam urusan dendam. Biarkan masa lalu tetap jadi masa lalu. Yang penting sekarang kita sudah bersama lagi, itu sudah cukup untuk Ibu.”Namun Indira menggelengkan kepala, tangannya mengepal di atas meja, matanya penuh tekad yang tak tergoyahkan. “Gak bisa, Bu,” ucapnya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Mereka telah menghancurkan hidup Ibu, memisahkan kita selama lima belas tahun! Indira gak akan biarkan mereka hidup tenang setelah semua yang mereka lakukan!”Dika, yang selama ini mendengarkan dengan penuh perhatian, tiba-tiba ikut angkat suara. “Ibu, Kak Indira benar,” ucapnya, suaranya polos namun penuh keberanian. “Aku juga gak terima liat Ibu menderita selama ini. Kalau Kak Indira mau balas dendam, aku dukung! Mereka harus tahu bahwa kita gak lemah!”Laras menatap Dika dengan mata penu
Ratna terdiam, jantungnya berdegup lebih kencang. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk. Jika Indira benar-benar telah kembali dan kini menjadi orang yang berpengaruh, itu berarti ancaman besar bagi dirinya dan semua yang telah ia rencanakan selama ini. “Kamu yakin itu Indira?” tanyanya lagi, suaranya penuh keraguan, mencoba mencari celah untuk menyangkal kabar itu.Maryam mengangguk lebih tegas kali ini, matanya kini menatap Ratna dengan penuh keyakinan. “Aku sangat yakin, Bu. Dia bilang sendiri namanya Indira, anaknya Laras. Dan… wajahnya mirip banget sama Laras waktu muda,” ucapnya, suaranya penuh penegasan.Ratna menutup mata sejenak, tangannya memegang dahi seolah mencoba menenangkan diri dari gelombang emosi yang menyerangnya. “Ini tidak boleh dibiarkan,” gumamnya, suaranya rendah namun penuh ancaman, matanya kini terbuka lagi dan menyala penuh rencana gelap. “Kita harus cari cara supaya dia tidak membuat masalah. Kalau dia tahu apa yang kita lakukan dulu, semua yan
Dika, yang menyadari kakaknya terlalu fokus memandang ke depan, menoleh dengan ekspresi heran. “Kak, mengapa Kakak memandangi orang itu sampai tidak berkedip? Ada apa?” tanyanya, suaranya polos namun penuh rasa ingin tahu, matanya mengikuti arah pandangan Indira.Indira tersentak kecil dari lamunannya, lalu menoleh ke arah Dika dengan ekspresi penasaran. “Kamu mengenal anak laki-laki itu, Dika?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, tangannya masih memegang kemudi mobil dengan erat.Dika mengangguk kecil, wajahnya kini menunjukkan sedikit ketidaknyamanan. “Ya, Kak, aku mengenalnya,” jawabnya, suaranya pelan, matanya memandang ke bawah seolah menghindari tatapan Indira. “Namanya Doni. Dia orang yang arogan, Kak. Merasa dirinya anak orang paling kaya di sini, sehingga dia sering merundung orang-orang yang dianggapnya lemah dan miskin, termasuk aku.”Mendengar itu, Indira terkejut, matanya membelalak penuh keterkejutan. “Merundung?” ulangnya, suaranya sedikit meninggi karena kaget, ta
Indira dan Dika keluar dari mobil dengan langkah cepat, hati mereka dipenuhi oleh campuran emosi yang sulit diuraikan—kaget, penasaran, dan sedikit harapan. Mereka berjalan mendekati laki-laki paruh baya yang baru saja selesai berbicara dengan Doni. Jarak mereka semakin dekat, dan Indira sudah membuka mulut untuk memanggilnya, tangannya terangkat untuk menarik perhatian. Namun, sebelum suaranya sempat keluar, laki-laki itu dengan cepat membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam, seolah tak menyadari kehadiran mereka.Indira menghentikan langkahnya, wajahnya menunjukkan kekecewaan bercampur frustrasi. “Kita telat,” gumamnya, suaranya penuh penyesalan, tangannya mengepal di samping tubuh. Ia menoleh ke arah Dika yang berdiri di sampingnya, matanya penuh tekad meski ada sedikit kekecewaan. “Dika, kamu masuk sekolah sekarang. Kakak akan mengejar dia. Kakak harus pastikan itu bener Ayah kita.”Dika mengangguk kecil, wajahnya masih menunjukkan kebingungan, tetapi ia mempercayai kakaknya sepen
Sofia mengeluarkan suara decakan kesal dari ujung telepon, nada suaranya kini lebih tajam. “Aku lelah, Mas Damar! Mas gak perlu marah-marah seperti ini hanya karena hal sepele. Lagipula, aku sudah menyuruh asisten rumah tangga kita untuk menyiapkan semuanya. Apa masalahnya?” balasnya, suaranya penuh kejengkelan.Damar semakin kesal mendengar jawaban itu, alisnya berkerut dalam, dan wajahnya memerah karena menahan amarah. “Yang menjadi istri dan ibu itu kamu, Sofia, bukan asisten rumah tangga! Untuk apa aku memiliki istri kalau hanya menyuruh orang lain mengurus semua keperluan keluarga?” bentaknya, suaranya semakin meninggi, tangannya kini mengetuk meja dengan keras.Sofia tidak mau kalah, nada suaranya juga meningkat penuh pembelaan. “Lah, untuk apa aku membayar asisten rumah tangga mahal-mahal kalau mereka tidak ditugaskan untuk melayani Mas sama Doni? Hanya begitu saja kok ribet!” balasnya, suaranya penuh kejengkelan, seolah merasa Damar terlalu berlebihan.Damar semakin murka mende
