“Spicy Chicken Cake?” Sarah penasaran.
Baru kali ini Sarah mengetahui ada cake yang dibuat dari daging ayam dan didominasi dengan rasa gurih pedas.
“Bukannya semua cake itu mayoritas manis, ya? Kalau pun asin, itu karena karena tambahan keju.. Aku baru tahu ada cake ayam pedas di kota ini,” lanjut Sarah.
“Selama aku kerja di sini juga aku belum pernah cobain cake itu, Sar. Aku nggak suka makanan pedas. Apa lagi cake rasanya bener-bener membakar lidah. Dari pada aku sakit perut, mendingan nggak usah coba-coba, kan?” Ken menimpali.
“Menu ini adalah Signature Dish (makanan khas/identitas) di cafe La Pose. Banyak lho yang udah nyobain.. Aku selalu saranin ini buat para pelanggan. Kamu mau coba?” tanya Roy dengan sumringah.
“Emm.. Kenapa makanan itu bisa spesial? Bukannya hampir sama kayak pizza?” tanya Sarah.
“Eiitsss.. Beda dong! Makanan ini supeeeer lembut. Tapi, ada beberapa potongan ayam yang dipotong dadu. Yaaa, buat nambah tekstur. Adonannya pun udah pedas. Nanti, kalau kuenya udah ada diatas piring, bagian atasnya disiram pakai saus ayam pedas khas buatan cafe La Pose. Saus merah yang super pedes dan super gurih. Dijaminnn! Kamu pasti suka!” papar Roy dengan antusias.
Sarah berdecak kagum. Cafe yang baru didirikan dua tahun, sudah memiliki menu andalan. Menu yang dibuat sendiri dengan percobaan berbagai bahan dan rempah.
“Boleh deh..,” ucap Sarah kemudian.
“Oke! Tunggu, ya.. Nanti Ken bakal anterin pesanan kamu,” lanjut Roy.
“Aku juga pesen vanilla latte, ya. Yang ukuran besar, biar harganya mahal. Mumpung ada Ken yang mau bayarin aku,” bisik Sarah kepada Roy. Bisikan mereka disusul dengan kekehan yang lucu. Sedangkan Ken hanya memperhatikan dua temannya yang entah membicarakan apa.
Roy mencatat pesanan Sarah di sebuah kertas kecil dan menghampiri dapur untuk memberitahu chef tentang pesanan Spicy Chicken Cake. Roy meninggalkan Sarah bersama Ken di meja barista.
“Kamu nggak mau duduk dulu? Aku saranin sih kamu duduk di meja nomor lima. Kena AC, deket jendela juga. Jadi bisa lihat suasana luar,” usul Ken.
Sarah hanya mengangguk dan bergegas menuju meja yang direkomendasikan oleh Ken. Tak lupa Sarah melemparkan senyuman manis yang membuat Ken seperti terkena sihir. Sesekali diliriknya wajah Sarah yang sibuk mengamati suasana luar dari jendela cafe. Benar-benar seperti bidadari yang baru menginjak tanah bumi.
Lima belas menit berlalu..
Saatnya Ken melakukan tugasnya.
Ting..
Ting..
Ting..
Bel berbunyi beberapa kali. Menandakan pelanggan yang datang semakin banyak. Ken segera mengantarkan pesanan Sarah.
Tap.. Tap..
“Ini, pesanan kamu..,” ucap Ken sedikit gugup. Tak disangka dia menjadi salah tingkah di dekat Sarah.
Diletakkanya pesanan Sarah di atas meja. Satu buah kue ayam pedas yang disiram saus berwarna merah menyala dan dihiasi dengan daun peterseli di atasnya. Tak lupa dengan segelas vanilla latte hangat yang aromanya sangat wangi.
“Ah, terima kasih, Ken. Kamu mau nemenin aku makan di sini? Siapa tahu kamu mau coba cake pedas ini,” tawar Sarah.
“Emm.. Maaf, Sar. Tapi pelanggan yang datang udah mulai banyak.. Aku agak sibuk. Mungkin lain waktu aku bakal temenin kamu.. Dan satu lagi.. Aku nggak bisa makan cake itu. Di samping aku nggak suka makanan pedas, aku juga nggak suka makan ayam. Apalagi kalau aroma ayamnya masih kerasa,” jelas Ken dengan wajah kecut.
“Hahahaha.. Ada-ada aja. Lagi pula, cake ini aromanya enak, kok. Udah nggak ada bau ayamnya. Dan.. Hmm.. Rasanya enak banget! Pedeeeesss!!” ucap Sarah sembari memakan satu potong cake yang ia ambil dengan garpu aluminium kecil.
Wajah Ken semakin masam. Dahinya mengerut melihat ekspresi Sarah.
“Bahkan aku nggak mau deket-deket sama cake itu. Bayangin daging ayam aja udah bikin mual. Apa lagi harus makan ayamnya.. Duh.. Nggak banget, deh. Seumur hidup aku nggak akan pernah cocok sama cake itu,” sergah Ken.
Sarah hanya tertawa melihat tingkah Ken yang konyol.
“KEEEEEN!!! PESANANNNN! BURUAN ANTERIN! Meja nomor sepuluh, meja nomor tiga, sama meja nomor lima belas!!” teriak Roy dari tempatnya meracik kopi.
“Aku lanjutin dulu, ya.. Semoga kamu suka sama makanan di sini dan mau balik lagi lain waktu. Syukur-syukur kamu mau jadi pelanggan tetap,” ucap Ken sembari meninggalkan Sarah di mejanya.
Sarah tersenyum lembut.
“IYAAA!! BENTARRR!!” teriak Ken kepada Roy.
Ting..
Ting..
Pelanggan lain mulai berdatangan.
“Wah, setelah Sarah dateng, pelanggan jadi rame. Dia udah kayak setan pesugihan aja.. Suruh dia kesini tiap hari aja, Ken! Kita pasti bakal untung banyak kalau ramai terus,” gurau Roy. Tangannya tetap lincah meracik kopi-kopi pesanan.
“Yeee! Emang pelanggan sukanya datang jam segini.. Bukan karena Sarah..,” balas Ken santai.
Satu, dua, tiga jam Roy dan Ken bekerja melayani pelanggan yang semakin banyak. Sarah pun belum pula hengkang dari tempat duduknya. Masih menikmati suasana ramai cafe itu.
Sayangnya, sesuatu terjadi..
BRAAAKKK!!
Kaki Ken tersandung salah satu kaki pelanggan yang lurus melintang di tengah jalan. Pelanggan pria yang berwajah seram. Di bajunya, terpasang sebuah tanda nama bertuliskan “Antony”. Makanan yang dibawa Ken seketika terlepas dari nampan.
Sayangnya, kue jeruk yang dibawa Ken melayang dan mendarat di atas kepala seorang wanita dewasa berusia 30-40 tahunan yang tengah duduk bersama wanita tua. Dapat diperkirakan bahwa wanita itu datang bersama ibu atau neneknya.
“PUNYA MATA NGGAK SIH! PELAYAN NGGAK BECUS! GITU AJA JATUH,” omel Antony, pria yang melintangkan kakinya.
“Maaf Tuan Antony, tapi kaki anda yang mengganggu jalan. Harusnya anda masukkan kaki anda di bawah meja..,” balas Ken.
Tap..
Tap..
Wanita yang terkena kue jeruk datang menghampiri Ken yang tengah berdebat dengan Antony. Wanita itu juga tak mau kalah.
“HEY PELAYAN! Kamu lihat? Rambut saya kotor dan lengket gara-gara kue jerukmu yang terbang bebas dan mendarat di kepala saya. Kamu harus ganti rugi! Saya nggak mau keluar dari cafe ini kalau kamu belum ganti rugi!” omel si wanita.
“Pokoknya semuanya bukan salah saya! Salahmu sendiri yang jalan nggak lihat-lihat! Suka-suka saya dong mau duduk dengan model apa dan kaki ke arah mana. Kamu di sini cuma pelayan!” ucap Tuan Antony lagi.
Ken naik pitam. Dia kesal karena disalahkan mengenai sesuatu yang bukan kesalahannya. Semuanya terjadi karena kaki Tuan Antony.
“PERMISI TUAN ANTONY YANG TERHORMAT! CAFE INI MILIK KELUARGA SAYA! KALAU ANDA MACAM-MACAM, SAYA BERHAK MENGUSIR ANDA DAN MELARANG ANDA DATANG KEMARI LAGI!!” bentak Ken seketika. Membuat seluruh pelanggan yang ada di cafe melongo kaget. Termasuk Sarah.
Keributan itu menjadi tontonan dan tidak ada satu pun yang berhak melerainya.
Ken menoleh ke arah wanita dengan wajah emosi. Wanita itu berlumuran krim kue di bagian kepalanya.
“Tante.. Saya minta maaf karena kue jeruk itu mengotori rambut anda. Kami menyediakan kamar mandi di belakang. Kami juga menyediakan seluruh perlengkapan mandi apa bila Tante ingin membersihkan diri,” ucap Ken lagi. Wajahnya panik dan kesal.
Tante itu belum menjawab apa-apa. Tapi, Tuan Antony masih mengomel.
“JANGAN SEMENA-MENA YA DENGAN SAYA! JANGAN MENTANG-MENTANG KAMU PUNYA TEMPAT INI! SAYA BISA LAPORKAN KAMU KE POLISI!” bentar Tuan Antony yang kian memperkeruh keadaan.
“DIAM, PAK! SAYA MOHON! Kalau saja anda menghargai orang lain dan peduli dengan keselamatan orang lain, tentu anda tidak akan melintangkan kaki anda di tengah jalan! Semua orang tahu kalau tindakan itu berbahaya. Anda sudah dewasa! Harusnya anda paham perihal seperti ini!” balas Ken tegas.
Di saat suasana memanas, seseorang menghampiri Ken.
Tap..
Tap..
Langkahnya begitu pelan dan lambat. Langkahnya seperti diseret.
Tap..
Tap..
GRAB!!
Sebuah tangan tua yang keriput menyentuh tangan Ken dan menggenggamnya erat.
“Nak.. Tenanglah.. Nenek tahu semua bukan kesalahanmu..,” ucap nenek itu lirih.
Ditatapnya nenek itu oleh Ken.
“Nenek ini.. Wanita tua yang datang sama Tante itu.. Tante yang kepalanya kena kue jeruk..,” batin Ken.
“IBU! Ibu kenapa sih ikut-ikutan.. Ibu duduk aja,” tukas Tante kue jeruk.
Tapi, sesuatu mulai mempengaruhi Ken. Sesaat nenek itu menggenggam tangan Ken, kepala Ken mulai berputar. Seperti ada pusaran angin besar yang masuk ke dalam otaknya. Ken mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.
“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si nenek dengan suaranya yang lembut.
Pusaran besar di otak Ken berlangsung selama beberapa detik. Lalu, pusaran itu seketika mereda dan muncullah sesuatu yang membuat Ken penasaran sekaligus bingung. Otaknya merekam dan menampilkan suatu gambaran yang sudah biasa ia rasakan.
Gambaran ini…
Gambaran isi pencernaan si nenek!
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m