Share

I Know What You Eat
I Know What You Eat
Author: ICETEA

PERMULAAN

Author: ICETEA
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tap.. Tap.. Tap...

Langkah kaki wanita muda sudah terdengar bahkan sebelum dia menampakkan wajahnya. Masih sama seperti saat pertama kali wanita itu berjalan melewati jendela kaca sebuah cafe. Tempat dimana Ken bekerja.

"Sudah sepuluh hari dia lewat di depan tempat ini.. Tapi, kayaknya nggak ada kemajuan sama sekali," ucap Ken sambil melepaskan celemeknya yang masih beberapa menit ia kenakan.

"Roy, aku harus ambil cuti hari ini. Tolong urus semuanya! Kamu bisa ambil bayaranku hari ini," sambung Ken sambil mengulurkan celemek itu kepada teman kerja satu shiftnya.

“Hey! Ken! Mau kemana?” teriak Roy.

Sayangnya, Ken sudah berlalu tanpa menggubris teman kerjanya.

Dengan tergesa-gesa, Ken keluar dari pintu cafe. Matanya mencari-cari dimana wanita muda tadi pergi. Dia harus bisa mendapatkannya. Dia harus mengejarnya kemana pun wanita itu pergi.

Ken berlari di sekeliling untuk memastikan wanita itu belum pergi terlalu jauh. Setidaknya, kedua mata Ken masih bisa menangkap sosok asing itu. Setiap sudut jalan, Ken perhatikan dengan teliti.

"Nah, itu dia!!!" ucap Ken sembari mempercepat langkahnya. Dia melihat wanita itu berjalan sempoyongan membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam.

Ken mengikuti wanita itu dari belakang. Walaupun cukup dekat, Ken yakin bahwa wanita itu tidak akan bersikap waspada. Wanita itu seperti sudah kehilangan fokus dan tidak mempedulikan apapun yang ada di sekitarnya.

"Kantung matanya semakin menghitam hari ini, dia juga belum mengganti pakaiannya selama dua hari. Apa dia akan tetap begini sampai besok?" Ken begitu panik dan keringat dingin mulai mengalir turun dari kepalanya. Ada kekhawatiran yang luar biasa dalam hati Ken.

Ken berjalan sekitar lima meter di belakang wanita itu. Melewati sebuah gang kecil, berjalan di beberapa trotoar yang berbeda, bahkan mengitari bangunan yang sama sebanyak tiga kali. Arah dan tujuan wanita itu benar-benar tidak jelas.

"Dia mau kemana, sih? Kenapa dia jalan nggak tentu arah..," kata Ken dalam hati. Menyadari wanita itu semakin bertingkah di luar akal sehat, Ken semakin memburunya dan tidak melepaskan pandangannya dari wanita itu barang sedetik pun.

Tap.. Tap.. Tap..

Langkah demi langkah dilalui.

Hampir satu jam Ken mengikutinya dan dibawa berkeliling ke berbagai tempat, wanita itu akhirnya berjalan ke sebuah apartemen kecil. Apartemen di dekat cafe tempat Ken bekerja.

"KENAPA HARUS BERPUTAR-PUTAR KALAU TEMPAT INI YANG DIA TUJU!! Dasar wanita gila! Tempat ini cuma 10 meter dari cafeku!!" ucap Ken geram.

Sampai akhirnya Ken mengikutinya masuk ke dalam bangunan apartemen berlantai 10 tersebut. Tangga demi tangga Ken pijak untuk bisa melihat setiap gerak-gerik si wanita.

"Kayaknya dia udah cukup gila sampai harus menaiki tangga satu persatu. Kenapa dia nggak naik lift aja? Dasar!!! wanita ini emang udah kehilangan kesadarannya," omel Ken dengan lirih.

Ken terus mengikutinya hingga ke lantai dimana si wanita tinggal. Lantai 5, disanalah tempat tinggalnya. Di sebuah ruangan yang terletak di ujung bangunan, si wanita masuk ke dalam ruangan itu.

"Gimana caranya aku lihat dia? Aku nggak mungkin masuk dan pura-pura menjadi tamu, dia pasti curiga,” ucap Ken sambil mencari-cari lubang yang bisa ia gunakan untuk melihat ke dalam.

Ken berdiri di depan pintu ruangan itu sambil memutar otaknya.

"Nah, lubang kunci!" Ken sumringah.

Ken lega karena bisa melihat isi kamar tersebut walaupun hanya sebagian kecil. Kunci sedang tidak tertancap di lubang kunci di pintu, jadi ada sedikit celah untuk bisa melihat bagaimana keadaan di dalam.

"Apa-apaan ini! Aku cuma bisa lihat kursi! Nggak menarik sama sekali!" Ken menggerutu. Dia masih mengawasi situasi di dalam. Walaupun pintu itu tidak terkunci, Ken tetap harus bersembunyi.

Sepuluh menit berlalu..

Ken hanya memperhatikan sebuah kursi yang tidak bergerak. Kursi yang sama sekali tidak menarik.

Tapi…

Tiba-tiba Ken melihat sesuatu yang mencurigakan dari dalam.

"Kenapa dia harus naik ke kursi itu? Kemana aja dia dari tadi?" ucap Ken lirih.

Si wanita berjalan mendekati kursi itu dan satu persatu kakinya naik ke atas kursi.

Ken memperhatikan hal yang aneh. Bukannya duduk, wanita itu justru berdiri di atas kursi. Ken semakin yakin bahwa wanita itu memang sangat tidak masuk akal. Yang terlihat hanyalah kursi dan kaki di atasnya. Kaki yang hanya terlihat hingga lutut.

"Kenapa juga aku harus ngikutin dia? Buang-buang waktu..,” celetuk Ken sambil tetap mengintip dari lubang kunci.

Tapi, sesuatu terjadi!

BRAAAKKKK!!!

Wanita itu tiba-tiba menendang kursi itu hingga terbalik.

Ken kini hanya melihat sepasang kaki yang tergantung dan berputar satu arah. Wanita gila itu, menggantung dirinya sendiri.

"WANITA GILAA!" Ken berteriak. Jantungnya serasa dihantam melihat sosok wanita yang menggantung dirinya sendiri. Dengan sengaja!

Krieeet..

Ken beranjak dan bergegas masuk ke dalam ruangan minimalis itu. Dibukanya pintu ruangan itu dengan cepat.

Dilihatnya wanita itu bergelantungan di langit-langit. Leher si wanita terikat tali tambang yang dipasang di kipas angin menyala. Tubuhnya meronta dan berputar mengikuti putaran kipas angin.

Dengan sigap, Ken meraih kursi yang jatuh dan memasangkan kembali di kakinya. Ken naik pula ke atas kursi untuk melepaskan ikatan tali itu dari leher si wanita dengan sebuah cutter yang Ken temukan di atas meja.

"ORANG GILA!! UDAH CUKUP KAMU MENELAN OBAT-OBATAN! TAPI SEKARANG? BUNUH DIRI? YANG BENER AJA!" bentak Ken. Tangan Ken masih dengan terampil melepaskan tali yang menjerat leher si wanita.

Wanita itu terengah-engah dan berbatuk. Tapi, kemudian ia menangis dengan sangat keras. Tangisannya pilu. Membuat Ken merasa iba dan menyesal karena telah memarahinya. Air mata dan erangannya, menunjukkan sebuah luka yang tak terobati.

"Ada apa? Kamu baik-baik saja?" Ken membawanya turun dari kursi dan mendudukkannya.

Wanita itu masih menangis dan meremas-remas rambutnya. Dia menarik rambut dan pakaiannya. Dipukulnya kepalanya beberapa kali.

"Aaaaaa!! Bajingan itu harus mati. Bajingan itu harus membayarnyaaa!  AAAAAAA!!" Wanita itu berteriak sekeras-kerasnya.

