"Congraduation!"Sedaritadi, kata itu terus mengudara tak henti-henti bagai sebuah musik wajib untuk hari ini. Setelah penyambutan dan penyerah-terimaan selesai, ketika para wisudawan dibubarkan untuk bebas berkeliaran, pintu ballroom otomatis terbuka dan cahaya matahari dari sana masuk berdebar lebih kencang.Ucapan selamat atas keberhasilan, tangis haru, maupun ledakan confetti bagai taburan bintang mengguncang langit universitas. Aku melihat banyak sekali wajah baru yang datang bergelimangan ke area ini. Entah itu kerabat atau keluarga pihak wisudawan, sekalipun kekasih maupun selingkuha dan jumlah selir yang mereka bawa. Aku tak langsung berhambur ketika tiba di luar, melainkan terpaku di pinggir kusen pintu dengan pandangan lurus pada keramaian orang-orang.Aku tak dapat menemukan dimana keluargaku berada. Jeanne dan Kamala yang telah ku-peringati agar hadir di hari jadi kelulusan ini, tidak nampak batang hidungnya sama sekali. Yang kulihat adalah pundak lain saling berkerumun."
"Kamu kenapa sih, Nar? Tiba-tiba aja kayak gini?"Bagus. Sekarang aku malah terjebak dalam kurungan Orick disaat harusnya aku menikmati cokelat panas yang telah Jeanne siapkan di meja kantin. Semena-mena saja dia menyeretku ke belakang, dan semena-mena menatapku dengan pandangan seperti itu. Apa dia sedang bertanya padaku? Sekali lagi, dia sedang bertanya padaku? Yakinkah dia menanyakan hal itu padaku? Atau memang otak Orick ada yang hilang belakangan ini? Aku tak paham dengan kinerja otak ia."Kalau ada apa-apa tuh bilang sayang, jangan---""Jangan bertanya dulu, tapi biasakan pikir sebelum itu." potongku dengan napas terhembus gusar.Baiklah. Etikanya masih berjalan waras. Untung-untungan dia menarikku ke belakang, kalau kami masih berdiri di teras kafe, bisa-bisa suaraku berakibat pada pecahnya kaca-kaca di sana. Jadi, di sinikah tempat yang halal untuk berkata segalanya?"Apaan Nar? Apaan? Kamu kenapa? Bilang dong, akukan bukan cenayang. Kalau ada apa-apa tuh bilang, Sayang.."Aku
Kemarin malam, Orick duduk di rumahku sampai pukul 10 hanya untuk meladeni bocah Erin yang terus-terusan bertanya tentang dunia perkampusan. Belum lagi bapak dan ibu saling berebut topik dengannya, sedangkan aku sibuk membenahi diri di atas kamar. Pada dasarnya, jika pemuda itu bertandang ke rumah bukan untuk memanjakanku, melainkan anggota keluarga yang lain.Setelah berbincang-bincang dengan keluarga di bawah, dia naik menghampiriku yang sudah menunggu di balkon. Di sana, kami tak banyak bicara. Bungkam lebih keras mendominasi. Yang kami lakukan hanya menatap hamparan langit semakin larut, semakin tentram rasanya. Mendengar satu suara yang sama, yaitu deru kendaraan Jakarta yang mustahil untuk berhenti.Dalam posisi menghadap utara, dua tangan kami saling melilit untuk menghapus dingin. Satu arah tegak-lurus menghitung banyaknya bintang, kemudian bercerita acak seperti hari-hari sebelumnya.Malam itu banyak sekali hal-hal baru yang belakangan ini tak ku-ketahui. Seperti katanya, Ori
Tak perlu waktu berpuluh-puluh jam untuk sampai ke tempat tujuan. Sekitar 3 jam saja kami memakan waktu perjalanan, tanpa macet dan tanpa keluhan panas matahari. Aku yang untung-untungan memilih baju selain hitam, termasuk Orick di sampingku, sehingga tak perlu repot menyalakan suhu ac sampai minus nomornya.Kemarin, aku pikir Orick akan membawaku berlibur jauh seperti daerah Lombok atau Raja Ampat yang diidam-idamkan oleh setiap wisatawan. Bahkan tak dapat kuhindari bayanganku tentang laut yang biru di daerah Papua itu, mungkin aku bisa menghentikan kinerja otakku hanya untuk menikmati hidup yang sesungguhnya. Namun ternyata, dia membaku menepi di daerah yang sama, yang masih terpaut di benakku; Jakarta yang sesak dan menyebalkan.Mulanya sih begitu. Tapi setelah berjalan jauh dan tiba di suatu jalan yang mana pesisir pantai terlihat nyata dari kejauhan, rasa kecewaku pada Jakarta perlahan-lahan memudar. Lapas itu habis dimakan pohon kelapa yang rindang. Aku tergiur melihat jejak-jej
