Aku tidak mengambil apapun selain memindah alihkan laptop dan handphone pada kamar Erin. Tapi di sana, tiba-tiba saja meja yang semula berserakan cat sudah bersih tergantikan makanan dan ia-pun berganti tugas."Kakak makan dulu kata Ibu, pasti di luar belum makan nasi." ujarnya. Melihat sepiring nasi yang dia bawa saja membuatku begah."Kakak udah makan mie di luar." jawabku sembari menurunkan laptop dan handphone di atas ranjang, sementara Erin masih duduk anteng di atas kursi belajar."Belum makan nasi itu.""Sama-sama karbohidrat.""Orang Indonesia kalau belum makan nasi belum disebut makan."Aku geleng-geleng kepala dengan tawa kecil. Memang ya, negara ini sedikit unik ketimbang negara lain. Segala apapun yang bersangkutan dengan makan berat harus ada nasi. Padahal kan semacam gandum, jagung, mie, tepung, sama-sama bisa menyokong energi. Tapi sepertinya tingkah Orick yang selalu makan indomie pakai nasi membuktikan bahwa Indonesia tanpa nasi bagai ambulan tanpa uwiw."Makan dulu k
Oke, jadi begini. Aku seringkali ditanya apa hobi yang bisa aku lakukan tiap kali merasa bosan? Dan tanpa ragu kujawab, mencuci serta menyetrika baju. Namun setelah mendengar itu, rekan-rekan yang bertanya padaku wajahnya berubah mupeng. Aku tidak tahu apa yang salah dengan jawabanku kala itu, akan tetapi--memangnya salah, ya?Pagi sedari pukul 4 lebih 30 menit, aku berbalap lomba dengan ayam berkokok. Karena jadwal tidurku semalam cukup teratur, berakhir bangunku juga sesuai jadwal. Dan terlalu pagi untuk memulai hari dengan skripsi, aku merasa penat-penatku ini perlu ditaburi deterjen terlebih dahulu. Disikat, dibilas, dicelupkan. Oreo ✌.Sudah lama sekali semenjak aku mulai sibuk pada dunia perkampusan, aku lupa bagaimana suasana keluarga dengan pagi-pagi yang tentram. Yang biasa kuhadapi adalah gubrahan Sadan untuk mengerjakan susunan laporan, proker-proker bersama, atau bawelnya para adik-adik di bawah tingkatku. Aku lupa bahwa duniaku saja perlu dibenahi sebelum memperbaiki yang
Sudah cukup lama setelah aku mengerjakan ibadah, langit berubah lebih terang lagi dan perlahan bukan lagi seberkas fajar yang muncul, melainkan hidung matahari tampak menyapa seluruh rakyat di bumi. Aku tidak tahu korelasi apa yang tepat, tetapi bagai badai yang disapu angin, seakan-akan mendung tadi malam tak pernah hadir, pagi ini langit biru berkilau tanpa eksistensi awan yang menghalangi intensitas cahaya.Bukan lagi suara ayam yang menguasai wilayah, melainkan kicauan burung di atas kabel listrik sedang berjajar bersama. Tidak lagi suara motor yang begitu ribut saling melesat, hening di kamis pagi menjelaskan bahwa hari kerja masih berjalan. Riuhnya pusat suara hanya dari penggorengan dapur kami.Seperti janji kami untuk memasak bersama, dengan menu kuliner kota lain. Hari ini kami sepakat memasak bebek goreng sinjay Madura dengan Mie aceh.Untuk perihal bumbu ulek, kami menguleknya pribadi. Dan tentunya aku bagian membejek rempah-rempah itu. Mulanya aku sudah mengambil blender,
Emotikon yang Orick beri di akhir pesan tadi yaitu motor vespa. Sedangkan yang kutahu dia hanya punya motor klasik yang jok motornya itu seumprit sekali, aku seperti duduk di ujung besi. Tapi hebatnya, entah bagaimana caranya saat ini aku duduk di atas vespa biru yang begitu cantik, sampai-sampai aku jatuh hati dengan Orick karena motornya.Suaranya memang tidak trenteng-trenteng, namun nikmatnya suasana yang kita lewati sedaritadi seperti dunia milik berdua. Tumben-tumbenan jalanan Jakarta bebas polusi sekaligus tanpa macet. Hebat, aku memang penguasa dunia ini.Entah akan dibawa kemana, namun kubiarkan saja tanpa digubris. Dua tanganku yang memeluk erat perutnya, sesekali kepalaku mendekat ke arah pundaknya hanya untuk menangkap ucapan yang keluar dari mulutnya. Di bawah terik pukul 2 siang--bayangkan sepanas apa anomali dzat yang menyentuh kulitku."Karena ini mendadak, aku bawa kamu ke tempat-tempat yang ada di sini aja ya." ujarnya, langsung diangguki aku."Iya, kemana aja yang p
"Orick?"Senda-tawa senang kami yang sedang mengudara praktis terhenti ketika sebuah suara menginvasi dari belakang tubuhku. Begitu aku memutar leher, aku menemukan sosok perempuan dengan rambut sebahu--setelannya cerah--menyapa kekasihku sama cerahnya seperti cuaca di luar.Sudah sekitar 2 jam dari kami datang, pengunjung yang hadir hanya sekadar pelanggan dengan pesanan take away. Itu artinya sedaritadi memang hanya aku dan Orick yang menjadi penguasa kedai. Topik demi topik, dari atmosfer sendu karena pembahasan masa lalu, sampai berubah elok karena Orick menceritakan cerita-cerita lucu yang terjadi selama di kampus, dan endingnya---begini."Hai?" Lelaki-ku sadar dengan perubahan raut wajahku. Ketika aku memandangnya tajam, dia kelihatan ragu-ragu untuk tersenyum pada Si Clara-Clara itu."Hai, sendirian?"BRENGSEK!SENDIRIAN KATANYA?KACA MANA KACA? AKU SEMUNGIL APASIH BAJINGAN? SAMPAI-SAMPAI DIA TIDAK MELIHAT MANUSIA MACAM BIDADARI INI DI SAMPINGNYA!"Ekhm." Aku berdeham cukup ker
Orick ini bosan hidup atau bosan menjadi manusia atau memang hidupnya hanya berputar pada gurauan semata sih? Aku tidak paham apa korelasi amarah dan orang-orang ramai di sekitarku. Aku juga tidak mengerti otak Orick bekerja secara apa, masa iya keadaan hati yang sedang buruk dia lombakan dengan suasana bioskop yang ramai?Iya, panas matahari di luar memang tidak lagi menghalau kulitku. Kini berganti menjadi atap xxi yang penuh ac dari penjuru ruangan. Wangi pengharum jeruk yang amat kubenci, aku lebih baik mencium wangi bajuku sendiri. Tanpa kuwanti-wanti untuk tidak membawaku pergi jauh, aku kira dia mengerti kalau suasana hati yang sedang buruk perlu ditenangkan. Atau pikirku, mentok-mentok dia betulan mengembalikanku ke rumah. Apa-apaan ini? Aku malah dimasukan ke dalam bioskop? Rasanya ingin sekali ku-mengamuk. Namun melihat banyaknya orang di wilayah bioskop ini, ditambah wajah Orick yang tersenyam-senyum tidak bersalah, membuatku lelah lebih dulu.Kalau perlu digambarkan bagaim
Begitu suara tubuhku dan ranjang beradu, di tempat yang sama air mataku kembali menyeruak. Tidak perduli bagaimana akhirnya, di sini aku bisa menumpahkan segala gundah yang semula menancap di hati. Bukan hanya karena Orick, melainkan rahasia-rahasia tentang kesakitan yang diam-diam masih kubawa kemari tanpa siapapun tahu.Sebuah dunia janji setipis kertas yang sekali ku-gores mungkin bencara dari luar akan meniban segalanya sampai tak tersisa. Ketika seringkali ku-dongakan wajah bersama dua tangan terangkat, ucapan yang keluar dari mulutku seakan berbusa tak berguna. Aku selalu dihadapkan dengan gerbong hitam atau putih. Sebuah cahaya yang kubutuh, namun kegelapan adalah teman sepi paling nyaman.Ketimbang melepaskan sesuatu dengan kejujuran, aku lebih suka kefanaan namun menyediakan segala warna-warni di dalamnya. Sebab di sana, aku bisa berlarian tanpa takut hari esok akan tiba. Hanya di sana aku bisa menjadi apa yang aku impikan tanpa takut takdir mencelanya. Lantas, untuk apa aku
Tadi di kamar mandi, aku sempat merenung di bawah guyuran shower air mandi. Mengikuti kemana arusnya berlalu dan terserap sampai yang tersisa hanya rintik-rintik air dari atas rambutku. Sekala, setelah berjalan cukup jauh, yang aku pikirkan; akan dibawa kemana muara ini? Namun untuk memikirkannya, aku selalu tenggelam dengan arus yang lain. Sehingga kuputuskan untuk menikmati muara yang akan membawaku pada ujung cerita ini. Agar aku tidak perlu tersakiti dengan praduga-pradugaku sendiri.Lalu untuk sejenak aku mematut bayanganku di depan wastafel layaknya aktris-aktris dalam serial drama. Aku membuang napas kencang-kencang di sana, berniat melupakan apa yang tidak seharusnya aku pikirkan. Dan nampaknya cermin bukan hanya memantulkan diri, melainkan isi hati serta pikiran. Aku tersenyum sendu, membayangkan jika aku terjatuh serius dari atas gedung, dan melihat gulungan perban melilit kepala. Bagaimana jika aku sungguh-sungguh pergi? Apakah Orick akan mencari penggantinya?Apakah aku ak
Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari
"ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"
Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se
"Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter
Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap
"Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya
"Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y
Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk
Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid