Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.
Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.
“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.
“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.
“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.
Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang muncul dalam benaknya.
“Sepertinya.. aku pernah melihat makanan ini..,” batin Ken.
Sarah dan Roy turut menghampiri kerumunan yang semakin lama semakin ramai. Mereka khawatir apa yang sebenarnya terjadi dengan Ken.
“Roy, Ken kenapa?” bisik Sarah dari sisi kiri Roy. Didekatkannya mulut Sarah ke telinga Roy agar Roy dapat mendengar bisikan Sarah dengan jelas.
“Nggak tahu, Sar. Kemungkinan sih dia lagi lihat isi pencernaan orang yang nyentuh Ken. Tapi, biasanya cuma beberapa detik aja, lho. Kok tumben Ken lama banget nerawangnya. Lagi pula, apa sih isi perut nenek tua itu? Nggak biasanya Ken sampai kayak gini!” celoteh Roy kesal.
“Tanpa klorofil (zat hijau daun)..,” ucap Ken lagi.
Semua orang semakin kebingungan melihat apa yang dilakukan Ken.
Pikiran Ken tengah mencari-cari nama dari makanan yang ia lihat. Dia fokuskan pada materi biologi yang ia pelajari saat dia duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA). Ken sangat yakin bahwa dia pernah mempelajari tentang makanan ini saat masih sekolah. Materi yang diajarkan oleh Pak Wirawan, guru Biologi yang sangat tegas dan pelit nilai.
Materi demi materi, Ken ulas balik dalam otaknya.
Berwarna putih..
Berbentuk seperti payung..
Ukuran yang kecil..
“NAH!!!” Ken membuka matanya. Wajahnya tegang dan urat matanya nampak sangat jelas.
Ken sangat terkejut.
“Amanita virosa!!!” teriak Ken.
Tapi, semua orang yang ada di cafe itu justru semakin bertanya-tanya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Ken.
“Siapa dia? Amanita itu siapa?” tanya si Tante, anak dari si Nenek.
“Tante! TOLONG KASIH TAHU SAYA MAKANAN APA SAJA YANG DIMAKAN NENEK INI BEBERAPA WAKTU TERAKHIR! DAN.. KAPAN TERAKHIR KALI NENEK INI BUANG AIR BESAR?!” tanya Ken heboh. Wajahnya panik dan gugup.
“Kamu apa-apaan, sih? Kenapa tiba-tiba tanya hal pribadi seperti itu?” tanya si Tante dengan wajah curiga.
“Saya mohon, Tante.. Ini darurat!!!” sambung Ken.
Semua orang masih berusaha mencerna apa yang Ken katakan. Mereka saling bertanya-tanya satu sama lain mengenai apa yang tengah terjadi.
“Well.. Ibu saya buang air besar tiga hari yang lalu. Saya sangat hafal, karena Ibu saya nggak bisa pergi ke toilet sendiri. Saya harus menuntunnya sampai dia bisa duduk di jamban. Saya ingat sekali! Tepat tiga hari yang lalu,” jawab si Tante.
“TIGA HARI?” Ken semakin terkejut.
Keringat dingin mulai mengucur di dahi Ken.
“Makanan apa saja yang nenek makan sejak saat itu? Setelah dia buang air besar, makanan apa yang dia makan sampai hari ini?” tanya Ken lagi.
Tante itu mengerutkan keningnya. Dia merasa waspada mendapat pertanyaan yang menggelitik.
“Ibu saya seorang vegetarian. Sejak tiga hari yang lalu, dia memakan masakan yang saya buat di rumah. Semua bahannya saya petik langsung dari kebun kami. Tumis kol ungu, sup tomat merah, salad jamur putih..,” Tante itu menjelaskan satu persatu.
“JAMUR!! Jamur apa yang Tante masak untuk Nenek?” tanya Ken lebih tajam.
“Jamur putih. Kalau di desa kami, namanya jamur tiram. Tapi saya nggak menanam jamurnya. Tiba-tiba saya temukan di kebun. Ya, saya masak sekalian saja. Kebetulan ibu saya penggemar jamur,” jawab Tante itu dengan santai.
