Saat sampai di depan, Laras melihat Bu Maryam sudah berdiri di halaman kecil rumahnya, tangannya terlipat di dada, wajahnya memasang ekspresi sombong yang khas. “Jadi benar kalau kamu tinggal di gubuk ini sekarang,” ucap Bu Maryam sambil melangkah mendekat, suaranya penuh ejekan yang tak disembunyikan. Ia melirik rumah kayu tua itu dengan tatapan merendahkan, lalu melanjutkan, “Rumah ini memang cocok buatmu. Memang seharusnya kamu tinggal di sini, bukan di rumah besar seperti milik Damar atau milikku.”Laras memutar bola matanya, jengah mendengar nada suara bibinya yang penuh hinaan. “Kalau Bibi datang ke sini hanya untuk menghinaku, lebih baik Bibi pulang saja karena aku masih sibuk,” ucapnya tegas, suaranya penuh kejengkelan yang ia tak lagi coba sembunyikan.“Eh, Laras, jangan kurang ajar, ya, kamu! Main usir orang saja!” bentak Bu Maryam, matanya menyipit penuh kemarahan, tangannya terangkat seolah ingin menunjukkan otoritasnya.“Aku bukan mengusir Bibi,” balas Laras, suaranya teta
Hari pernikahan Damar pun tiba. Suasana di rumah besar itu terasa sederhana namun penuh ketegangan yang terselubung. Tidak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga dari kedua pihak—pihak Damar dan Sofia—yang datang untuk menyaksikan upacara kecil ini. Ruang tamu yang biasanya ramai kini dihias ala kadarnya dengan bunga-bunga sederhana dan kain putih yang tergantung di beberapa sudut, mencoba menciptakan suasana pernikahan meski terasa hambar. Damar duduk di kamarnya, mengenakan kemeja putih dan sarung yang rapi, namun wajahnya jauh dari rona bahagia yang seharusnya dimiliki seorang pengantin pria. Matanya kosong, alisnya mengerut, dan bibirnya terkatup rapat, menunjukkan ketidaksemangatan yang tak bisa ia sembunyikan.Ratna, yang berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan anaknya dengan tatapan penuh ketidaksabaran. Ia melangkah masuk, tangannya terlipat di dada, wajahnya mengeras melihat ekspresi muram Damar. “Damar,” panggilnya dengan nada tegas, suaranya memotong keheningan yang men
Laras mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman Bu Maryam, namun tenaganya terlalu lemah dibandingkan kemarahan bibinya. “Lepaskan saya, Bi!” teriaknya, suaranya penuh perlawanan, matanya menatap Bu Maryam dengan campuran kemarahan dan kepedihan. “Saya punya hak untuk bicara!”Semua orang di ruangan itu kini berdiri, suara-suara berisik semakin memenuhi udara. Keluarga Sofia berbisik dengan nada panik, beberapa di antaranya menatap Damar dengan tatapan penuh tanya, sementara Raka melangkah mendekati Ratna, wajahnya penuh kekhawatiran namun juga kemarahan. Sofia tetap duduk di kursi pengantin, wajahnya pucat, tangannya mencengkeram kebaya dengan erat, matanya beralih dari Damar ke Laras dengan ekspresi campur aduk, kecewa, takut, dan marah.Damar akhirnya bangkit dari kursinya, langkahnya ragu-ragu namun matanya tak lepas dari Laras. “Laras…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tenggelam di tengah keriuhan, penuh kebingungan dan rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Namun, seb
Kata-kata itu menggema di ruangan, menghantam hati Laras seperti palu yang menghancurkan sisa harapan yang pernah ada. Laras mengangguk pelan, matanya kembali berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. "Terima kasih, Mas," katanya dengan suara gemetar, suaranya nyaris hilang di tengah kepedihan yang menyelimuti hatinya. Meski talak itu memberinya kebebasan yang ia minta, rasanya seperti kehilangan terakhir dari apa yang pernah menjadi hidupnya bersama Damar.Isak tangis Sofia semakin keras, membuat perhatian semua orang kembali terarah padanya. Sofia berlutut di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat. Pisau yang tadi dipegangnya sudah tidak lagi menjadi ancaman, tergeletak di meja prasmanan, tetapi luka di hatinya jelas belum terobati. Ratna segera menghampiri Sofia, memeluknya dengan penuh drama, seolah ingin menenangkan. "Sofia, sekarang kamu tenang ya, Nak," ucapnya, suaranya dibuat lembut namun penuh perhitungan. "Lihat