Kami keluar saat matahari berada tepat di atas pucuk kepala. Jam 12 siang menggema, orang-orang bukannya berlalu mencari tempat yang teduh. Melainkan berbondong-bondong berguling di antara pesisir hanya untuk merentangkan tubuh mereka. Di segala sudut, entah bagaimana pakaiannya, mereka terlihat menikmati panas dari matahari yang membulat di tengah-tengah jarum jam. Bahkan hebatnya, anak-anak kecil ikut menjerit bahagia. Tidak seperti aku yang merungkut mundur mencari tempat teduh hanya untuk menonton pertunjukan dimana Orick menghampiri para pemain volly.Tadi di hotel, aku sudah menaburi sunblock ke seluruh permukaan kulitku sebab tak mau pulang-pulang dengan keadaan gosong. Lalu telah ku-peringati Orick lebih dulu, bahwa aku hanya ingin duduk santai sembari menyeruput air degan dan menikmati mata air laut yang biru.Tapi bukannya menikmati, baru tiba duduk di samping pohon ditemani pedagang angkut, dari depan Orick sudah bertingkah yang lain. Membuatku praktis beranjak yakni mengha
"Nar, tolong buka pintu balkonnya, aku gerah."Setelah bermain cukup lama di sana, dan kami berlarian mengejar pedagang balon seperti anak kecil. Aku dan Orick tidak khawatir merasa lapar, serta aku tak khawatir untuk memasak dimari sebab kami di sana sudah makan lebih dulu. Kurang lebih makanan laut dan degan sampai dua batok, perutku terasa begitu kembung. Hingga sekembalinya ke hotel, aku bisa beristirahat dan memanfaatkan waktu untuk keperluan lain.Sudah cukup lama sedari berhentinya ia bermain volly, namun keringatnya masih terus bercucuran akibat suhu panas di sini yang habis-habisan membakar kami. Aku menuruti perintahnya untuk membuka pintu balkon, dan langsung diserbu angin gelebug dari ketinggian lantai 10."Capek banget gila, tapi seru sih." ungkapnya membuat aku terkekeh.Ya bagaimana tidak lelah? Sedaritadi dia terus mengajakku berlarian di area pesisir sembari melakukan vlog. Belum lagi berlomba membangun istana pasir, dan berakhir karena aku juara, dia sendiri yang mer
"Kan kita bawa makanan juga dari rumah, nggak inget?""Nggak."Aku hanya bisa bergeleng-geleng kepala menanggapinya. Sembari menggigit potongan sandwich, aku membuka satu bungkus kerak telor yang terasa masih panas. Dari harumnya saja sudah menggoda perut menjadi keroncongan. Dan tanpa ragu ku comot beberapa bagian itu."Coba, mau lihat hasil jepretannya." Aku berjalan mendekatinya untuk merampas kamera yang tergolek di sisinya.Bergilir dia kembali beranjak ke depan meja telivisi untuk melahap kerak telor bawaannya. Sementara aku mulai tergugah dengan hasil foto yang dia ambil. Suasana gelap bercampur langit putih, lekas ceruk arunika yang dia ambil dari sudut kiri begitu sempurna. Aku tahu Orick lebih handal dalam persoalan menjepret. Bahkan aku pernah menitahnya untuk memasuki dunia fotografi, lumayan karyanya ini bisa diperjual-belikan. Ah ralat, Orick memang segala bisa dalam segala bidang. Aku kadang bingung, mengapa pria se-sempurna dia harus menyandingiku?"Hei, kok ngelamun?"
Dan seakan paham apa keinginanku, ketika tanganku menarik jemarinya, aku berputar sembari tertawa riang. Kami menari tanpa gerakan yang kompulsif. Mengikuti arah mata angin yang bergerombol datang seakan sengaja menjamu kami berdua. Di bawah senja tanpa bayangan, di antara sepi dan ramai, hanya aku yang menggenggam tangannya sekuat ini. Sekuat takdir dan impian.Seumpama yang kamu lihat di masa depan bukanlah aku, itu bukan masalah yang cukup besar. Suatu saat, kenangan ini akan kutaruh dalam kepalamu. Mungkin akan terasa menyakitkan, tapi percayalah ini adalah kisah yang takkan bisa kau elak.Sekarang, bukankah ini yang kita sebut bahagia?Aku tak bisa memalingkan wajahku dari mata senjanya. Terpatri nyata begitu jingga bersama harapan yang besar. Dia tersenyum, aku melebihinya. Entah harus berapa kali kutuliskan bahwa aku amat mencintainya. Entah harus sedalam apa aku menyimpan gelora kasih yang tak bisa ku-hadiahi dalam bentuk lisan. Entah harus selama apalagi aku merekamnya agar
Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari
"ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"
Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se
"Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter
Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap
"Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya
"Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y
Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk
Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid