Share

POV : Janji

Penulis: Mayht
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-01 10:03:07

"Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi.

"Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya.

"Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil.

"Grace..."

Grace segera memalingkan wajahnya kepada Ferdi.

"Ya? Katakanlah Fer, kita sudah saling mengerti satu sama lain, aku pasti akan mendengar setiap ceritamu"

“Ini bukan hanya cerita tentangku”

“Tentang kita maksudmu?”

Ferdi mengangguk ragu.

“Ungkapkan saja semuanya, Fer. Kita sudah bukan Grace dan Ferdi yang dulu lagi”

Mendengar kalimat yang sangat dibutuhkannya itu, Ferdi pun menepikan mobilnya. Dia menarik nafas dalam dalam, menghempaskannya begitu saja. Pandangannya pun dia alihkan memandang mata bening milik grace. Mata yang dulu sangat dia kagumi dan mampu mengalihkan seluruh hidupnya hanya untuk Grace. Dulu dia sangat dan sangat mencintai Wanita itu.

"Grace, aku rasa aku akan berhenti mengharapkanmu"

Grace terdiam mencelang. Wajahnya tidak lagi antusias. Separuh dirinya sudah terhisap habis terbawa angin yang melewati jendela mobil.

"Aku tidak bisa begini terus" Ferdi menatap lebih dalam lagi pada wanita di sampingnya itu yang sedang sekuat tenaga menahan gelegak di dadanya.

"Ini semua berubah menjadi terlalu membebaniku. Maafkan aku. Aku gagal untuk yang kedua kalinya. Aku gagal mempertahankanmu lagi, Grace"

"Aku melihat kalian berpelukan" Grace membuka suaranya membuat Ferdi terkejut.

"Jangan salah paham, bukan karena dia. Dia tidak tahu apa-apa"

"Aku tahu pelukan itu tidak disengaja antara kau dan dia, tapi itu berhasil membuat pikiranmu kacau, kan? Dulu setiap kali ada perempuan lain yang mendekatimu kau hanya akan bereaksi biasa saja. Bahkan kita biasanya akan menertawai mereka. Kali ini reaksimu berbeda…"

"Aku sudah bilang..."

"Jangan membohongiku Fer. Kita sudah lama bersama, aku tahu setiap perubahan dalam dirimu, apa penyebabnya dan bagaimana reaksimu. Kau bahkan tidak mendengarku tadi. Aku bahkan harus berlari mengejarmu ke parkiran karna kau tidak mendegarku memanggilmu. Kalau bukan karna itu, karna apa lagi?"

"Aku hanya tidak ingin membatasi diriku lagi terhadap semua yang ada di hadapanku. Begitu banyak hal yang kulewatkan. Aku sadar tak bisa selamanya menunggumu dengan menghambat kesempatan-kesempatan itu, Grace"

"Setelah dua tahun berlalu dan kau baru menyadari itu sekarang?”

“Sudah dua tahun dan kau masih menganggapku sama seperti dulu”

“Memang iya” mereka saling menatap satu sama lain. Grace dengan tatapan tajam menentangnya dan Ferdi dengan tatapan tidak percayanya. Dia tidak percaya Grace benar-benar tidak menghargai perubahannya atau setidaknya usahanya untuk berubah.

“Jadi selama dua tahun ini…”

“Ya, kau belum berubah di mataku. Kau masih sama saja” nafasnya memburu, mengharapkan Ferdi untuk merangkulnya, membawanya ke dalam dekapannya, mengelus rambutnya dan mengecup keningnya lembut seperti dulu bila setiap kali mereka berdebat. Jauh di dalam hatinya bukan kata-kata itu yang ingin dia keluarkan. Sejujurnya dia juga masih bingung apakah Ferdi sudah berubah total seperti janjinya. Masih ada keraguan apakah Ferdi memang sudah lebih dewasa dan matang bila dibandingkan dengan Ferdi yang dulu.

“Baiklah…kalau kamu memang menganggapnya seperti itu. Aku rasa tidak ada alasan lagi untukku bertahan kalau memang kau meng…”

“Sudah kuduga kau tidak akan bertahan pada janjimu” Grace memotong ucapan Ferdi karna dia tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya. Perpisahan. Grace tidak ingin kata itu keluar dari Ferdi. Dia tidak sanggup mendengarnya dari pria yang dulu sangat dia cintai itu. Mereka dulu sangat begitu saling mencintai. Mencurahkan semuanya. Membakar semua sumbu cinta. Membiarkannya menyala-nyala. Hatinya tidak akan sanggup menahan kesakitan yang ditimbulkan nantinya.

“Grace, dua tahun bukan waktu yang singkat utnuk membuktikan semuanya”

“Dua tahun tidak cukup untuk merubah semuanya, Fer. Tidak akan cukup”

“Jadi, kau ingin aku berusaha lebih lama dan lebih keras lagi, begitu?”

Grace terdiam. Dia sendiri tidak tahu butuh berapa lama untuk mengubah sifat seseorang.

“Mungkin butuh seumur hidup untuk mengubahnya, Grace. Apa kau ingin aku seumur hidup berusaha hanya untuk meraih hatimu lagi? Kalau tidak dua tahun kau ingin berapa lama lagi agar yakin bahwa aku sudah berubah. Aku yakin aku sudah pantas dan layak mendapatkanmu lagi. Aku sudah pantas bersanding lagi denganmu membangun rumah tangga kita yang dulu sudah hancur, Grace. Tapi apa? Kau tidka bergeming sedikit pun. Tidak ada apresiasi atau pembahasan sampai sebelum kita mulai berdebat tadi. Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Grace?”

Grace menangis menutup telinganya. Suara emosi Ferdian membuatnya terkejut. Dia tidak sanggup terluka lagi karna perengkaran-pertengakaran seperti ini. Ini mengingatkannya kembali ke pertengkaran-pertengkaran mereka dulu. Sumbu api cinta itu tidak lagi mendekatkan mereka malah menciptakan kobaran api yang tidak bisa mereka redam. Semua perkataan Ferdian itu benar. Hanya saja hatinya sudah terlalu nyaman dengan keadaan mereka sekarang. Pernikahan mereka dulu membuatnya selalu ragu apakah mereka akan bisa lagi membangun kembali bahtera yang sudah lama karam.

“Tapi hatiku masih ragu. Masih terlalu ragu. Kita dulu terlalu ceroboh memberikan seluruh hati dan cinta kita ke bahtera yang kita bangun, Ferdian. Sekarang sudah tidak ada yang tersisa lagi”

“Tidak ada yang tersisa katamu? Lalu dua tahun ini kau menganggap usahaku apa?”

“Ada tapi aku masih ragu. Aku masih butuh waktu untuk bisa yakin kalau nanti rumah tangga kita tidak akan gagal lagi”

"Kamu butuh berapa lama, Grace? 3 tahun lagi? 4 tahun? 5 tahun? Katakan sekarang agar aku tidak terombang-ambing. Ini memang janjiku, tapi setidaknya kamu berikan aku sinyal, Grace. Selama 2 tahun ini kamu hanya diam tidak ada niat untuk membahasnya sedikit pun. Selalu menghindar setiap kali aku ingin bertanya. Sebenarnya maumu apa? Coba kamu katakan sekarang kamu...bukan....aku butuh berapa lama lagi untuk meyakinkanmu? Benar-benar meyakinkanmu"

