"Dibilang lagi banyak orang!""Yaudah kita ke hutan ajalah, yuk buruan!""Manja banget sih, mama kamu ngidam apa waktu ngelahirin kamu?""Kodok goreng!""Aaaaa, udah-udah! Pipi aku pegel!" Aku menekan dua rahang pipiku dengan maksud enggan lagi tertawa.Dia akhirnya meluluh. Menit dimana Kak Ida datang lagi untuk memberikan pesanan lengkap, suara Orick berubah berat untuk memerintah diriku. Yang tak kulewatkan karena memang sejujurnya perutku sudah kerubukan. Sehingga jadwal pertama yang kami laksanakan yaitu makan bersama.Aku yang sudah terlampau lapar tak tergugah untuk memotret, bahkan tak ingat kalau aku memiliki sosial media yang cukup untuk ajang pamer. Sementara Orick kebalikannya dari aku. Dia sibuk mengabadikan momen yang terjadi hari ini. Sibuk mengambil angle dari berbagai sudut, termasuk aku yang dia jadikan objek. Lalu semena-mena dia menyombongkan hasilnya yang sudah dia posting lebih dulu di-instagram dengan caption, "puteri-nya kelaparan habis sidang skripsi" lengkap
Satu hari sebelum proses yudisium menimpa mahasiswa tingkat akhir, aku mengabari Orick untuk tidak macam-macam di belakangku. Saat itu, dia hanya membalasnya dengan emotikon tertawa sampai sepuluh totalnya lewat bubble chat.Semenjak Kaila lebih berani untuk menghadapiku, aku mulai was-was kalau dia juga akan se-gencar itu mendekati Orick. Aku tahu cintanya tak selemah anak remaja yang disenggol sekali, hancur sampai ke akar. Aku dan dia punya komitmen dan trik-trik pertahanan dalam negeri untuk menghajar bersama badai di luar. Aku dan dia telah lama mencintai, telah lebih dulu tenggelam, telah lebih awal hancur, dan telah lebih pertama untuk merasakan pahitnya goncangan. Sehingga untuk menerimanya sebagai hadiah kedua kali, aku jelas tahu bagaimana caranya menghindar.Bukannya aku meragukan Orick. Akan tetapi, aku meragu pada wanita gila seperti dia yang bisa menjaga jemarinya agar tak menyentuh milikku. Karena aku paham, jika orang sudah terobsesi oleh napsunya sendiri, dia akan tun
Sekitar pukul 3 sore acara sudah selesai dan kami berbondong-bondong keluar dari auditorium yang luasnya membuatku lelah hanya karena duduk di antara keramaian itu. Namun ku-akui rasa lelah itu sedikit tersamarkan oleh bahagiaku karena berada di tingkat teratas yang sesuai dengan usahaku selama ini. Bahkan bukan hanya aku yang berjuang dimari, melainkan banyak orang yang tanpa kusadari--mereka-lah yang membuatku berada di atas. Termasuk rekan-rekan satu organisasiku yang kini berjalan satu shaf, saling merangkul, lalu tertawa-tawa menyambut hari yang lepas.Ini memang bukan hari akhir dimana kakiku akan pergi menjauh, namun ini adalah tahap akhir dimana tak lama lagi aku meninggalkan kenang tentang masa mudaku di ranah pendidikan. Aku akan keluar membawa segudang materi dan mulai mengaplikasikannya pada dunia nyata. Aku keluar, serta aku berhasil menjelajah dunia yang begitu aku impikan untuk disentuh puncak bintangnya. Statusku akan berubah. Kesibukanku mungkin akan bertambah. Dan ke
Seumpama ikan hidup dalam dua habitat, apa yang akan terjadi dalam hidupnya? Proporsi tubuh yang tidak sesuai untuk bertahan dari para pemangsa, ataukah dia akan bahagia karena bisa melihat luasnya daratan ketimbang dalamnya lautan yang gelap? Bagaimana cara dia berbaur dengan spesies yang lain? Bagaimana caranya dia melawan para predator? Bagaimana caranya menyesuaikan hidup?Jika dia berada di lautan, persentase antara kesakitan dan kebahagiaannya mungkin akan seimbang. Seperti, dia akan pulang pada rumah dan kerabat yang satu. Dia bisa menjadi dirinya sendiri dan berlarian tanpa takut ancaman yang terlalu besar menimpanya. Dia tidak perlu risau, sebab dia-lah penguasa lautan sesungguhnya.Tidak dengan daratan, mungkin dia akan merasa bahagia dalam separuh hati. Sementara kegundahan akan meliputi seluruh hatinya. Ketakutan akan dunia luar, ketakutan akan jalan pulang, ketakutan akan kerabat-kerabat baru, atau praduga-praduga serangan yang berada di luar nalar.Perbandingan-perbandin
