Sekitar pukul 3 sore acara sudah selesai dan kami berbondong-bondong keluar dari auditorium yang luasnya membuatku lelah hanya karena duduk di antara keramaian itu. Namun ku-akui rasa lelah itu sedikit tersamarkan oleh bahagiaku karena berada di tingkat teratas yang sesuai dengan usahaku selama ini. Bahkan bukan hanya aku yang berjuang dimari, melainkan banyak orang yang tanpa kusadari--mereka-lah yang membuatku berada di atas. Termasuk rekan-rekan satu organisasiku yang kini berjalan satu shaf, saling merangkul, lalu tertawa-tawa menyambut hari yang lepas.Ini memang bukan hari akhir dimana kakiku akan pergi menjauh, namun ini adalah tahap akhir dimana tak lama lagi aku meninggalkan kenang tentang masa mudaku di ranah pendidikan. Aku akan keluar membawa segudang materi dan mulai mengaplikasikannya pada dunia nyata. Aku keluar, serta aku berhasil menjelajah dunia yang begitu aku impikan untuk disentuh puncak bintangnya. Statusku akan berubah. Kesibukanku mungkin akan bertambah. Dan ke
Seumpama ikan hidup dalam dua habitat, apa yang akan terjadi dalam hidupnya? Proporsi tubuh yang tidak sesuai untuk bertahan dari para pemangsa, ataukah dia akan bahagia karena bisa melihat luasnya daratan ketimbang dalamnya lautan yang gelap? Bagaimana cara dia berbaur dengan spesies yang lain? Bagaimana caranya dia melawan para predator? Bagaimana caranya menyesuaikan hidup?Jika dia berada di lautan, persentase antara kesakitan dan kebahagiaannya mungkin akan seimbang. Seperti, dia akan pulang pada rumah dan kerabat yang satu. Dia bisa menjadi dirinya sendiri dan berlarian tanpa takut ancaman yang terlalu besar menimpanya. Dia tidak perlu risau, sebab dia-lah penguasa lautan sesungguhnya.Tidak dengan daratan, mungkin dia akan merasa bahagia dalam separuh hati. Sementara kegundahan akan meliputi seluruh hatinya. Ketakutan akan dunia luar, ketakutan akan jalan pulang, ketakutan akan kerabat-kerabat baru, atau praduga-praduga serangan yang berada di luar nalar.Perbandingan-perbandin
Pada satu cuaca dalam kalender yang usang, aku menggeser lembaran dari kilas ke kilas. Menemukan jati diriku yang berbayang untuk sebuah bahagia yang fana. Dari bolpoin yang hitam, berubah menjadi putih. Dari surat yang berhenti, untuk kembali terbang dan menemukan pelabuhan yang layak. Tak kusadari waktu berlalu begitu cepat dari kejadian tragis malam itu, aku telah berlari lebih jauh.Pada musim yang telah berganti dari dingin ke semi, di akhir tahun ini langit berkilau begitu cerah tanpa setetes hujan yang dapat menyentuh permukaan bumi. Aku mengutuk langit untuk tak mengundang hujan sampai kapanpun aku hidup. Aku tidak akan membiarkan suasana itu membendung lagi kehidupanku. Aku benci hujan. Aku benci air. Walau terkadang air mataku sendiri tak bisa kucegah.Mata-mata sinar saling bermunculan dari celah awan, seakan mengajak setiap yang melihat bermain petak umpet. Ledakan-ledakan bak kapas dan permen di angkasa, warna-warni pelangi, serta bentangan yang biru keniscayaan yang tak
"Congraduation!"Sedaritadi, kata itu terus mengudara tak henti-henti bagai sebuah musik wajib untuk hari ini. Setelah penyambutan dan penyerah-terimaan selesai, ketika para wisudawan dibubarkan untuk bebas berkeliaran, pintu ballroom otomatis terbuka dan cahaya matahari dari sana masuk berdebar lebih kencang.Ucapan selamat atas keberhasilan, tangis haru, maupun ledakan confetti bagai taburan bintang mengguncang langit universitas. Aku melihat banyak sekali wajah baru yang datang bergelimangan ke area ini. Entah itu kerabat atau keluarga pihak wisudawan, sekalipun kekasih maupun selingkuha dan jumlah selir yang mereka bawa. Aku tak langsung berhambur ketika tiba di luar, melainkan terpaku di pinggir kusen pintu dengan pandangan lurus pada keramaian orang-orang.Aku tak dapat menemukan dimana keluargaku berada. Jeanne dan Kamala yang telah ku-peringati agar hadir di hari jadi kelulusan ini, tidak nampak batang hidungnya sama sekali. Yang kulihat adalah pundak lain saling berkerumun."
