Home / Romansa / I Love You, Mr. Brewok / G. Ferdian, M. Ars

Share

G. Ferdian, M. Ars

Author: Mayht
last update Last Updated: 2021-07-10 14:04:37

Merantau jauh dari orang tua walau hanya beda provinsi, di satu sisi membuatku senang karna aku bisa bebas menjalani hari-hariku tanpa di awasi oleh orangtua, tanpa pertanyaan ini itu, tanpa larangan ini itu. Di sisi lain, segala sesuatunya benar-benar kulakukan sendiri dari mulai membuat sarapan, membersihkan kosan, mengisi listrik, memperbaiki kalau ada yang rusak dan sebagainya. Semua serba sendiri. Kalau di rumah orang tua dan pembantu sudah siap siaga, di sini tangan dan otakku harus siap siaga mengantisipasi segala sesuatu yang memerlukan perbaikan.

Sesekali kalau lagi malas, membeli makan di luar sudah jadi salah satu kebiasaanku. Tak kusangka makanan di warteg, nasi padang, pecel ayam, fried chicken dan jajanan di pinggir jalanan bisa seenak. Selama ini orang tuaku tidak pernah mengizinkanku memakan makanan-makanan itu. Mereka bilang makanan-makanan itu tidak higienis.

Kalau dari dulu aku tahu ada makanan seenak itu, aku pasti tidak akan melewatkan 19 tahun hidupku sebelumnya, ketakutan pada kata "tidak higienis". Well, kalau sampai ibuku tau, aku sudah pasti di tarik paksa pulang ke Bandung. Di fase kehidupan ini berbohong sesekali sudah tidak membuatku takut lagi.

Meski begitu, sebisa mungkin aku tetap konsisten dengan janjiku pada orang tuaku. Aku akan menjadi lebih dewasa, mandiri dan independent. 

"G.Ferdian. M. Ars" aku mengeja nama dosen yang tertempel di pintu kaca hitam transparan di depanku.

"Akhirnya kutemukan juga ruangan ini" aku melap keringat yang mengucur setelah dari tadi mondar-mandir celingukan mencari ruangan ini, dengan sapu tangan yang diberikan si dosen brewok kemarin. Aku belum bertemu dengannya lagi setelah kejadian memalukan di perpustakaan itu, makanya sapu tangan ini masih berada ditanganku. Aku tidak mau pusing-pusing berusaha mencarinya. Hidupku saat ini terlalu sibuk dengan tugas yang diberikan oleh dosen-dosen yang tidak punya belas kasihan. Baru pertemuan pertama saja tugas sudah menumpuk.

Tok...tok...tok

"Permisi"

Tidak ada jawaban dari dalam. Rasa kesal menjalar di sekujur tubuhku. Setelah berjalan menaiki tangga dari lantai 1 ke lantai 3, ternyata aku mendapatkan hasil yang nihil, OMG!!!! Kakiku tidak akan sanggup untuk turun dengan tangan hampa. Hari ini pokoknya aku sudah harus bertemu dospemku.

Kuketuk pintu kaca hitam itu sekali lagi. Sama saja tidak ada jawaban. Merasa tak akan ada orang yang akan membuka, ditambah lagi setelah mengintip menempelkan wajahku yang berminyak ke kaca hitam gelap itu, di dalam ternyata tidak ada orang. Aku memutuskan untuk datang lagi besok. Biar saja kakiku ini meraung-raung lagi menuruni seribu satu tangga turun. Kebetulan sekali memang hari ini, saat ini, jam ini, detik ini, lift gedung sedang perbaikan. Kebetulan sekali memang.

Mr. Brewok muncul berjalan kearahku sambil membaca buku tua yang sama sewaktu di perpustakaan, saat aku sudah membelakangi pintu.

"Mampus...saputangannya, kan, baru aku pake tadi. Belum dicuci lagi" aku menepuk jidatku "aku pergi aja deh" aku pun memutar arah dan bersiap-siap untuk lari.

"Hei...kau, sedang apa berdiri disitu?"

Ingin rasanya tak memperdulikan suara yang sangat dingin itu, tapi helllow dia itu dosenku. Terpaksa aku berbalik menghadapnya lagi.

"Eh bapak...selamat siang, eh, sore pak hehehe"

"Sedang apa?"

"Saya sedang menunggu dosen pembimbing saya pak"

Dia menoleh sebentar kearah ruangan dospemku dan kembali menatapku dengan jurus pembekunya.

"Tuhan keluarkan aku dari situasi ini, aku tidak suka kekikukan yang seperti ini" batinku pun ikut memberikan rasa prihatin. Sedari kemarin imageku sudah jelek dimatanya. Tidak ada lagi yang tersisa untuk terlihat seperti mahasiswa normal lainnya di depannya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia langsung memasuki ruangan yang kuketuk tadi, menutup pintu tepat di hadapan wajahku. Keningku berkerut. Kenapa dia masuk kedalam? Ada urusan apa dia dengan dospemku? Jangan-jangan dia mau melaporkan peristiwa terlambat 2 hari lalu? Sebenci itukah dia padaku? Aku kan masih mahasiswa baru. Benar-benar tidak ada toleransi di kampus bergengsi ini.

Atau jangan-jangan....

What!!!! Apa!!!!! Gak mungkin...ga mungkin. Cepat-cepat kugelengkan kepalaku.

Tapi kalau ia gimana?

Dia?! OMG!!!  Oh noo...tidaaaaaak....ayah ibu keluarkan aku dari kampus ini. Kampus tidak berkeprimahasiswabaru-an ini. Samar-samar kudengar suara musik klasik menyayat hati mengalun disekelilingku. Membuat kaki dan tubuhku kaku tak bisa bergerak. Setelah semua kejadian-kejadian memalukan yang kualami, mengapa aku harus terikat seperti ini padanya. Aku tidak bisa membayangkannya..tidak bisaaaa...!

Suara pintu terbuka terdengar dari ruangan itu membuyarkan kecamuk di kepalaku. Si Mr. Brewok keluar menyandang tasnya, mengunci pintu ruangan itu. Sepertinya dia sudah mau pulang. Aku hanya bisa diam terkaku tak bisa berbuat apa-apa. Tujuan utamaku datang ketempat ini untuk melakukan bimbingan sebagaimana mahasiswa baru lainnya lakukan. Semua niat itu...sudah lenyap terlupakan dengan kenyataan tak terduga ini. Selesai mengunci pintu, dia pun beranjak pergi melewatiku, tanpa memberikan respon atau ekspresi apa pun. Sudahlah, perkuliahan yang mulus lancar jaya sudah lenyap di depan mata. 

Setelah dia lenyap di telan tangga-tangga itu, aku segera mengintip kedalam ruangannya. Dari pintu kaca hitam transparan itu, mataku mmeicing fokus melihat foto seorang pria berjambang berwajah dingin sedang tersenyum memakai toga tertempel dengan elegan di dinding sudut kanan. Sudut yang luput olehku saat mengintip kedalam sebelum ini. Aku tak memperdulikan betapa cantiknya wanita yang ada disampingnya di foto itu. Yang menjadi fokusku adalah senyumnya yang manis kaku dan sangat berbeda dengan ekspresinya beberapa hari lalu. 

Hal yang yang paling penting, dia adalah dospemku. Dospem yang tidak di kenali oleh mahasiswinya sendiri. Dan...mahasiswinya itu adalah aku. Bahkan sejak awal kami bertemu di perpustakaan. Oh no!

Suara musik klasik  menyayat hati dikepalaku itu tadi mengalun semakin kencang, mengiringi bayangan-bayangan mengenai hari-hariku selanjutnya di kampus ini. Nilai D bahkan E berputar menari-nari seakan mengejekku.

"Glek!!! Aku menelan ludah, respon atas gambar-gambar yang terpampang di otakku itu. Tubuhku seakan mengecil dan ikut menari berputar-putar berpegangan tangan dengan kedua nilai D serta E itu. Kami bahkan saling tertawa, tersenyum dan berpelukan.

Mungkin ini adalah karma atas dosaku berbohong pada orang tua. Aku ingin cepat-cepat pulang ke kosan lalu tidur, lalu besoknya aku sudah di dunia antah berantah. Memulai hidup yang baru lagi.

***

Apa yang harus kulakukan? Apa??? Aku menekuk kakiku dan menekan dagu di lutut. Kucakar-cakar karpet bulu putih yang tak berdosa ini.

Insiden tadi sore di depan ruangannya masih sangat jelas terbayang. Terjadinya kedipan mata perpustakaan itu, kedipan mata pembekunya yang sampai saat ini tak bisa kumengerti apa maknanya, ekspresi datar wajahnya, senyum manisnya difoto itu juga....

"Aiiih Muffin...kenapa jadi itu yang kau pikirkan?" aku memukul-mukul kepala "Pikirkan tentang nasibmu selanjutnya, dia dosen dari salah satu mata kuliah yang kau kontrak, juga dosen pembimbingmu, dan kau...tidak mengenalinya. Pikirkan langkah selanjutnya Muffin pikirkan?? Aaakhhh!" aku semakin beringas mencakar-cakar karpet bulu itu. Tubuhku sudah berbaring tapi pikiranku masih bermain-main. Mataku nanar menatap tembok.

Ini memang salahku memilih dia. Kalau saja aku lebih teliti membaca Rencana studiku, kalau saja aku memilih dosen yang lain, mungkin saja nasibku bisa tertolong. Ya, entahlah apakah dosen lain juga akan setega dia mengusirku dari kelas. Tapi setidaknya dosen lain bukan dosen pembimbingku. 

Mulut lancang ini yang dengan lancarnya menyebutnya dosen tidak bertanggung jawab tepat di depan wajahnya tadi mendadak panas membara. Sekarang aku mengerti mengapa dia tersenyum seperti itu. Senyum aneh. Senyum misterius. Senyum penuh kelicikan.

"Apakah ini awal nasibku menjadi mahasiswa abadi nantinya?" Pikirku. Nilai D dan E yang menari denganku tadi kini muncul lagi. Mereka memanggil-manggil namaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Air mataku menetes. Tiba-tiba pintu besar muncul di belakang mereka dan dengan sigap mereka berdua membukakan pintu itu. Dalam sekejap cahaya terang memenuhi seluruh ruangan. Ditengah-tengah silaunya cahaya itu, mataku menangkap pria si pemilik kedipan mesum itu berjalan keluar. Jari telunjuknya mengarah padaku. Senyumnya licik. Tiba-tiba di tangannya sudah ada pistol hitam. AKu menggerak-gerakkan tubuhku yang tiba-tiba kaku. Sekuat tenaga ku kerahkan tapi tidak ada artinya. Air mataku kembali menetes lebih deras saat pelatuk pistol itu sudah di tarik olehnya. Kupegang dadaku yang mengucurkan darah. Nafasku sesak. Inikah ajalku? Inikah akhir hidupku? Bukannya menolong, mereka semua malah tertawa sambil berkacak pinggang. Aku jatuh kelantai dan...

Ponselku berbunyi nyaring membuatku terbangun. Seluruh tubuhku berkeringat. Aliran udara dari hidung dan jantungku sudah tidak beraturan. Aku segera mengambil ponsel. Tulisan alarm berderet menghiasi layar. Pukul 05.25. Setelah diusir dari kelas kemarin itu, aku menyetel alarm sebanyak 5 kali berturut-turut setiap 5 menit. Volumenya maksimal. Aku tidak peduli tetangga kamar akan terganggu. Kuliahku sudah hampir amblas dari hari pertama,tidak ada waktu memikirkan kenyamanan mereka lagi.

Kakiku goyah saat mulai bangkit dari kasur. Kamar mandi seketika menjadi sangat jauh. Seperti berjalan di gurun pasir panas terik. Keringat membuat rambutku lepek, padahal baru kemarin aku keramas. Mimpi itu membuat pekerjaanku bertambah lagi. Ke-Ra-Mas. Keramas adalah pekerjaan yang tidak kusukai. Keramas adalah musuh besarku. Mengapa kita harus keramas jika nantinya rambut kita akan kotor lagi?, pikirku setiap kali akan keramas. Itu salah satu mantra wajib sebelum rambut sepinggangku ini kuguyur air. Seluruh tubuhku menjadi kaku seketika ketika air itu sudah menyentuh kulit kepalaku. Aku benci keramas. Aku benci Mr. Brewok. Aku benci menjadi dewasa. Mungkinkah aku juga membenci diriku yang tidak bisa menghadapi semua ini dengan cara yang dewasa?. Diriku yang ada di kaca di hadapanku menatap datar seakan mengatakan bahwa dia sudah muak dengan semua drama-drama di pagi hari ini. Dia pergi meninggalkanku.

"Menjadi dewasa itu memang tidak menyenangkan" teriakku padanya. Dia tidak perduli lalu menghilang. Air mataku menetes. Hatiku perih sekali. Dulu semua masalah apa pun itu, ayah dan ibu pasti selalu membantu membereskannya. Sekarang, terlalu malu rasanya jika meminta bantuan mereka lagi. 

"Bisakah aku kembali saja ke masa kecilku dulu?" bisikku pada diriku sendiri. Nafasku semakin berat saat aku menyadari hari ini jadwal kuliahku full dari pagi sampai sore. Kembali kusesali mengapa aku mengambil jadwal seperti ini. Kemarin kau terlampau bersemangat. AKu sangat yakin bisa menanggungnya. Tetapi, kenyataannya akulah si mahasiswa yang salah pilih itu. Rasa semangat kemarin entah kemana perginya. Beban SKS semester ini seperti berton-ton rasanya beratnya.

"Si Mr. Brewok G. Ferdian itu juga...kenapa asal main tandatangan aja? Kenapa dia tidak memberikan masukan-masukan. Kenapa.....?" suaraku bergema hampa di kamar mandi. Terdengar suara tembok di pukul berkali-kali. Kesabaran tetangga kosanku pasti sudah habis.

***

Related chapters

  • I Love You, Mr. Brewok   Ice Wall (Resep Menghadapi Masalah)

    Ada 3 unsur wajib dalam merancang bangunan. Unsur keindahan, unsur kekuatan dan unsur fungsi bangunan. Simple sekali memang. Seharusnya begitu. Tetapi bila yang menjelaskan itu adalah dia, si Mr. Brewok itu, semuanya memantul setelah menyentuh kulit jidatku. Belum sempat penjelasannya itu di proses di dalam otak, kulitku sudah mengusir mereka semua pergi seakan-akan itu akan membuat hidupku semakin tidak karuan. Tidak ada satu pun penjelasan darinya yang bisa kumengerti. Pikiranku sibuk mencari-cari cara bagaimana caranya menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Terutama menjelaskan curhatan colongan di perpustakaan. Hanya mata kuliahnya saja yang membuatku gelisah dan gusar. Padahal sebenarnya tidak ada kesulitan yang berarti. Mata kuliah lain yang bahkan tingkat kesulitannya ada yang jauh lebih tinggi saja masih bisa kukuasai meski megap-megap. Selama 1 bulan ini, di luar semua berjalan normal seperti biasa karena aku juga tidak mau bertemu dan tidak berusaha untuk bertemu dengannya. B

    Last Updated : 2021-07-19
  • I Love You, Mr. Brewok   Curhat

    "Dia itu duda, Fin. Duda tanpa anak" ujar Ariana. Dia menginap di kosanku. "Ah serius lo? Tau dari mana?" tanyaku tak percaya pada Ariana. "Ya elah semua penghuni kampus juga tahu kali, kecuali elu kayanya" "Ia, tah? Apa karna aku udah terlanjur bete sama dia kali, ya?” “Maybe” “Trus istrinya kemana?" "Nah itu dia, sampai sekarang belum ada yang tau mantan istrinya siapa. Dia baru 2 tahun disini dan waktu dia pindah kesini juga dia udah jadi duda makanya ga banyak yang tau tentang hal yang privasi seperti itu" "Ooo jadi dia baru 2 tahun disini. Trus trus ada gosip-gosip apa lagi tentang dia?" "Hmm...wait...wait...wait...Lo suka, yah, sama dia?" tanya Ariana sambil mengunyah keripik singkong yang kami beli di supermarket tadi sore. “Suka? Sebel sih lebih tepatnya” “Sebel bisa kadi suka loh ujung-ujungnya” “Gila mana mungkinlah. Gue masih kecil, Nana” “Trus emang anak kecil ga boleh suka-sukaan gitu?” “Ya, ga sama dosen juga kali” “Itu kan menurut, lo. Coba deh menurut hati

    Last Updated : 2021-07-24
  • I Love You, Mr. Brewok   Simtom Jatuh Cinta

    Ada panggilan masuk dari bu Nilam saat aku mengantar Ariana ke pagar kosan. Dia menginap di kosanku lagi setelah kami pergi ke Dufan kemarin. Untung saja Ojek online Ariana sudah menunggu sedari tadi dan tidak perlu menunggu lama aku pun mengangkat panggilan itu. Oh ia aku dan bu Nilam sudah saling mengenal karena sering bolak-balik ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Bu Nilam ternyata orang yang ramah dan sangat asyik diajak ngobrol. Semua topik-topik pembicaraan bisa dia ikuti. Dari pembahasan yang sudah ketinggalan jaman hingga yang up to date. Kami berbincang hanya sekali-sekali dan tidak membahas hal-hal privasi. Dari bu Nilam juga aku berkenalan dengan Miss Gracelia Handoko, wanita yang lebih mirip artis dari pada jadi penghuni kampus, juga yang dikabarkan sedang PDKT dengan si Mr. Brewok tentunya. Saat tau dia adalah dosen Bahasa Inggris di fakultas Psikologi aku sempat benar-benar kagum padanya. Tapi, setelah mendengar cerita Ariana, rasa kagumku berkurang begitu saja. Sig

    Last Updated : 2021-07-29
  • I Love You, Mr. Brewok   POV : Janji

    "Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi. "Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya. "Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil. "Grace..."

    Last Updated : 2021-08-01
  • I Love You, Mr. Brewok   PKM Modus

    Hari-hari dikampus pun semakin indah setelah insiden romantis pelukan yang tidak sengaja itu. Angan-anganku berubah untuk bisa selalu bertemu dengannya setiap kali melangkahkan kaki di lingkungan kampus. Terkadang aku nekat untuk hanya sekedar lewat didepan ruangannya, tentunya setelah mempersiapkan alasan-alasan yang konkrit bila bertemu seseorang atau bahkan bila kebetulan bertemu dengannya saat melakukan aksi itu. Aku tau ini semua salah juga berlebihan. Aku tau dengan mengejarnya seperti ini takkan mengubah kata-kata DO di urutan-urutan efek cinta ini. Tapi kata hatikulah yang selalu mendorongku. Bila hampir semua orang membenci hari Senin, aku justru sebaliknya, hari Senin adalah hari favoriteku. Kalau saja semua hari berubah menjadi hari Senin pasti aku sangat-sangat bahagia. Kenapa? Karena di hari Senin tepatnya mata kuliah jam kedua adalah mata kuliahnya Pak Ferdi. Bila seluruh mahasiswa membenci dosen yang disiplin juga dosen yang tak pernah absen, itu tidak berlaku padaku. M

    Last Updated : 2021-08-09
  • I Love You, Mr. Brewok   Kesempatan Kedua

    “Ck! Apa yang harus kukakukan bila dia benar-benar datang kesini? PKM? Kuharap itu hanya alasan. Kuharap kau tidak melakukannya dan kuharap pelukan yang tidak sengaja itu tidak mempengaruhimu. Kalau kau benar-benar terpengaruh, aku takut. Takut itu akan melukaimu. Tidak ada alasan untuk memberimu kesempatan di hatiku ini. Selain itu aku tidak yakin apa kau bisa menerima....” Trrt...trrrt....trrttrrt Getaran handphone membuyarkan lamunan Ferdian. Dia bangkit dari tempat tidurnya mengambil hanpdhone di atas meja rias putih. "Halo Fer, ini aku Grace. Aku ganti nomor. Besok aku akan mampir ke rumahmu. Aku lagi belajar masak resep masakan yang baru. Aku mau kau orang yang pertama yang mencicipinya. Ok. Bye" sambungan telepon diputus tanpa meminta persetujuan dari Ferdi. Ferdi hanya bisa tersenyum atas tingkahnya itu. Kalau sudah sangat bersemangat, dia tidak akan pernah mau kompromi dengan hal-hal lain. Itulah Grace. Wajah semangat Grace selalu bisa menaikkan mood Ferdian. Dari dulu samp

    Last Updated : 2021-08-11
  • I Love You, Mr. Brewok   Penolakan Halus

    Ting...tong...ting...tong.... Ini sudah ketiga kalinya aku membunyikan bel. "Selamat pagi pak, saya Muffin mahasiswa bimbingan bapak, saya datang karena ingin mendiskusikan PKM yang kemarin pak" teriakku dari luar pagar kayu setinggi bahu. Aku sampai harus berjinjit agar bisa leluasa melihat kedalam. Ting...tong...ting...tong.... Kupencet lagi bel berbentuk kubus berwarna coklat antik di tiang penopang pintu pagar. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Jangan-jangan si Mr. Brewok itu tidak ada dirumah. Trus kemana? Ke kampus tidak mungkin. Ini kan hari Sabtu. Aku sudah cek jadwalnya. hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, rapat dan lain-lain. Dia benar-benar free. Seharusnya. Atau jangan-jangan dia masih tidur? Kulihat jam tanganku. Astaganaga, ini kan masih jam setengah tujuh. OMG!!! Aku pun membalikkan badan berjingkat pelan-pelan. Aku harus segera pergi dari sini sebelum suara bel dan teriakanku tadi membuatnya terbangun. Bisa kubayangkan bila itu terjadi sudah pasti akan kena semprot

    Last Updated : 2021-08-13
  • I Love You, Mr. Brewok   Muffin

    Pagi ini udara berhembus dingin meski sudah mendekati jam 7. Biasanya udara Jakarta sudah mulai menghangat. Langit yang seharusnya cerah malah berwarna gelap seakan hendak menakut-nakuti para pejuang pagi. Dari jendela ruangannya, Ferdian memandang kampus yang masih sepi. Atmosfir gelap dari perpaduan langit mendung dan udara dingin menambah dramatis sepinya kampus. Ferdian menaikkan suhu AC dari minimal ke 20 derajat Celsius. Dia lupa membawa jaket. Padahal biasanya selalu disimpan di mobil atau dibawa ke ruangan lalu digantung di salah satu tembok berpaku. Untunglah hari ini dia memakai kemeja lengan panjang. Bersama isi kepalanya Ferdian menyenderkan punggung ke kursi eksekutif hitam, kedua lengan rileks di atas lengan kursi dan wajahnya menengadah menyongsong memori kemarin. Ada dua orang saat ini bergantian hadir di dalam benaknya. Mantan istrinya dan mahasiswi bimbingannya. Mereka berdua menunjukkan sesuatu yang Ferdian sebenarnya tidak ingin menyadari itu. Sabtu pagi lalu, Gra

    Last Updated : 2021-08-15

Latest chapter

  • I Love You, Mr. Brewok   Pertanyaan Aneh Di Parkiran Mall

    “Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra

  • I Love You, Mr. Brewok   Sepakat Melalui Bahasa Cinta

    Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h

  • I Love You, Mr. Brewok   Not Enough

    “Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga

  • I Love You, Mr. Brewok   HE IS MY MAN!

    Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i

  • I Love You, Mr. Brewok   Promise Ring

    “Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga

  • I Love You, Mr. Brewok   Menikah?

    “Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me

  • I Love You, Mr. Brewok   Kacanya Gelap

    Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam

  • I Love You, Mr. Brewok   Diri Yang Sebenar-benarnya Mencintai

    Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da

  • I Love You, Mr. Brewok   Mas Ferdian

    “Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status