Di tengah sesunggukan Grace menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu, Fer. Aku ga tau" tangisnya kembali pecah. Ferdian menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu menyapukan rambutnya kebelakang. Dia mengambil nafas dalam-dalam memikirkan semua yang telah mereka khususnya dia lalui untuk bisa kembali bersama Gracelia. Dia memikirkan solusi untuk mereka berdua. Tapi tidak ada. Sekeras apapun dia menggososk-gosok wajahnya, memikirkan semuanya, tidak ada solusi apapun yang muncul. Sementara Grace masih menangis menutup wajahnya. Ingin sekali rasanya dia menariknya kedalam pelukannya. Meredam tangis itu. Dulu dia selalu luluh jika Grace sudah menangis. Dia tidak pernah bisa membiarkan Grace menangis apalagi bila itu karna ulahnya. Hanya saja sekarang alasan-alasan itu sudah tidak sekuat itu untuk membuatnya kembali luluh. Ferdian menyenderkan tubuhnya membiarkan angin masuk menyapu wajahnya, membiarkan tangisan Grace mengisi setiap ruangan mobilnya, menunggunya tenang sendiri. Segalanya sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi tawar. Hambar. Hampa. Hatinya sudah terlalu lama dibiarkan sepi. Mungkin juga itu yang terjadi pada Grace hingga semua perjuangannya sia-sia. Mungkin saja hati mereka sudah sama-sama mulai hambar.

Setelah beberapa menit berlalu, Grace pun mulai bisa menenangkan dirinya. Kebingungannya terhadap situasi yang tidak terduga itu mulai bisa dia kuasai. Pagi tadi baru saja mereka lari pagi dan sarapan bersama di tempat biasa mereka berdua biasa makan. Pembicaraan mereka normal-normal saja meski terasa sepi. Bahkan mungkin terkesan dingin. Grace menyadari bahwa ada sesuatu yang harus di gedor dari balik tembok yang tidak sengaja tercipta antara mereka berdua. Akan tetapi sungguh dia tidak menyangka dan tidak mengharapkan pembicaraan seperti ini yang menjadi pemicu gedoran itu.

“Kalau begitu, aku akan terima bila kamu memang menganggapku belum berubah. Sama sekali seperti katamu” Ferdian meletakkan kotak tisu di pangkuan Grace “Anggap saja aku masih Ferdi yang dulu. Ferdian yang gagal memenuhi ekspektasimu. Anggap saja aku laki-laki pengecut yang tidak mampu memenui janjinya. Anggap saja...kita sudah tidak punya alasan lagi untuk bersama”

Lama Grace berdiam diri menatap keluar sambil mencerna ucapan Ferdian. Mencerna isi pikirannya sendiri. Mencerna apa yang hatinya ucapkan. Mencerna semua situasi itu. Entah kenapa malah muncul sepercik kelegaan ketika akhirnya kejelasan dari janji itu terungkap. Disisi lain, sebagian besar hatinya seperti tidak rela akan berpisah. Benar-benar berpisah. Meski jantungnya tidak berdegup kencang sesering dulu saat bersama dan menatap Ferdi, tapi masih ada rasa nyaman ketika Ferdi ada di sekitarnya. Dia sudah terbiasa dnegan kehadiran Ferdi meski kobaran kemesraan mereka dulu sudah lenyap. Pertanyaan besar apakah nanti dia bisa terbiasa juga tanpa Ferdi, melekat kuat di dalam benaknya. Mengapa cinta saja tidak bisa menyatukan mereka kembali? Jelas-jelas pandangan mata mereka berdua masih sama-sama saling mencintai. Kenapa itu tidak cukup? Grace menghempaskan nafasnya berat. Berat sekali menigsi Keheningan dan kekosongan kekosongan diantara mereka.

“Ok" Grace menarik lagi nafasnya menahannya sebentar lalu mengeluarkan perlahan "Kalau itu memang jalan terbaik menurutmu, meskipun tidak baik menurutku. Bukannya memperbaiki caramu untuk berubah, kau malah lebih memilih mundur. Bukannya berusaha mencari jalan keluar lain tapi kamu malah memilih mundur. Kalau memang ujung-ujungnya seperti ini, seharusnya kau lakukan itu sedari dulu. Dulu sekali sebelum kita terlanjur menutup hati kita masing-masing untuk orang lain. Sebelum kita terlanjur menyiksa diri kita sendiri seperti ini” Grace membuka pintu mobil “Terimakasih, kau menunjukkan padaku bahwa kau memang tak akan pernah bisa berubah" dia melangkah keluar membiarkan tisu pemberian Ferdi jatuh begitu saja. Air mata yang sedari tadi sudah membanjiri pipinya dia seka dengan tangannya meski masih tetap mengalir tanpa bisa terkontrol lagi.

Belum jauh dia melangkah, mobil Ferdian sudah melesat pergi meninggalkannya, membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Dia tak memperdulikan orang-orang di sekitarnya yang menatap heran. Dia lebih memilih menumpahkan semua isi hatinya lewat tangisannya. Kini, apakah semuanya akan benar-benar berakhir? Apakah dirinya sanggup menerima perpisahan ini. Perpisahan kedua kalinya. Kesempatan kedua yang terbuang begitu saja. Setelah mereka saling berjanji akan menjaga hati mereka masing-masing kini perpisahan itu malah menjadi hasil nyata, meleset dari angan-angan mereka dulu.

Sementara ferdi didalam mobil hanya menghela nafas lega meski pikirannya masih kacau. Kelegaan itu muncul setelah dia akhirnya tahu sudut pandang Grace melihat usahanya selama ini. Grace tidak pernah menyinggung atau mengapresiasi setiap usahanya walau dia sudah berusaha sebaik mungkin menunjukkan bahwa dia layak mendapatkan kesempatan kedua. Kegigihannya tidak mendapat sambutan yang berarti. Itu membuatnya tertekan. Setidaknya ada evaluasi agar dia tahu bagian mana yang perlu dia ubah lagi. Setiap kali dia ingin membahasnya, ada saja cara Grace untuk mengalihkan pembicaraan. Seakan-akan menghindar. Padahal Ferdi yakin dia sudah lebih dari layak untuk memenangkan kembali hati mantan istrinya itu.

Kekacauan pikirannya karna pelukan itu memang benar. Hal yang sama berlaku pada keinginnanya berhenti berharap. Beberapa kali muncul niat mendiskusikannya dengan Grace. Sdah lama juga dia putus asa karena tidak bisa lepas dari tekanan-tekanan akibat janji yang tidak kunjung ada harapan. Janji itu juga membuat Ferdi harus menyakiti beberapa hati wanita. Itu sangat membebaninya. Membuatnya berkali-kali berpikir apakah keputusannya itu tepat. Apakah dia benar-benar akan seperti ini selamanya. Di satu sisi, Grace tidak memberikan respon yang berarti, di satu sisi dia melewatkan kesempatan-kesempatan untuk membuka lembar baru. Dia Stuck di satu lembar kertas sementara kalimat-kalimat di lembar itu sudah habis terbaca. Dia ingin maju ke lembaran lainnya, ada dua pilihan cara tetapi satu pun tidak bisa menolongnya.

Pada akhirnya Ferdi memilih untuk menyerah. Ini terlihat lemah dan pengecut, tapi setidaknya ia punya kesempatan yang lebih besar lagi untuk menemukan wanita yang benar-benar bisa menerimanya apa adanya. Ferdi tidak menyangkal Muffin terlibat dalam keputusannya. Itu karena Muffin hadir tepat disaat rasa jenuh memuncak. Tapi Muffin bukanlah penyebab utama semua itu. Mahasiswanya itu tidak ada dalam listnya. Tidak ada dalam kriterianya. Bagaimana mungkin dia bisa menajdikan Muffin sebagai pengganti Grace, sementara Grace yang sudah sedewasa itu saja, hubungan mereka tidak bertahan.

Dia memang merasa sedikit terusik saat pertama kali bertemu dengan Muffin di perpustakaan. Teriakan bahasa Inggrisnya itu mengejutkannya hingga dia penasaran ingin melihat siapa orang gila yang melakukan itu di perpustakaan. Hanya terusik. Terlebih saat wanita yang ternyata mahasiswa bimbingannya itu beberapa kali muncul di hadapannya dalam situasi yang tidak normal.

Pelukan yang tak disengaja, mungkin itulah yang membuat kejenuhan Ferdi terdorong lebih kuat lagi. Pelukan itu menyadarkannya bahwa dia layak mendapatkan kebebasannya lagi setelah lama terombang-ambing.

Rasa bersalah tidak akan bisa dia obati tapi setidaknya masih ada harapan untuk menata kembali ruangan di dalam hatinya yang sudah lama tidak tersentuh oleh siapapun. Sudah berdebu. Sudah tidak berwarna lagi. Masih ada harapan untuk bisa merasakan cinta lagi setelah sekian lama menguburnya demi mendapatkan cinta yang dia harapkan kembali dari Grace.

***

Bab terkait

  • I Love You, Mr. Brewok   PKM Modus

    Hari-hari dikampus pun semakin indah setelah insiden romantis pelukan yang tidak sengaja itu. Angan-anganku berubah untuk bisa selalu bertemu dengannya setiap kali melangkahkan kaki di lingkungan kampus. Terkadang aku nekat untuk hanya sekedar lewat didepan ruangannya, tentunya setelah mempersiapkan alasan-alasan yang konkrit bila bertemu seseorang atau bahkan bila kebetulan bertemu dengannya saat melakukan aksi itu. Aku tau ini semua salah juga berlebihan. Aku tau dengan mengejarnya seperti ini takkan mengubah kata-kata DO di urutan-urutan efek cinta ini. Tapi kata hatikulah yang selalu mendorongku. Bila hampir semua orang membenci hari Senin, aku justru sebaliknya, hari Senin adalah hari favoriteku. Kalau saja semua hari berubah menjadi hari Senin pasti aku sangat-sangat bahagia. Kenapa? Karena di hari Senin tepatnya mata kuliah jam kedua adalah mata kuliahnya Pak Ferdi. Bila seluruh mahasiswa membenci dosen yang disiplin juga dosen yang tak pernah absen, itu tidak berlaku padaku. M

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • I Love You, Mr. Brewok   Kesempatan Kedua

    “Ck! Apa yang harus kukakukan bila dia benar-benar datang kesini? PKM? Kuharap itu hanya alasan. Kuharap kau tidak melakukannya dan kuharap pelukan yang tidak sengaja itu tidak mempengaruhimu. Kalau kau benar-benar terpengaruh, aku takut. Takut itu akan melukaimu. Tidak ada alasan untuk memberimu kesempatan di hatiku ini. Selain itu aku tidak yakin apa kau bisa menerima....” Trrt...trrrt....trrttrrt Getaran handphone membuyarkan lamunan Ferdian. Dia bangkit dari tempat tidurnya mengambil hanpdhone di atas meja rias putih. "Halo Fer, ini aku Grace. Aku ganti nomor. Besok aku akan mampir ke rumahmu. Aku lagi belajar masak resep masakan yang baru. Aku mau kau orang yang pertama yang mencicipinya. Ok. Bye" sambungan telepon diputus tanpa meminta persetujuan dari Ferdi. Ferdi hanya bisa tersenyum atas tingkahnya itu. Kalau sudah sangat bersemangat, dia tidak akan pernah mau kompromi dengan hal-hal lain. Itulah Grace. Wajah semangat Grace selalu bisa menaikkan mood Ferdian. Dari dulu samp

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • I Love You, Mr. Brewok   Penolakan Halus

    Ting...tong...ting...tong.... Ini sudah ketiga kalinya aku membunyikan bel. "Selamat pagi pak, saya Muffin mahasiswa bimbingan bapak, saya datang karena ingin mendiskusikan PKM yang kemarin pak" teriakku dari luar pagar kayu setinggi bahu. Aku sampai harus berjinjit agar bisa leluasa melihat kedalam. Ting...tong...ting...tong.... Kupencet lagi bel berbentuk kubus berwarna coklat antik di tiang penopang pintu pagar. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Jangan-jangan si Mr. Brewok itu tidak ada dirumah. Trus kemana? Ke kampus tidak mungkin. Ini kan hari Sabtu. Aku sudah cek jadwalnya. hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, rapat dan lain-lain. Dia benar-benar free. Seharusnya. Atau jangan-jangan dia masih tidur? Kulihat jam tanganku. Astaganaga, ini kan masih jam setengah tujuh. OMG!!! Aku pun membalikkan badan berjingkat pelan-pelan. Aku harus segera pergi dari sini sebelum suara bel dan teriakanku tadi membuatnya terbangun. Bisa kubayangkan bila itu terjadi sudah pasti akan kena semprot

