Dua jam berlalu..
Tap..
Tap..
Tap..
“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.
“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.
Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.
“Ruang ICU”.
Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.
“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lagi.
“Emm.. Baik, kak.. Boleh aku tahu namamu?” tanya Ken lagi.
“Carmen!” jawabnya singkat.
Pak Antony hanya duduk tenang di samping Ken. Perasaannya tak kalah cemas.
“Hey, nak! Bagaimana kamu bisa tahu kalau nenek itu makan jamur beracun? Apa kamu punya kemampuan khusus?” bisik Tuan Antony.
Tap..
Tap..
Langkah kaki Kak Carmen masih terdengar begitu nyaring. Sepatu dengan heels tingginya benar-benar berisik.
“Iya.. Semacam itulah Pak Antony,” jawab Ken singkat.
“Emm.. Semacam peramal? Cenayang? Dukun? Pembaca kartu tarot? Paranormal?” tanya Tuan Antony beruntun, yang kemudian didengar oleh Kak Carmen yang sedang gelisah. Wajah tegang Kak Carmen sesekali menoleh ke arah Ken dan Tuan Antony.
“Anggap saja seperti peramal isi perut, Pak.. Tapi, saya nggak bisa menjelaskan lebih jauh karena ini bukan waktu yang tepat..,” jawab Ken lagi.
Kriiiieeet..
Seketika itu, sesuatu yang mereka nanti-nantikan akhirnya tiba. Dokter keluar dari ruang ICU. Dengan sigap, Kak Carmen menghentikan dokter itu dan menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Dokter! Bagaimana kondisi ibu saya? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia bisa diselamatkan?” tanya Kak Carmen panik.
“Anda.. keluarganya?” tanya pria tua yang menjabat sebagai dokter itu.
Kak Carmen mengangguk.
“Kalau begitu.. bagaimana kalau kita ngobrol di ruangan saya saja? Saya akan jelaskan semuanya,” pinta sang dokter.
Kak Carmen menyetujuinya dan ia mengikuti langkah kaki dokter itu. Ia tinggalkan Ken bersama Pak Antony di tempat yang sama.
***
“Jadi, bagaimana kondisi ibu saya, dok?” tanya Kak Carmen dengan nada bicaranya yang lirih dan lemas. Kedua kantung matanya membesar dan sembab karena menangis tanpa henti.
“Singkatnya, ibu anda keracunan sebuah jamur yang sangat berbahaya. Jamur Amatoxin yang mengandung racun.. Racun ini, menyebabkan nekrosis (kerusakan sel/kematian sel) pada beberapa sel-sel tubuh. Bentuknya memang sama dengan jamur tiram yang biasa kita konsumsi. Tidak heran kalau orang-orang sulit membedakan mana jamur yang mana dan jamur yang berbahaya,” kata dokter itu.
“Semuanya salah saya dok.. Saya tidak sengaja menyajikan jamur itu untuk makanan ibu saya.. Saya kira itu jamur tiram. Tapi, ternyata saya salah.. Saya benar-benar tidak sengaja melakukan itu.,” isak Kak Carmen. Air matanya jatuh membasahi kedua pipinya yang halus.
“Memang, efek jamur ini tidak menimbulkan gejala di hari pertama setelah memakannya. Tapi, biasanya dua sampai tiga hari setelah itu, muncul gejala-gejalanya.. Anda tidak menemukan gejala apapun kemarin?” tanya dokter lagi.
“Kemarin ibu bilang kalau dia mual dan pusing. Tapi, dia tetap bisa beraktifitas seperti biasanya. Jadi, kami pikir itu hanya efek kelelahan saja. Hari ini, kami ke apotek untuk membeli obat anti mual karena ibu bilang pagi ini rasa mualnya lebih parah. Setelah itu, kami mampir ke sebuah cafe untuk makan kue sejenak. Tapi, tiba-tiba ibu saya pingsan di cafe itu. Saya langsung membawanya kemari,” papar Kak Carmen dengan panik.
“Hmmm.. Saya akan jelaskan situasinya.. Saya tidak tahu apakah ini sebuah keberuntungan atau tidak.. Ibu anda tertolong karena segera dilarikan ke rumah sakit. Terlambat barang lima menit saja, kemungkinan ibu anda akan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit," ucap dokter.
"Jadi.. Intinya, ibu saya selamat, dok?" tanya Kak Carmen lagi.
"Ya.. Dia selamat! Sayangnya.. efek dari jamur itu sudah bekerja. Ibu anda, mengalami nekrosis di kedua ginjalnya. Atau dapat saya katakan, ibu anda menderita gagal ginjal karena efek dari jamur beracun itu..,” sambung dokter itu dengan jelas.
Batin Kak Carmen bagai ditimpa sebuah batu yang sangat besar. Dadanya serasa berongga mendengar apa yang dokter katakan.
“Gagal ginjal?” ucapnya lirih. Air matanya semakin deras jatuh hingga ke ke dagunya.
“Ya.. Ibu anda memang belum sadar dan tetap harus dirawat di ICU untuk sementara waktu. Tapi, kami juga harus melakukan cuci darah secara rutin karena ginjalnya sudah tidak berfungsi,” lanjut dokter.
Tangisan Kak Carmen semakin kencang. Sangat memilukan. Dipukul dadanya berkali-kali.
“Ibu.. semuanya salahku, Bu.. Ibu..,” tangisnya.
“Semua bukan kesalahan anda, Nona. Kejadian seperti ini memang selalu terjadi karena kecelakaan. Hal itu dikarenakan jamur mematikan itu memiliki ciri fisik yang sama dengan jamur tiram. Tidak heran jika beberapa orang terjebak oleh jamur ini.. Semua ini.. sama sekali bukan salah anda,” dokter itu berusaha menghibur Kak Carmen yang mulai lemas. Tenaganya serasa habis karena tangisannya yang menyayat hati.
Sekitar lima belas menit Kak Carmen meluapkan tangisannya di ruangan dokter sampai ia sanggup untuk kembali ke depan ruang ICU bersama Ken dan Tuan Antony.
Ia atur napasnya untuk dapat berpikir dengan jernih. Dilangkahkannya kedua kaki jenjangnya dengan terseok-seok keluar dari ruangan dokter. Satu tangannya berpegangan pada dinding rumah sakit yang dingin.
Tap..
Tap..
Langkahnya bagai diseret. Setiap langkah yang berisi luka dan sakit hati yang bertubi-tubi.
Tap..
Tap..
Kakinya menuntun kembali menemui Ken dan Tuan Antony yang masih duduk terdiam menanti kabar Nenek.
"Hah.. hah..," napas terengah-engah keluar dari mulut Kak Carmen.
“Kakak baik-baik saja?” tanya Ken.
“Nona Carmen, apa kata dokter tadi?” Tuan Antony menimpali.
Kak Carmen menceritakan kembali apa yang ia dengar dari dokter. Seluruh detail ia ceritakan dengan air mata yang membanjiri wajahnya untuk kesekian kalinya. Kecelakaan yang memilukan cukup membuat Kak Carmen terpukul dimana dia hanya tinggal berdua bersama ibunya.
“Anda jangan khawatir, Nona.. Saya akan membantu anda kapan pun anda butuh bantuan.. Saya tinggal sendiri di kota ini. Jangan ragu untuk mencari saya,” kata Tuan Antony menenangkan.
“Saya khawatir ibu saya akan menderita.. Saya nggak nyangka kalau semua ini bisa terjadi,” jawab Kak Carmen.
“Ini semua memang sudah kehendak takdir. Kita hanya perlu memastikan bahwa ibu anda mendapat perawatan yang baik dan segera pulih.. Jangan menyalahkan diri.. Jangan menyalahkan siapa pun.. Semuanya sudah terjadi. Tenangkan diri saja untuk beberapa waktu ke depan. Saya juga akan datang kemari saat saya ada waktu kosong,” kata Tuan Antony lagi.
Ken kagum dengan Tuan Antony. Orang yang tadi marah-marah dan menyalahkan dia di cafe, ternyata memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Dibalik sikap kasarnya, dia juga menolong nyawa orang yang sekarat.
“Ah.. sekarang sudah malam. Nak, ayo saya antar pulang. Kamu bisa menjenguk Nenek lain waktu. Biar Nenek dan Nona Carmen istirahat,”ajak Tuan Antony.
“Iya, kalian pulang saja. Di sini ada ruangan khusus untuk keluarga pasien. Saya bisa tidur di sana..,” jawab Kak Carmen lembut.
Ken dan Tuan Antony berpamitan dengan Kak Carmen untuk pulang terlebih dahulu.
Tap..
Tap..
Lorong-lorong rumah sakit begitu sepi di malam hari.. Hanya suara langkah kaki Ken dan Tuan Antony yang terdengar.
“Nak, maaf karena saya sudah melintangkan kaki saya di cafe,” ucap Tuan Antony tiba-tiba.
Ken tersenyum. Lalu menganggukkan kepalanya dua kali.
“Maaf juga karena sudah marah-marah di depan banyak pelanggan.. Saya tahu saya bersikap bodoh,” sambung Tuan Antony.
“Nggak apa-apa, Pak,” jawab Ken sumringah.
Tiba-tiba, Tuan Antony menanyakan sesuatu yang sedari tadi belum ia tanyakan, “Oh, ya. Siapa nama kamu, Nak?”
“Michael Kennedy. Panggil saja Ken,” jawab Ken singkat.
Keduanya berjalan dengan hati yang lebih lega.. dan lebih lembut.
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Tap.. Tap.. Tap...Langkah kaki wanita muda sudah terdengar bahkan sebelum dia menampakkan wajahnya. Masih sama seperti saat pertama kali wanita itu berjalan melewati jendela kaca sebuah cafe. Tempat dimana Ken bekerja."Sudah sepuluh hari dia lewat di depan tempat ini.. Tapi, kayaknya nggak ada kemajuan sama sekali," ucap Ken sambil melepaskan celemeknya yang masih beberapa menit ia kenakan."Roy, aku harus ambil cuti hari ini. Tolong urus semuanya! Kamu bisa ambil bayaranku hari ini," sambung Ken sambil mengulurkan celemek itu kepada teman kerja satu shiftnya.“Hey! Ken! Mau kemana?” teriak Roy.Sayangnya, Ken sudah berlalu tanpa menggubris teman kerjanya.Dengan tergesa-gesa, Ken keluar dari pintu cafe. Matanya mencari-cari dimana wanita muda tadi pergi. Dia harus bisa mendapatkannya. Dia harus mengejarnya kemana pun wanita itu pergi.Ken berlari di sekeliling untuk memastikan wanita itu belum pergi terlalu jauh. Setida
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m