“Udah lah, Ken. Kalau kamu banyak pikiran begini, bisa-bisa kamu anter pesanan yang salah ke meja pelanggan,” ucap Roy mendekati Ken yang duduk menopang dagu di meja barista. Pikirannya mengawang entah kemana.
“Ya, gimana lagi, Bro! Polisi belum ngasih kabar lagi. Aku jadi makin panik. Udah hampir satu minggu. Tapi, nggak ada kemajuan apa-apa,” jawab Ken lesu. Wajahnya seperti tidak dialiri darah.
“Ayolah.. Kamu juga akhir-akhir ini jarang makan, lho! Nanti kurus kayak aku, hahaha,” hibur Roy.
Tapi tetap saja, gurauan Roy seperti terhalang tabir surya. Tidak ada reaksi yang memuaskan dari Ken. Wajahnya tetap bermuram durja di kala cafe sepi pengunjung.
“Kalau cafe lagi sepi gini, mendingan kamu lihatin chef-chef di belakang yang lagi masak. Lihatin orang masak tuh hiburan banget, lho. Untung-untung kalau mereka mau ngajarin kita. Tapi jangan sama chef Danny. Dia galak banget! Mana pelit ilmu lagi,” tukas Roy sembari tangannya merapikan cangkir-cangkir kopi di laci kaca.
“Aku lagi nggak selera buat begitu, Roy. Pikiranku masih amburadul. Masih kacau balau,” jawab Ken singkat.
“Ya, aku tahu kalau kamu masih mikirin orang tua kamu yang tiba-tiba menghilang satu minggu lalu. Aku juga khawatir karena selama ini mereka baik banget sama aku. Aku curiga ada perampok yang masuk ke rumah kamu,” Roy menghentikan aktifitasnya. Tubuhnya ia dudukkan di kursi kayu yang ada di samping Ken.
“Kalau sampai aku nemuin orang yang nyulik orang tuaku, bakal aku habisin orang itu! Kalau mereka punya dendam sama Mama Papaku, nggak kayak gini dong caranya!” nada Ken meninggi. Kekesalan dan rasa sakit hatinya mengusik di jiwanya lagi.
“Udah.. Udah.. Tenang.. Sekarang, kamu cuma harus makan yang banyak. Kondisimu jangan sampai menurun. Kan nggak lucu kalau orang tuamu udah ketemu ehhh.. malah kamu yang sakit. Makanya, kamu harus bener-bener jaga kondisi!” ucap Roy menasehati.
“Dih, perhatian banget kamu, Roy! Naksir ya sama aku? Dihhh!” gurau Ken sinis.
“Amit-amit! Mending aku jomblo seumur hidup dari pada harus jeruk makan jeruk! (suka sesama jenis),” sahut Roy.
Terlihat senyuman dan tawa kecil nampak dari wajah Ken. Akhirnya, Roy berhasil menghibur Roy walau pun hanya sekejap. Tak heran, walau Roy tiga bulan lebih muda dari Ken, tapi Roy seringkali menjadi sosok kakak untuk Ken.
“Nah, gitu dong ketawa! Hahahaha!” celetuk Roy.
Ken hanya geleng-geleng melihat tingkah teman kerjanya yang sekaligus teman dekatnya sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMA). Satu-satunya alasan mengapa mereka bisa bekerja di Cafe La Pose adalah karena cafe itu milik Kak Edward, kakak ipar Ken. Ya! Kak Edward menikah dengan Kak Rose (kakak kandung Ken) dua tahun lalu dan mendirikan sebuah cafe yang menjual aneka ragam kopi dan makanan penutup.
Saat peresmian cafe selesai, tentu saja Ken dapat bekerja di tempat itu tanpa harus repot mengirim surat lamaran. Dan beruntungnya, Ken menggandeng salah satu sahabatnya untuk bekerja bersama dia. Dia adalah Roy.
“Kemarin kamu kabur kemana sih, Ken? Bisa-bisanya kamu ninggalin aku sendirian waktu cafe lagi ramai-ramainya! Tega banget ya kamu,” omel Roy.
“Yaaa, ada lah pokoknya. Bantuin orang!” jawab Ken singkat.
“Hmmm.. Pasti kamu pakai kemampuan unikmu lagi ya? Ada apa lagi kemarin? Orang makan batu? Anak kecil makan kelereng? Orang makan sate kambing yang udah busuk?” tanya Roy beruntun.
“Enggak, lah! Beda ini kasusnya. Lebih menantang!” jawab Ken.
“Hmm.. Pasti urusan sama cewek kemarin yang lewat yaaa.. Cakep juga lho cewek itu.. Sayangnya, kayak orang mabuk. Kayak nggak terawat, berantakan, pakaiannya kotor.. Iyuuuh. Nggak banget deh! Jangan sampai kamu suka sama cewek itu,” celoteh Roy dengan ekspresinya yang berlebihan. Seperti benar-benar jijik terhadap Sarah.
“Dih. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama dia. Aku cuma nolongin dia doang! Sebatas itu. Nggak lebih,” Ken membela diri.
Melihat temannya yang salah tingkah, Roy hanya terkekeh.
“Kalau lagi santai begini, kamu nggak usah pakai pakaian yang terlalu rapi, Roy! Ini kan cuma cafe. Kamu nggak perlu pakai pakaian serba formal gitu. Kemeja panjang, celana panjang, topi.. Bahkan kamu juga pakai sepatu formal dan sarung tangan. Kamu nyaman-nyaman aja pakai pakaian lengkap begitu? Aku aja cuma pakai kaos dan celana jeans. Sama sendal. Udah! Simpel kan?” papar Ken tegas.
“Yee.. Kamu sih nggak tahu gimana rasanya punya alergi udara dingin. Kalau aku sampai kedinginan, badanku jadi gatal-gatal. Kulitnya timbul ruam kemerahan. Paling parah sih di tangan sama kaki. Kalau wajah masih aman lah.. Tapi kadang buat jaga-jaga, aku juga sedia masker,” jawab Roy.
“Tapi, kamu dulu SMA baik-baik aja, lho. Inget kan kita pernah main basket sambil hujan-hujanan?” tanya Ken lagi.
“Iya dulu sih nggak begitu parah. Nggak selalu kambuh juga.. Tapi, makin kesini makin nggak beres. Apa aku harus periksa ke dokter kulit, ya? Kalau lagi gatal tuh rasanya bikin nggak betah!” keluh Roy. Wajahnya terlihat bingung dan khawatir.
Dua bulan pertama Roy kerja di cafe, dia masih baik-baik saja. Dia sesekali masih bisa pakai pakaian lengan pendek walau pun dia selalu menyediakan jaket tebal di dekatnya. Tidak disangka, penyakit itu bisa menjadi parah hanya karena udara yang semakin dingin.
“Yaa.. bisa sih kapan-kapan kamu cek ke dokter. Siapa tahu penyakitmu bisa sembuh. Biar bisa main basket sambil hujan-hujannan lagi, HAHAHAHA!” canda Ken.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang mereka bicarakan bersama. Sampai saat mereka tengah tertawa, seorang pelanggan datang.
Tingg..
Bel tanda pelanggan datang berbunyi.
“Ah, akhirnya ada yang datang. Heran deh sepi banget dari tadi,” ucap Roy sembari beranjak dari tempat duduknya.
“Silakan, Kak.. Mau pesan apa?” tanya Roy dengan ramah.
“Saya mau pesan itu,” jawab pembeli itu sambil menunjukkan jarinya ke arah Ken.
“Hah? Kamu mau beli teman saya?” Roy kebingungan.
Mendengar hal itu, Ken yang awalnya kembali melamun tanpa memperhatikan siapa yang datang, sontak menoleh ke arah meja pemesanan.
“Sarah?” ucap Ken terkejut.
“Hai, Ken,” jawab Sarah dengan senyum lebar yang memenuhi bibirnya.
Sarah terlihat jauh berbeda. Dia mengenakan kaus bermotif bunga-bunga yang dipadu dengan celana jeans biru. Rambutnya, dipotong hingga menggantung tak menyentuh bahunya. Tak lupa dengan make up natural yang lembut. Wajahnya terlihat sangat bersih dan ceria.
Sarah, sangat cantik!
“Wah.. Wah.. Ada yang tiba-tiba berubah jadi super model,” ucap Ken ringan. Wajahnya terpesona dengan sosok cantik yang baru ia kenal kemarin.
“Hah? Aku cuma perbaiki diri sedikit. Biar kamu nggak ngatain aku kayak zombie lagi,” gurau Sarah.
Roy masih melongo dan mencerna apa yang terjadi.
“Nih, cewek yang kemarin!” tukas Ken dengan percaya diri.
“Hah? Serius? Kamu yang kemarin kayak orang mabuk itu?” tanya Roy tergesa-gesa.
“Hahaha.. Ya, anggap aja aku udah sembuh dan jadi Sarah yang baru. Orang yang berusaha bangkit dari keterpurukan,” jawab Sarah. Ucapannya begitu cerdas dan ringkas. Sedikit mengusik hati Ken.
Roy masih belum selesai melongo.
“Udah.. Udah.. Kamu pengen makan apa? Biar aku yang bayar. Kamu bilang aja sama si Roy, tuh,” pinta Ken.
“Oh.. Nama kamu, Roy.. Jadi, Roy, ada rekomendasi makanan yang khas di sini?” tanya Sarah.
Roy tersenyum. Dengan sigap dia tunjukkan sebuah foto makanan di sebuah buku menu.
“Ini! Namanya Spicy Chicken Cake!” kata Roy dengan antusias.
“Spicy Chicken Cake?” Sarah penasaran.Baru kali ini Sarah mengetahui ada cake yang dibuat dari daging ayam dan didominasi dengan rasa gurih pedas.“Bukannya semua cake itu mayoritas manis, ya? Kalau pun asin, itu karena karena tambahan keju.. Aku baru tahu ada cake ayam pedas di kota ini,” lanjut Sarah.“Selama aku kerja di sini juga aku belum pernah cobain cake itu, Sar. Aku nggak suka makanan pedas. Apa lagi cake rasanya bener-bener membakar lidah. Dari pada aku sakit perut, mendingan nggak usah coba-coba, kan?” Ken menimpali.“Menu ini adalah Signature Dish (makanan khas/identitas) di cafe La Pose. Banyak lho yang udah nyobain.. Aku selalu saranin ini buat para pelanggan. Kamu mau coba?” tanya Roy dengan sumringah.“Emm.. Kenapa makanan itu bisa spesial? Bukannya hampir sama kayak pizza?” tanya Sarah.“Eiitsss.. Beda dong! Makanan ini supeeeer lembut. Tapi, ada beberapa po
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m