Indira berdiri di tengah ruangan, matanya langsung tertuju pada sosok Damar, ayahnya yang selama ini ia rindukan sebelum kebenaran pahit tentang pengkhianatan terhadap ibunya terungkap. Hatinya terasa terbelah dua. Di satu sisi, dendam membakar di dadanya, menyala karena semua penderitaan yang telah dialami ibunya akibat tindakan Damar dan keluarganya. Namun di sisi lain, ia tak bisa memungkiri rasa rindu yang masih tersisa untuk pria di depannya ini. Bagaimanapun juga, dalam ingatannya, Damar adalah sosok ayah yang pernah memberikan kasih sayang begitu besar padanya. Menggendongnya saat kecil, tertawa bersamanya, dan menjadi pahlawan dalam dunia kecilnya dulu. Namun, untuk menjalankan rencananya membalas dendam pada keluarga ayahnya, ia harus menyembunyikan jati dirinya. Damar tidak boleh tahu siapa ia sebenarnya itu adalah bagian dari strategi yang telah ia susun.Tanpa disadari, air mata mulai mengembun di matanya, mengaburkan pandangannya untuk sesaat. Indira buru-buru mengendalika
Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam
Tanpa basa-basi, Sofia berhenti di sisi ranjang, tangannya terlipat di dada. “Mas, sekarang katakan kepadaku, siapa wanita yang meneleponku tadi, mengatakan kalau kamu sedang berada di Rumah Sakit ini?” Suaranya tajam, penuh tuduhan, seperti anak panah yang ditembakkan untuk melukai. Damar mengerutkan kening, wajah pucatnya menegang. Tubuhnya masih rapuh, namun sikap Sofia membangkitkan percikan kemarahan di dadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, Sofia?” balasnya, suaranya rendah namun bergetar kesal. “Aku baru saja pingsan, nyaris kehilangan nyawa. Kamu datang bukannya menanyakan kabarku, malah menuduhku yang tidak-tidak? Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?” Sofia tak bergeming. Ia melangkah lebih dekat, matanya menatap Damar dengan kecurigaan yang membakar. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Mas!” bentaknya, suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku dengar suara wanita itu di telepon tadi—dan jangan bilang
“Tidak semudah itu,” ucap Dika dengan tegas. “Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan keluarga Anda kepada ibu saya selama ini. Memfitnahnya dan memisahkannya dari orang yang dicintainya, benar-benar membuat hidup ibu saya seperti di neraka. Sedangkan Anda, apa yang Anda lakukan? Tidak ada. Anda tidak melakukan apa pun untuk mencari ibu saya atau berusaha mendengar penjelasannya. Yang Anda lakukan hanyalah tidak peduli kepadanya, dan sekarang dengan mudahnya Anda minta untuk dimaafkan? Jangan bermimpi, Pak Damar,” ucap Dika, suaranya penuh kekesalan dan amarah yang membara. Damar menatap anak yang baru ia ketahui itu, matanya penuh penyesalan. “Ayah memang salah, Dika,” ucapnya, suaranya serak oleh rasa bersalah. “Ayah tahu dosa Ayah sangat besar kepada kalian. Tapi tolong mengerti, saat itu keadaan Ayah sangat terpukul ketika melihat dengan mata kepala sendiri ibu kalian tidur bersama laki-laki lain di kamar kami. Ayah akui, saat itu Ayah dibutakan oleh rasa cemburu dan terluka seh
Saat Laras hendak melanjutkan penjelasannya, tiba-tiba pintu kamar rawat Damar terbuka perlahan. Indira dan Dika masuk, wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ekspresi yang tidak bersahabat. Laras menoleh ke arah pintu, senyum tipis muncul di bibirnya meskipun matanya masih basah oleh air mata. Ia telah mengabari kedua anaknya tentang kondisi Damar. Awalnya, Indira menolak keras untuk datang, tetapi Laras memaksa mereka, dan kini keduanya berdiri di hadapannya.Damar terkejut melihat Indira dan Dika. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyambungkan potongan informasi yang baru ia dengar. Laras tadi menyebut anaknya bernama Dika—dan adik Indira juga bernama Dika. Lalu ada Indira, nama yang begitu akrab di hatinya. Ia teringat anak kecil yang dulu pernah memanggilnya “Ayah” dengan penuh kasih, sebelum tes DNA menyatakan bahwa Indira bukan darah dagingnya dan menghancurkan segalanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk bercampur harapan menguasai benaknya.“Indira, Dika… akhirnya
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram. Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima Damar kembali, meski rindu dan sayang itu masih hidup, membakar se
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika