Home / Romansa / I Love You, Mr. Brewok / Ice Wall (Resep Menghadapi Masalah)

Share

Ice Wall (Resep Menghadapi Masalah)

Author: Mayht
last update Last Updated: 2021-07-19 18:33:20

Ada 3 unsur wajib dalam merancang bangunan. Unsur keindahan, unsur kekuatan dan unsur fungsi bangunan. Simple sekali memang. Seharusnya begitu. Tetapi bila yang menjelaskan itu adalah dia, si Mr. Brewok itu, semuanya memantul setelah menyentuh kulit jidatku. Belum sempat penjelasannya itu di proses di dalam otak, kulitku sudah mengusir mereka semua pergi seakan-akan itu akan membuat hidupku semakin tidak karuan. Tidak ada satu pun penjelasan darinya yang bisa kumengerti. Pikiranku sibuk mencari-cari cara bagaimana caranya menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Terutama menjelaskan curhatan colongan di perpustakaan. Hanya mata kuliahnya saja yang membuatku gelisah dan gusar. Padahal sebenarnya tidak ada kesulitan yang berarti. Mata kuliah lain yang bahkan tingkat kesulitannya ada yang jauh lebih tinggi saja masih bisa kukuasai meski megap-megap.

Selama 1 bulan ini, di luar semua berjalan normal seperti biasa karena aku juga tidak mau bertemu dan tidak berusaha untuk bertemu dengannya. Biarlah aku tidak bimbingan, biarlah aku bimbingan setelah di tegur olehnya, sudah terlanjur membuatnya kesal biarlah dia kesal sampai akhir.

Aku juga lebih banyak menyendiri, hanya sesekali saja kekantin bersama Nadia yang kebetulan kami satu kelas di kelas Dasar-dasar Struktur dalam Arsitektur, selebihnya kami sama-sama sendiri. Jadwal kami sama hanya di kelas itu. Sedangkan Ariana berada di fakultas Psikologi dan gedungnya jauh dari gedung fakultas Teknik. Paling-paling kami bertemu bila kebetulan jam mata kuliah kami sama-sama selesai. Kita janjian di perpustakaan, taman kampus atau kantin. Kadang-kadang di warung soto depan kampus. Dia juga sesekali menginap di kosanku. Aku tidak bisa menginap di rumahnya karna neneknya sedang kambuh sakitnya. Alzheimer. Terakhir kali aku kesana, neneknya mengamuk menyangka aku orang jahat. Dia sampai membawa pisau dapur mengejarku yang bahkan belum masuk ke rumahnya. Bukan hanya aku, kadang neneknya juga tidak mengenal Ariana dan menyangka akan menyakitinya. Dia akan mengamuk, menangis, menendang-nendang sampai beliau lelah sendiri dan tertidur. Barulah Ariana keluar rumah sekedar refreshing, jalan-jalan di kompleknya atau ke kosanku menginap, menceritakan semuanya. Seandainya kami ada di fakultas yang sama dengan jadwal yang sama pula aku pasti akan menemaninya setiap hari setiap waktu. Menyemangatinya dan mendukungnya. Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Dia juga sering sekali menolak bantuanku menemaninya. Dia jauh lebih tertutup,sangat berbeda dengan Ariana yang kukenal dulu. Itu juga salah satu alasan kami sudah tidak sedekat dulu lagi. Ariana wajahnya selalu bersedih saat kami bertemu. Aku sudah menyarankan agar dia pindah saja atau sekalian ngekost bareng denganku, toh, di rumah ada Paman dan istrinya yang mengurus neneknya, tapi paman dan ibu Ariana tidak mengizinkan. Pamannya juga sudah berjanji pada Ibunya untuk menjaga Ariana.

Oh, iya, masih ada Rinjani,temanku di kelas Pengantar Arsitektur. Kami selalu duduk bersama. Saling menunggui mengambil kursi jika salah satu dari kami telat masuk. Dan lagi, hanya itu jadwal kami yang sama. Sungguh menyedihkan. Ada beberapa orang yang jadwalnya sama denganku di beberapa kelas, tapi mereka biasanya sudah berkelompok. Hanya sesekali saja kami ber say hi. Aku juga merasa kurang bisa akrab dengan mereka saat pertamakali bergabung. Mereka terlalu menonjol dimana pun berada. Baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Aku kurang nyaman dengan mereka. Itu saja. Selebihnya mereka sangat baik padaku. Beberapa kali aku diantar pulang oleh salah satu dari anggota kelompok mereka. Ken Douglas. Itu pun hampir selalu kutolak. Ada cerita aneh diantara kami yang sebenarnya sangat tidak ingin aku ceritakan.

Dia pernah menembakku waktu kegiatan MOS jurusan masih berlangsung. Walaupun itu hanya permainan tapi sukses membuatku jadi sedikit menjauh darinya. Sepulang dari MOS dia menelponku. Tentu saja aku kaget. Aku tidak pernah memberikannya nomor Handphoneku. Saat kutahu itu dia, aku langsung mematikan panggilannya. Keselamatanku akan terancam bila aku dekat dengannya. Itu terlihat dari banyaknya tatapan-tatapan menusuk dari wanita-wanita lain yang seakan ingin menelanku hidup-hidup saat permainan tembak-menembak itu terjadi. Bulu romaku merinding saat di toilet kampus ada beberapa maba yang menyikutku saat kami berpapasan. Itu pasti alarm tanda bahaya, pikirku. Jadi, aku tidak akan mau bermain-main dengan idola mereka itu. Aku masih ingin selamat dan sukses menjadi seorang Arsitek.

Lagian aku belum pernah pacaran. Jangankan pacaran, jatuh cinta aja belum pernah. Alasan klise dan terpenting adalah aku belum mau mencerai-beraikan fokusku untuk cinta-cintaan seperti itu. Aku mau fokus dulu belajar di semester awal ini. Apalagi setelah insiden "Seorang Maba Terancam Menjadi Mahasiswa Abadi Setelah Tidak Mengenali Dosen Pembimbingnya, Bahkan Mengata-ngatai Dosen tersebut Tepat Di Wajah Sang Dosen". Sudah bisa dipastikan kedepannya, langkahku harus hati-hati sekali. Aku penasaran sampai semester berapa aku akan bertahan di sini.

"Kau tau...? Kita 1 dospem"

Sekejab mataku membelalak saat Ken Douglas sudah duduk di kursi depanku. Dua alasan : Dia adalah mahkluk berbahaya, membuat nyawaku terancam jika dekat-dekat dengannya dan kami satu dosen pembimbing. Ya, lengkap sudah penderitaanku. Info ini sangat berguna sekali untuk kemajuan perkuliahanku.

"Masa?"

"Bapak G. Ferdian M. Ars, kan?"

"Ajeee gileee takdir apa lagi ini?" kata-kata itu bergema nyaring di dalam tempurung kepalaku. Syaraf-syarafku nyaris rontok.

"Bimbingan bareng yuk...kemarin aku udah hubungin bapaknya, trus bapaknya menyuruh kita datang jam 3"

"Menyuruh kita?"

"Iya, beliau nanyain kamu, aku kenal atau enggak. Ya, aku bilang aja kenal. Kan kita emang kenal, kan?" tingkah manisnya mengedip-ngedipkan mata itu, kalau saja tidak ada fans-fansnya, mungkin saja aku akan senang dan terbang ke awan. Sunggguh, tapi aku benar-benar harus menghindarinya.

"Kalau kamu duluan aja boleh, ga? Aku nyusul sorean atau besok janjian lagi, gitu"

"Hm...kayanya ga bisa deh. Soalnya yang belum konsultasi kita doang. Yang lain udah selesai dari kemarin"

"Serius? Kita berdua doang?"

"Iya, kita berdua"

Glek!!! Jam 3 nanti, 2 orang pria yang ingin kuhindari akan berkumpul dalam 1 ruangan. Kalau dipikir-pikir lagi, ini kesempatan juga sih, setidaknya aku tidak sendirian menghadapi si Mr. Brewok itu. Ken Douglas bisa jadi tamengku nanti.

Segera saja kuanggukkan kepala tanda menyetujui tawarannya. Bukan sekedar tawaran biasa tapi tawaran yang wajib diambil kalau tidak ingin semakin menambah keburukan namaku di depan si dosen brewok itu.

***

Pukul 15.15

Kami berdua hanya bisa duduk diam, menunduk dan kaku dibangku kayu didepan mejanya. Meja si dosen Brewok. Kami terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan. Sebagai hukuman tidak langsung, dia membekukan kami berdua dengan 2 pedang freezer yang keluar dari matanya.

"Saya sangat tidak suka dengan manusia-manusia seperti kalian"

Bulu kudukku berdiri tegang. Suara dingin itu jelas sekali sama seperti saat dia mengusirku dari kelasnya.

"Ma..maaf pak tadi dosennya...."

"Orang-orang yang paling saya benci di dunia ini adalah, orang-orang yang suka sekali melontarkan seribu satu alasan atas kesalahannya, dan juga...tentu saja orang yang suka mengeluh dan menjelek-jelekkan dosennya"

Tenggorokanku tercekat. Nafasku seakan-akan sudah habis. Kalimat terakhir itu sudah pasti sindiran untukku. Aku meremas-remas ujung kemejaku.

"Tapi...karena kalian masih baru, untuk kali ini saya akan beri toleransi"

Kami menghembuskan nafas lega.

"Tapi tidak untuk selanjutnya...Tidak ada toleransi di kesalahan kedua. Terutama kamu Muffin"

"Uhuk...uhuk...uhuk...ma...maaf pak....Uhuk..uhukk" Ken menyenggolku di tengah-tengah batuk. Tenggorokanku sedari tadi tercekat dan gatal. Aku tidak bisa menahannya lagi. Si Dosen Brewok itu menggeser botol air mineral kedepanku. Aku mengambilnya setelah dia memberi kode dengan gerakan kepalanya.

"Terimakasih, pak" ucapku. Botol yang tadinya penuh kini sudah hampir setengahnya kosong.

"Saya sudah membicarakan mengenai keterlambatanmu, 3 hari lalu pada pak Djoko. Untung saja beliau bersedia memakluminya, jadi saya harap minggu depan jangan kamu ulangi lagi, mengerti?"

"Ia pak mengerti...saya berjanji tidak akan terlambat lagi, pak" ucapku bersemangat tersenyum padanya. Tetap saja gunung es diwajahnya itu tidak terpengaruh. Senyumku terbuang begitu saja.

30 menitan kemudian pembicaraan kami selesai. Kami sudah banyak dibekali olehnya mengenai semester-semester yang akan kami jalani. Dia juga menyinggung kami untuk lebih mengenal dosen-dosen di kampus. Kalau perlu menghafal semua nama-nama dosen sampai staf-stafnya sekaligus. Dia sesekali akan menanyakan pada kami mahasiswa bimbingannya untuk mengetes apakah sudah melakukan permintaanya itu atau tidak. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk mengerti sementara Ken mengangguk kebingungan.

Kami pun pamit pulang. Saat aku salim padanya-Si Ken Douglas itu entah kenapa tiba-tiba salim pada si Mr. Brewok. Aku dan beliau sama-sama terkejut dan mau tidak mau aku pun ikut melakukan hal yang sama. Itu memang sopan sekali dan aku juga terbiasa melakukan hal yang sama di sekolah dulu, tapi tetap saja ini awkward karena sejak hari pertama di kampus ini, aku jarang menemukan orang melakukan hal tersebut- kurasakan tangannya yang sangat hangat, berbanding terbalik dengan imejnya yang dingin. Jantungku terpacu dengan cepat.

"What's wrong with you? Plis, dia itu dosenmu, Muffin. Jangan macam-macam"

Diluar aku ber-high five dengan ken setelah akhirnya satu tugas berat ini sudah selesai. Kami tak habis-habisnya berbicara mengenai bimbingan tadi. Ken juga tidak habis-habisnya mempertanyakan tujuan permintaan si Dosen Brewok itu. Aku? Tentu saja memberikan alasan yang bisa masuk akalnya, yang bisa menutup mulutnya itu agar aku tidak kelepasan menceritakan alasan yang sebenarnya sudah sangat pasti kutahu. Ken Douglas tutup mulut berbahayamu itu!.

Saat kami menginjakkan kaki ditangga kedua terakhir dilantai dasar, aku terhenti "Oh my God...aku lupa, Ken. Kamu pulang duluan aja, deh. Aku masih ada urusan sama pak Ferdi, ok, bye" tanpa menunggu jawaban Ken aku langsung berlari lagi keatas, kelantai 3 yang membuat suara berisik dari hentakan kakiku menggema ke segala arah.

Nafasku masih tersenggal-senggal saat Mr. Brewok sudah ada didepanku, dilantai ujung, bersiap-siap menuruni tangga. Ekspresi dinginnya itu tidak berubah sama sekali.

"Selamat sore, pak"

"Ada apa lagi?"

"Ini, pak" aku merogoh tas mengambil saputangan warna hitam bergaris coklat yang diberikannya kemarin.

"Saya ingin mengembalikan sapu tangan ini, pak. Dan...terimakasih sebelumnya" aku menaiki satu tangga, memajukan tangan berisi saputangan itu padanya.

"Hanya itu?"

Tanganku turun karna tak kunjung di sambut olehnya "I...iya, pak"

Alisnya terangkat menuntutku berpikir keras apa ada sesuatu yang kulewatkan. Hingga akhirnya aku paham apa yang dia maksud.

"Saya...juga mau minta maaf, pak. Kemarin saya sudah lancang sekali menjelek-jelekkan,bapak"

"Bagus. Trus...?"

"Saya tidak akan mengulanginya lagi, pak"

"Ok. Saya maafkan. Semoga itu bisa jadi pembelajaran buat kamu kedepannya"

"Baik, pak. Terimakasih. Saputangannya, pak"

"Ambil saja"

Lalu dia pergi begitu saja melewati tanganku yang masih tersodor. Harum parfumnya yang segar dan manly menyebar di hidungku. Dia berlalu tapi kali ini aku lega. Akhirnya masalah-masalah itu selesai. Entah itu akan tetap mempengaruhi nilaiku atau tidak, tapi setidaknya aku sudah meminta maaf dan dia sudah memaafkan. Beban itu hampir setengahnya terangkat dari tumpukan sudut hatiku. Aku bernafas lega menyender ke dinding.

Kesabaran adalah kunci dari semuanya. Menghadapi langsung adalah langkah pertama. Berani mengakui kesalahan adalah senjata utama. Masalah pun terurai. Perlahan-lahan selesai lalu menghilang. Beban pun terangkat. Sesak pun berkurang.

Kini, aku menyadari itu semua. Tadi, saat mengakui kesalahan itu, tidak membutuhkan waktu yang banyak. Sangat singkat malah. Akan tetapi, dampaknya sangat nyata. Lega sekali. Tangis dan kegelisahan kemarin adalah bumbu-bumbunya. Hal wajar bagi manusia biasa apalagi manusia yang baru beranjak dewasa ini. Resep menghadapai masalah itu harus kutanamkan kedalam pikiranku mulai dari sekarang. Kelak, aku yakin akan berguna.

Walaupun dia sedingin es, tapi dia juga ikut andil memberikanku pengalaman yang berharga ini. Pengalaman yang sangat berguna ini. Sebagai ucapan terimakasih ingin rasanya kukirim berember-ember air panas kerumahnya hingga ice wallnya itu mencair, atau kalau perlu aku akan membangun kapal Titanic versiku lalu akan kutabrakkan padanya agar ice wallnya itu hancur berkeping-keping. Mr. Brewok!!!

**

Related chapters

  • I Love You, Mr. Brewok   Curhat

    "Dia itu duda, Fin. Duda tanpa anak" ujar Ariana. Dia menginap di kosanku. "Ah serius lo? Tau dari mana?" tanyaku tak percaya pada Ariana. "Ya elah semua penghuni kampus juga tahu kali, kecuali elu kayanya" "Ia, tah? Apa karna aku udah terlanjur bete sama dia kali, ya?” “Maybe” “Trus istrinya kemana?" "Nah itu dia, sampai sekarang belum ada yang tau mantan istrinya siapa. Dia baru 2 tahun disini dan waktu dia pindah kesini juga dia udah jadi duda makanya ga banyak yang tau tentang hal yang privasi seperti itu" "Ooo jadi dia baru 2 tahun disini. Trus trus ada gosip-gosip apa lagi tentang dia?" "Hmm...wait...wait...wait...Lo suka, yah, sama dia?" tanya Ariana sambil mengunyah keripik singkong yang kami beli di supermarket tadi sore. “Suka? Sebel sih lebih tepatnya” “Sebel bisa kadi suka loh ujung-ujungnya” “Gila mana mungkinlah. Gue masih kecil, Nana” “Trus emang anak kecil ga boleh suka-sukaan gitu?” “Ya, ga sama dosen juga kali” “Itu kan menurut, lo. Coba deh menurut hati

    Last Updated : 2021-07-24
  • I Love You, Mr. Brewok   Simtom Jatuh Cinta

    Ada panggilan masuk dari bu Nilam saat aku mengantar Ariana ke pagar kosan. Dia menginap di kosanku lagi setelah kami pergi ke Dufan kemarin. Untung saja Ojek online Ariana sudah menunggu sedari tadi dan tidak perlu menunggu lama aku pun mengangkat panggilan itu. Oh ia aku dan bu Nilam sudah saling mengenal karena sering bolak-balik ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Bu Nilam ternyata orang yang ramah dan sangat asyik diajak ngobrol. Semua topik-topik pembicaraan bisa dia ikuti. Dari pembahasan yang sudah ketinggalan jaman hingga yang up to date. Kami berbincang hanya sekali-sekali dan tidak membahas hal-hal privasi. Dari bu Nilam juga aku berkenalan dengan Miss Gracelia Handoko, wanita yang lebih mirip artis dari pada jadi penghuni kampus, juga yang dikabarkan sedang PDKT dengan si Mr. Brewok tentunya. Saat tau dia adalah dosen Bahasa Inggris di fakultas Psikologi aku sempat benar-benar kagum padanya. Tapi, setelah mendengar cerita Ariana, rasa kagumku berkurang begitu saja. Sig

    Last Updated : 2021-07-29
  • I Love You, Mr. Brewok   POV : Janji

    "Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi. "Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya. "Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil. "Grace..."

    Last Updated : 2021-08-01
  • I Love You, Mr. Brewok   PKM Modus

    Hari-hari dikampus pun semakin indah setelah insiden romantis pelukan yang tidak sengaja itu. Angan-anganku berubah untuk bisa selalu bertemu dengannya setiap kali melangkahkan kaki di lingkungan kampus. Terkadang aku nekat untuk hanya sekedar lewat didepan ruangannya, tentunya setelah mempersiapkan alasan-alasan yang konkrit bila bertemu seseorang atau bahkan bila kebetulan bertemu dengannya saat melakukan aksi itu. Aku tau ini semua salah juga berlebihan. Aku tau dengan mengejarnya seperti ini takkan mengubah kata-kata DO di urutan-urutan efek cinta ini. Tapi kata hatikulah yang selalu mendorongku. Bila hampir semua orang membenci hari Senin, aku justru sebaliknya, hari Senin adalah hari favoriteku. Kalau saja semua hari berubah menjadi hari Senin pasti aku sangat-sangat bahagia. Kenapa? Karena di hari Senin tepatnya mata kuliah jam kedua adalah mata kuliahnya Pak Ferdi. Bila seluruh mahasiswa membenci dosen yang disiplin juga dosen yang tak pernah absen, itu tidak berlaku padaku. M

    Last Updated : 2021-08-09
  • I Love You, Mr. Brewok   Kesempatan Kedua

    “Ck! Apa yang harus kukakukan bila dia benar-benar datang kesini? PKM? Kuharap itu hanya alasan. Kuharap kau tidak melakukannya dan kuharap pelukan yang tidak sengaja itu tidak mempengaruhimu. Kalau kau benar-benar terpengaruh, aku takut. Takut itu akan melukaimu. Tidak ada alasan untuk memberimu kesempatan di hatiku ini. Selain itu aku tidak yakin apa kau bisa menerima....” Trrt...trrrt....trrttrrt Getaran handphone membuyarkan lamunan Ferdian. Dia bangkit dari tempat tidurnya mengambil hanpdhone di atas meja rias putih. "Halo Fer, ini aku Grace. Aku ganti nomor. Besok aku akan mampir ke rumahmu. Aku lagi belajar masak resep masakan yang baru. Aku mau kau orang yang pertama yang mencicipinya. Ok. Bye" sambungan telepon diputus tanpa meminta persetujuan dari Ferdi. Ferdi hanya bisa tersenyum atas tingkahnya itu. Kalau sudah sangat bersemangat, dia tidak akan pernah mau kompromi dengan hal-hal lain. Itulah Grace. Wajah semangat Grace selalu bisa menaikkan mood Ferdian. Dari dulu samp

    Last Updated : 2021-08-11
  • I Love You, Mr. Brewok   Penolakan Halus

    Ting...tong...ting...tong.... Ini sudah ketiga kalinya aku membunyikan bel. "Selamat pagi pak, saya Muffin mahasiswa bimbingan bapak, saya datang karena ingin mendiskusikan PKM yang kemarin pak" teriakku dari luar pagar kayu setinggi bahu. Aku sampai harus berjinjit agar bisa leluasa melihat kedalam. Ting...tong...ting...tong.... Kupencet lagi bel berbentuk kubus berwarna coklat antik di tiang penopang pintu pagar. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Jangan-jangan si Mr. Brewok itu tidak ada dirumah. Trus kemana? Ke kampus tidak mungkin. Ini kan hari Sabtu. Aku sudah cek jadwalnya. hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, rapat dan lain-lain. Dia benar-benar free. Seharusnya. Atau jangan-jangan dia masih tidur? Kulihat jam tanganku. Astaganaga, ini kan masih jam setengah tujuh. OMG!!! Aku pun membalikkan badan berjingkat pelan-pelan. Aku harus segera pergi dari sini sebelum suara bel dan teriakanku tadi membuatnya terbangun. Bisa kubayangkan bila itu terjadi sudah pasti akan kena semprot

    Last Updated : 2021-08-13
  • I Love You, Mr. Brewok   Muffin

    Pagi ini udara berhembus dingin meski sudah mendekati jam 7. Biasanya udara Jakarta sudah mulai menghangat. Langit yang seharusnya cerah malah berwarna gelap seakan hendak menakut-nakuti para pejuang pagi. Dari jendela ruangannya, Ferdian memandang kampus yang masih sepi. Atmosfir gelap dari perpaduan langit mendung dan udara dingin menambah dramatis sepinya kampus. Ferdian menaikkan suhu AC dari minimal ke 20 derajat Celsius. Dia lupa membawa jaket. Padahal biasanya selalu disimpan di mobil atau dibawa ke ruangan lalu digantung di salah satu tembok berpaku. Untunglah hari ini dia memakai kemeja lengan panjang. Bersama isi kepalanya Ferdian menyenderkan punggung ke kursi eksekutif hitam, kedua lengan rileks di atas lengan kursi dan wajahnya menengadah menyongsong memori kemarin. Ada dua orang saat ini bergantian hadir di dalam benaknya. Mantan istrinya dan mahasiswi bimbingannya. Mereka berdua menunjukkan sesuatu yang Ferdian sebenarnya tidak ingin menyadari itu. Sabtu pagi lalu, Gra

    Last Updated : 2021-08-15
  • I Love You, Mr. Brewok   Tarik Ulur

    Drrt....drrtt...drrt... Handphone bergetar membangunkanku. Nomor bunda terpampang di layar. "Halo bunda?" "Selamat pagi sayang. Suaramu berat sekali, kau baru bangun?" "Ia bunda, aku baru bangun. Ada apa bunda? Perasaan baru kemarin kita ngobrol” "Ah...tidak ada apa-apa, perasaan bunda sedikit gelisah. Apa kau baik-baik saja disana sayang?" Aku terdiam sejenak. Apa bunda merasakan tangisanku tadi malam? Semalaman aku memang menangis. Menangisi kebodohanku di pendopo rumah pak Ferdian. "Baik-baik aja kok bunda, ga usah khawatir" kutambahkan sedikit bumbu nada ceria mengelabui bunda. Aku tak ingin membuat bunda khawatir. "Syukurlah kamu baik-baik saja sayang. Apa uangmu masih cukup?" "Masih kok bundaku sayang" "Ya sudah kalau begitu. Kamu ada kuliah hari ini?" "Ada. Masuk pagi pulang sore lagi. Ada kerja kelompok hufth...." "Looh kok mengeluh begitu? Semangat dong, putri bunda, kan, yang paling pintar dan paling semangat" "Hehehe...makasih ya bundaku, mmuach..." "Hmm...Ga t

    Last Updated : 2021-08-20

Latest chapter

  • I Love You, Mr. Brewok   Pertanyaan Aneh Di Parkiran Mall

    “Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra

  • I Love You, Mr. Brewok   Sepakat Melalui Bahasa Cinta

    Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h

  • I Love You, Mr. Brewok   Not Enough

    “Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga

  • I Love You, Mr. Brewok   HE IS MY MAN!

    Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i

  • I Love You, Mr. Brewok   Promise Ring

    “Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga

  • I Love You, Mr. Brewok   Menikah?

    “Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me

  • I Love You, Mr. Brewok   Kacanya Gelap

    Hawa kampus dingin membuat orang-orang menggigil. Hujan tadi malam masih meninggalkan jejak-jejak basah di tanah, daun, bangku taman, bunga-bunga sampai angin pun masih terasa basah. Hari pertama Semester Genap dimulai. Nafas hangat Ferdian berembun begitu bertemu angin dingin. Badan tegapnya bersabar menunggu di kursi taman tempat biasa Muffin duduk menghabiskan waktu sendirian. Beberapa bulan lalu, begitu dia mengetahui Muffin sangat sering duduk di bangku taman itu, Ferdian sampai merubah rute perjalanan ke parkiran atau dari parkiran hanya demi bisa melewati taman. Di saat perasaannya belum jelas mengarah kemana, tapi keinginannya untuk melihat Muffin meski hanya sekilas begitu kuat mendorongnya untuk melangkahkan kaki memutar arah yang lumayan jauh. Dulu dia juga masih merasa bersalah dengan perasaannya sendiri hingga langkahnya terkesan tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi. Saat ini bukan hanya rasa bersalah, ada rindu, marah, kecewa dan rasa cinta yang semakin berkembang. Bercam

  • I Love You, Mr. Brewok   Diri Yang Sebenar-benarnya Mencintai

    Kembali ke hari ke-tiga liburan mereka di Jogja, Ferdian semakin benar-benar tidak sabar ingin menunjukkan seluruh isi Jogja pada Muffin. Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sempit dan sedikit berbatu menuju Pantai Samas, dia tersenyum geli melihat Muffin tertidur pulas di samping kursi pengemudi. Sesekali kepala Muffin bergeser ke kanan dan ke kiri karena guncangan mobil di atas jalan yang tidak rata. Ferdian mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke pantai mengingat masih banyak tempat yang akan dia dan Muffin kunjungi. Ferdian berubah menjadi seperti anak kecil yang sangat antusias ketika menceritakan semua rencana-rencananya lalu menyuruh Muffin untuk duduk tenang dan tidur saja biar dia yang mempersiapkan semuanya untuk perjalanan ke depannya. Selain itu, di pagi yang masih gelap, mereka juga ingin mengejar sunrise. Ferdian ingin sekali menunjukkan betapa bagus dan indahnya matahari yang biasanya panas membara, muncul dengan jubah emas di kelilingi sihir menakjubkan da

  • I Love You, Mr. Brewok   Mas Ferdian

    “Coba sekali lagi, Ffin” “Ini udah ke 10 kalinya, mas” “Duh...coba lagi, deh. Siapa tahu dia keluar sebentar buat ngadem trus handphonenya ditinggal” “Mas Panjiii...Mr. Brewok tuh kalau udah emosi kaya gini, udah nggak bisa diapa-apain lagi. Dia tuh punya Ice Wall, tau nggak? Jadi kalau lagi keadaan kaya gini, dia pasti berubah jadi Ice Wall, susah buat dicairkan. Biarin aja cair sendiri” Muffin bangkit dari tempat tidur menghidupkan sakelar lampu tumblr kecil yang mengelilingi maketh rumah impiannya di atas meja belajar. Maketh itu akhirnya dia bawa ke rumah dan tidak lagi dipajang di kamar kosnya. Dia ingin maketh itu aman dan tentram berada di kamar di rumahnya. Maketh rumah impiannya yang di dalamnya ada miniatur dirinya dan Ferdian berdiri di teras rumah di kelilingi miniatur rumput hijau, saling tersenyum berpegangan tangan, masihlah belum sempurna. Masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi, ada beberapa bagian juga yang masih perlu di desain ulang. Bila atapnya di buka, te

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status