Aku tidak berani mengangkat kepalaku dari kubangan air berbusa di wastafel. Tanganku masih ditempeli busa-busa sabun memegang erat pinggiran wastafel. “Intinya mas Ian, mbak Harira dan bu Nilam, tidak setuju kalau saya dekat dengan pak Ferdian?”
Aku sedang berada di sebuah kafe di Yogyakarta. Namanya Taru Martani. Kafe ini sangat manis suasananya. Ramai tapi tidak lalu-lalang. Berjarak dan sendu. Ariana yang merekomendasikan kafe ini setelah sebuah video live music kafe ini lewat di beranda Youtubenya saat kami sedang menunggu boarding pass di bandara Soekarno Hatta. Segera setelah meletakkan barang di guest house tempat kami menginap di daerah dekat dengan Malioboro, kami langsung ke sini. Ramai dan ikoniknya jalan Malioboro menarik perhatian kami tapi aku yang kembali menunjukkan tanda-tanda patah hati sejak di dalam mobil taksi online di Bandara International Yogyakarta, sedang tidak ingin berada di tengah-tengah keramaian lalu lalang. Sekelebat bayangan ketika aku dan pak Ferdian berdebat di mobilnya malam itu muncul begitu aku duduk di kursi penumpang. Kuperthatikan Ariana yang asyik berkutat dengan layar handphone dan aku pun memilih diam sepanjang perjalanan memandang keluar jendela mobil.Tadi pagi-pagi sekali, satu ha
Di kelilingi gemerlap cahaya lampu-lampu di Taman Lampion Jogja, kami berdua berjalan pelan, dalam diam, menikmati pikiran kami masing-masing. Kami hendak pulang setelah puas seharian memburu bayak tempat-tempat kuliner dan oleh-oleh di Jogja. Ini hari terakhir kami di Jogja. Sudah seminggu berlalu dan sudah banyak sekali tempat-tempat wisata kami kunjungi, seperti Taman Pintar, Malioboro, Taman Sari, Tugu Jogja, Monumen Jogja Kembali, Pantai Glagah, Kaliurang, Candi Ijo, Candi Borobudur, Kraton Yogyakarta, Alun-alun Yogya dan lain-lain. Masih ada beberapa lagi. Aku sudah tidak ingat. Galeri handphoneku, handphonenya dan kartu memori kamera Mr. Brewok mungkin sudah penuh dengan foto-foto kami di sana. Aku meresapi denyut jantungku di tengah-tengah angin dingin malam berbalut jaket jeans hitam Mr. Brewok. Aku bertanya pada diriku sendiri saat dia menutupi tubuhku dari angin malam dengan jaketnya, inikah hal romantis yang ada di novel-novel, film atau sinetron-sinetron? Inikah rasanya a
Ini sambungan yang sebelumnya ya guyss... :D Saat itu, bu Nilam sebagai salah satu orang yang jadi saksi perjalanan rumah tangga mereka dan juga kehidupan Ferdian khususnya setelah perceraian itu, bu Nilam merasa harus berbuat sesuatu. Ini semua berjalan di jalur yang salah, pikir bu Nilam. Isak tangis pelan pak Ferdian di telepon menyadarkan bahwa semuanya sejak Ferdian dan Grace menjalin hubungan “Kesempatan Kedua” telah berubah ke arah yang salah. Perubahan yang dijanjikan Ferdian bukan hanya merubah sikapnya tapi juga merubah dirinya jadi orang lain. Bukan Ferdian yang dulu yang pernah dikenal bu Nilam. Mulai dari menutup diri sampai cara berbicara yang dingin, semuanya sangat berbeda dengan Ferdian yang sebenarnya. Bahkan mungkin itu juga salah satu alasan mengapa ambisinya redup dan memilih menjadi seorang dosen saja. Padahal sebelumnya, setiap kali berkumpul bersama, Ferdian dan Ian sangat bersemangat membahas proyek-proyek yang sedang di kerjakan Ian. Ian bahkan sering sekali
Udah...ini sambungannya yang terakhir...cape soalnya :D .... DUARRR....DUARR.... Suara petir di dahului kilat terang mencambuk langit membuatku tersedak terbatuk-batuk. “Mufffin...minum dulu” Mr. Brewok menyodorkan minuman menghalau batukku. Rang-orang di warung bakso taman pelangi mneyumpah serapahi langit dalam bahasa mereka sendiri. Aku sendiri mematung karena dalam putaran kembali memori hari pertama di guest house itu, hari ini, setelah 1 minggu kemudian, aku lupa apa alasan kenapa Mr. Brewok dan Miss. Grace belum atau tidak memiliki anak. Dia sudah menjawabnya waktu itu tapi sungguh aku lupa. Melihatnya serius membersihkan air dan kunyahan bakso yang menyembur ke segala arah di meja kami, aku tidak tega untuk menanyakannyalagi. Tapi aku sangat ingin. Ingin sekali. Aku lupa. Sungguh. “Pak...” “Ya....Muffin tangan kamu” dia mengambil tanganku dan membersihkan sayuran hijau setengah dikunyah. Dia tidak jijik sama sekali. Pasti dia juga tidak akan marah, kan, kalau aku tanya la
“Siap Ffin? Tarik nafas dulu trus buang pelan-pelan” Ariana memegang dadaku bermaksud membantuku tenang. “Ariana...justru kalau digituin makin gemeteran” “Ia, kah, ibu Nilam? Saya tidak tahu kalau itu tidak akan bisa menenteramkan jiwa seorang insan yang sedang menuju rumah calon mertua” mereka berdua tertawa membuatku kembali cemberut kesekian kalinya. Mulai dari bangun pagi tadi sampai di dalam mobil menuju rumah tante pak Ferdian pun mereka selalu saja mengeluarkan godaan-godaan yang sukses membuatku malu dan cemberut. Pak Ferdian di sampingku sedang mengemudi, senyum-senyum diam dan malah sesekali mulai ikut menggodaku juga. Entah sudah berapa kali cubitanku melayang di lengannya. Hari ini hari terakhir kami liburan di Jogja. Aku izin pada orangtuaku hanya seminggu saja, itu juga aku izin memakai nama Ariana, bu Nilam dan pak Ferdian. Ariana sebagai tameng keselamatan karena mereka khawatir aku tidak kenal siapa-siapa di sini, nama bu Nilam, staff perpustakaan kampus, sebagai ta
“Pakdhee” teriak Mr. Brewok begitu memasuki rumah tantenya. Dia duduk berlutut pada seorang pria berambut putih dan terlihat renta duduk santai di ruang tamu sedang menonton berita di TV. Tongkat kayu berukir khas menyender di samping kursi. Itu pamannya pak Ferdian, ucap bu Nilam atas kebingungan kami. “Dian...” ucap beliau begitu mereka berpelukan. Suasana mendadak berubah haru saat mereka mulai membicarakan kerinduan. Pakdhenya berkali-kali mengelus-elus rambut Mr. Brewok dan mengatakan betapa beliau sangat menyayangi keponakannya itu, juga betapa mata Mr. Brewok mengingatkannya akan mata almarhum ibunya. Mereka berdua menangis. Pak Ferdian menangis di pelukan pakdhenya cukup lama. Seperti sedang meringankan beban rindu dan juga beban hatinya. Tangisannya itu masuk ke dalam relung hatiku yang paling dalam, menyimpannya di sana, di tempat yang spesial, untuk mengingatkanku bahwa ternyata Mr. Brewok adalah pria yang lemah lembut dan tulus. Aku memujui-mujinya dalam hati. Hatikupun
Setidaknya ada kabar jika memang hati sedang gelisah. Setidaknya ada ucapan jika memang jiwa sedang gundah. Tiada kabar adalah suatu hukuman menyakitkan untuk siapa pun. Dering-dering di telinga menunggu-nunggu apapun itu asal bisa memenuhi rontaan dahaga. Ditemani angin yang lambat dan dingin, malam indah dengan bintang-bintang berkelap kelip berjarak-jarak di langit, Ferdian duduk menyelonjorkan kaki di pendopo rumahnya. Bu Nilam sedang ada urusan di kampus membantu acara seni yang tengah berlangsung, Ferdian tidak tahu harus menanyakan kepada siapa, apa obat untuk kegundahan di hatinya. Sudah hampir dua minggu semenjak kepulangan mereka dari Jogja, Muffin menampakkan sinyal-sinyal aneh. Pesan yang dikirim olehnya dibalas dengan sangat singkat. Bila sedang teleponan, hening menguasai. Padahal sebelumnya Muffin sangat ceria, lugas dan selalu banyak tanya. Hingga kadang Ferdian kewalahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu dan mencoba menenangkan Muffin. Di Jogja Muffin masih persi
“Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te
“Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra
Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h
“Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga
Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i
“Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga
“Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me
Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam
Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da
“Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te