Perasaan yang sama.Perasaan yang sama...Ucap Erin malam itu.Benar. Untuk persoalan hati, seharusnya aku tak meragu karena satu kali ucapannya. Betapa nelangsanya kemarin ia memohon padaku untuk mempercayainya, hingga jumlah notifikasi yang begitu panjang membombardir ruang pesanku. Aku tidak ingin menyalahinya, termasuk aku yang tidak ingin menyalahkan diriku sendiri. Dalam suatu kejadian dimana patah hati terjadi, di situlah satu kepala wajib mengalah.Orick, aku sedang tidak meragukanmu. Aku hanya perempuan biasa yang bisa termakan cemburu serta terluka karena hal kecil. Namun aku terluka karena aku mencintaimu. Seperti katamu, tidak perduli berulang kali perselisihan mendera hubungan ini, jangan pernah lepaskan genggaman yang telah terpaut. Seujung kuku-pun aku tidak akan membiarkan tangan lain mengisi ruang di antara kita berdua."Heh, Arin!"Pagi lewat pukul 8 aku berjalan di jalanan kampus yang sudah ramai oleh segala aktivis di segala penjuru. Petugas kebersihan yang sedang
"Barbar banget ni orang baru balik ke kampus, berasa punya dendam terselubung. Ngomong aja sih kak kalau kangen sama kita, nggak usah jambak-jambak rambut Si Kaila, kasian die." Perempuan rambut keriting gantung--atau lebih jelasnya bernama Jeanne itu menyerocos dengan mulut moncong-moncong di sisiku."Ini pertama kalinya lo kayak gini, dan gue harap ini juga terakhir kalinya lo berlaku seenaknya. Malu Rin, malu diliatin yang lain." Bella menambahi.Oke, siapa lagi. Kamala? Aku praktis menoleh pada Kamala, menaikan dua alis dengan tampang menantang. Namun aku lupa, manusia satu inikan sedikit lemot, membuatku mengaduh di dalam hati."Apa kak?" tuhkan."Lo mau komen nggak?" Aku membuang napasku gusar."Nggak." dia menggeleng."Bagus."Aku mempercepat langkahku menuju pintu penghubung dimana kini kami sudah berjalan di bawah atap koridor fakultasku. Aku sedang malas berbicara panjang lebar. Jikalau Jeanne memang pantas berada dimari, aku tidak tahu apa tujuan Bella dan Kamala mengikutik
Pukul 3 lebih 30 menit langit berubah lebih teduh daripada tadi pagi. Termasuk amarahku sedikit demi sedikit menurun, luruh ke bawah ubin, lantas diinjak-injak sampai hirap. Tidak kesebut mendung, tidak juga kesebut cerah. Namun cahaya kemuning dari balik awan cumulus memancar, membentuk lorong perjalanan seakan-akan bisa dilewati orang-orang untuk sampai ke kayangan. Sesekali pesawat melintas, memberi jejak kenang di atas alam.Sedaritadi, menyelingi pandangan dari arah laptop aku tak henti-henti menatap semesta yang kuning. Alam selalu ampuh membuatku menjadi penggemar tetap. Entah keadaan akan hujan, muram, sekalipun berkilauan biru, aku tetap setia menunggu warna-warna itu memancar. Bagiku, hanya modal menatap lintasan awan dan burung di udara adalah bentuk penyembuhan hati disaat gundah. Rasanya selalu ampuh membuatku mabuk-kepayang namun menenangkan.Tak lepas dua telingaku menyala hanya untuk mendengar bacotan ria antara Ratih dan Bella. Sedaritadi dua manusia itu saling bertuk
Sebetulnya, runtunan pesan dari Orick yang aku semat sudah mewanti-wanti diri agar tidak bergerak barang se-senti sebelum dia datang kembali ke kelasnya. Namun ku-peringati agar tidak membawa diriku keluar setelah pertengkaran yang baru saja terjadi antara aku dan Kaila. Bukan apa-apa, selain mengurangi pembicaraan semakin panjang, aku sedang memberi ruang dimana semua ucapannya tadi siang sangatlah kontras. Bukan aku yang cari perhatian, bukan aku yang merebut kasihnya, melainkan Orick sendiri yang tertarik dengan medan magnetku.Alasan terakhir mengapa aku memutuskan pulang mandiri, itu karena Kamala meminta waktuku untuk sekadar bercengkrama. Katanya sih rindu, tapi nyatanya menyebalkan. Coba bayangkan ketika aku tiba di parkiran dan masuk ke dalam mobil, begitu santainya dia mengatakan "hai" dari bangku belakang. Sementara bagiku, kehadirannya bagai hantu sampai keterkejutanku berubah menjadi sial. Aku terlonjak hingga kepalaku menabrak atap mobil. Sial, untung tidak benjol juga.
Sebelum pagi datang, aku pernah melihat wajah nelangsanya menyerah dari luka yang aku toreh entah se-dalam dan se-kelam apa. Dia yang kucinta, dia yang kujaga, ternyata adalah hal yang paling ku-hancurkan sampai berkeping-keping. Dia pemilik rumahku, dia penunggu paling setia, namun aku selalu lupa bahwa aku masih memiliki rumah untuk pulang. Aku lupa kemana arah yang harus ku-tuju.Jika sewaktu-waktu aku kembali melupa, maukah dia menarik tanganku dari jalan yang salah? Bersedia-kah dia untuk selalu menuntunku? Meskipun jejak yang kan terlalui mungkin sedikit mengabur dan tidak berujung. Maukah dia terus berjalan tanpa ujung yang pasti meski denganku?Aku ingin bertanya pada apapun yang dapat mendengar dan melihatku. 90 menit berada di alam mimpi sama dengan berapa hari di alam nyata? Apakah melamun dan terbang bersama haluan bisa dikatakan mimpi? Kalau itu mimpi, mungkin kini aku sedang duduk di lapisan awan mimpi yang paling tinggi.90 menit duduk mendengar mulut dosen tak henti-he
Ini bukan hari kedua setelah aku dan Kaila bertengkar. Jauh berjalan lebih maju, ini hari ketujuh setelah kabar itu melanglang seluruh forum kampus. Dan karena ini hari ketujuh lebih jauh dari kabar itu, aku merasa rinduku lebih meletup panas saat menggandeng lengan Orick. Seakan ada nafsu lebih untuk bermanja dengannya, apalagi melihat jajaran manusia memenuhi meja di kantin, seolah ini adalah waktu yang tepat untuk ku-pamerkan pada dunia; inilah hubunganku. Ku harap mereka melihatnya menggunakan kedua bola mata dan tersadar oleh batin yang waras.Satu pekan tidak bersitatap wajah bersamanya mungkin bukan hal yang buruk. Namun itu juga bukan hal yang bisa dikatakan mudah ketika fokusku tertuang penuh pada sebuah tugas. Separuh otakku bertanya-tanya dalam diam. Apakah dia tak lagi sedang membandingkan dirinya? Apakah dia sudah berhenti dari segala overthinkingnya? Atau jangan-jangan dia minat untuk menyembunyikannya sendiri? Atau bisa jadi dia memang sudah memulih, namun dia melakukan
"Dibilang lagi banyak orang!""Yaudah kita ke hutan ajalah, yuk buruan!""Manja banget sih, mama kamu ngidam apa waktu ngelahirin kamu?""Kodok goreng!""Aaaaa, udah-udah! Pipi aku pegel!" Aku menekan dua rahang pipiku dengan maksud enggan lagi tertawa.Dia akhirnya meluluh. Menit dimana Kak Ida datang lagi untuk memberikan pesanan lengkap, suara Orick berubah berat untuk memerintah diriku. Yang tak kulewatkan karena memang sejujurnya perutku sudah kerubukan. Sehingga jadwal pertama yang kami laksanakan yaitu makan bersama.Aku yang sudah terlampau lapar tak tergugah untuk memotret, bahkan tak ingat kalau aku memiliki sosial media yang cukup untuk ajang pamer. Sementara Orick kebalikannya dari aku. Dia sibuk mengabadikan momen yang terjadi hari ini. Sibuk mengambil angle dari berbagai sudut, termasuk aku yang dia jadikan objek. Lalu semena-mena dia menyombongkan hasilnya yang sudah dia posting lebih dulu di-instagram dengan caption, "puteri-nya kelaparan habis sidang skripsi" lengkap
Satu hari sebelum proses yudisium menimpa mahasiswa tingkat akhir, aku mengabari Orick untuk tidak macam-macam di belakangku. Saat itu, dia hanya membalasnya dengan emotikon tertawa sampai sepuluh totalnya lewat bubble chat.Semenjak Kaila lebih berani untuk menghadapiku, aku mulai was-was kalau dia juga akan se-gencar itu mendekati Orick. Aku tahu cintanya tak selemah anak remaja yang disenggol sekali, hancur sampai ke akar. Aku dan dia punya komitmen dan trik-trik pertahanan dalam negeri untuk menghajar bersama badai di luar. Aku dan dia telah lama mencintai, telah lebih dulu tenggelam, telah lebih awal hancur, dan telah lebih pertama untuk merasakan pahitnya goncangan. Sehingga untuk menerimanya sebagai hadiah kedua kali, aku jelas tahu bagaimana caranya menghindar.Bukannya aku meragukan Orick. Akan tetapi, aku meragu pada wanita gila seperti dia yang bisa menjaga jemarinya agar tak menyentuh milikku. Karena aku paham, jika orang sudah terobsesi oleh napsunya sendiri, dia akan tun