Aku capek, Sofia,” jawab Damar tanpa berhenti, suaranya datar dan penuh kelelahan. “Aku mau ke kamar dan langsung tidur.”Sofia mengerutkan kening, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. “Jangan tidur dulu, Mas,” ucapnya, suaranya sedikit meninggi, penuh keberatan. “Ini kan hari pernikahan kita! Dan masih ada banyak tamu di sini. Masak kamu mau ninggalin begitu saja?”Damar berhenti sejenak di tangga, menoleh sekilas ke arah Sofia, namun matanya kosong tanpa semangat. “Itu semua kan hanya keluargamu,” ucapnya, suaranya tetap datar. “Bilang saja kalau aku sedang tidak enak badan. Kamu saja yang menemani mereka semua.” Tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan langkahnya, menghilang di ujung tangga, meninggalkan Sofia yang berdiri dengan wajah kesal dan bingung.“Ih… Mas Damar kok gitu sih,” gumam Sofia, suaranya penuh kekesalan, tangannya mencengkeram ujung kebaya dengan jengkel. Ia kembali duduk di kursi dengan wajah cemberut, pandangannya kosong menatap tamu-tamu ya
Dengan wajah malas dan hati penuh kewaspadaan, Laras melangkah mendekat untuk membukakan pintu gerbang. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya masih memegang keranjang kosong, matanya menatap Ratna dan Bu Maryam dengan dingin. “Ibu mau apa lagi datang kemari?” tanyanya, suaranya tajam namun penuh kelelahan. “Kita sudah tidak punya urusan lagi.”Ratna mendengus, melangkah masuk tanpa permintaan, seolah rumah itu adalah miliknya. “Laras, kau jangan kurang ajar, ya!” bentaknya, matanya menyipit penuh kemarahan. “Bukannya disuruh masuk dulu, malah sudah berkata kurang ajar seperti ini!”“Iya, Bu Ratna,” Bu Maryam menimpali dengan nada penuh ejekan, melangkah di belakang Ratna dengan wajah penuh kebencian. “Anak ini memang tidak pernah diajarkan sopan santun sama orang tuanya.”Laras yang mendengar orang tuanya yang sudah meninggal disebut-sebut menjadi geram. Matanya menyala penuh kemarahan, tangannya mengepal erat di samping tubuh. “Bi, jangan pernah berkata seperti itu tentang orang tua s
Bu Maryam yang mendengar gumaman Ratna segera melirik keluar jendela, matanya mencari-cari sosok yang dimaksud. “Faris? Siapa dia, Bu? Apa Ibu mengenalnya?” tanyanya, suaranya penuh rasa penasaran, alisnya terangkat tinggi.Ratna menoleh ke arah Bu Maryam, matanya menyipit penuh perhitungan sebelum menjawab. “Dia itu sahabatnya Damar,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh makna. “Orang yang selingkuh dengan Laras.”“Oh, jadi dia orang yang Ibu suruh untuk menfitnah Laras?” tanya Bu Maryam, suaranya penuh rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan, wajahnya menunjukkan ekspresi penuh minat.“Iya, dia orangnya,” jawab Ratna, anggukan kecil mengiringi kata-katanya. Namun, tatapannya kembali tertuju pada sosok Faris yang kini melangkah perlahan di sisi jalan, seolah sedang mencari-cari sesuatu. “Tapi mau apa dia ke mari, ya?” gumamnya lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri, suaranya penuh kecurigaan.Bu Maryam melirik Ratna dengan ekspresi penuh dugaan. “Apa mungkin dia mau menceritak
“Ya siapa lagi kalau bukan anaknya Faris!” Ratna menjawab dengan cepat, suaranya penuh keyakinan yang dibuat-buat. “Kamu lihat sendiri kan bagaimana wajah mereka seperti bahagia di dalam foto itu?” Ia menunjuk layar ponsel lagi, menekankan kata-katanya dengan nada penuh sindiran.Damar kembali memperhatikan foto itu dengan lebih teliti. Dalam gambar itu, Laras dan Faris memang terlihat sedang berbicara dengan ekspresi yang tampak akrab—Faris memegang tangan Laras dengan lembut, sementara Laras tersenyum kecil, wajahnya penuh ketenangan meski perutnya membesar. Bagi Damar, yang sudah terbakar oleh cemburu dan fitnah yang ditanamkan Ratna selama ini, gambar itu seperti pukulan telak di hatinya. “Mereka benar-benar keterlaluan,” geramnya, suaranya penuh kemarahan. “Mereka berdua benar-benar sudah menusukku dari belakang!”“Makanya, Damar, kamu tidak usah pedulikan Laras lagi!” Ratna memotong dengan cepat, suaranya penuh dorongan. “Kamu kan sudah punya Sofia sekarang, yang siap selalu bera
Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam
Tanpa basa-basi, Sofia berhenti di sisi ranjang, tangannya terlipat di dada. “Mas, sekarang katakan kepadaku, siapa wanita yang meneleponku tadi, mengatakan kalau kamu sedang berada di Rumah Sakit ini?” Suaranya tajam, penuh tuduhan, seperti anak panah yang ditembakkan untuk melukai. Damar mengerutkan kening, wajah pucatnya menegang. Tubuhnya masih rapuh, namun sikap Sofia membangkitkan percikan kemarahan di dadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, Sofia?” balasnya, suaranya rendah namun bergetar kesal. “Aku baru saja pingsan, nyaris kehilangan nyawa. Kamu datang bukannya menanyakan kabarku, malah menuduhku yang tidak-tidak? Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?” Sofia tak bergeming. Ia melangkah lebih dekat, matanya menatap Damar dengan kecurigaan yang membakar. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Mas!” bentaknya, suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku dengar suara wanita itu di telepon tadi—dan jangan bilang
“Tidak semudah itu,” ucap Dika dengan tegas. “Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan keluarga Anda kepada ibu saya selama ini. Memfitnahnya dan memisahkannya dari orang yang dicintainya, benar-benar membuat hidup ibu saya seperti di neraka. Sedangkan Anda, apa yang Anda lakukan? Tidak ada. Anda tidak melakukan apa pun untuk mencari ibu saya atau berusaha mendengar penjelasannya. Yang Anda lakukan hanyalah tidak peduli kepadanya, dan sekarang dengan mudahnya Anda minta untuk dimaafkan? Jangan bermimpi, Pak Damar,” ucap Dika, suaranya penuh kekesalan dan amarah yang membara. Damar menatap anak yang baru ia ketahui itu, matanya penuh penyesalan. “Ayah memang salah, Dika,” ucapnya, suaranya serak oleh rasa bersalah. “Ayah tahu dosa Ayah sangat besar kepada kalian. Tapi tolong mengerti, saat itu keadaan Ayah sangat terpukul ketika melihat dengan mata kepala sendiri ibu kalian tidur bersama laki-laki lain di kamar kami. Ayah akui, saat itu Ayah dibutakan oleh rasa cemburu dan terluka seh
Saat Laras hendak melanjutkan penjelasannya, tiba-tiba pintu kamar rawat Damar terbuka perlahan. Indira dan Dika masuk, wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ekspresi yang tidak bersahabat. Laras menoleh ke arah pintu, senyum tipis muncul di bibirnya meskipun matanya masih basah oleh air mata. Ia telah mengabari kedua anaknya tentang kondisi Damar. Awalnya, Indira menolak keras untuk datang, tetapi Laras memaksa mereka, dan kini keduanya berdiri di hadapannya.Damar terkejut melihat Indira dan Dika. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyambungkan potongan informasi yang baru ia dengar. Laras tadi menyebut anaknya bernama Dika—dan adik Indira juga bernama Dika. Lalu ada Indira, nama yang begitu akrab di hatinya. Ia teringat anak kecil yang dulu pernah memanggilnya “Ayah” dengan penuh kasih, sebelum tes DNA menyatakan bahwa Indira bukan darah dagingnya dan menghancurkan segalanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk bercampur harapan menguasai benaknya.“Indira, Dika… akhirnya
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram. Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima Damar kembali, meski rindu dan sayang itu masih hidup, membakar se
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika