"Orick?"Senda-tawa senang kami yang sedang mengudara praktis terhenti ketika sebuah suara menginvasi dari belakang tubuhku. Begitu aku memutar leher, aku menemukan sosok perempuan dengan rambut sebahu--setelannya cerah--menyapa kekasihku sama cerahnya seperti cuaca di luar.Sudah sekitar 2 jam dari kami datang, pengunjung yang hadir hanya sekadar pelanggan dengan pesanan take away. Itu artinya sedaritadi memang hanya aku dan Orick yang menjadi penguasa kedai. Topik demi topik, dari atmosfer sendu karena pembahasan masa lalu, sampai berubah elok karena Orick menceritakan cerita-cerita lucu yang terjadi selama di kampus, dan endingnya---begini."Hai?" Lelaki-ku sadar dengan perubahan raut wajahku. Ketika aku memandangnya tajam, dia kelihatan ragu-ragu untuk tersenyum pada Si Clara-Clara itu."Hai, sendirian?"BRENGSEK!SENDIRIAN KATANYA?KACA MANA KACA? AKU SEMUNGIL APASIH BAJINGAN? SAMPAI-SAMPAI DIA TIDAK MELIHAT MANUSIA MACAM BIDADARI INI DI SAMPINGNYA!"Ekhm." Aku berdeham cukup ker
Orick ini bosan hidup atau bosan menjadi manusia atau memang hidupnya hanya berputar pada gurauan semata sih? Aku tidak paham apa korelasi amarah dan orang-orang ramai di sekitarku. Aku juga tidak mengerti otak Orick bekerja secara apa, masa iya keadaan hati yang sedang buruk dia lombakan dengan suasana bioskop yang ramai?Iya, panas matahari di luar memang tidak lagi menghalau kulitku. Kini berganti menjadi atap xxi yang penuh ac dari penjuru ruangan. Wangi pengharum jeruk yang amat kubenci, aku lebih baik mencium wangi bajuku sendiri. Tanpa kuwanti-wanti untuk tidak membawaku pergi jauh, aku kira dia mengerti kalau suasana hati yang sedang buruk perlu ditenangkan. Atau pikirku, mentok-mentok dia betulan mengembalikanku ke rumah. Apa-apaan ini? Aku malah dimasukan ke dalam bioskop? Rasanya ingin sekali ku-mengamuk. Namun melihat banyaknya orang di wilayah bioskop ini, ditambah wajah Orick yang tersenyam-senyum tidak bersalah, membuatku lelah lebih dulu.Kalau perlu digambarkan bagaim
Begitu suara tubuhku dan ranjang beradu, di tempat yang sama air mataku kembali menyeruak. Tidak perduli bagaimana akhirnya, di sini aku bisa menumpahkan segala gundah yang semula menancap di hati. Bukan hanya karena Orick, melainkan rahasia-rahasia tentang kesakitan yang diam-diam masih kubawa kemari tanpa siapapun tahu.Sebuah dunia janji setipis kertas yang sekali ku-gores mungkin bencara dari luar akan meniban segalanya sampai tak tersisa. Ketika seringkali ku-dongakan wajah bersama dua tangan terangkat, ucapan yang keluar dari mulutku seakan berbusa tak berguna. Aku selalu dihadapkan dengan gerbong hitam atau putih. Sebuah cahaya yang kubutuh, namun kegelapan adalah teman sepi paling nyaman.Ketimbang melepaskan sesuatu dengan kejujuran, aku lebih suka kefanaan namun menyediakan segala warna-warni di dalamnya. Sebab di sana, aku bisa berlarian tanpa takut hari esok akan tiba. Hanya di sana aku bisa menjadi apa yang aku impikan tanpa takut takdir mencelanya. Lantas, untuk apa aku
Tadi di kamar mandi, aku sempat merenung di bawah guyuran shower air mandi. Mengikuti kemana arusnya berlalu dan terserap sampai yang tersisa hanya rintik-rintik air dari atas rambutku. Sekala, setelah berjalan cukup jauh, yang aku pikirkan; akan dibawa kemana muara ini? Namun untuk memikirkannya, aku selalu tenggelam dengan arus yang lain. Sehingga kuputuskan untuk menikmati muara yang akan membawaku pada ujung cerita ini. Agar aku tidak perlu tersakiti dengan praduga-pradugaku sendiri.Lalu untuk sejenak aku mematut bayanganku di depan wastafel layaknya aktris-aktris dalam serial drama. Aku membuang napas kencang-kencang di sana, berniat melupakan apa yang tidak seharusnya aku pikirkan. Dan nampaknya cermin bukan hanya memantulkan diri, melainkan isi hati serta pikiran. Aku tersenyum sendu, membayangkan jika aku terjatuh serius dari atas gedung, dan melihat gulungan perban melilit kepala. Bagaimana jika aku sungguh-sungguh pergi? Apakah Orick akan mencari penggantinya?Apakah aku ak
Perasaan yang sama.Perasaan yang sama...Ucap Erin malam itu.Benar. Untuk persoalan hati, seharusnya aku tak meragu karena satu kali ucapannya. Betapa nelangsanya kemarin ia memohon padaku untuk mempercayainya, hingga jumlah notifikasi yang begitu panjang membombardir ruang pesanku. Aku tidak ingin menyalahinya, termasuk aku yang tidak ingin menyalahkan diriku sendiri. Dalam suatu kejadian dimana patah hati terjadi, di situlah satu kepala wajib mengalah.Orick, aku sedang tidak meragukanmu. Aku hanya perempuan biasa yang bisa termakan cemburu serta terluka karena hal kecil. Namun aku terluka karena aku mencintaimu. Seperti katamu, tidak perduli berulang kali perselisihan mendera hubungan ini, jangan pernah lepaskan genggaman yang telah terpaut. Seujung kuku-pun aku tidak akan membiarkan tangan lain mengisi ruang di antara kita berdua."Heh, Arin!"Pagi lewat pukul 8 aku berjalan di jalanan kampus yang sudah ramai oleh segala aktivis di segala penjuru. Petugas kebersihan yang sedang
"Barbar banget ni orang baru balik ke kampus, berasa punya dendam terselubung. Ngomong aja sih kak kalau kangen sama kita, nggak usah jambak-jambak rambut Si Kaila, kasian die." Perempuan rambut keriting gantung--atau lebih jelasnya bernama Jeanne itu menyerocos dengan mulut moncong-moncong di sisiku."Ini pertama kalinya lo kayak gini, dan gue harap ini juga terakhir kalinya lo berlaku seenaknya. Malu Rin, malu diliatin yang lain." Bella menambahi.Oke, siapa lagi. Kamala? Aku praktis menoleh pada Kamala, menaikan dua alis dengan tampang menantang. Namun aku lupa, manusia satu inikan sedikit lemot, membuatku mengaduh di dalam hati."Apa kak?" tuhkan."Lo mau komen nggak?" Aku membuang napasku gusar."Nggak." dia menggeleng."Bagus."Aku mempercepat langkahku menuju pintu penghubung dimana kini kami sudah berjalan di bawah atap koridor fakultasku. Aku sedang malas berbicara panjang lebar. Jikalau Jeanne memang pantas berada dimari, aku tidak tahu apa tujuan Bella dan Kamala mengikutik
Pukul 3 lebih 30 menit langit berubah lebih teduh daripada tadi pagi. Termasuk amarahku sedikit demi sedikit menurun, luruh ke bawah ubin, lantas diinjak-injak sampai hirap. Tidak kesebut mendung, tidak juga kesebut cerah. Namun cahaya kemuning dari balik awan cumulus memancar, membentuk lorong perjalanan seakan-akan bisa dilewati orang-orang untuk sampai ke kayangan. Sesekali pesawat melintas, memberi jejak kenang di atas alam.Sedaritadi, menyelingi pandangan dari arah laptop aku tak henti-henti menatap semesta yang kuning. Alam selalu ampuh membuatku menjadi penggemar tetap. Entah keadaan akan hujan, muram, sekalipun berkilauan biru, aku tetap setia menunggu warna-warna itu memancar. Bagiku, hanya modal menatap lintasan awan dan burung di udara adalah bentuk penyembuhan hati disaat gundah. Rasanya selalu ampuh membuatku mabuk-kepayang namun menenangkan.Tak lepas dua telingaku menyala hanya untuk mendengar bacotan ria antara Ratih dan Bella. Sedaritadi dua manusia itu saling bertuk
Sebetulnya, runtunan pesan dari Orick yang aku semat sudah mewanti-wanti diri agar tidak bergerak barang se-senti sebelum dia datang kembali ke kelasnya. Namun ku-peringati agar tidak membawa diriku keluar setelah pertengkaran yang baru saja terjadi antara aku dan Kaila. Bukan apa-apa, selain mengurangi pembicaraan semakin panjang, aku sedang memberi ruang dimana semua ucapannya tadi siang sangatlah kontras. Bukan aku yang cari perhatian, bukan aku yang merebut kasihnya, melainkan Orick sendiri yang tertarik dengan medan magnetku.Alasan terakhir mengapa aku memutuskan pulang mandiri, itu karena Kamala meminta waktuku untuk sekadar bercengkrama. Katanya sih rindu, tapi nyatanya menyebalkan. Coba bayangkan ketika aku tiba di parkiran dan masuk ke dalam mobil, begitu santainya dia mengatakan "hai" dari bangku belakang. Sementara bagiku, kehadirannya bagai hantu sampai keterkejutanku berubah menjadi sial. Aku terlonjak hingga kepalaku menabrak atap mobil. Sial, untung tidak benjol juga.