“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.
“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.
“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.
“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.
Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia khawatir Roy akan melakukan hal yang tidak masuk akal saat dirinya terpuruk memikirkan Bertha.
Hari ini terasa lebih berat karena pertemuan dengan Tuan Smith tidak berakhir menyenangkan. Beban yang ditambahkan Tuan Smith justru semakin besar. Bagaimana bisa Bertha ditemukan dalam waktu singkat?
“Sekarang kamu di mana, Ken? –Meeooowww..,” tanya Kak Rose dibarengi dengan suara nyaring anggora kesayangannya yang manja.
“Lagi di jalan, Kak.. Mau pulang,” jawab Ken singkat. Nada suaranya sangat parau dan lemas.
“Hey.. Jangan lemes gitu, dong! Cepetan pulang, ya. Kalau bosen di rumah, kamu mampir ke sini aja. Kakak mau beli makanan buat Lucifer dulu. BYEEE!!” sambung Kak Rose mengakhiri percakapannya.
Tut..
Sambungan telepon terputus.
“Hufftt..,” Ken menghembuskan napas berat. Kepalanya pening di mana setiap hari masalahnya malah semakin bertambah.
Setapak demi setapak kaki Ken menyusuri trotoar yang kering dan berpasir. Menyebabkan hentakan sepatu putihnya menjadi sedikit licin. Hari sudah mulai sore.. saat di mana banyak orang yang berlalu lalang memenuhi jalan. Jalan raya di sampingnya, penuh dengan kendaraan bermotor yang saling mendahului satu sama lain.
“Mungkin orang-orang itu pengen cepet sampai rumah karena keluarganya nunggu.. Pantes aja mereka sampai ngebut tanpa lihat kanan kiri,” batin Ken.
BRUMMMM…
Mobil-mobil besar melaju dengan begitu cepat di jalanan yang luas itu. Di tepi-tepi trotoar, banyak sekali pedagang kali lima yang sibuk mengemasi gerobak atau sepeda untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Ah.. Pasti mereka udah nggak sabar buat kumpul sama keluarga mereka,” batin Ken lagi.
Melihat pemandangan orang-orang bahagia yang hendak pulang, justru membuat perasaan Ken bagai disayat belati.
“Mamaaa.. Nanti beli roti bakar dulu, yaaaa.. Roti yang isinya selai nanas!” teriak gadis kecil berusia lima tahun yang berjalan berpapasan dengan Ken. Gadis itu begitu ceria dengan jemarinya yang digenggam erat oleh ibunya.
“Iya, sayang.. Nanti kita beli roti bakar yang banyak..,” jawab ibu gadis kecil itu.
“Nanti beli yang cokelat juga buat Papa ya, Maa.. Papa kan suka makan cokelat kalau malam,” celetuk gadis kecil itu lagi.
Tap.. Tap.. Tap..
Langkah ceria dua perempuan yang wajah riangnya, tidak berani Ken tatap terlalu lama. Rasa iri dan sedih merasuk ke dalam relung hati Ken. Di saat orang lain berbagi cerita dengan keluarganya, justru Ken harus sibuk mencari di mana keberadaan orang tuanya.
“Mama.. Papa.. kalian dimana..,” panggil Ken dalam hati.
“Papaaa.. Nanti malem gantian Papa yang bacain buku cerita buat aku! Papa udah satu minggu di luar kota. Papa harus habisin waktu buat aku!!” omel seorang gadis kecil lainnya.
Gadis kecil dengan rambut diikat dua yang sedang mengomeli Papanya dari jok belakang mobil sedan berwarna merah tua. Mobil itu berhenti di tepi jalan dan percakapan mereka tidak sengaja Ken dengan saat tubuh Ken berjalan melaluinya.
“Iya, Nak.. Nanti Papa ceritain dongeng yang bagus. Besok kita ke kebun binatang, ya.. Kamu belum pernah lihat lumba-lumba, kan?” jawab Papa gadis itu dengan kedua tangan menggenggam kemudi mobil.
Percakapan itu semakin menyayat hati Ken. Bayangan-bayangan mengenai masa lalunya bersama kedua orang tuanya seketika menyelinap ke dalam otaknya. Saat Mama dan Papa Ken memberikan sepeda saat hari ulang tahun Ken yang ke delapan, perjalanan mereka ke sebuah pasar malam kota, pasta paling enak yang selalu mereka makan di akhir pekan, dan banyak kenangan lain yang menyelip di pikiran Ken. Semua seakan ditampakkan secara sengaja untuk membuat Ken semakin lemah.
Tap..
Tap..
Langkah Ken melambat dan berhenti seketika di depan sebuah restauran kecil bergaya barat yang unik. Restauran itu didominasi dengan warna putih tulang. Dekorasinya juga menawan yang sederhana. Meski terkesan mewah, tempat itu lebih memberikan kesan hangat dan lembut.
“Ma.. Pa.. kapan kita bisa makan pasta lagi di sini?” ucap Ken lirih. Ditatapnya bangunan itu dengan tatapan nanar. Otaknya kembali menampilkan rekaman saat dia dan orang tuanya mengunjungi restauran ini seminggu sekali di akhir pekan.
Kenangan-kenangan di mana dia selalu membeli pasta tanpa cabai..
Membeli porsi paling besar dan isian yang lengkap..
Dan kenangan di mana Papanya selalu menghabiskan sisa pasta Mamanya karena selalu tidak dihabiskan.
Kenangan bersama orang tuanya, adalah kenangan yang seluruhnya indah.
Tanpa disadari, setitik air bening jatuh dari kelopak matanya. Air yang turun dengan begitu cepat mengalir membasahi pipi Ken.
BUKK!!!
“HEY! Jangan berdiri di tengah jalan, dong!” seorang pria tidak sengaja menyenggol tangan Ken karena tubuh tinggi Ken mematung di tengah trotoar menatap tajam setiap detail restauran pasta itu beserta kenangannya.
“Roti.. Selada.. Jus Alpukat.. yang udah dimakan lima jam lalu,” ucap Ken dalam hati. Sentuhan tak disengaja itu secara langsung mengaktifkan kemampuan Ken untuk kesekian kalinya.
DUGGG!!
“Kak! Tolong jangan berdiri di tengah jalan! Anda mengganggu perjalanan orang lain!” protes orang dewasa lainnya yang tak sengaja pula menyenggol tangan Ken yang tidak tertutup baju.
“Susu.. olahan daging rusa.. kunyit yang lumayan banyak.. kentang.. Ada dua lalat yang nggak sengaja tertelan,” batin Ken lagi.
Pikiran sedih tentang orang tuanya, bercampur dengan gambaran-gambaran makanan yang masuk ke otaknya. Walau pun pikirannya jadi terkecoh, hal itu bukanlah sesuatu yang asing bagi Ken. Karena memang begitulah cara kerja kemampuannya. Memberikan gambaran isi pencernaan tanpa memandang waktu dan tempat!
Ken mengerjap-ngerjapkan matanya. Diusapnya wajahnya dua kali untuk mengembalikan kesadarannya yang sempat terbuai oleh kenangan masa lalu.
“Ah.. Harusnya aku naik bus aja..,” tukas Ken lirih.
Tap.. Tap..
Langkah berat itu ia lanjutkan agar segera sampai ke rumahnya yang dingin dan sunyi.
DUGG!
BRUKK!
Lagi-lagi, seseorang tidak sengaja menyenggol Ken tubuh Ken. Tapi kali ini orang itu sampai jatuh tersungkur di samping tubuh Ken. Tubuh yang tidak terlihat jelas penampakannya.
“ADUHHH!!!” pekik orang itu. Sebuah suara yang cukup nyaring.
Suara seorang wanita!
Dilihatnya wanita yang jatuh di sisi kanan Ken. Tubuhnya ditutupi dengan jubah panjang berwarna abu-abu. Sebuah mantel sangat besar yang terbuat dari bahan bulu. Saking besarnya, mantel itu justru terlihat lebih seperti jubah. Bahkan kepalanya pun tertutup oleh tudung dari mantel jubah itu.
Seluruh tubuhnya sama sekali tidak terlihat dengan jelas. Wanita itu sibuk mengusap bagian bawah mantelnya yang kotor karena terjatuh.
“Ah.. Maaf.. Saya terburu-buru.. Saya juga tidak memperhatikan jalan. Saya tidak tahu kalau di depan saya ada orang..,” ucap wanita itu sambil tetap mengusap mantelnya.
“Ah, saya yang seharusnya minta maaf. Saya berjalan di tengah trotoar dan menghalangi pejalan kaki lainnya.. Tolong biarkan saya membantu..,” Ken merendahkan tubuhnya untuk mengulurkan jemarinya kepada wanita itu guna membantunya berdiri.
“Ah terima kasih..,” jawab wanita itu menerima uluran tangan Ken.
GRABB!!
Genggaman tangan wanita itu sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga bangkit dari posisi duduknya. Tapi, wajah tertunduknya masih dalam posisi yang sama. Tudung mantelnya yang begitu besar cukup untuk menutupi kepala wanita itu dengan sempurna.
“Sekali kali maafkan saya..,” kata wanita itu.
Entah apa yang terjadi, Ken sama sekali tidak menjawab ucapan maaf dari wanita yang baru saja ditolongnya.
“Permisi? Kenapa anda diam saja?” wanita itu memanggil Ken lagi.
Seperti yang terjadi sebelumnya..
Ken, melihat apa isi pencernaan orang lain..
“The Tiffany Yellow Diamond..,” batin Ken terkejut.
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Tap.. Tap.. Tap...Langkah kaki wanita muda sudah terdengar bahkan sebelum dia menampakkan wajahnya. Masih sama seperti saat pertama kali wanita itu berjalan melewati jendela kaca sebuah cafe. Tempat dimana Ken bekerja."Sudah sepuluh hari dia lewat di depan tempat ini.. Tapi, kayaknya nggak ada kemajuan sama sekali," ucap Ken sambil melepaskan celemeknya yang masih beberapa menit ia kenakan."Roy, aku harus ambil cuti hari ini. Tolong urus semuanya! Kamu bisa ambil bayaranku hari ini," sambung Ken sambil mengulurkan celemek itu kepada teman kerja satu shiftnya.“Hey! Ken! Mau kemana?” teriak Roy.Sayangnya, Ken sudah berlalu tanpa menggubris teman kerjanya.Dengan tergesa-gesa, Ken keluar dari pintu cafe. Matanya mencari-cari dimana wanita muda tadi pergi. Dia harus bisa mendapatkannya. Dia harus mengejarnya kemana pun wanita itu pergi.Ken berlari di sekeliling untuk memastikan wanita itu belum pergi terlalu jauh. Setida
“Udah lah, Ken. Kalau kamu banyak pikiran begini, bisa-bisa kamu anter pesanan yang salah ke meja pelanggan,” ucap Roy mendekati Ken yang duduk menopang dagu di meja barista. Pikirannya mengawang entah kemana.“Ya, gimana lagi, Bro! Polisi belum ngasih kabar lagi. Aku jadi makin panik. Udah hampir satu minggu. Tapi, nggak ada kemajuan apa-apa,” jawab Ken lesu. Wajahnya seperti tidak dialiri darah.“Ayolah.. Kamu juga akhir-akhir ini jarang makan, lho! Nanti kurus kayak aku, hahaha,” hibur Roy.Tapi tetap saja, gurauan Roy seperti terhalang tabir surya. Tidak ada reaksi yang memuaskan dari Ken. Wajahnya tetap bermuram durja di kala cafe sepi pengunjung.“Kalau cafe lagi sepi gini, mendingan kamu lihatin chef-chef di belakang yang lagi masak. Lihatin orang masak tuh hiburan banget, lho. Untung-untung kalau mereka mau ngajarin kita. Tapi jangan sama chef Danny. Dia galak banget! Mana pelit ilmu lagi,” tukas Roy
“Spicy Chicken Cake?” Sarah penasaran.Baru kali ini Sarah mengetahui ada cake yang dibuat dari daging ayam dan didominasi dengan rasa gurih pedas.“Bukannya semua cake itu mayoritas manis, ya? Kalau pun asin, itu karena karena tambahan keju.. Aku baru tahu ada cake ayam pedas di kota ini,” lanjut Sarah.“Selama aku kerja di sini juga aku belum pernah cobain cake itu, Sar. Aku nggak suka makanan pedas. Apa lagi cake rasanya bener-bener membakar lidah. Dari pada aku sakit perut, mendingan nggak usah coba-coba, kan?” Ken menimpali.“Menu ini adalah Signature Dish (makanan khas/identitas) di cafe La Pose. Banyak lho yang udah nyobain.. Aku selalu saranin ini buat para pelanggan. Kamu mau coba?” tanya Roy dengan sumringah.“Emm.. Kenapa makanan itu bisa spesial? Bukannya hampir sama kayak pizza?” tanya Sarah.“Eiitsss.. Beda dong! Makanan ini supeeeer lembut. Tapi, ada beberapa po
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m