"Kamu kenapa sih, Nar? Tiba-tiba aja kayak gini?"Bagus. Sekarang aku malah terjebak dalam kurungan Orick disaat harusnya aku menikmati cokelat panas yang telah Jeanne siapkan di meja kantin. Semena-mena saja dia menyeretku ke belakang, dan semena-mena menatapku dengan pandangan seperti itu. Apa dia sedang bertanya padaku? Sekali lagi, dia sedang bertanya padaku? Yakinkah dia menanyakan hal itu padaku? Atau memang otak Orick ada yang hilang belakangan ini? Aku tak paham dengan kinerja otak ia."Kalau ada apa-apa tuh bilang sayang, jangan---""Jangan bertanya dulu, tapi biasakan pikir sebelum itu." potongku dengan napas terhembus gusar.Baiklah. Etikanya masih berjalan waras. Untung-untungan dia menarikku ke belakang, kalau kami masih berdiri di teras kafe, bisa-bisa suaraku berakibat pada pecahnya kaca-kaca di sana. Jadi, di sinikah tempat yang halal untuk berkata segalanya?"Apaan Nar? Apaan? Kamu kenapa? Bilang dong, akukan bukan cenayang. Kalau ada apa-apa tuh bilang, Sayang.."Aku
Kemarin malam, Orick duduk di rumahku sampai pukul 10 hanya untuk meladeni bocah Erin yang terus-terusan bertanya tentang dunia perkampusan. Belum lagi bapak dan ibu saling berebut topik dengannya, sedangkan aku sibuk membenahi diri di atas kamar. Pada dasarnya, jika pemuda itu bertandang ke rumah bukan untuk memanjakanku, melainkan anggota keluarga yang lain.Setelah berbincang-bincang dengan keluarga di bawah, dia naik menghampiriku yang sudah menunggu di balkon. Di sana, kami tak banyak bicara. Bungkam lebih keras mendominasi. Yang kami lakukan hanya menatap hamparan langit semakin larut, semakin tentram rasanya. Mendengar satu suara yang sama, yaitu deru kendaraan Jakarta yang mustahil untuk berhenti.Dalam posisi menghadap utara, dua tangan kami saling melilit untuk menghapus dingin. Satu arah tegak-lurus menghitung banyaknya bintang, kemudian bercerita acak seperti hari-hari sebelumnya.Malam itu banyak sekali hal-hal baru yang belakangan ini tak ku-ketahui. Seperti katanya, Ori
Tak perlu waktu berpuluh-puluh jam untuk sampai ke tempat tujuan. Sekitar 3 jam saja kami memakan waktu perjalanan, tanpa macet dan tanpa keluhan panas matahari. Aku yang untung-untungan memilih baju selain hitam, termasuk Orick di sampingku, sehingga tak perlu repot menyalakan suhu ac sampai minus nomornya.Kemarin, aku pikir Orick akan membawaku berlibur jauh seperti daerah Lombok atau Raja Ampat yang diidam-idamkan oleh setiap wisatawan. Bahkan tak dapat kuhindari bayanganku tentang laut yang biru di daerah Papua itu, mungkin aku bisa menghentikan kinerja otakku hanya untuk menikmati hidup yang sesungguhnya. Namun ternyata, dia membaku menepi di daerah yang sama, yang masih terpaut di benakku; Jakarta yang sesak dan menyebalkan.Mulanya sih begitu. Tapi setelah berjalan jauh dan tiba di suatu jalan yang mana pesisir pantai terlihat nyata dari kejauhan, rasa kecewaku pada Jakarta perlahan-lahan memudar. Lapas itu habis dimakan pohon kelapa yang rindang. Aku tergiur melihat jejak-jej
Kami keluar saat matahari berada tepat di atas pucuk kepala. Jam 12 siang menggema, orang-orang bukannya berlalu mencari tempat yang teduh. Melainkan berbondong-bondong berguling di antara pesisir hanya untuk merentangkan tubuh mereka. Di segala sudut, entah bagaimana pakaiannya, mereka terlihat menikmati panas dari matahari yang membulat di tengah-tengah jarum jam. Bahkan hebatnya, anak-anak kecil ikut menjerit bahagia. Tidak seperti aku yang merungkut mundur mencari tempat teduh hanya untuk menonton pertunjukan dimana Orick menghampiri para pemain volly.Tadi di hotel, aku sudah menaburi sunblock ke seluruh permukaan kulitku sebab tak mau pulang-pulang dengan keadaan gosong. Lalu telah ku-peringati Orick lebih dulu, bahwa aku hanya ingin duduk santai sembari menyeruput air degan dan menikmati mata air laut yang biru.Tapi bukannya menikmati, baru tiba duduk di samping pohon ditemani pedagang angkut, dari depan Orick sudah bertingkah yang lain. Membuatku praktis beranjak yakni mengha