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-13
  • I Love You, Mr. Brewok   Muffin

    Pagi ini udara berhembus dingin meski sudah mendekati jam 7. Biasanya udara Jakarta sudah mulai menghangat. Langit yang seharusnya cerah malah berwarna gelap seakan hendak menakut-nakuti para pejuang pagi. Dari jendela ruangannya, Ferdian memandang kampus yang masih sepi. Atmosfir gelap dari perpaduan langit mendung dan udara dingin menambah dramatis sepinya kampus. Ferdian menaikkan suhu AC dari minimal ke 20 derajat Celsius. Dia lupa membawa jaket. Padahal biasanya selalu disimpan di mobil atau dibawa ke ruangan lalu digantung di salah satu tembok berpaku. Untunglah hari ini dia memakai kemeja lengan panjang. Bersama isi kepalanya Ferdian menyenderkan punggung ke kursi eksekutif hitam, kedua lengan rileks di atas lengan kursi dan wajahnya menengadah menyongsong memori kemarin. Ada dua orang saat ini bergantian hadir di dalam benaknya. Mantan istrinya dan mahasiswi bimbingannya. Mereka berdua menunjukkan sesuatu yang Ferdian sebenarnya tidak ingin menyadari itu. Sabtu pagi lalu, Gra

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-15
  • I Love You, Mr. Brewok   Tarik Ulur

    Drrt....drrtt...drrt... Handphone bergetar membangunkanku. Nomor bunda terpampang di layar. "Halo bunda?" "Selamat pagi sayang. Suaramu berat sekali, kau baru bangun?" "Ia bunda, aku baru bangun. Ada apa bunda? Perasaan baru kemarin kita ngobrol” "Ah...tidak ada apa-apa, perasaan bunda sedikit gelisah. Apa kau baik-baik saja disana sayang?" Aku terdiam sejenak. Apa bunda merasakan tangisanku tadi malam? Semalaman aku memang menangis. Menangisi kebodohanku di pendopo rumah pak Ferdian. "Baik-baik aja kok bunda, ga usah khawatir" kutambahkan sedikit bumbu nada ceria mengelabui bunda. Aku tak ingin membuat bunda khawatir. "Syukurlah kamu baik-baik saja sayang. Apa uangmu masih cukup?" "Masih kok bundaku sayang" "Ya sudah kalau begitu. Kamu ada kuliah hari ini?" "Ada. Masuk pagi pulang sore lagi. Ada kerja kelompok hufth...." "Looh kok mengeluh begitu? Semangat dong, putri bunda, kan, yang paling pintar dan paling semangat" "Hehehe...makasih ya bundaku, mmuach..." "Hmm...Ga t

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • I Love You, Mr. Brewok   2 sisi

    Ferdi menahan senyum saat pesan Muffin masuk ke handphonenya. Alamat kengkap ditambah penjelasan rinci memenuhi pesan itu. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah ini terlalu cepat. Dalam hati juga dia berkata, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, jalani saja. Nanti saya tunggu di lobby mall sj Pesan itu terkirim diiringi senyum jail. Sebenarnya itu ada baiknya juga mengingat akan sangat mencook sekali jika langsung menjemput kekosan Muffin. Jika ada orang yang mengenali mobilnya, tentu saja itu akan menimbulkan masalah besar. Handphonenya kembali bergetar panjang pertanda panggilan masuk. Nomor tidak di kenal tertulis di layar. “Halo?” “Pak, masa saya kesana sendiri” “Muffin?” “Saya ga mau, bapak jemput saya aja. Jauh soalnya” “Ini Muffin?” “Iya, pak. Ini nomor saya yang lain. Nomor yang biasa dipakai ga ada pulsanya. Jadinya pake yang ini” “Dasar kamu. Saya kira siapa. Nomor saya yang ini jangan kamu kasih tahu sama siapa pun. Karna ini nomor pribadi saya” “Emang kenapa kalau saya k

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-23
  • I Love You, Mr. Brewok   Ancaman-ancaman

    Suara rinitk hujan masih terdengar dari teras kamar kosan. Aku terbangun dini hari. Tidurku terlalu cepat kemarin sore. Mataku masih berat tapi aku harus kekamar mandi. Jadilah dengan terkantuk-kantuk aku melangkah meraba-raba agar tidak terantuk tembok. Beberapa menit kemudian, dengan perut lega aku duduk di tepi kasur memandang keluar jendela. Aku lupa menarik horden. Titik-titik hujan berjatuhan dari pinggir atap di temani cahaya lampu jalan. Magis. Membuatku jadi mengantuk kembali. Handphoneku berbunyi ketika aku sudah menarik selimut hendak melanjutkan tidur. Nama asli si Mr. Brewok tertera lengkap di layar. Apa dia sedang mabuk? Ada apa menelpon mahasiswinya jam segini?, pikirku tapi segera kuangkat walau rasa cemburu yang kemarin sore mulai muncul kembali. “Halo....” “Akhirnya” “Halo...” “Ck! Halo...” “Iya, ada apa pak?” "Kenapa belum tidur?" “Bapak sendiri jam segini belum tidur” “Saya sedang menyusun soal ujian” “Ujian? Astaga sebentar lagi ujian tengah semester” ku

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • I Love You, Mr. Brewok   Terlalu Dini?

    “Pak Ferdi lagi di ruangan, ngak?” “Bilang saya lagi ada tamu” Ferdian tidak memberikan kesempatan pada bu Nilam untuk menjelaskan apa maksud dan keinginannya menelepon. Dari suara pelan bu Nilam, Ferdi yakin dia sedang dipaksa oleh Muffin. Gadis itu pasti sudah nekat melibatkan bu Nilam disini. Padahal Ferdian ingin memperkenalkan Muffin secara resmi di depan bu Nilam saat ulang tahunnya nanti. Bu Nilam dan Ferdian juga Miss Grace adalah tetangga dekat bersebelahan persis semenjak mereka pindah kekomplek perumahan yang di tempati Ferdian sekarang. Bu Nilam adalah saksi perjalanan pernikahan mereka berdua dari awal sampai berakhir bahkan hingga saat ini. Beliau adalah orang terpercaya baik Ferdian maupun Grace. Tok tok tok Suara ketukan pintu mengagetkan Ferdian. Di balik kaca hitam sedikit transparan ada seorang perempuan berkacak pinggang. Walau tidak jelas, tapi matanya menatap tajam ke tempat Ferdian duduk. Gadis itu sudah sangat tidak sabar. Ferdian memberi komando untuk masuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05

Bab terbaru

  • I Love You, Mr. Brewok   Pertanyaan Aneh Di Parkiran Mall

    “Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra

  • I Love You, Mr. Brewok   Sepakat Melalui Bahasa Cinta

    Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h

  • I Love You, Mr. Brewok   Not Enough

    “Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga

  • I Love You, Mr. Brewok   HE IS MY MAN!

    Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i

  • I Love You, Mr. Brewok   Promise Ring

    “Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga

  • I Love You, Mr. Brewok   Menikah?

    “Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me

  • I Love You, Mr. Brewok   Kacanya Gelap

    Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam

  • I Love You, Mr. Brewok   Diri Yang Sebenar-benarnya Mencintai

    Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da

  • I Love You, Mr. Brewok   Mas Ferdian

    “Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te

DMCA.com Protection Status