Home / Romansa / I Love You, Mr. Brewok / Simtom Jatuh Cinta

Share

Simtom Jatuh Cinta

Author: Mayht
last update Last Updated: 2021-07-29 10:09:53

Ada panggilan masuk dari bu Nilam saat aku mengantar Ariana ke pagar kosan. Dia menginap di kosanku lagi setelah kami pergi ke Dufan kemarin. Untung saja Ojek online Ariana sudah menunggu sedari tadi dan tidak perlu menunggu lama aku pun mengangkat panggilan itu. Oh ia aku dan bu Nilam sudah saling mengenal karena sering bolak-balik ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Bu Nilam ternyata orang yang ramah dan sangat asyik diajak ngobrol. Semua topik-topik pembicaraan bisa dia ikuti. Dari pembahasan yang sudah ketinggalan jaman hingga yang up to date. Kami berbincang hanya sekali-sekali dan tidak membahas hal-hal privasi. Dari bu Nilam juga aku berkenalan dengan Miss Gracelia Handoko, wanita yang lebih mirip artis dari pada jadi penghuni kampus, juga yang dikabarkan sedang PDKT dengan si Mr. Brewok tentunya. Saat tau dia adalah dosen Bahasa Inggris di fakultas Psikologi aku sempat benar-benar kagum padanya. Tapi, setelah mendengar cerita Ariana, rasa kagumku berkurang begitu saja. Signifikan. Beberapa kali aku ingin bertanya tentang si Mr. Brewok pada bu Nilam, tapi sudah cukup malu rasanya jatuh dan ketiduran di perpustakaan, aku tidak ingin banyak-banyak membahas tentang dia.

Bu Nilam memintaku untuk membantunya nanti siang menyusun beberapa buku kiriman dari donatur yang baru sampai. Sebenarnya hari Sabtu begini aku sangat tidak suka diganggu oleh apapun kecuali untuk tugas kuliah, tapi karena bu Nilam sudah menolongku beberapa kali membantu mencarikan buku-buku untuk tugas kuliah, aku pun mengiyakan. Bu Nilam juga selalu menyimpankan majalah-majalah baru untukku. Terkadang aku juga suka menitipkan buku kesukaanku sekiranya ada diantara buku-buku yang baru datang.

***

"Selamat siang, bu"

"Selamat siang Muffin. Waah, kau ceria sekali hari ini. Pakaianmu...hmmm" bu Nilam memperhatikanku dari atas sampai bawah.

Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata dari bu Nilam itu. Hari ini aku memakai pakaian yang sangat jauh lebih casual dari biasanya. Kaos putih polos pas di badan, celana jeans biru belel di lutut dilengkapi sepatu flatshoes pink pastel lembut. Rambutku digerai begitu saja di tutup oleh topi hitam. Biasanya aku memakai kemeja sebagai atasan atau luaran dipadukan dengan celana jeans hitam, lalu dilengkapi sepatu running biru gelap atau hitam. Jadi, wajar jika bu Nilam berbicara seperti seperti itu.

“Beda, ya bu?”

“Iya. Biasanya agak tomboy pake kemeja-kemeja gitu”

“Kalau sekarang?”

“Lebih tomboy lagi, sih”

“Ih...bu Nilam. Kirain lebih cantik atau apa, gitu” kami tertawa lucu bersama. Di lihat bagaimana pun memang kesan girly belum cocok untukku.

"Oh ia makasih loh Muffin, kamu sudah mau membantu ibu"

"Ia bu sama-sama. Tenaaang. Buat ibu Nilam apa sih, yang enggak bisa" ucapku mengikuti langkah bu Nilam kedalam. Bu Nilam mencubit lenganku pelan.

Di dalam ternyata sudah ada orang lain yang sudah sibuk di kelilingi buku-buku. Harum buku baru menyebar di seluruh ruangan. Harum kesukaanku. Orang lain itu adalah si Mr. Brewok. Dia sedang membuka kardus besar berisi buku-buku sumbangan. Sedetik kemudian kurasakan letupan-letupan dihatiku berdenyut juga suara kembang api terdengar pelan dari sana.