Pada satu cuaca dalam kalender yang usang, aku menggeser lembaran dari kilas ke kilas. Menemukan jati diriku yang berbayang untuk sebuah bahagia yang fana. Dari bolpoin yang hitam, berubah menjadi putih. Dari surat yang berhenti, untuk kembali terbang dan menemukan pelabuhan yang layak. Tak kusadari waktu berlalu begitu cepat dari kejadian tragis malam itu, aku telah berlari lebih jauh.Pada musim yang telah berganti dari dingin ke semi, di akhir tahun ini langit berkilau begitu cerah tanpa setetes hujan yang dapat menyentuh permukaan bumi. Aku mengutuk langit untuk tak mengundang hujan sampai kapanpun aku hidup. Aku tidak akan membiarkan suasana itu membendung lagi kehidupanku. Aku benci hujan. Aku benci air. Walau terkadang air mataku sendiri tak bisa kucegah.Mata-mata sinar saling bermunculan dari celah awan, seakan mengajak setiap yang melihat bermain petak umpet. Ledakan-ledakan bak kapas dan permen di angkasa, warna-warni pelangi, serta bentangan yang biru keniscayaan yang tak
"Congraduation!"Sedaritadi, kata itu terus mengudara tak henti-henti bagai sebuah musik wajib untuk hari ini. Setelah penyambutan dan penyerah-terimaan selesai, ketika para wisudawan dibubarkan untuk bebas berkeliaran, pintu ballroom otomatis terbuka dan cahaya matahari dari sana masuk berdebar lebih kencang.Ucapan selamat atas keberhasilan, tangis haru, maupun ledakan confetti bagai taburan bintang mengguncang langit universitas. Aku melihat banyak sekali wajah baru yang datang bergelimangan ke area ini. Entah itu kerabat atau keluarga pihak wisudawan, sekalipun kekasih maupun selingkuha dan jumlah selir yang mereka bawa. Aku tak langsung berhambur ketika tiba di luar, melainkan terpaku di pinggir kusen pintu dengan pandangan lurus pada keramaian orang-orang.Aku tak dapat menemukan dimana keluargaku berada. Jeanne dan Kamala yang telah ku-peringati agar hadir di hari jadi kelulusan ini, tidak nampak batang hidungnya sama sekali. Yang kulihat adalah pundak lain saling berkerumun."
"Kamu kenapa sih, Nar? Tiba-tiba aja kayak gini?"Bagus. Sekarang aku malah terjebak dalam kurungan Orick disaat harusnya aku menikmati cokelat panas yang telah Jeanne siapkan di meja kantin. Semena-mena saja dia menyeretku ke belakang, dan semena-mena menatapku dengan pandangan seperti itu. Apa dia sedang bertanya padaku? Sekali lagi, dia sedang bertanya padaku? Yakinkah dia menanyakan hal itu padaku? Atau memang otak Orick ada yang hilang belakangan ini? Aku tak paham dengan kinerja otak ia."Kalau ada apa-apa tuh bilang sayang, jangan---""Jangan bertanya dulu, tapi biasakan pikir sebelum itu." potongku dengan napas terhembus gusar.Baiklah. Etikanya masih berjalan waras. Untung-untungan dia menarikku ke belakang, kalau kami masih berdiri di teras kafe, bisa-bisa suaraku berakibat pada pecahnya kaca-kaca di sana. Jadi, di sinikah tempat yang halal untuk berkata segalanya?"Apaan Nar? Apaan? Kamu kenapa? Bilang dong, akukan bukan cenayang. Kalau ada apa-apa tuh bilang, Sayang.."Aku
Kemarin malam, Orick duduk di rumahku sampai pukul 10 hanya untuk meladeni bocah Erin yang terus-terusan bertanya tentang dunia perkampusan. Belum lagi bapak dan ibu saling berebut topik dengannya, sedangkan aku sibuk membenahi diri di atas kamar. Pada dasarnya, jika pemuda itu bertandang ke rumah bukan untuk memanjakanku, melainkan anggota keluarga yang lain.Setelah berbincang-bincang dengan keluarga di bawah, dia naik menghampiriku yang sudah menunggu di balkon. Di sana, kami tak banyak bicara. Bungkam lebih keras mendominasi. Yang kami lakukan hanya menatap hamparan langit semakin larut, semakin tentram rasanya. Mendengar satu suara yang sama, yaitu deru kendaraan Jakarta yang mustahil untuk berhenti.Dalam posisi menghadap utara, dua tangan kami saling melilit untuk menghapus dingin. Satu arah tegak-lurus menghitung banyaknya bintang, kemudian bercerita acak seperti hari-hari sebelumnya.Malam itu banyak sekali hal-hal baru yang belakangan ini tak ku-ketahui. Seperti katanya, Ori