“Bertha?” ucap Ken terkejut.
Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.
Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.
“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.
Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.
“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.
GRAB!!!
Sayangnya, GAGAL!
Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.
“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.
Di tengah keadaan Ken dan Bertha yang bersitegang, ada sepasang mata kecil yang mengawasi mereka dengan tatapan yang tak biasa. Tatapan yang mengartikan sebuah rasa penasaran. Sosok itu mendekati Ken dari belakang untuk mengetahui apa yang terjadi antara Ken dengan gadis bermantel besar itu.
“Ken?” panggil sosok itu.
Ken dan Bertha menoleh ke arah wanita yang tiba-tiba muncul entah dari arah mana.
“Sarah? Kamu.. di sini?” tanya Ken.
“LEPASIN AKUU!!” pekik Bertha.
“Kamu nggak boleh pergi kemana-mana! Kamu harus tetep di sini sampai aku telepon polisi!! KAMU JANGAN LARI LAGI!” ucap Ken tegas.
“Polisi?” Sarah kebingungan. Dia mengingat-ingat sesuatu.
“HAH! Ini adik Roy yang kemarin kamu ceritain di telepon kan, Ken?! INI BERTHA??” sambung Sarah terkejut.
“LEPASIN AKU! AKU NGGAK MAU DITANGKAP POLISI! SEMUANYA BUKAN SALAHKU! AKU NGGAK BOLEH DIPENJARA KARENA KELAKUAN BEJAT PRIA TUA BANGKA ITU! SMITH YANG BERSALAH!” rengek Bertha lagi. Dia kesakitan karena kini Ken mencengkeram bahunya dengan sangat erat.
“Kenapa kamu curi berlian Tuan Smith?! Kenapa kamu harus kabur kalau kamu merasa nggak salah!!!” marah Ken. Nada bicaranya meninggi.
Bertha berhenti memberontak setelah mendengar pertanyaan Ken. Tubuhnya diam membeku dengan mulutnya yang tertutup. Kepalanya tertunduk seperti memikirkan sesuatu yang berat.
“Kamu.. baik-baik aja?” tanya Ken.
Perlahan tangan Ken melepaskan cengkeramannya pada Bertha. Takut terjadi sesuatu kepada Bertha.
“Aku bakal jelasin semuanya, Kak! Tapi tolong jangan laporin aku ke polisi. Kalau aku sampai ketangkap, pasti aku bakal dijatuhi hukuman yang nggak adil! Bukan cuma aku saja yang bersalah! pria gila bernama Smith yang lebih bersalah!" pinta Bertha.
Ken dan Sarah saling beradu pandang. Melihat Bertha yang tampak putus asa, Ken dan Sarah akhirnya menuruti apa yang dikatakan Bertha.
***
“Kita ngobrol di sini nggak apa-apa, Kak? Tempat ini aman, kan? Nggak ada yang ngawasin kita kan, Kak?” tanya Bertha panik.
“Tenang aja.. Ini kamar apartemenku. Aku tinggal sendiri di sini. Kamu nggak perlu khawatir,” ucap Sarah sembari menuangkan air dingin ke dalam cangkir kaca.
Bertha dan Ken duduk di karpet bulu yang ada di lantai apartemen Sarah. Karpet itu terasa lebih nyaman untuk tempat ngobrol bersama.
"Sebenarnya, hari ini aku dan Roy udah ketemu sama Tuan Smith yang kamu maksud tadi. Aku sama Roy berusaha membujuk Tuan Smith supaya dia mau mengampuni kamu. Pertemuannya emang menjengkelkan.. Tapi, dia bisa maafin kamu kalau berlian-berliannya kembali ke tangan dia dengan keadaan utuh," papar Ken membuka percakapan.
Bertha menundukkan kepalanya. Dia tidak menyangka kalau kakaknya akan ikut berurusan dengan Tuan Smith. Bahkan, Ken juga ikut terlibat.
“Karena kita semua udah di tempat yang aman, kamu bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi. Kamu harus terbuka sama kami agar kami bisa bantu kamu. Aku juga sangat khawatir dengan keadaan Roy. Dia pasti pengen tahu kabar kamu. Boleh aku kasih tahu Roy kalau hari ini kita bertemu?” tanya Ken dengan wajah tenang.
"Jangan dulu, Kak.. Jangan untuk saat ini..," jawab Bertha lesu.
Bertha memang sangat mengkhawatirkan Roy sebagaimana Roy mengkhawatirkannya. Tapi, dia juga tidak ingin kakak satu-satunya itu terlibat terlalu jauh.
“Aku nggak berani nyalain handphoneku, Kak. Polisi pasti bisa melacak lokasiku kalau sampai handphoneku aktif,” tukas Bertha tegang.
“Aku nggak nyangka kalau Smith akan lapor polisi dibandingkan membujuk aku dan meminta berliannya kembali. Pasti aku bakal kembaliin kalau dia bisa bersikap baik. Smith itu, pacarku, Kak! Ya.. Dia itu pengusaha berusia 60 tahun,” sambung Bertha.
Mata Sarah terbelalak seketika, “HAH? KAMU PACARAN SAMA KAKEK-KAKEK?!”.
“Iya.. Aku memang pacaran sama dia. Tapi.. sebenernya, aku nggak ada perasaan cinta sama Smith. Aku nggak pernah menyukai laki-laki tua. Apa lagi laki-laki yang arogan seperti dia. Hubungan kami awalnya hanya seorang pria tua lajang dan pelacur kecil yang disewa dengan harga tinggi. Tapi, ternyata nggak sesederhana itu..,” air mata Bertha mulai berlinang.
Pelarian dirinya selama ini, ternyata adalah hal yang berat untuk Bertha.
“Karena aku butuh banyak uang untuk memenuhi gaya hidupku, aku menjual diriku ke beberapa laki-laki dewasa yang kesepian. Smith adalah pelanggan tetap yang selalu menyewaku lima sampai enam kali dalam sebulan di rumahnya. Ya, mungkin karena dia nggak pernah menikah selama ini.. Uang yang aku terima dari dia bener-bener bisa memenuhi kebutuhanku. Aku bisa beli pakaian, tas, sepatu, dan kosmetik yang sama kayak temen-temen kuliahku. Dan aku senang punya banyak uang!" papar Bertha.
Setelah mengela napas, Bertha melanjutkan kalimatnya, "Tapi, pada akhirnya, Smith meminta aku untuk menjadi kekasihnya. Katanya, dia mencintaiku karena aku cantik dan pelayananku sangat memuaskan. Tentu saja aku menerimanya karena itu salah satu cara agar Smith bisa memberiku uang yang lebih banyak! Selama hubungan kami resmi, dia bahkan memintaku melayaninya dua sampai empat kali dalam seminggu! Dan.. sampai akhirnya, dia tidak mau membayarku lagi! Dia bilang, buat apa membayar pacar sendiri? Dia enggan memberiku uang hanya dengan alibi bahwa dia telah menyelamatkanku dari status pelacur yang selama ini melekat di diriku. Bukankah itu hanya permainannya agar Smith bisa menikmati tubuhku secara gratis??” papar Bertha panjang lebar. Lidahnya begitu lincah melontarkan kata demi kata tentang kilas balik yang menimpanya.
Ken dan Sarah menelan ludah. Mereka bingung komentar apa yang pantas untuk dikatakan kepada Bertha.
Pelacur?
Menjual diri dengan pria tua?
Tidak ada kata yang tepat untuk dijadikan kritikan.
“Hmm.. Terus..Bagaimana setelah itu?” tanya Ken singkat.
“Yaa.. apa lagi? Karena Smith nggak mau membayarku sepeser pun, ya aku curi saja berliannya! Enak banget pria tua itu menikmati tubuhku yang molek secara gratis! Tubuhku ini mahal! Aku nggak akan menyerahkannya secara cuma-cuma! Padahal aku cuma mau menggertak dia sedikit dengan mencuri berliannya. Berharap dia membayar tubuhku dan aku kembalikan berliannya. TAPI APA? Polisi malah mencariku! Aku dapat panggilan telepon dari polisi sebanyak dua kali dan setelah itu, kumatikan handphoneku sampai sekarang!” sambung Bertha.
Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak menyangka inilah alasan yang mendasari kasus pencurian The Tiffany Yellow Diamond milik Tuan Smith.
“Bertha.. Kamu tahu berlian itu berlian langka? Berian itu sangat berharga bagi Smith. Mungkin karena itu Smith sampai melaporkanmu. Apalagi, dia punya bukti rekaman CCTV saat kamu membobol brankasnya,” jawab Ken.
Bertha memutar matanya. Ucapan Ken benar juga.
“Aku nggak tahu seberapa berharganya berlian itu. Di dalam brankas itu, ada banyak berlian yang masing-masing ditempatkan di mangkuk kaca kecil. Karena aku hanya ingin menggertak Smith, aku nggak peduli berlian mana yang aku ambil. Aku raih mangkuk kaca berisi lima potong berlian kecil yang hanya sebesar kuku jari kelingking. Berlian berwarna kuning yang sepertinya tidak terlalu penting,” jelas Bertha lagi.
Kepala Ken semakin pusing mendengarkan penjelasan Bertha. Hari sudah mulai malam dan justru masalah ini semakin membuatnya tidak bisa mengistirahatkan otaknya.
“Semua berlian itu mahal, Bertha! Kamu harus kembaliin berlian itu sebelum nyawamu yang jadi taruhannya! Kamu bisa dibunuh sama Tuan Smith!” sahut Ken tegas.
“Awalnya aku memang mau mengembalikan berlian-berlian itu, Kak. Tapi, karena Smith membawa masalah ini semakin panjang, aku berniat nggak akan mengembalikan berlian itu sama sekali! Biarin aku jadi buronan selamanya, sedangkan Smith juga kehilangan berliannya selamanya. Biar kami sama-sama sial!” lanjut Bertha.
Masalah ini memang bukan urusan Ken dan Sarah. Tapi mereka tetap tidak bisa diam saja mengetahui apa yang terjadi dengan adik dari teman mereka, Roy. Bisa saja Sarah dan Ken meninggalkan Bertha di jalan dan melupakan pertemuan mereka. Sayangnya, tidak semudah itu.
Hati nurani tetaplah hati nurani.
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Tap.. Tap.. Tap...Langkah kaki wanita muda sudah terdengar bahkan sebelum dia menampakkan wajahnya. Masih sama seperti saat pertama kali wanita itu berjalan melewati jendela kaca sebuah cafe. Tempat dimana Ken bekerja."Sudah sepuluh hari dia lewat di depan tempat ini.. Tapi, kayaknya nggak ada kemajuan sama sekali," ucap Ken sambil melepaskan celemeknya yang masih beberapa menit ia kenakan."Roy, aku harus ambil cuti hari ini. Tolong urus semuanya! Kamu bisa ambil bayaranku hari ini," sambung Ken sambil mengulurkan celemek itu kepada teman kerja satu shiftnya.“Hey! Ken! Mau kemana?” teriak Roy.Sayangnya, Ken sudah berlalu tanpa menggubris teman kerjanya.Dengan tergesa-gesa, Ken keluar dari pintu cafe. Matanya mencari-cari dimana wanita muda tadi pergi. Dia harus bisa mendapatkannya. Dia harus mengejarnya kemana pun wanita itu pergi.Ken berlari di sekeliling untuk memastikan wanita itu belum pergi terlalu jauh. Setida
“Udah lah, Ken. Kalau kamu banyak pikiran begini, bisa-bisa kamu anter pesanan yang salah ke meja pelanggan,” ucap Roy mendekati Ken yang duduk menopang dagu di meja barista. Pikirannya mengawang entah kemana.“Ya, gimana lagi, Bro! Polisi belum ngasih kabar lagi. Aku jadi makin panik. Udah hampir satu minggu. Tapi, nggak ada kemajuan apa-apa,” jawab Ken lesu. Wajahnya seperti tidak dialiri darah.“Ayolah.. Kamu juga akhir-akhir ini jarang makan, lho! Nanti kurus kayak aku, hahaha,” hibur Roy.Tapi tetap saja, gurauan Roy seperti terhalang tabir surya. Tidak ada reaksi yang memuaskan dari Ken. Wajahnya tetap bermuram durja di kala cafe sepi pengunjung.“Kalau cafe lagi sepi gini, mendingan kamu lihatin chef-chef di belakang yang lagi masak. Lihatin orang masak tuh hiburan banget, lho. Untung-untung kalau mereka mau ngajarin kita. Tapi jangan sama chef Danny. Dia galak banget! Mana pelit ilmu lagi,” tukas Roy
“Spicy Chicken Cake?” Sarah penasaran.Baru kali ini Sarah mengetahui ada cake yang dibuat dari daging ayam dan didominasi dengan rasa gurih pedas.“Bukannya semua cake itu mayoritas manis, ya? Kalau pun asin, itu karena karena tambahan keju.. Aku baru tahu ada cake ayam pedas di kota ini,” lanjut Sarah.“Selama aku kerja di sini juga aku belum pernah cobain cake itu, Sar. Aku nggak suka makanan pedas. Apa lagi cake rasanya bener-bener membakar lidah. Dari pada aku sakit perut, mendingan nggak usah coba-coba, kan?” Ken menimpali.“Menu ini adalah Signature Dish (makanan khas/identitas) di cafe La Pose. Banyak lho yang udah nyobain.. Aku selalu saranin ini buat para pelanggan. Kamu mau coba?” tanya Roy dengan sumringah.“Emm.. Kenapa makanan itu bisa spesial? Bukannya hampir sama kayak pizza?” tanya Sarah.“Eiitsss.. Beda dong! Makanan ini supeeeer lembut. Tapi, ada beberapa po
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m