Indira tersenyum kecil, seketika menyadari bahwa ayahnya mungkin mulai curiga dan ingin menggali lebih dalam tentang identitasnya. Namun, ia telah bertekad untuk sementara waktu menyembunyikan jati dirinya dari Damar agar rencana balas dendamnya bisa berjalan mulus. Dengan tenang, ia menjawab, “Terima kasih atas ketertarikannya, Pak. Saya memang memulai Lunara Skin Essence dari nol, sekitar empat tahun lalu, saat masih kuliah. Awalnya hanya proyek kecil yang lahir dari minat saya pada kecantikan dan teknologi. Saya bekerja sama dengan beberapa teman yang ahli di bidang kimia dan IT, dan keberuntungan datang ketika produk pertama kami viral di media sosial. Dari situ, kami berhasil menarik investor besar, dan saya fokus membangun tim serta strategi yang solid. Itu saja cerita singkatnya.”Damar mengangguk, tapi matanya masih mencoba mencari celah. “Luar biasa,” ucapnya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. “Dan… bagaimana dengan keluarga Anda? Saya kira, di usia muda seperti ini
Dika menoleh ke Wisnu, mengangguk kecil sambil berbisik balik, “Tenang aja, Wis. Gak usah takut.” Suaranya pelan namun penuh keyakinan, tangannya mencengkeram tali tasnya lebih erat.Doni melangkah masuk dengan sikap arogan, diikuti oleh tiga temannya yang selalu setia mengapitnya. Siswa-siswa yang masih berada di kelas langsung terdiam, beberapa memandang dengan takut, lainnya berusaha menghindari masalah. Doni memang dikenal sebagai siswa yang paling ditakuti di SMA Sekolah Gemilang, bukan hanya karena sikapnya yang kasar, tapi juga karena pengaruh keluarganya yang besar, terutama ayahnya yang merupakan donatur utama sekolah. Dengan suara lantang, Doni berbicara, “Semua yang ada di kelas, perhatikan gue! Gue punya pengumuman penting!”Siswa-siswa yang tersisa di kelas 1A langsung memandang ke arah Doni, suasana menjadi hening seketika. Doni berdiri di depan kelas, tangannya bertolak pinggang, senyum sinis menghiasi wajahnya. Setelah memastikan semua mata tertuju padanya, ia mulai ber
Di Grand Serenity Hotel, suasana malam itu dipenuhi kemewahan dan kemeriahan. Lampu-lampu kristal besar bergoyang lembut di langit-langit lobi, mencerminkan cahaya ke seluruh ruangan yang dihiasi dekorasi elegan bertema emas dan putih. Doni, yang mengenakan setelan mahal berwarna biru tua dengan detail jahitan tangan, berdiri di tengah kerumunan teman-temannya, menyambut para tamu yang datang dengan senyum penuh percaya diri. Ia tampak menikmati perhatian yang diberikan kepadanya, berdiri tegak dengan sikap yang menunjukkan bahwa ia adalah pusat acara malam ini.Teman-teman Doni yang datang, kebanyakan dari kalangan elit SMA Sekolah Gemilang, berulang kali memuji kemewahan pesta tersebut. “Don, lo beruntung banget, bro! Pesta ulang tahun kayak gini cuma anak sultan yang bisa bikin,” ucap salah satu temannya sambil menepuk pundak Doni dengan takjub. Doni, yang memang haus akan pujian, tersenyum lebar mendengar itu. “Ya iyalah, ini kan biasa buat keluarga gue,” jawabnya dengan nada sombo
Di sudut lain Grand Serenity Hotel, Sofia, ibu Doni, dan Ratna, nenek Doni, sedang sibuk memastikan semua makanan dan kelengkapan pesta berjalan lancar. Sofia dengan cermat memeriksa hidangan di meja buffet, sementara Ratna mengawasi pelayan yang sibuk mondar-mandir. Namun, perhatian mereka tiba-tiba teralihkan ketika melihat kerumunan orang berkumpul di sudut ruangan dekat pintu masuk. Sofia mengerutkan kening, rasa penasarannya tergelitik. “Bu, sepertinya ada sesuatu terjadi di sana. Ayo kita lihat,” ajaknya pada Ratna, tangannya menunjuk ke arah kerumunan.Ratna mengangguk, lalu mereka berdua mulai melangkah. Saat hendak bergerak, Raka, paman Doni, yang kebetulan ada di dekat mereka, bertanya dengan nada santai, “Mau ke mana, Sof? Bu?” Sofia menoleh sekilas dan menjawab, “Ke sana, Raka. Sepertimya ada keributan di dekat pintu masuk.” Raka mengangguk, lalu ikut melangkah bersama mereka, penasaran dengan apa yang sedang terjadi.Ketika sampai di lokasi, Sofia, Ratna, dan Raka terkejut
Namun, Damar tidak menghiraukan Sofia. Ia malah melangkah mendekati Indira, wajahnya kini lebih lembut meskipun masih ada sisa kekesalan. “Indira, saya minta maaf atas kelakuan anak saya yang kurang ajar ini,” ucapnya, suaranya tulus. “Kalian berdua nikmati saja pesta ini, tidak usah mempedulikan Doni lagi.”Indira tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala dengan sikap pura-pura rendah hati. “Tidak perlu, Pak. Lebih baik saya dan Dika pulang saja, agar suasana pesta kembali meriah seperti semula,” jawabnya, suaranya sengaja dibuat lembut untuk menunjukkan itikad baik, padahal ini bagian dari rencananya untuk memancing simpati Damar.Damar menggeleng tegas, menolak permintaan itu. “Tidak, saya tidak mengizinkan kalian pulang. Kalian tamu saya, ikut saya saja menikmati pesta ini,” ucapnya, tangannya mengisyaratkan agar Indira dan Dika mengikutinya. “Doni tidak punya hak untuk mengusir kalian.”Indira melirik Dika sekilas, lalu mengangguk dengan senyum tipis. “Baik, Pak. Terima kasih,” j
Sofia membela diri dengan penuh emosi. “Aku manjain Doni karena aku sayang sama dia, Mas! Dia anak kita satu-satunya! Apa salahnya aku memberikan yang terbaik untuk dia?!” ucapnya, suaranya bergetar karena campuran antara marah dan sedih.Damar menggelengkan kepala, ekspresinya penuh kekecewaan. “Justru itu yang tidak boleh kamu lakukan, Sofia. Kalau Doni terlalu dimanjain, dia tidak akan bisa menghadapi kerasnya hidup nanti pas kita semua sudah tidak ada. Kamu pikir ini baik untuk dia? Enggak!” jawabnya, nada suaranya meninggi karena frustrasi.Raka ikut menyela, mencoba mendukung Sofia. “Tapi, Mas Damar, anak kecil memang wajar kalau dimanjakan. Doni itu masih kecil, dia perlu kasih sayang keluarga. Kamu saja yang terlalu keras sama dia,” ucapnya, suaranya lebih tenang tapi tetap menunjukkan ketidaksetujuan.Damar menoleh ke Raka, matanya menyipit. “Kecil? Doni sudah 15 tahun, Raka! Dia harus belajar tanggung jawab, bukan cuma maunya sendiri. Kalian semua yang membuat dia tidak bisa
“Mas Raka, lepasin! Apa-apaan sih kamu? Kalau ada yang lihat bagaimana, apalagi Mas Damar lagi ada di rumah!” bisik Sofia dengan nada panik, tangannya mencoba mendorong dada Raka agar melepaskan pelukannya.Raka, dengan sikap santai yang kontras dengan kepanikan Sofia, tersenyum kecil. “Tenang saja, Sof. Ini sudah malem banget, aku yakin semua orang sudah pada tidur,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh keyakinan, tangannya tetap memeluk pinggang Sofia tanpa berniat melepaskan.Sofia masih gelisah, napasnya tersengal karena cemas. “Mas Raka, jangan gila kamu!”Belum sempat Sofia menyelesaikan kalimatnya, Raka memotong dengan nada penuh hasrat. “Aku cuma pengen bersenang-senang sama kamu malem ini, Sof. Sudah seminggu lebih kita tidak melakukan itu, aku ingin jatahku malam ini,” ucapnya, matanya menatap Sofia dengan sorot penuh keinginan, tangannya kini merenggangkan pelukan tapi tetap memegang lengan Sofia agar ia tidak pergi.Sofia menggelengkan kepala dengan tegas, wajahnya memerah k
“Apa yang kalian lakukan pada Ibuku?!” bentak Indira, suaranya menggelegar, menggetarkan udara di halaman rumah. Ia melangkah maju, berdiri di depan Laras seperti perisai, matanya menyala penuh kebencian ke arah Ratna. “Kalian pikir bisa seenaknya dateng ke sini, dan nyakitin orang sesuka hati?!”Dika menambahkan dengan suara rendah tapi penuh ancaman, “Kalian sudah keterlaluan. Jangan harap ini akan kami lupakan begitu saja.”Ratna tersentak, jantungnya berdegup kencang saat melihat Indira melangkah keluar dari mobil mewah itu. Dugaan yang selama ini menggelayuti pikirannya kini terbukti kalau wanita muda yang muncul di pesta Doni kemarin memang Indira, anak Laras yang hilang bertahun-tahun lalu. Matanya membelalak, wajahnya memucat, tapi ia berusaha menyembunyikan keguncangan itu di balik sikap angkuhnya.Indira, yang sudah membara amarahnya karena melihat ibunya ditampar, melangkah mendekati Ratna. Matanya menyala penuh kebencian, dan ia berteriak dengan suara yang menggetarkan udar
Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam
Tanpa basa-basi, Sofia berhenti di sisi ranjang, tangannya terlipat di dada. “Mas, sekarang katakan kepadaku, siapa wanita yang meneleponku tadi, mengatakan kalau kamu sedang berada di Rumah Sakit ini?” Suaranya tajam, penuh tuduhan, seperti anak panah yang ditembakkan untuk melukai. Damar mengerutkan kening, wajah pucatnya menegang. Tubuhnya masih rapuh, namun sikap Sofia membangkitkan percikan kemarahan di dadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, Sofia?” balasnya, suaranya rendah namun bergetar kesal. “Aku baru saja pingsan, nyaris kehilangan nyawa. Kamu datang bukannya menanyakan kabarku, malah menuduhku yang tidak-tidak? Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?” Sofia tak bergeming. Ia melangkah lebih dekat, matanya menatap Damar dengan kecurigaan yang membakar. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Mas!” bentaknya, suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku dengar suara wanita itu di telepon tadi—dan jangan bilang
“Tidak semudah itu,” ucap Dika dengan tegas. “Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan keluarga Anda kepada ibu saya selama ini. Memfitnahnya dan memisahkannya dari orang yang dicintainya, benar-benar membuat hidup ibu saya seperti di neraka. Sedangkan Anda, apa yang Anda lakukan? Tidak ada. Anda tidak melakukan apa pun untuk mencari ibu saya atau berusaha mendengar penjelasannya. Yang Anda lakukan hanyalah tidak peduli kepadanya, dan sekarang dengan mudahnya Anda minta untuk dimaafkan? Jangan bermimpi, Pak Damar,” ucap Dika, suaranya penuh kekesalan dan amarah yang membara. Damar menatap anak yang baru ia ketahui itu, matanya penuh penyesalan. “Ayah memang salah, Dika,” ucapnya, suaranya serak oleh rasa bersalah. “Ayah tahu dosa Ayah sangat besar kepada kalian. Tapi tolong mengerti, saat itu keadaan Ayah sangat terpukul ketika melihat dengan mata kepala sendiri ibu kalian tidur bersama laki-laki lain di kamar kami. Ayah akui, saat itu Ayah dibutakan oleh rasa cemburu dan terluka seh
Saat Laras hendak melanjutkan penjelasannya, tiba-tiba pintu kamar rawat Damar terbuka perlahan. Indira dan Dika masuk, wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ekspresi yang tidak bersahabat. Laras menoleh ke arah pintu, senyum tipis muncul di bibirnya meskipun matanya masih basah oleh air mata. Ia telah mengabari kedua anaknya tentang kondisi Damar. Awalnya, Indira menolak keras untuk datang, tetapi Laras memaksa mereka, dan kini keduanya berdiri di hadapannya.Damar terkejut melihat Indira dan Dika. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyambungkan potongan informasi yang baru ia dengar. Laras tadi menyebut anaknya bernama Dika—dan adik Indira juga bernama Dika. Lalu ada Indira, nama yang begitu akrab di hatinya. Ia teringat anak kecil yang dulu pernah memanggilnya “Ayah” dengan penuh kasih, sebelum tes DNA menyatakan bahwa Indira bukan darah dagingnya dan menghancurkan segalanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk bercampur harapan menguasai benaknya.“Indira, Dika… akhirnya
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram. Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima Damar kembali, meski rindu dan sayang itu masih hidup, membakar se
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika