“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.
Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.
“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.
“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pikir adikmu pacaran dengan anak saya? Selama ini kamu berpikir bahwa adikmu berhubungan dengan laki-laki seusianya?!” sergah pria tua itu.
Roy dan Ken terkesiap. Keduanya menutup mulut untuk mencerna kata-kata yang keluar dari mulut si pria tua yang tengah duduk di hadapan mereka.
“SAYA ADALAH KEKASIH BERTHA! SAYA YANG MELAPORKAN DIA! DAN KALAU KAMU BILANG SAYA MELAPORKAN DIA TANPA BUKTI, SILAKAN TANYA POLISI, APA YANG SUDAH SAYA KIRIMKAN KE MEREKA!!!” bentak pria itu lagi.
Degub jantung Roy seakan berhenti. Matanya terbelalak tanpa berkedip sedetik pun. Ucapan yang diungkapkan laki-laki tua itu, seperti sangat tidak masuk akal. Seperti sebuah tipuan yang dilontarkan guna mengguncang jiwa Roy.
“Roy.. Kamu nggak apa-apa?” Ken menoleh wajah temannya yang membeku seketika.
“Saya sudah kirimkan rekaman CCTV kepada polisi. Rekaman itu jelas menunjukkan apa yang dilakukan Bertha! Dia membobol brankas saya dan mencuri lima butir berlian langka yang saya dapatkan dari Afrika Selatan. Berlian itu sangat langka! Kalau berlian itu hilang.. saya akan bunuh kamu dan adikmu! Bahkan nyawa kalian nggak cukup untuk mengganti harga berlian itu!” papar si pria tua dengan sangat tegas.
Roy bagai dihantam oleh tertimpa oleh sebuah gunung batu. Sesuatu yang ia dengar hari ini, bagai sebuah khayalan yang akan hilang ketika dia mengedipkan mata.
Sayangnya, semua adalah kenyataan!
“Berlian itu adalah potongan dari The Tiffany Yellow Diamond. Berlian kuning terbesar yang ditemukan di Afrika Selatan Tahun 1878! Masuk akal kan kalau saya menuntut Bertha untuk hukuman yang berat! Dia mencuri potongan dari berlian yang memiliki berat asli 287,42 karat. Walau pun kini potongan berlian itu hanya sebesar kuku, BERLIAN ITU TETAP LEBIH BERHARGA DARI SEPULUH NYAWA SEKALI PUN!” pria tua itu menekankan. Membuat Ken dan Roy ternganga.
“Tuan.. Saya memang tidak bisa mengganti berlian anda yang hilang. Tapi.. bisakah anda memberi Bertha kesempatan untuk menjelaskan semuanya? Dia pasti punya alasan kenapa dia mencurinya dari anda.. Bertha bukan gadis yang jahat! Saya sangat mengenal dia!” sanggah Roy. Dia berusaha untuk mengurangi aura membara yang sedang terjadi.
Ditahannya air mata Roy yang tengah menggenang agar tidak jatuh ke gundukan pipinya yang sedikit berisi. Membayangkan bagaimana nasib adiknya, terasa sangat menyakitkan.
DUGG..
Lutut Roy membentur lantai dengan cukup keras hingga menimbulkan bunyi yang khas. Dia hempaskan badannya ke bawah turun dari kursi dan memasang tubuh dalam posisi memohon dan berlutut di hadapan kekasih Bertha yang tengah gelap mata. Dia pasrahkan semuanya dan memohon kebaikan hati dari pria itu untuk mengakhiri kasus ini.
“Tuan.. Saya mohon.. Biarkan Bertha pulang.. Saya benar-benar tidak tahu di mana dia sekarang. Saya khawatir dia berada di tempat yang tidak aman. Bahkan nomornya tidak bisa dihubungi. Setelah dia ditemukan, saya janji akan membuatnya diadili sesuai dengan kesalahannya.. Tapi, kalau dia tidak bersalah, atau memiliki alasan yang cukup masuk akal... Tolong ampuni dia. Tolong cabut tuntutannya, Tuan.. Saya mohon..,” Roy memelas.
BRAAAKK!!
Pria tua itu menendang tubuh Roy hingga terhempas ke belakang. Roy jatuh tersungkur.
“ROYYY!!!” Ken mendekati Roy dan mencengkeram lengan Roy yang ditutupi oleh jaket panjang berwarna hitam pekat.
“Tuan.. Dia tidak bersalah sama sekali. Tolong perhatikan sikap anda!” ucap Ken tegas menengahi.
“Tuan Smith! Tolong jangan gunakan kekerasan.. Tujuan dari pertemuan ini bukan untuk saling mengadu kekuatan! Kita semua di sini untuk mengambil jalan yang terbaik!” petugas polisi yang menjadi saksi turut memperingatkan.
“JALAN TERBAIK? HAHAHAHA.. Jalan terbaik untuk masalah ini adalah temukan Bertha dan jatuhi dia hukuman mati! Saya ingin gadis itu menerima akibatnya. Kalau perlu, bunuh juga kakaknya yang merengek dan memohon seperti seorang pecundang ini! Mereka berdua pasti sama-sama pembawa masalah kalau dibiarkan hidup!!” sambung pria tua yang disebut-sebut namanya adalah Tuan Smith.
Tuan Smith memanglah seorang pengusaha meubel yang sangat tersohor di beberapa negara-negara besar. Dia juga salah satu kolektor berlian yang sangat antusias dan bersedia mencari berbagai jenis batu cantik itu hingga ke berbagai negara. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk meraih kekayaan dan pengakuan.
Tak heran jika Tuan Smith naik pitam jika salah satu jenis berliannya raib dibawa kabur oleh orang lain, meski pun orang itu adalah kekasihnya. Lima potong berlian kuning dari Afrika Selatan, adalah salah satu kesayangan Tuan Smith.
“Tuan! Anda juga dapat terkena hukuman jika melanggar prosedur! Jika anda ingin kasus anda segera diselesaikan, tolong patuhi aturan dan ikuti seluruh proses yang sedang polisi jalankan! JANGAN SAMPAI ANDA YANG DIPENJARA KARENA KASUS YANG ANDA LAPORKAN SENDIRI!” lanjut si petugas polisi.
Ken membantu Roy beranjak. Walau pun tubuh Roy dibalut pakaian tebal, sangat terlihat jelas bahwa tendangan Tuan Smith telah melukai Roy.
“Saya minta, temukan Bertha secepat mungkin! Mungkin saya bisa mengampuni nyawanya jika berlian itu kembali ke tangan saya dengan keadaan utuh. Itu pun jika kondisi berlian saya masih benar-benar baik-baik saja. Jika ada satu goresan pun di berlian itu, saya akan tetap menuntut dia! Dan satu lagi.. Bertha harus bersedia membuat permintaan maaf secara tertulis yang dipublikasikan ke seluruh media dunia! Walau pun dia tetap hidup, setidaknya namanya sudah tercemar di seluruh dunia!” ucap Tuan Smith.
“T..Tapi.. Tuan..,” Roy berbata-bata.
“CUKUP! Keputusan saya sudah bulat!” sambung Tuan Smith.
Tap.. Tap.. Tap..
Tuan Smith mendekati petugas polisi guna meminta untuk mengakhiri pertemuan kali ini. Dia meninggalkan Roy dan Ken yang masih terpaku di tengah ruangan minimalis itu. Dia tidak mempedulikan bagaimana Roy akan menerima semuanya.
“Ken.. Ken.. gimana ini.. Ken..,” Roy mengacak-acak rambutnya. Kepanikannya semakin menjadi-jadi.
“Tenang, Roy! Tenang! Kita harus nunggu sampai polisi menemukan Bertha. Kamu harus sering telepon ke nomor Bertha. Siapa tahu handphonenya aktif,” ucap Ken.
Ken memandang ke arah pintu ruangan dan memperhatikan Tuan Smith yang semakin lama semakin berjalan menjauh. Pria tua itu benar-benar kejam. Hanya karena sebuah berlian, dia sampai tidak mengasihani nyawa orang lain.
Tapi.. Kenapa Bertha senekat itu mencuri berlian Tuan Smith?
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Tap.. Tap.. Tap...Langkah kaki wanita muda sudah terdengar bahkan sebelum dia menampakkan wajahnya. Masih sama seperti saat pertama kali wanita itu berjalan melewati jendela kaca sebuah cafe. Tempat dimana Ken bekerja."Sudah sepuluh hari dia lewat di depan tempat ini.. Tapi, kayaknya nggak ada kemajuan sama sekali," ucap Ken sambil melepaskan celemeknya yang masih beberapa menit ia kenakan."Roy, aku harus ambil cuti hari ini. Tolong urus semuanya! Kamu bisa ambil bayaranku hari ini," sambung Ken sambil mengulurkan celemek itu kepada teman kerja satu shiftnya.“Hey! Ken! Mau kemana?” teriak Roy.Sayangnya, Ken sudah berlalu tanpa menggubris teman kerjanya.Dengan tergesa-gesa, Ken keluar dari pintu cafe. Matanya mencari-cari dimana wanita muda tadi pergi. Dia harus bisa mendapatkannya. Dia harus mengejarnya kemana pun wanita itu pergi.Ken berlari di sekeliling untuk memastikan wanita itu belum pergi terlalu jauh. Setida
“Udah lah, Ken. Kalau kamu banyak pikiran begini, bisa-bisa kamu anter pesanan yang salah ke meja pelanggan,” ucap Roy mendekati Ken yang duduk menopang dagu di meja barista. Pikirannya mengawang entah kemana.“Ya, gimana lagi, Bro! Polisi belum ngasih kabar lagi. Aku jadi makin panik. Udah hampir satu minggu. Tapi, nggak ada kemajuan apa-apa,” jawab Ken lesu. Wajahnya seperti tidak dialiri darah.“Ayolah.. Kamu juga akhir-akhir ini jarang makan, lho! Nanti kurus kayak aku, hahaha,” hibur Roy.Tapi tetap saja, gurauan Roy seperti terhalang tabir surya. Tidak ada reaksi yang memuaskan dari Ken. Wajahnya tetap bermuram durja di kala cafe sepi pengunjung.“Kalau cafe lagi sepi gini, mendingan kamu lihatin chef-chef di belakang yang lagi masak. Lihatin orang masak tuh hiburan banget, lho. Untung-untung kalau mereka mau ngajarin kita. Tapi jangan sama chef Danny. Dia galak banget! Mana pelit ilmu lagi,” tukas Roy
“Spicy Chicken Cake?” Sarah penasaran.Baru kali ini Sarah mengetahui ada cake yang dibuat dari daging ayam dan didominasi dengan rasa gurih pedas.“Bukannya semua cake itu mayoritas manis, ya? Kalau pun asin, itu karena karena tambahan keju.. Aku baru tahu ada cake ayam pedas di kota ini,” lanjut Sarah.“Selama aku kerja di sini juga aku belum pernah cobain cake itu, Sar. Aku nggak suka makanan pedas. Apa lagi cake rasanya bener-bener membakar lidah. Dari pada aku sakit perut, mendingan nggak usah coba-coba, kan?” Ken menimpali.“Menu ini adalah Signature Dish (makanan khas/identitas) di cafe La Pose. Banyak lho yang udah nyobain.. Aku selalu saranin ini buat para pelanggan. Kamu mau coba?” tanya Roy dengan sumringah.“Emm.. Kenapa makanan itu bisa spesial? Bukannya hampir sama kayak pizza?” tanya Sarah.“Eiitsss.. Beda dong! Makanan ini supeeeer lembut. Tapi, ada beberapa po
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m