Ken memicingkan matanya.
“Tante.. JAMUR ITU BERACUN! JAMUR ITU BERBAHAYA! Itu jamur Amatoxin! Jamur yang bisa menyebabkan gangguan di hati dan ginjal. Dan jenis jamur Amatoxin yang dimakan nenek adalah jamur Amanita virosa! Bentuk dan warnanya memang mirip dengan jamur tiram. Karena Nenek sudah makan jamur itu sejak tiga hari lalu, efek yang muncul akan lebih parah!” papar Ken dengan wajah tegang.
“JANGAN MENGKHAYAL KAMU! KAMU BAHKAN BUKAN KELUARGA NENEK INI! BAGAIMANA KAMU TAHU MAKANAN APA SAJA YANG DIA TELAN?!” bentak Tuan Antony dengan jari telunjuk yang mengacung ke wajah Ken.
“Tapi.. Saya nggak bohong! Saya serius!” tukas Ken.
Tak lama setelah Ken menyelesaikan ucapannya, sebuah genggaman yang sedari tadi melingkar di tangannya seketika mengendur. Genggaman kuat yang mencengkeram tangannya seketika merenggang dan lepas dari tangan Ken.
BRUK!!!
Nenek itu terjatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri. Nenek itu pingsan di tempat.
“IBUU!!!” pekik si Tante dengan wajah shock. Diangkatnya tubuh si nenek sekuat tenaga dengan penampilan yang masih berlumuran kue jeruk.
“Tolooong! Bapak, ibu, siapa pun!! Tolong antar nenek ini ke rumah sakit!!” teriak Ken lantang.
Si Tante menangis dengan begitu terisak. Dia pegangi ibunya dengan sangat erat sambil diguncang-guncang tubuhnya. Berharap ibunya akan bangun seketika.
“IBUUU!! IBU KENAPAAA!!” tangis si Tante dengan emosi yang tidak stabil. Gelagatnya begitu panik dan khawatir.
Tiba-tiba, seseorang menyanggupi dan menawarkan bantuan dengan nada bicara yang tegas.
“Ayo! Saya bawa mobil!” tukas Pak Antony sembari memandang Ken.
Tanpa basa-basi lagi, beberapa orang membantu menggotong tubuh renta sang nenek. Dibawanya bersama-sama menuju jok belakang mobil Pak Antony yang diparkirkan di depan cafe. Pak Antony segera bergegas keluar untuk membuka pintu mobilnya.
Saat si Nenek dan Tante sudah berada di dalam mobil, Pak Antony masuk kembali ke dalam cafe untuk menghampiri Ken yang sedari tadi berdiri di dalam menyaksikan orang-orang menggendong si nenek.
“Ayo! Kamu juga ikut! Kamu yang bisa menjelaskan semuanya!!” pinta Pak Antony kepada Ken.
“Saya?” tanya Ken.
Tuan Antony menganggukkan kepalanya.
Ken langsung berpandangan mata dengan Sarah dan Roy.
“Sarah, maaf.. Aku nggak bisa ngobrol lama sama kamu hari ini. Kita ketemu lain waktu, oke?” ucap Ken pada Sarah.
Sarah mengangguk dan tersenyum lembut kepada Ken.
“Tenang aja.. Kamu berjasa banget hari ini. Kamu ikut ke rumah sakit dulu.. Aku juga mau pulang kok habis ini," jawab Sarah lagi.
Ken membalas senyuman Sarah. Roy yang ada di samping Sarah, hanya melongo melihat kedua orang itu berlagak romantis.
“Ayo! Kita harus cepet!!” ucap Pak Antony lagi. Suaranya yang berat dan keras membuat Ken tidak bisa mengatakan tidak. Mau tidak mau, Ken meninggalkan cafe dan segera masuk ke jok depan di samping Pak Antony.
Tap.. Tap.. Tap..
Ken mengambil langkah tergesa-gesa.
Secepatnya, nenek itu harus segera diselamatkan!
Sebelum semuanya terlambat!
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
“ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d
Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan
“Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah
“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia
“CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi
Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”
Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag
Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m