Begitu suara tubuhku dan ranjang beradu, di tempat yang sama air mataku kembali menyeruak. Tidak perduli bagaimana akhirnya, di sini aku bisa menumpahkan segala gundah yang semula menancap di hati. Bukan hanya karena Orick, melainkan rahasia-rahasia tentang kesakitan yang diam-diam masih kubawa kemari tanpa siapapun tahu.Sebuah dunia janji setipis kertas yang sekali ku-gores mungkin bencara dari luar akan meniban segalanya sampai tak tersisa. Ketika seringkali ku-dongakan wajah bersama dua tangan terangkat, ucapan yang keluar dari mulutku seakan berbusa tak berguna. Aku selalu dihadapkan dengan gerbong hitam atau putih. Sebuah cahaya yang kubutuh, namun kegelapan adalah teman sepi paling nyaman.Ketimbang melepaskan sesuatu dengan kejujuran, aku lebih suka kefanaan namun menyediakan segala warna-warni di dalamnya. Sebab di sana, aku bisa berlarian tanpa takut hari esok akan tiba. Hanya di sana aku bisa menjadi apa yang aku impikan tanpa takut takdir mencelanya. Lantas, untuk apa aku
Tadi di kamar mandi, aku sempat merenung di bawah guyuran shower air mandi. Mengikuti kemana arusnya berlalu dan terserap sampai yang tersisa hanya rintik-rintik air dari atas rambutku. Sekala, setelah berjalan cukup jauh, yang aku pikirkan; akan dibawa kemana muara ini? Namun untuk memikirkannya, aku selalu tenggelam dengan arus yang lain. Sehingga kuputuskan untuk menikmati muara yang akan membawaku pada ujung cerita ini. Agar aku tidak perlu tersakiti dengan praduga-pradugaku sendiri.Lalu untuk sejenak aku mematut bayanganku di depan wastafel layaknya aktris-aktris dalam serial drama. Aku membuang napas kencang-kencang di sana, berniat melupakan apa yang tidak seharusnya aku pikirkan. Dan nampaknya cermin bukan hanya memantulkan diri, melainkan isi hati serta pikiran. Aku tersenyum sendu, membayangkan jika aku terjatuh serius dari atas gedung, dan melihat gulungan perban melilit kepala. Bagaimana jika aku sungguh-sungguh pergi? Apakah Orick akan mencari penggantinya?Apakah aku ak
Perasaan yang sama.Perasaan yang sama...Ucap Erin malam itu.Benar. Untuk persoalan hati, seharusnya aku tak meragu karena satu kali ucapannya. Betapa nelangsanya kemarin ia memohon padaku untuk mempercayainya, hingga jumlah notifikasi yang begitu panjang membombardir ruang pesanku. Aku tidak ingin menyalahinya, termasuk aku yang tidak ingin menyalahkan diriku sendiri. Dalam suatu kejadian dimana patah hati terjadi, di situlah satu kepala wajib mengalah.Orick, aku sedang tidak meragukanmu. Aku hanya perempuan biasa yang bisa termakan cemburu serta terluka karena hal kecil. Namun aku terluka karena aku mencintaimu. Seperti katamu, tidak perduli berulang kali perselisihan mendera hubungan ini, jangan pernah lepaskan genggaman yang telah terpaut. Seujung kuku-pun aku tidak akan membiarkan tangan lain mengisi ruang di antara kita berdua."Heh, Arin!"Pagi lewat pukul 8 aku berjalan di jalanan kampus yang sudah ramai oleh segala aktivis di segala penjuru. Petugas kebersihan yang sedang
"Barbar banget ni orang baru balik ke kampus, berasa punya dendam terselubung. Ngomong aja sih kak kalau kangen sama kita, nggak usah jambak-jambak rambut Si Kaila, kasian die." Perempuan rambut keriting gantung--atau lebih jelasnya bernama Jeanne itu menyerocos dengan mulut moncong-moncong di sisiku."Ini pertama kalinya lo kayak gini, dan gue harap ini juga terakhir kalinya lo berlaku seenaknya. Malu Rin, malu diliatin yang lain." Bella menambahi.Oke, siapa lagi. Kamala? Aku praktis menoleh pada Kamala, menaikan dua alis dengan tampang menantang. Namun aku lupa, manusia satu inikan sedikit lemot, membuatku mengaduh di dalam hati."Apa kak?" tuhkan."Lo mau komen nggak?" Aku membuang napasku gusar."Nggak." dia menggeleng."Bagus."Aku mempercepat langkahku menuju pintu penghubung dimana kini kami sudah berjalan di bawah atap koridor fakultasku. Aku sedang malas berbicara panjang lebar. Jikalau Jeanne memang pantas berada dimari, aku tidak tahu apa tujuan Bella dan Kamala mengikutik
Pukul 3 lebih 30 menit langit berubah lebih teduh daripada tadi pagi. Termasuk amarahku sedikit demi sedikit menurun, luruh ke bawah ubin, lantas diinjak-injak sampai hirap. Tidak kesebut mendung, tidak juga kesebut cerah. Namun cahaya kemuning dari balik awan cumulus memancar, membentuk lorong perjalanan seakan-akan bisa dilewati orang-orang untuk sampai ke kayangan. Sesekali pesawat melintas, memberi jejak kenang di atas alam.Sedaritadi, menyelingi pandangan dari arah laptop aku tak henti-henti menatap semesta yang kuning. Alam selalu ampuh membuatku menjadi penggemar tetap. Entah keadaan akan hujan, muram, sekalipun berkilauan biru, aku tetap setia menunggu warna-warna itu memancar. Bagiku, hanya modal menatap lintasan awan dan burung di udara adalah bentuk penyembuhan hati disaat gundah. Rasanya selalu ampuh membuatku mabuk-kepayang namun menenangkan.Tak lepas dua telingaku menyala hanya untuk mendengar bacotan ria antara Ratih dan Bella. Sedaritadi dua manusia itu saling bertuk
Sebetulnya, runtunan pesan dari Orick yang aku semat sudah mewanti-wanti diri agar tidak bergerak barang se-senti sebelum dia datang kembali ke kelasnya. Namun ku-peringati agar tidak membawa diriku keluar setelah pertengkaran yang baru saja terjadi antara aku dan Kaila. Bukan apa-apa, selain mengurangi pembicaraan semakin panjang, aku sedang memberi ruang dimana semua ucapannya tadi siang sangatlah kontras. Bukan aku yang cari perhatian, bukan aku yang merebut kasihnya, melainkan Orick sendiri yang tertarik dengan medan magnetku.Alasan terakhir mengapa aku memutuskan pulang mandiri, itu karena Kamala meminta waktuku untuk sekadar bercengkrama. Katanya sih rindu, tapi nyatanya menyebalkan. Coba bayangkan ketika aku tiba di parkiran dan masuk ke dalam mobil, begitu santainya dia mengatakan "hai" dari bangku belakang. Sementara bagiku, kehadirannya bagai hantu sampai keterkejutanku berubah menjadi sial. Aku terlonjak hingga kepalaku menabrak atap mobil. Sial, untung tidak benjol juga.
Sebelum pagi datang, aku pernah melihat wajah nelangsanya menyerah dari luka yang aku toreh entah se-dalam dan se-kelam apa. Dia yang kucinta, dia yang kujaga, ternyata adalah hal yang paling ku-hancurkan sampai berkeping-keping. Dia pemilik rumahku, dia penunggu paling setia, namun aku selalu lupa bahwa aku masih memiliki rumah untuk pulang. Aku lupa kemana arah yang harus ku-tuju.Jika sewaktu-waktu aku kembali melupa, maukah dia menarik tanganku dari jalan yang salah? Bersedia-kah dia untuk selalu menuntunku? Meskipun jejak yang kan terlalui mungkin sedikit mengabur dan tidak berujung. Maukah dia terus berjalan tanpa ujung yang pasti meski denganku?Aku ingin bertanya pada apapun yang dapat mendengar dan melihatku. 90 menit berada di alam mimpi sama dengan berapa hari di alam nyata? Apakah melamun dan terbang bersama haluan bisa dikatakan mimpi? Kalau itu mimpi, mungkin kini aku sedang duduk di lapisan awan mimpi yang paling tinggi.90 menit duduk mendengar mulut dosen tak henti-he
Ini bukan hari kedua setelah aku dan Kaila bertengkar. Jauh berjalan lebih maju, ini hari ketujuh setelah kabar itu melanglang seluruh forum kampus. Dan karena ini hari ketujuh lebih jauh dari kabar itu, aku merasa rinduku lebih meletup panas saat menggandeng lengan Orick. Seakan ada nafsu lebih untuk bermanja dengannya, apalagi melihat jajaran manusia memenuhi meja di kantin, seolah ini adalah waktu yang tepat untuk ku-pamerkan pada dunia; inilah hubunganku. Ku harap mereka melihatnya menggunakan kedua bola mata dan tersadar oleh batin yang waras.Satu pekan tidak bersitatap wajah bersamanya mungkin bukan hal yang buruk. Namun itu juga bukan hal yang bisa dikatakan mudah ketika fokusku tertuang penuh pada sebuah tugas. Separuh otakku bertanya-tanya dalam diam. Apakah dia tak lagi sedang membandingkan dirinya? Apakah dia sudah berhenti dari segala overthinkingnya? Atau jangan-jangan dia minat untuk menyembunyikannya sendiri? Atau bisa jadi dia memang sudah memulih, namun dia melakukan
Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari
"ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"
Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se
"Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter
Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap
"Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya
"Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y
Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk
Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid