Bagaimana bisa hidup ini berlalu begitu cepat. Masa-masa indah menjadi kenangan. Tangis bayi di kamar persalinan sudah berganti menjadi keluh kesah di masa dewasa. Masa kanak-kanak berganti menjadi kesendirian. Hampir setiap hari keputusan diperlukan. Moment-moment hidup tidak lagi membuat antusias. Perlahan-lahan hidup pun tidak bergerak, hanya dunia yang terus bergerak tidak mau menunggu.
Diantara awal perubahan hingga menuju titik terendah lagi, ada jembatan penghubung. Ada proses berbentuk jembatan menghubungkan awal dan akhir. Di jembatan itulah kehidupan kita yang sebenarnya terjadi. Di jembatan itulah awal mengantar kita ke akhir selangkah-demi selangkah. Awal dan akhir semuanya keputusan Tuhan. Akan tetapi, pilihan tetap di tangan kita sendiri.
Jembatanku akan kubuka, kuceritakan pada kalian semua. Jembatanku penuh cerita. Jadi, akan kuambil yang terbaik menurutku untuk kuceritakan pada kalian.
Jembatan itu...telah dibuka....
***
19 tahun lalu di kota Bandung yang dingin dalam sebuah keluarga penuh tawa bahagia, aku lahir sebagai anak tunggal. Awalnya sebagai anak tunggal menyenangkan. Semua perhatian, kasih sayang dan kehidupan orangtuaku hanya tercurah padaku saja. Segala sesuatunya tersedia. MEreka menajdi tamengku di setiap saat. Tetapi, segala sesuatunya dalam hidupku juga hampir selalu diputuskan oleh orangtuaku. Setiap pilihan ada mereka di dalamnya walau aku sendiri sebenarnya bisa memutuskan apa yang kumau. Ini itu mereka pasti tahu. Hampir tidak pernah mereka kelolosan. Hanya sekali saja saat aku memakan permen gulali yang dijual pinggir jalan, itu pun beberapa hari berikutnya gigiku sakit. Untung saja aku tetap bisa menyembunyikan semuanya. Hahaha...
Saat itu mungkin karna aku masih kecil, masih tinggal bersama mereka. Jadi, secara langsung dan tidak langsung, aku masih bergantung pada mereka. Sekarang setelah seragam putih abu-abu lepas dari kehidupan remajaku, aku akhirnya bisa memutuskan sendiri apa yang inginku kejar. Pertamakalinya dalam hidupku, suaraku tidak dibantah oleh mereka. Mereka melepaskan kekuasaan mereka, tidak mau mencampuri impianku.
Jurusan Arsitektur di salah satu universitas negeri terbaik di Jakarta adalah salah satu pilihan itu. Berasal dari keluarga yang berkecimpung di dunia design dan bangunan sedikit banyaknya menjadi inspirasi untuk terjun kedalam dunia Arsitektur.
Maka ketika namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus dalam Universitas ini, aku dan orang tuaku sangat bahagia, mereka bahkan membangga-banggakanku didepan keluarga yang lain. Walau akhirnya harus menerima resiko jauh dari orang tua dan mencoba hidup mandiri di kota Jakarta ini, aku tetap pada pilihanku.
Awalnya mereka sangat berat melepas. Tapi jurus maut rayuan yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari beserta ribuan alasan pendukung lainnya, mereka pada akhirnya menyetujuinya. Aku resmi menjadi anak rantau di Jakarta. Bergabung bersama ribuan mahasiswa-mahasiswi rantau lainnya. Di sinilah awal kehidupan versi dewasa...dimulai.
Khususnya pasti kehidupan percintaanku juga. Mengingat aku belum pernah pacaran sebelumnya, ini pasti perjalanan yang akan menyenangkan. Semuanya serba pertamakali.
***
Pagi ini, hari pertama kuliah secara resmi dimulai setelah melalui MOS berjilid-jilid. Dalam perjanjian antara diri dan komitmenku tadi malam untuk menjadi mahasiswa disiplin yang selalu menebarkan hal-hal positif disetiap langkah, aku sudah merencanakan agar pagi ini menjadi mahasiswi pertama yang hadir di kelas, duduk paling depan, menyetorkan wajah sumringah pada dosen dan tentu saja mencari perhatiannya. Agar kehidupan kuliahku mulus lancar jaya. Itulah pikiran licikku....
Dan....
Disinilah aku sekarang....
Di depan kelas ditemani tatapan mengejek mahasiswa-mahasiswi lainnya dipimpin oleh dosen yang kuperkirakan sudah mempunyai cucu ini. Nafasku masih ngos-ngosan efek lomba lari antara aku dan jarum jam tanganku tadi saat menuju kesini.
Aku harus mengungsi keluar setelah diceramahi dengan kata-kata setajam silet. Sebelumnya aku juga harus mengucapkan janji untuk tidak mengulanginya lagi di depan kelas. Tidak ada bendera putih tidak ada toleransi sebagai sesama makhluk hidup yang sama-sama tidak sempurna. Aku melangkah gontai.
"Bagus. This is my first day and it’s toooooo....awesome"
***
Langkah gontai membawaku sampai di perpustakaan kampus.
Sepi.
Sepi sekali.
Tidak ada terlihat satu manusia pun termasuk penjaga perpustakaannya. Aku tidak tahu apa ada orang di ruangan di balik sekat kayu di depanku sana. Podium kebanggaan setiap penjaga perpustakaan di depan sekat itu pun kosong. Tidak ada orang.
"Hellooo anybody home" teriakku dari pintu perpus.
"Ssstt ini perpustakaan bukan terminal. Pake teriak-teriak segala" Sesosok tubuh gemuk dan gempal muncul dari belakangku, sukses mengagetkan.
"Eh maaf bu. Saya kira tidak ada orang. Soalnya sepi banget"
“Namanya juga perpustakaan, memang kamu kira diskotik?"
"Hehe” aku menggaruk kepala “Kalau begitu saya permisi mau masuk dulu, bu" aku melangkah masuk disertai tajamnya kedua matanya.
Brug!
"Aduh!!!" rasa nyeri membungkus lututku. Aku tidak sengaja menyandung kakiku sendiri.
"Ckckckck neng neng...udah teriak-teriak ga jelas, jatuh lagi....kamu itu dari planet mana sih neng???!!!" Ibu gemuk itu menceramahi sambil membantu berdiri.
Hampir saja jantung kami copot, saat sesosok tubuh tiba-tiba sudah berdiri dihadapan kami.
"Astaganaga ular naga panjangnya...astaga pak...anda bikin terkejut saja tiba-tiba sudah ada disitu"
Pria berjambang yang kelihatan sangat mempesona dengan kemeja biru dan celana hitamnya itu pun sedikit tersenyum.
"Maaf bu Nilam, saya sedang buru-buru, dari tadi saya sudah menunggu anda disini. Saya ingin mengambil titipan saya"
"Oh ia titipan...ok ok tunggu sebentar pak" ujarnya sambil tergesa-gesa berlalu.
"Oooh ibu Nilam namanya..."
"Mahasiswa baru?"
"Hmm? Saya maksudnya, pak?"
"Bukan...."
"Trus?"
"Tembok" ujarnya ketus menunjuk tembok dengan dagunya.
"Aiih apa-apaan sih, pak" ujarku sambil memonyongkan bibirku.
Pria itu menoleh dan menatap dengan dinginnya tepat dimataku. Ditengah detak jantungku yang berderam tak terkendali karena tatapan yang tak terduga itu, secara tiba-tiba si bapak dengan dagu dan pipi brewokan itu mengedipkan mata kanannya yang seksi.
Duarrrr!!!!!
Walaupun aku tidak yakin itu kedipan atau apa, tapi terlanjur jantungku meledak seperti kembang api tahun baruan. Mataku hanya bisa berkedap-kedip. Kalau benar itu kedipan, bukankah seharusnya itu adalah hal mesum yang harus kuhindari? Aku terlalu muda untuk dijadikan sasaran kedipan mesum itu. Tapi kenapa aku malah mematung dengan sejuta ledakan kembang api di otakku seperti ini?
“Kamu ga kenal saya, ya?”
Mataku membelalak. Di tengah-tengah kembang api yang berubah menjadi kobaran api itu pertanyaannya terasa sangat janggal. Sudah sangat jelas aku baru pertamakali bertemu dengannya disini. Di tempat ini. Tidak ada satu pun atribut-atribut wajahnya yang bisa kukenali.
"Pak, ini titipannya" Bu Nilam datang menyerahkan buku tebal berwarna coklat kuno dan usang membuyarkan kembang api tahun baruan barusan.
"Terimakasih bu Nilam...saya permisi dulu" pria itu pun melangkah pergi tanpa menoleh padaku yang masih terbakar ini.
"Sama-sama pak..." ibu Nilam tersenyum genit. NAda suaranya juga di buat-buat genit. Ekspresiku seketika berubah menjadi datar kembali.
Demi menenangkan perutku yang sudah bersiap-siap memuntahkan isinya ini, aku mengurungkan niat lebih lama berada disitu. Segera aku permisi melangkah cepat keluar dari situ. Kantin mungkin saja bisa menenangkan pikiran ini.
***
"Hey Muffin!"
Baru 3 langkah dari perpustakaan aku mendengar seseorang memanggil. Ternyata masih ada yang mengenalku si introvert ini.
Muffin??? Nama yg aneh bukan? Yah itu adalah namaku, Muffin Akredita. Entah terinspirasi dari mana orang tuaku menamaiku seperti itu, yang jelas, nama Muffin telah membawaku menjadi orang yang sedikit populer (lebih tepatnya diejek "kue" karena muffin tentu saja adalah sejenis kue). Ejekan itu di mulai saat aku TK. Kepopuleran itu mereda saat memasuki kuliah. Ternyata masih banyak nama-nama aneh mahasiswa lainnya di universitas ini. Itu membuatku lega karena akhirnya beban kepopuleranku berkurang, terkikis oleh mereka-mereka yang bernasib sama.
Dulu aku suka berandai-andai. Seandainya aku konglomerat, aku berencana mengumpulkan orang-orang yang ebrnasib sama denganku, membuat pesta tujuh hari tujuh malam bersama mereka, atau bila aku punya sihir, aku akan mengubah nama semua orang menjadi seaneh bahkan lebih aneh dari namaku. Kalau perlu, bila aku menjadi presiden aku akan membuat peraturan agar semua bayi yang lahir harus diberi nama lebih aneh dari namaku. Mungkin darah Kim Jong Un sudah mengalir deras di dalam tubuhku ini.
Aku mendapati sesosok tubuh kurus kering berambut hitam legam lurus panjang sedang berlari menuju ke arahku.
"Ariana!!!" aku sedikit berlari menyambutnya. Kami pun menyalurkan rasa rindu lewat pelukan sambil melompat-lompat seperti anak kecil.
"Hey...kemana aja, sih Muffin Akredita...ga pernah ngasih kabar lagi"
Ariana Santosa, adalah sahabatku sejak SMP. Memasuki SMA dia pindah ke Prancis meninggalkanku sendiri dalam sepi dan keheningan malam (abaikan!!!). Sampai SMA kami masih sering saling memberi kabar, tapi sejak memasuki masa UN dan sampai saat sebelum dia menyapaku tadi, kami tak pernah berhubungan lagi. Oh ia dia adalah mantan pacar tetanggaku, mas Panji (aku kira ini tidak terlalu penting).
"Iya...maaf Ri aku sibuk banget. Eh kamu juga kuliah disini?" ucapku setelah kami melepas pelukan kami.
"Cieelah yg calon wanita karier. Ia kuliah disini"
"Hehehe...eh kapan nyampenya?"
"Udah dari beberapa bulan lalu keless"
"Ish... kenapa ga bilang-bilang"
"Nomor & bbmmu ga aktif. Kayanya Inbox f* dan dm twitter plus igmu udah penuh gegara pesan dariku...kamunya aja yang ga peka, wuu..."
"Ia tah? Hehehe maaf-maaf gara-gara ujian aku ga pernah ngisi kuota buat ngecek sosmed lagi. Nomor juga udah ganti" aku menunjukkan cengiran plus penyesalan.
"Hmm...ya udah, berarti sudah jelas, kan, siapa yang ga bisa dihubungi sama sekali. Eh aku laper nih cari makan, yuk, sambil kangen-kangenan"
"Yukk"
Dengan otakku yang mungkin saat itu sedang kosong dan tidak berbobot sama sekali, aku pun mengiyakan ajakan best friendku itu tanpa ingat bahwa 1 jam lagi masih ada mata kuliah yang menanti.
Tapi apa kau tahu? Bahwa kebodohan ini adalah awal kedua dari proporsi proses cinta di novel ini. Kau harus meneruskan kegiatanmu membacanya. :).
***
Di sinilah aku lagi...
Di depan kelas yang sama seperti tadi, dengan tatapan dari mahasiwa-mahasiswi lainnya lagi, masih dipimpin oleh satu tatapan dosen juga. Bedanya, dosen kali ini tidak asing. Tatapan dinginnya itu adalah milik pria yang bertemu denganku di perpustakaan tadi. Si pemilik kedipan mesum.
"Keluar!"
"Hah??" teriakku. Buru-buru kututup mulutku yang menganga saat dia semakin menajamkan matanya.
"Keluar...temui saya setelah mata kuliah ini selesai"
Tanpa memperpanjang masalah lagi, aku pun langsung berlari kecil keluar.
Apes untuk kedua kalinya dalam satu hari di hari pertama kuliah. Mahasiswa disiplin apanya? Menebarkan hal-hal positif apanya?. Kuacak-acak rambutku.
***
Inilah pembelakaanku.Sebenarnya...ditengah-tengah perbincanganku dengan Ariana tadi, aku sudah sadar masih ada 1 Mata Kuliah lagi. Tetapi...saat mendengar curhatan Ariana tentang kedua orang tuanya yang sudah bercerai saat di Prancis, lalu dia lebih memilih kembali ke Indonesia tinggal di rumah neneknya yang tak jauh dari kampus, aku jadi tidak tega meninggalkannya. Setidaknya aku harus menghibur dan memberikan semangat padanya, karena saat dia merasa sangat terpuruk waktu itu aku sebagai sahabatnya tidak ada disampingnya.Barulah, saat temannya mengirimkan pesan bahwa dosen sudah datang, aku bisa melepaskan diri darinya. Tapi itu sudah 35 menit berlalu dari jam Mata kuliah si dosen brewok itu. Maka, sekencang apapun tadi aku berlari tetap saja terlambat.“Hufth...Tapi setidaknya, yah, seharusnya dia bisa menghargai usahaku yang tetap berusaha menghadiri mata kuliahnya. Apalagi aku mahasiswa baru. Harusnya para dosen-dosen itu bisa mentolerirlah. Di
Merantau jauh dari orang tua walau hanya beda provinsi, di satu sisi membuatku senang karna aku bisa bebas menjalani hari-hariku tanpa di awasi oleh orangtua, tanpa pertanyaan ini itu, tanpa larangan ini itu. Di sisi lain, segala sesuatunya benar-benar kulakukan sendiri dari mulai membuat sarapan, membersihkan kosan, mengisi listrik, memperbaiki kalau ada yang rusak dan sebagainya. Semua serba sendiri. Kalau di rumah orang tua dan pembantu sudah siap siaga, di sini tangan dan otakku harus siap siaga mengantisipasi segala sesuatu yang memerlukan perbaikan.Sesekali kalau lagi malas, membeli makan di luar sudah jadi salah satu kebiasaanku. Tak kusangka makanan di warteg, nasi padang, pecel ayam, fried chicken dan jajanan di pinggir jalanan bisa seenak. Selama ini orang tuaku tidak pernah mengizinkanku memakan makanan-makanan itu. Mereka bilang makanan-makanan itu tidak higienis.Kalau dari dulu aku tahu ada makanan seenak itu, aku pasti ti
Ada 3 unsur wajib dalam merancang bangunan. Unsur keindahan, unsur kekuatan dan unsur fungsi bangunan. Simple sekali memang. Seharusnya begitu. Tetapi bila yang menjelaskan itu adalah dia, si Mr. Brewok itu, semuanya memantul setelah menyentuh kulit jidatku. Belum sempat penjelasannya itu di proses di dalam otak, kulitku sudah mengusir mereka semua pergi seakan-akan itu akan membuat hidupku semakin tidak karuan. Tidak ada satu pun penjelasan darinya yang bisa kumengerti. Pikiranku sibuk mencari-cari cara bagaimana caranya menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Terutama menjelaskan curhatan colongan di perpustakaan. Hanya mata kuliahnya saja yang membuatku gelisah dan gusar. Padahal sebenarnya tidak ada kesulitan yang berarti. Mata kuliah lain yang bahkan tingkat kesulitannya ada yang jauh lebih tinggi saja masih bisa kukuasai meski megap-megap. Selama 1 bulan ini, di luar semua berjalan normal seperti biasa karena aku juga tidak mau bertemu dan tidak berusaha untuk bertemu dengannya. B
"Dia itu duda, Fin. Duda tanpa anak" ujar Ariana. Dia menginap di kosanku. "Ah serius lo? Tau dari mana?" tanyaku tak percaya pada Ariana. "Ya elah semua penghuni kampus juga tahu kali, kecuali elu kayanya" "Ia, tah? Apa karna aku udah terlanjur bete sama dia kali, ya?” “Maybe” “Trus istrinya kemana?" "Nah itu dia, sampai sekarang belum ada yang tau mantan istrinya siapa. Dia baru 2 tahun disini dan waktu dia pindah kesini juga dia udah jadi duda makanya ga banyak yang tau tentang hal yang privasi seperti itu" "Ooo jadi dia baru 2 tahun disini. Trus trus ada gosip-gosip apa lagi tentang dia?" "Hmm...wait...wait...wait...Lo suka, yah, sama dia?" tanya Ariana sambil mengunyah keripik singkong yang kami beli di supermarket tadi sore. “Suka? Sebel sih lebih tepatnya” “Sebel bisa kadi suka loh ujung-ujungnya” “Gila mana mungkinlah. Gue masih kecil, Nana” “Trus emang anak kecil ga boleh suka-sukaan gitu?” “Ya, ga sama dosen juga kali” “Itu kan menurut, lo. Coba deh menurut hati
Ada panggilan masuk dari bu Nilam saat aku mengantar Ariana ke pagar kosan. Dia menginap di kosanku lagi setelah kami pergi ke Dufan kemarin. Untung saja Ojek online Ariana sudah menunggu sedari tadi dan tidak perlu menunggu lama aku pun mengangkat panggilan itu. Oh ia aku dan bu Nilam sudah saling mengenal karena sering bolak-balik ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Bu Nilam ternyata orang yang ramah dan sangat asyik diajak ngobrol. Semua topik-topik pembicaraan bisa dia ikuti. Dari pembahasan yang sudah ketinggalan jaman hingga yang up to date. Kami berbincang hanya sekali-sekali dan tidak membahas hal-hal privasi. Dari bu Nilam juga aku berkenalan dengan Miss Gracelia Handoko, wanita yang lebih mirip artis dari pada jadi penghuni kampus, juga yang dikabarkan sedang PDKT dengan si Mr. Brewok tentunya. Saat tau dia adalah dosen Bahasa Inggris di fakultas Psikologi aku sempat benar-benar kagum padanya. Tapi, setelah mendengar cerita Ariana, rasa kagumku berkurang begitu saja. Sig
"Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi. "Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya. "Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil. "Grace..."
Hari-hari dikampus pun semakin indah setelah insiden romantis pelukan yang tidak sengaja itu. Angan-anganku berubah untuk bisa selalu bertemu dengannya setiap kali melangkahkan kaki di lingkungan kampus. Terkadang aku nekat untuk hanya sekedar lewat didepan ruangannya, tentunya setelah mempersiapkan alasan-alasan yang konkrit bila bertemu seseorang atau bahkan bila kebetulan bertemu dengannya saat melakukan aksi itu. Aku tau ini semua salah juga berlebihan. Aku tau dengan mengejarnya seperti ini takkan mengubah kata-kata DO di urutan-urutan efek cinta ini. Tapi kata hatikulah yang selalu mendorongku. Bila hampir semua orang membenci hari Senin, aku justru sebaliknya, hari Senin adalah hari favoriteku. Kalau saja semua hari berubah menjadi hari Senin pasti aku sangat-sangat bahagia. Kenapa? Karena di hari Senin tepatnya mata kuliah jam kedua adalah mata kuliahnya Pak Ferdi. Bila seluruh mahasiswa membenci dosen yang disiplin juga dosen yang tak pernah absen, itu tidak berlaku padaku. M
“Ck! Apa yang harus kukakukan bila dia benar-benar datang kesini? PKM? Kuharap itu hanya alasan. Kuharap kau tidak melakukannya dan kuharap pelukan yang tidak sengaja itu tidak mempengaruhimu. Kalau kau benar-benar terpengaruh, aku takut. Takut itu akan melukaimu. Tidak ada alasan untuk memberimu kesempatan di hatiku ini. Selain itu aku tidak yakin apa kau bisa menerima....” Trrt...trrrt....trrttrrt Getaran handphone membuyarkan lamunan Ferdian. Dia bangkit dari tempat tidurnya mengambil hanpdhone di atas meja rias putih. "Halo Fer, ini aku Grace. Aku ganti nomor. Besok aku akan mampir ke rumahmu. Aku lagi belajar masak resep masakan yang baru. Aku mau kau orang yang pertama yang mencicipinya. Ok. Bye" sambungan telepon diputus tanpa meminta persetujuan dari Ferdi. Ferdi hanya bisa tersenyum atas tingkahnya itu. Kalau sudah sangat bersemangat, dia tidak akan pernah mau kompromi dengan hal-hal lain. Itulah Grace. Wajah semangat Grace selalu bisa menaikkan mood Ferdian. Dari dulu samp
“Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra
Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h
“Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga
Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i
“Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga
“Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me
Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam
Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da
“Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te