Dia sepertinya memang sudah kehabisan akal tidak tahu memilih baju untuk dirinya sendiri. Aku jadi merasa berkewajiban memberikan bantuan pada pria yang sedang linglung itu. Walau hanya linglung memilih baju.
“Pak Ferdi lagi di ruangan, ngak?” “Bilang saya lagi ada tamu” Ferdian tidak memberikan kesempatan pada bu Nilam untuk menjelaskan apa maksud dan keinginannya menelepon. Dari suara pelan bu Nilam, Ferdi yakin dia sedang dipaksa oleh Muffin. Gadis itu pasti sudah nekat melibatkan bu Nilam disini. Padahal Ferdian ingin memperkenalkan Muffin secara resmi di depan bu Nilam saat ulang tahunnya nanti. Bu Nilam dan Ferdian juga Miss Grace adalah tetangga dekat bersebelahan persis semenjak mereka pindah kekomplek perumahan yang di tempati Ferdian sekarang. Bu Nilam adalah saksi perjalanan pernikahan mereka berdua dari awal sampai berakhir bahkan hingga saat ini. Beliau adalah orang terpercaya baik Ferdian maupun Grace. Tok tok tok Suara ketukan pintu mengagetkan Ferdian. Di balik kaca hitam sedikit transparan ada seorang perempuan berkacak pinggang. Walau tidak jelas, tapi matanya menatap tajam ke tempat Ferdian duduk. Gadis itu sudah sangat tidak sabar. Ferdian memberi komando untuk masuk
Sebuah mobil hitam berhenti di dekatku saat aku sedang asyik memperhatikan dua orang pengamen yang berkolaborasi dengan alat musik mereka masing-masing, yang satu membawa biola yang satu membawa gitar akustik. Tidak kuperdulikan siapa pemilik mobil itu. Dua pengamen itu membawakan lagu Roman Picisan milik Dewa 19 dengan apik. Jalanan jadi serasa konser mini bagi mereka. Orang-orang termasuk aku tidak bisa berhenti mengalihkan perhatian dari betapa lihainya mereka memainkan lagu. Alunan biola begitu merdu dan syahdu diiringi oleh suara gitar yang hangat. Sungguh perpaduan magis di bawah langit sore di antara lalu-lalang kendaraan. Tadi aku bahkan memasukkan uang sepuluh ribu ke kantong plastik yang mereka sediakan. Saat aku kembali tersadar akan tujuan utamaku berada disini, aku sudah mendapati sesosok tubuh sedang berdiri di sampingku sedang memandang para pengamen itu juga. “Pak Ferdian” “Lagunya enak” balasnya tanpa memandangku. Aku penasaran bagaimana dia bisa sampai ke sini. Seb
Selamat Kepada Para Pemenang Lomba Desain Kafetaria Fakultas Ekonomi Berikut nama-nama para pemenang : Harira Nasyifa Gunawan – Tema : Carnaval Adel Prapto – Tema : Rock n Boo Dana Albert Kyle – INTFJ Ketiga pemenang akan di berikan hadiah masing-masing : Juara pertama : Rp. 5.000.000 + sertifikat Juara kedua : Rp. 3.000.000 + sertifikat Juara ketiga : Rp. 1.000.000 + sertifikat Acara ini di dukung oleh Fakultas Ekonomi dan Fakultas Teknik Arsitektur Rafael Agreeman merobek selebaran yang di pajang di majalah dinding fakultas Teknik Arsitektur. Dia tidak terima atas hasil pengumuan tersebut. Dia berlari kencang menuju ruangan dosen. “Pak, saya tidak terima hasil pengumuman lomba ini” ucapnya tegas dan marah pada seorang pria yang tengah membaca selebaran yang sama dengan yang dia bawa. “Duduk, Rafael” ucapnya santai. “Ini karya saya,pak. Saya membuat ini untuk mengikuti lomba desain sekolah dasar yang bapak sebutkan kemarin. Kenapa malah ada di lomba ini dan atas nama H
Seandainya hari bisa di perlambat sesuka hati, aku ingin sekali melakukan itu. Bahagianya hari ini tidak bisa di gantikan oleh apapun. Meski aku harus selalu berusaha meredam diri untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan atas semua tingkah manis yang dilakukan oleh pak Ferdian. Sejauh ini aku masih bisa menahan keinginan untuk bertanya, apakah dia juga memiliki hal spesial di hatinya untukku sebagaimana hatiku memiliki untuknya. Itu terlalu cepat...itu terlalu cepat. Selalu kata-kata itu yang kupegang agar aku tidak lepas kendali. Tadi saat kami kembali melanjutkan mencari pakaian, dia jadi lebih pendiam dan sesekali menekan-nekan hidung. Aku merasa bersalah untuk itu, tapi sedikit senang juga karena dia beruba menjadi lebih penurut dari sebelumnya. Aku bergerak lebih aktif darinya mencari-cari pakaian yang sesuai dan dia selalu menurut setiap kali kutempelkan baju atau celana di tubuhnya. Dia seperti anak kecil yang sedang di ajak ibunya membeli pakaian. Sesekali aku iseng mem
Sungguh dia sangat mempesona. Aku memang belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Baru kali ini, tapi hatiku yakin ini cinta. Dia pria itu. Pria yang menjadi cinta pertamaku. Dengan kaos hitam polos yang kemarin kami beli, lebih tepatnya dia memaksa untuk membeli, dipadukan dengan jeans coklat, jaket jeans biru gelap dan sneaker, aliran darahku mengalir lebih cepat bermuara membentuk getaran-getaran aneh semakin nyata di dalam jantung. Gaya pakaiannya sungguh adalah gaya yang kusukai. Sangat-sangat. Casual dan simple. Seperti gaya berpakaianku juga. Oh iya, lupa, kemarin kami juga membeli sepatu sneaker. Meski tidak couple tapi lumayanlah, beli dua dapat diskon 50%. Tadinya aku hanya ingin melihat-lihat saja. Jujur sejujur-jujurnya, hanya ingin melihat sepatu itu saja, tidak bermaksud membeli. Tulisan diskonnya sangat besar hingga menarik perhatianku. Bulan depan saat orangtuaku mengirimkan uang, aku baru berniat membeli. Tidak disangka dia langsung menanyakan pada mbak-mbak SPG apakah ad
Muncul-muncul malah bikin pengumuman. Hadehh.... Maaf ya guys...novelini aku rehatkan sejenak dulu. Ada urusan pekerjaan wkwkwkwk Kalian tahu kan, aku tuh saaaaaayng bgt sama pembaca-pembacaku siapapun dan berapapun jumlahnya. Love youu guyssss...... Mmuachhh Tunggu aku yaaaa.... Salam cipok!!! Wkwkwkwk hmmm..nulis apa lagiyaa soalnya belum sampai 100 kata. Duh..... apa yaaa.... Hmm.... Dahlah.... Jadi guys, aku tuh lagi di wisma atlet, kena covid guys. Akhirnya dari 3 tahun sudah berjalan, saya pun tumbang di corona sesion omicron ini, walaupun belum jelas apakah saya kena omicron atau engga karna hasilnya tes omicronnya belum keluar. Di wisma atlet inilah saya ingin merenungkan diri dulu. Apakah saya ini sebenanrnya adalah saya? ataukah sebenarnya selama ini saya adalah calon istri Nicholas Saputra? *BTWsaya ngefans bgt sama Nicsap mhehehe.... jadi ga papalah ya ha
Lampu-lampu jalan menyambut. Pohon-pohon yang diterangi lampu jalan menambah kesan romantis. Simple sekali tapi aku bisa merasakan malam ini adalah malam indah. Aku bertemu dengan sahabat-sahabatnya, makan bersama, tahu detil-detil tentangnya. Tahu ternyata dia sangat mengidolakan dan segan pada mas Ian seniornya yang membimbing serta mengarahkannya ke kampus itu. Mas Ian juga adalah senior yang dia ceritakan di telepon tempo hari. Mas Ian tampaknya tahu sekali semua tentang pak Ferdian. Lebih tahu dari bu Nilam dan Miss Grace yang kadang masih suka ikut terkejut ketika mas Ian membongkar kebiasan-kebiasaan jelek dan sepele pak Ferdian. “Tadi Mas Ian ngomong apa sama kamu pake harus berdua segala ke dapur” tanyanya begitu kami keluar dari pagar bu Nilam. “Nggak ngomong apa-apa, pak. Kita kan emang kebagian nyuci piring berdua. Bukan sengaja berdua. Jadi, ya,ngobrol biasa aja” “Tapi kamu jadi kaya pendiam gitu setelah nyuci piring. Tadi itu harusnya saya sama kamu yang kebagian nyuci
“Begini, Muffin. Saya bukannya bermaksud untuk mengganggu hubungan kalian..” ucap mas Ian setelah mejelaskan titik-titik utama kisah perceraian pak Ferdi dan Miss Grace. Harusnya aku mendengar ini dari pak Ferdi langsung hari ini tapi mas Ian berinisiatif menjelaskan dahulu agar bisa memeriku referensi untuk bisa melihat semua ini dengan jelas, itu katanya. “Hubungan? Hubungan apa dan siapa yang mas maksud?” tanyaku sedikit tertawa. Aku tahu apa yang dia maksud tapi bukankah ini terlalu cepat bila di sebut hubungan? tanganku berkutat nyaman menggosok piring tempat ikan bakar yang disodorkan bu Nilam tadi. Mas Ian juga asyik menyusun-nyusun peralatan makan di atas rak pengering piring. “Kamu sama si anak kecil itu” Keningku berkerut. “Gilang. Pak Ferdianmu itu” “Kami nggak ada hubunga...” “Ya, entah ada atau tidak. Yang penting saya tidak bermaksud untuk menganggu apapun itu yang sedang kalian jalani. Yang pasti, kamu masih terlalu muda untuk masuk ke dalam hubungan apapun itu yan
“Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra
Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h
“Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga
Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i
“Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga
“Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me
Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam
Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da
“Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te