"Aduh, pak Ferdi, makasih loh, pak, udah bantuin saya hehehe" ujar bu Nilam genit. Bola mataku berputar demi melihat sikap bu Nilam.

"Iya bu Nilam, sudah berkali-kali loh ibu ngomong gitu. Kayanya pak Ferdi juga udah bosan, tuh dengernya" si sumber suara, Miss Gracelia, muncul membuat keningku berkerut. Pertama, kenapa mereka berdua bahkan bertiga sering bersama-sama? Apa benar mereka berdua sedang PDKT? Kedua, sepertinya aku pernah melihat Miss Gracelia, deh. Tapi dimana yah?. Kuperhatikan lagi wajah Miss Gracelia dengan seksama. Mencari-cari sesuatu di memori dimana gerangan aku pernah melihat dia. Senyumnya itu jelas sekali pernah kulihat.

"Soalnya jarang-jarang pak Ferdi mau meluangkan waktu untuk hal-hal seperti ini”

“Iya, sih. Aku juga kaget waktu pak Ferdi mau membantu kita” mereka berdua si Mr. Brewok dan Miss Gracelia saling bertatapan sambil tersenyum. Suara kembang api itu hilang begitu saja. Letupan-letupan itu tidak berdenyut lagi.

"Ehm...oh iya, kita kedatangan satu orang relawan lagi buat bantuin kita. Buku-buku sumbangannya dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya, jadi saya berinisiatif untuk meminta bantuan darurat pada...mungkin pak Ferdi sudah kenal yah, sama...”

“Muffin?”

“Betul sekali, pak”

“Kenal sekali malah. Dia masih kenal, kan, sama saya?” aku dan bu Nilam saling berpandangan.

“Masih, pak” kugaruk keplaku yang tidak gatal sama sekali. Inginnya aku menggaruk mulutnya yang masih saja julid itu padahal jelas-jelas dia sudah memaafkanku. Setelah dia memaafkanku waktu di tangga, hari-hari berikutnya di mata kuliahnya juga sudah normal kembali. Kukira aku juga sudah kembali jadi mahasiswa normal, sudah terlepas dari cap jelek di matanya. Kenapa dia masih saja mengungkit itu sekarang?

“Baguslah” dia mengangguk. Wajahnya seperti mengejekku. Entahlah, mungkin aku yang terlalu sensitif setelah melihat mereka saling tersenyum tadi.

“Ok. Jadi, Muffin bisa langsung bergabung saja, ya, membantu kita” bu Nilam mengalihkan suasana. Dia tahu aku sudah mati kutu.

“Siap, bu”

“Baik. Hmm...Kamu bantu pak Ferdi aja, deh, mengangkat buku-buku itu. Ok"

“Dar!” kembang api itu kembali muncul lagi.

"Tidak usah, biar saya aja yang membantu" Miss Gracelia memadamkannya lagi.

"Jangan...jangan. Lebih baik kamu istirahat. Liat tuh tangan kamu, udah gemetaran"

“What?? Sejak kapan si Brewok itu bisa sehangat itu?” seruku dalam hati.

"Ga apa-apa, aku masih kuat kok" katanya sambil tersenyum manja menambah kerutan dikeningku. Gossip yang di ceritakan Ariana kemarin malam terngiang-ngiang.

"Ehm...ehm...ok baiklah, kalo begitu Muffin bantu saya membongkar kardus yang lainnya, ayo" bu Nilam menarik tanganku mengikutinya. Terlihat sekali ekspresi kesal di intonasi suaranya. Aku juga sama. Kesal sekali. Kesal karna kemungkinan gossip itu benar. Kesal karna kebenarannya ada di depan mataku langsung. Suasana di ruangan itu jadi aneh dan terasa janggal. Akh...suasana apa ini?

Perlahan-lahan aku pun tenggelam dengan aktivitasku. Memilah-milah buku, menuliskan kode-kodenya agar gampang di data. Buku-buku itu membuatku terbius dan seakan melupakan dunia fana ini dalam sejenak. Apalagi saat buku karya penulis favoritku Dewi Lestari/Dee ada diantara buku-buku itu. Semua fokus dan konsentrasi terhisap. Walaupun buku itu sudah lama keluar, aku juga sudah membacanya lebih dari sekali, tetap saja sampul putih buku tebal itu membuatku ingin membacanya lagi dari awal, hingga tak menyadari seseorang datang menghampiri.

"Suka sama bukunya Dewi Lestari?"

Aku menoleh pada sesosok tubuh yang sudah duduk bersila di sampingku. Dia juga memegang buku yang sama denganku.

"Eh Mr. Bre...." segera kututup mulut dan merutuki kebablasanku.

"Mister Bre?"

"Maksudnya mister Ferdi...hehehe"

"Mister?"

“Iya, Mister. Kemarin saya habis nonton film Warkop DKI pak. Jadi kebawa-bawa manggil mister juga” tentu saja aku berbohong. Aku memang suka menonton film Warkop DKI, tapi kemarin aku hanya menggosip bersama Ariana, tidak ada tonton menonton.

“Hmm...aneh"

Kepalaku menunduk saja tidak berani untuk menimpali meskipun aku sangat ingin karena dia ternyata lebih aneh, bisa berubah dari ice wall menjadi hangat dalam sekejap. Ukh!

"Saya udah terbiasa, sih, dengan keanehan kamu. Ini bukan pertamakalinya. Trus, Bre nya apa?”

“Maksudnya Mister Ferdi, pak. Bapak salah dengar”

“Brewok?” walaupun dia tidak menoleh padaku dan fokus menulis di stiker yang akan di tempel di sampul buku saat mengatakan itu, aku yakin dia pasti sengaja menanyakannya. Kelicikannya itu tetap terlihat. Jelas sekali. Dia sepertinya sangat senang mebuat orang-orang di sekitarnya mati kutu. Tetap saja aku terdiam tak berdaya mendengar tebakannya yang tepat sekali. Hanya bisa kembali menatap dan menggenggam buku tanpa berniat menimpali.

"Mulai kapan kamu suka bukunya Dewi Lestari?" tanyanya ramah membuatku akhirnya lega. Dewi Lestari memang penyelamatku.

"Sejak novel pertamanya, Mister...." kembali kata-kataku terhenti. Kupukul kepalaku dengan buku tebal atas ketololan yang sangat memalukan. Tidak kusangaka, responnya sangat mengejutkan. Dia tertawa. Renyah sekali suaranya itu. Si Mr. Brewok tertawa. Ya, respon yang sangat tidak terduga, membuat penyiksaan terhadap kepalaku berhenti dan hilang sudah kendali atas degupan jantung. Ini Mr. Brewok si pemilik ice wall yang kukenal, kan?

"Apanya yang lucu pak?" tanyaku hati-hati takut membuat suasana hatinya berubah.

"Ehm...menurutmu?"

“Ya...apa, pak? Kan bapak yang ketawa bukan aku?” Menyebalkan sekali, dia yang tertawa malah aku yang ditanya. Huh!!

"Baiklah kalau tidak ada yang lucu, kita fokus pada pekerjaan ini saja. Ok"

"Baik pak" ucapku cemberut.

"Oh ia, namamu siapa? Saya agak-agak lupa"

Duileeh pak, agak-agak lupa?? Helloww. Padahal baru aja tadi dia menyebutkan namaku.

"Muffin pak, Muffin Akredita"

"Muffin? Apa orang tuamu suka kue? Atau punya toko kue mungkin?" pertanyaan yang sangat lumrah kudengar. Biasanya sukses membuatku Bete berat.

"Saya juga tidak tau, pak, kenapa orang tua saya memberi nama seperti itu. Setiap kali saya tanya, mereka juga tidak tau alasan yang pasti kenapanya. Kata mereka sih Nama itu terdengar lucu aja"

"Atau mungkin ada peristiwa khusus terjadi saat kamu lahir?"

"Tidak ada sih pak. Cuma waktu aku lahir aku kelihatan sangat lucu dan hmm...menggemaskan? makanya mereka memberi nama Muffin karena cara pengucapan dan terdengarnya lucu gitu kaya orangnya gitu, pak" betapa tingginya percaya diri ku -___- . Tawa terkekehku yang cringe berhenti ketika dia mentapku dengan ekspresi yang aku tidak tau apa artinya. Bukan jutek atau dingin atau mesum tapi...aku tidak bisa menjelaskan tapi hatiku menghangat. Kami bertatapan hanya sebentar saja sampai aku menunduk kembali. Pipiku panas, aku yakin sekali pipiku panas.

"Ooo jadi tidak ada hubungannya dengan kue?"

"Tidak ada pak. Bahkan orangtuaku tadinya tidak tau kalau Muffin itu sejenis kue" ucapku sambil tersenyum dan bangkit berdiri membawa buku-buku yang sudah dipilah-pilah ke rak buku di belakangku. Mr. Jambang ikut membantu membawa sebagian buku yang tertinggal di lantai.

“Tapi, iya juga, sih”

“Maksudnya, pak?”

“Sedikit”

“Sedikit?”

“Lucu”

Mataku melebar menangkap arti dari ucapannya.

“Kamu dan namamu”

Mataku mengerjap-ngerjap meminta penjelasan lebih detil.

“Banyakan ga lucunya tapi” dia tertawa kecil, renyah.

Mulutku mengerucut cemberut lagi “Makasih banyak, pak” dia tertawa lagi. Masih terdengar renyah.

Buku-buku dari 5 kardus sudah selesai kami susun rapi. Tinggal buku-buku beberapa Dewi Lestari yang belum di susun. Rencananya aku ingin menitipkan pada Bu Nilam untuk di simpan khusus. Pak Ferdi tidak memprotes keinginanku itu karna dia juga melakukan hal yang sama. Dia juga sering menitipkan buku-buku pada bu Nilam. Dia penasaran dengan buku Filosofi Kopi karya Dewi Lestari setelah mendengar sinopsisnya dariku. Buku Kepingan Supernova lengkap dan Filosofi Kopi pun kini sudah ada di tanganku.

Kami bersiap keluar dari kungkungan rak-rak buku saat bu Nilam datang membawa 2 kardus lagi dengan troli barang. Senyum terkulumnya membuat kami menghela nafas. Ini yang terakhir ucapnya menunjukkan tanda peace dengan jarinya lalu pergi meninggalkan kami begitu saja. Mr. Brewok melipat lengan bajunya lagi keatas lalu mengangkat kardus-kardus itu. Dari belakang aku meleleh melihat pemandangan langka itu. Ini sisi lainnya yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Mungkin juga bagi mahasiswa lainnya. Dosen jutek dan galak ini ternyata bisa se-seksi ini. Ini keberuntungan yang harus kusyukurikah?. Degup jantungku sudah tidak terkendali lagi seperti tadi.

"Umurmu berapa?"

Aku yang sedang menyusun buku, menoleh heran padanya yang berdiri di sampingku yang juga sedang menyusun buku. Sekian puluh menit sudah aku berusaha menahan agar jantungku tidak jatuh dari tangkainya. Seminim mungkin aku tidak memancing pembicaraan, tapi dia tetap bertanya-tanya hal-hal kecil. Aku memilih berpura-pura tidak mendengarnya kali ini. Sudahlah, sudahi sajalah. Aku takut tidak bisa menahan getaran-getaran yang tiba-tiba muncul ini. Lututku sudah melemah. Perutku sudah mulai bergejolak. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi denganku saat ini tapi ini sudah mengganggu.

"Ada yang salah dengan pertanyaan saya?"

"Eh...Tidak ada pak. Cuma sedikit aneh saja" aku lanjut menyusun buku.

"Bukannya aneh memang cocok untukmu?"

"Bapak...ih. Udahan, dong. Kan kemarin udah dimaafkan"

"Oh, iya lupa. Maaf maaf. Jadi berapa umurmu?"

"Hmm.. tahun ini 18 tahun, pak"

"Ooo. Bulan berapa?”

“Januari, pak”

“Aquarius?”

“Betul”

“Ok”

“Bapak?”

“Leo” ucapnya pelan. Jantungku berdetak-detak menggedor-gedor dari dalam.

“Ok”

Keheningan mengisi ruang kosong diantara kami. Aku tidak mau mengakui kecanggungan yang perlahan-lahan hadir. Dia Leo dan aku Aquarius. Tidak. Tidak. Tidak ada apa-apa antara kedua Zodiak itu. Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya. Tidak dengan hatiku yang memunculkan cocokologi di setiap hembusan nafasku yang sudah semakin berat.

"Ada apa dengan umur saya pak?" segera kualihkan kegelisahan itu. Dia melihatku sebentar lalu berjalan ketempat kardus mengambil buku-buku yang lainnya untuk disusun.

"Tidak ada apa-apa. Saya hanya..." kata-katanya terhenti sebentar karena beratnya buku yang diangkat "ingin tahu saja" ia tiba-tiba tersenyum padaku. Senyumnya itu benar-benar membuatku meleleh lagi. Bukannya tenang malah pengalihan itu semakin membuatku kacau balau.

"Oh...kalau bapak sendiri umurnya berapa?"

"Kamu itu benar-benar mahasiswa durhaka, ya. Masa usia dosen pembimbingnya saja tidak tahu?"

Skakmat!

"Hehehe maaf pak"

"30 tahun"

Aku mengangguk dengan mulutku membentuk huruf o, padahal di dalam hatiku kembali melakukan cocokologi. Aku bermaksud mengambil buku-buku yang lainnya lagi, tapi ternyata sudah habis diborong.

“Pak, biar saya saja pak yang menyusun sisanya" ujarku berusaha mengambil buku-buku yang ada ditangannya.

"Sudah kamu bereskan kardusnya saja"

Aku pun mengalah dan melipat kardus berukuran besar itu. Sambil merapikan kardus beberapa detik aku memperhatikan pak Ferdi dengan seksama tetap dari belakangnya. Masih tidak menyangka baru saja tadi malam aku dan Aria memgupas habis tentangnya, sekarang malah sedang asik kerja bareng plus ngobrol-ngobrol dengannya. Kuperhatikan bentuk badannya yang tegap dan pas sangat mempesona apalagi ditambah dengan kemeja ngepas biru dongker yang dipakainya. Dengan tinggi yang sempurna, kutaksir hampir menyentuh 180cm, rambut bergaya Front Puff membuatnya selalu tampil segar, pekerjaan yang mapan dan sifat yang stabil meski kadang menjengkelkan dengan ice wallnya itu juga jutek dan galak, aku yakin sangat wajar bila pada akhirnya nanti rasa suka itu berkembang menjadi rasa yang lebih dalam. Meski pun aku tidak yakin akan berakhir seperti apa, terlebih lagi dia seorang duda. Setiap kali aku mengingat kata "duda", aku jadi sedikit ragu pada perasaanku. Walau pun wibawa atau kharismanya sanggup membuatku meleleh tapi tetap saja aku belum bisa yakin sepenuhnya. Ancaman DO juga menjadi efek dari perasaanku ini padanya bila bersambut. Mungkin aku butuh sesuatu yang bisa meyakinkan hatiku. Sekali lagi, itu juga kalau dia juga menyambut perasaanku. Kalau tidak, ya, ada baiknya juga. Meski aku mungkin tidak akan mau lagi berurusan dengannya bahkan mungkin akan mengajukan permohonan mengganti dosen pembimbing. Sangat kekanak-kanakan memang.

"Hei!" Pak Ferdi sudah berjongkok menjentikkan jarinya di depan mataku. Aku yang berjongkok memegang kardus yang sudah dilipat, tidak fokus, terkejut, limbung dan hampir saja terjatuh ke belakang kalau saja dia tidak sigap menarikku masuk ke dalam dekapannya. Memeluk lembut. Pelukan yang tidak di sengaja itu seketika membuat jantungku berdentam-dentam hebat. Hangat...hangat sekali. Sanggup membuat seluruh bagian hati ini bergemuruh. Hembusan nafasnya menyapu tengkukku. Pelukan itu tidak lepas selama beberapa detik. Suara panggilan dari Miss Gracelialah yang membuyarkan kehangatan itu. Pak Ferdi segera melepas pelukannya dan langsung berdiri. Aku pun ikut berdiri membiarkan lipatan kardus tergeletak di lantai. Kajanggalan mengisi seluruh udara di antara jarak kami berdiri. Setelah menggaruk-garuk kepalanya, akhirnya dia pun pergi keruang baca utama meninggalkanku dalam gemuruh pesta kembang api yang kedua. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Terasa hingga ke tulang-tulang. Aku terduduk menyender ke rak buku, tidak sanggup lagi berdiri. Lututku bukan hanya lemah lagi. Sudah tidak ada energi sama sekali menopang badanku.

Perasaan di hati yang tadinya masih ragu-ragu, masih dibawah 50%, dalam sekejap naik menjadi full 100% bahkan sudah overload. Perasaan ini semakin jelas mengarah padanya. Aku tak perduli lagi apa statusnya, keadaannya, kekurangannya atau apa pun yang ada di dalam kehidupannya. Bahkan DO sekali pun akan kujalani bila itu memang jalan satu-satunya. Hatiku sudah jatuh padanya. Jatuh sedalam-dalamnya ke dalam angan untuk memilikinya. Bagaimana aku harus mengartikan semua ini? Bagaimana aku harus meredam gemuruh ini? Tanganku menyentuh dada yang sesak. Sesak ini tidak menyiksa. Tidak sakit. Sesak ini membuatku melayang bahagia. Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum. Mataku tertutup meresapi semua gejala-gejala aneh ini. Ini pasti simtom-simtom utama seperti yang di jelaskan Ariana. Simtom-simtom jatuh cinta. Aku pasti sudah jatuh kedalam pelukan cinta.

***

Related chapters

  • I Love You, Mr. Brewok   POV : Janji

    "Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi. "Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya. "Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil. "Grace..."

    Last Updated : 2021-08-01
  • I Love You, Mr. Brewok   PKM Modus

    Hari-hari dikampus pun semakin indah setelah insiden romantis pelukan yang tidak sengaja itu. Angan-anganku berubah untuk bisa selalu bertemu dengannya setiap kali melangkahkan kaki di lingkungan kampus. Terkadang aku nekat untuk hanya sekedar lewat didepan ruangannya, tentunya setelah mempersiapkan alasan-alasan yang konkrit bila bertemu seseorang atau bahkan bila kebetulan bertemu dengannya saat melakukan aksi itu. Aku tau ini semua salah juga berlebihan. Aku tau dengan mengejarnya seperti ini takkan mengubah kata-kata DO di urutan-urutan efek cinta ini. Tapi kata hatikulah yang selalu mendorongku. Bila hampir semua orang membenci hari Senin, aku justru sebaliknya, hari Senin adalah hari favoriteku. Kalau saja semua hari berubah menjadi hari Senin pasti aku sangat-sangat bahagia. Kenapa? Karena di hari Senin tepatnya mata kuliah jam kedua adalah mata kuliahnya Pak Ferdi. Bila seluruh mahasiswa membenci dosen yang disiplin juga dosen yang tak pernah absen, itu tidak berlaku padaku. M

    Last Updated : 2021-08-09
  • I Love You, Mr. Brewok   Kesempatan Kedua

    “Ck! Apa yang harus kukakukan bila dia benar-benar datang kesini? PKM? Kuharap itu hanya alasan. Kuharap kau tidak melakukannya dan kuharap pelukan yang tidak sengaja itu tidak mempengaruhimu. Kalau kau benar-benar terpengaruh, aku takut. Takut itu akan melukaimu. Tidak ada alasan untuk memberimu kesempatan di hatiku ini. Selain itu aku tidak yakin apa kau bisa menerima....” Trrt...trrrt....trrttrrt Getaran handphone membuyarkan lamunan Ferdian. Dia bangkit dari tempat tidurnya mengambil hanpdhone di atas meja rias putih. "Halo Fer, ini aku Grace. Aku ganti nomor. Besok aku akan mampir ke rumahmu. Aku lagi belajar masak resep masakan yang baru. Aku mau kau orang yang pertama yang mencicipinya. Ok. Bye" sambungan telepon diputus tanpa meminta persetujuan dari Ferdi. Ferdi hanya bisa tersenyum atas tingkahnya itu. Kalau sudah sangat bersemangat, dia tidak akan pernah mau kompromi dengan hal-hal lain. Itulah Grace. Wajah semangat Grace selalu bisa menaikkan mood Ferdian. Dari dulu samp

    Last Updated : 2021-08-11
  • I Love You, Mr. Brewok   Penolakan Halus

    Ting...tong...ting...tong.... Ini sudah ketiga kalinya aku membunyikan bel. "Selamat pagi pak, saya Muffin mahasiswa bimbingan bapak, saya datang karena ingin mendiskusikan PKM yang kemarin pak" teriakku dari luar pagar kayu setinggi bahu. Aku sampai harus berjinjit agar bisa leluasa melihat kedalam. Ting...tong...ting...tong.... Kupencet lagi bel berbentuk kubus berwarna coklat antik di tiang penopang pintu pagar. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Jangan-jangan si Mr. Brewok itu tidak ada dirumah. Trus kemana? Ke kampus tidak mungkin. Ini kan hari Sabtu. Aku sudah cek jadwalnya. hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, rapat dan lain-lain. Dia benar-benar free. Seharusnya. Atau jangan-jangan dia masih tidur? Kulihat jam tanganku. Astaganaga, ini kan masih jam setengah tujuh. OMG!!! Aku pun membalikkan badan berjingkat pelan-pelan. Aku harus segera pergi dari sini sebelum suara bel dan teriakanku tadi membuatnya terbangun. Bisa kubayangkan bila itu terjadi sudah pasti akan kena semprot

    Last Updated : 2021-08-13
  • I Love You, Mr. Brewok   Muffin

    Pagi ini udara berhembus dingin meski sudah mendekati jam 7. Biasanya udara Jakarta sudah mulai menghangat. Langit yang seharusnya cerah malah berwarna gelap seakan hendak menakut-nakuti para pejuang pagi. Dari jendela ruangannya, Ferdian memandang kampus yang masih sepi. Atmosfir gelap dari perpaduan langit mendung dan udara dingin menambah dramatis sepinya kampus. Ferdian menaikkan suhu AC dari minimal ke 20 derajat Celsius. Dia lupa membawa jaket. Padahal biasanya selalu disimpan di mobil atau dibawa ke ruangan lalu digantung di salah satu tembok berpaku. Untunglah hari ini dia memakai kemeja lengan panjang. Bersama isi kepalanya Ferdian menyenderkan punggung ke kursi eksekutif hitam, kedua lengan rileks di atas lengan kursi dan wajahnya menengadah menyongsong memori kemarin. Ada dua orang saat ini bergantian hadir di dalam benaknya. Mantan istrinya dan mahasiswi bimbingannya. Mereka berdua menunjukkan sesuatu yang Ferdian sebenarnya tidak ingin menyadari itu. Sabtu pagi lalu, Gra

    Last Updated : 2021-08-15
  • I Love You, Mr. Brewok   Tarik Ulur

    Drrt....drrtt...drrt... Handphone bergetar membangunkanku. Nomor bunda terpampang di layar. "Halo bunda?" "Selamat pagi sayang. Suaramu berat sekali, kau baru bangun?" "Ia bunda, aku baru bangun. Ada apa bunda? Perasaan baru kemarin kita ngobrol” "Ah...tidak ada apa-apa, perasaan bunda sedikit gelisah. Apa kau baik-baik saja disana sayang?" Aku terdiam sejenak. Apa bunda merasakan tangisanku tadi malam? Semalaman aku memang menangis. Menangisi kebodohanku di pendopo rumah pak Ferdian. "Baik-baik aja kok bunda, ga usah khawatir" kutambahkan sedikit bumbu nada ceria mengelabui bunda. Aku tak ingin membuat bunda khawatir. "Syukurlah kamu baik-baik saja sayang. Apa uangmu masih cukup?" "Masih kok bundaku sayang" "Ya sudah kalau begitu. Kamu ada kuliah hari ini?" "Ada. Masuk pagi pulang sore lagi. Ada kerja kelompok hufth...." "Looh kok mengeluh begitu? Semangat dong, putri bunda, kan, yang paling pintar dan paling semangat" "Hehehe...makasih ya bundaku, mmuach..." "Hmm...Ga t

    Last Updated : 2021-08-20
  • I Love You, Mr. Brewok   2 sisi

    Ferdi menahan senyum saat pesan Muffin masuk ke handphonenya. Alamat kengkap ditambah penjelasan rinci memenuhi pesan itu. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah ini terlalu cepat. Dalam hati juga dia berkata, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, jalani saja. Nanti saya tunggu di lobby mall sj Pesan itu terkirim diiringi senyum jail. Sebenarnya itu ada baiknya juga mengingat akan sangat mencook sekali jika langsung menjemput kekosan Muffin. Jika ada orang yang mengenali mobilnya, tentu saja itu akan menimbulkan masalah besar. Handphonenya kembali bergetar panjang pertanda panggilan masuk. Nomor tidak di kenal tertulis di layar. “Halo?” “Pak, masa saya kesana sendiri” “Muffin?” “Saya ga mau, bapak jemput saya aja. Jauh soalnya” “Ini Muffin?” “Iya, pak. Ini nomor saya yang lain. Nomor yang biasa dipakai ga ada pulsanya. Jadinya pake yang ini” “Dasar kamu. Saya kira siapa. Nomor saya yang ini jangan kamu kasih tahu sama siapa pun. Karna ini nomor pribadi saya” “Emang kenapa kalau saya k

    Last Updated : 2021-08-23
  • I Love You, Mr. Brewok   Ancaman-ancaman

    Suara rinitk hujan masih terdengar dari teras kamar kosan. Aku terbangun dini hari. Tidurku terlalu cepat kemarin sore. Mataku masih berat tapi aku harus kekamar mandi. Jadilah dengan terkantuk-kantuk aku melangkah meraba-raba agar tidak terantuk tembok. Beberapa menit kemudian, dengan perut lega aku duduk di tepi kasur memandang keluar jendela. Aku lupa menarik horden. Titik-titik hujan berjatuhan dari pinggir atap di temani cahaya lampu jalan. Magis. Membuatku jadi mengantuk kembali. Handphoneku berbunyi ketika aku sudah menarik selimut hendak melanjutkan tidur. Nama asli si Mr. Brewok tertera lengkap di layar. Apa dia sedang mabuk? Ada apa menelpon mahasiswinya jam segini?, pikirku tapi segera kuangkat walau rasa cemburu yang kemarin sore mulai muncul kembali. “Halo....” “Akhirnya” “Halo...” “Ck! Halo...” “Iya, ada apa pak?” "Kenapa belum tidur?" “Bapak sendiri jam segini belum tidur” “Saya sedang menyusun soal ujian” “Ujian? Astaga sebentar lagi ujian tengah semester” ku

    Last Updated : 2021-09-01

Latest chapter

  • I Love You, Mr. Brewok   Pertanyaan Aneh Di Parkiran Mall

    “Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra

  • I Love You, Mr. Brewok   Sepakat Melalui Bahasa Cinta

    Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h

  • I Love You, Mr. Brewok   Not Enough

    “Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga

  • I Love You, Mr. Brewok   HE IS MY MAN!

    Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i

  • I Love You, Mr. Brewok   Promise Ring

    “Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga

  • I Love You, Mr. Brewok   Menikah?

    “Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me

  • I Love You, Mr. Brewok   Kacanya Gelap

    Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam

  • I Love You, Mr. Brewok   Diri Yang Sebenar-benarnya Mencintai

    Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da

  • I Love You, Mr. Brewok   Mas Ferdian

    “Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status