"Tenang.. Tolong tenang! Apa yang terjadi?" Ken memeluk wanita lemah itu. Sepertinya hal buruk baru menimpanya dan ia mengalami sebuah tekanan yang luar biasa di dalam batinnya.

Setelah hampir satu jam Ken berusaha menenangkan wanita itu, akhirnya si wanita mulai tenang dan sedikit stabil. Dia bahkan menerima ketika Ken memintanya untuk minum.

"Semua ini salah ayahku..," ucap wanita itu lirih.

"Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu sampai nekat mengakhiri hidupmu? Kamu tahu kan kalau itu bukan jalan keluar?!" Ken menegaskannya kembali.

"Ayahku.. Dia menyetubuhi adikku dan membunuhnya. Aku lihat semua perbuatannya. Aku saksi dari semua kebejatannya!! Bahkan, aku lihat waktu bajingan itu menggorok leher adikku yang malang," kata si wanita dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Ken terkejut. Ken syok mengetahui bahwa inilah alasan dia bersikap gila.

"Sekarang, bajingan itu mendekam di penjara. Aku langsung menelepon polisi saat melihat kejadian itu. Tapi, dendam dan rasa kehilangan nggak bisa hilang secepat yang kamu kira. Aku, nggak bisa kehilangan adikku. Aku mau menemui adikku," sambungnya dengan suara gemetar.

Ken menepuk-nepuk bahunya.

"Kamu masih punya kehidupan yang harus dijalani. Berpikirlah dengan jernih. Kamu nggak sendiri di dunia ini. Terkadang, beberapa luka memang harus dijalani.. dan akan tersembuhkan oleh waktu," hibur Ken.

Wanita itu tersenyum tipis.

"Satu bulan yang lalu, aku pindah kemari untuk melupakan apa yang terjadi di rumah. Tapi, semakin kesepian, justru aku semakin dibayangi oleh adikku," wanita itu menjelaskan lagi.

"Dengar! Jangan lakukan hal yang gegabah! Kamu tahu Cafe La Pose yang ada di dekat sini? Itu tempat kerjaku. Kamu bisa mengunjungiku saat kamu membutuhkan teman. Aku mohon, kamu harus tetap hidup!" kata Ken sambil memegangi pundak wanita itu.

Dan seketika, si wanita mengangguk pelan dan tersenyum.

Syukurlah, sepertinya masih ada harapan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku mengonsumsi banyak obat?" tanya si wanita.

Ken memutar matanya.

"Ah.. Soal itu.. Sebenarnya aku bisa lihat apa yang orang lain telan. Aku, bisa melihat isi pencernaan seseorang hanya dengan bersentuhan. Kontak fisik sekecil apapun, bisa memberiku gambaran makanan apa yang orang lain telan sebelum makanan itu berakhir di toilet. Dan saat kamu menjatuhkan kantong plastik 10 hari yang lalu di depan cafe, apa kamu ingat kalau aku yang bantu kamu ambil kantong itu? Saat itu, aku nggak sengaja menyentuh jari kamu.. dan tahu apa yang kamu telan," jelas Ken.

Wanita itu justru tertawa dan mengolok Ken karena Ken terdengar tidak masuk akal.

"Kamu bercanda? HAHAHA. Thanks untuk leluconnya! HAHAHAHA," jawab si wanita sambil berbahak-bahak.

"Aku... nggak bercanda," ucap Ken lagi.

Wanita itu seketika diam dan memperhatikan wajah Ken yang serius.

"Aku bisa melihat kalau kamu menelan obat anti depresi dengan jumlah yang nggak masuk akal. Obat anti depresi dan soda. Bahkan kamu nggak makan makanan lain saat itu. Awalnya, aku memang nggak peduli, tapi kamu setiap hari lewat depan cafe dan kamu kelihatan semakin buruk setiap harinya. Kamu tahu kenapa aku sampai mengikuti kamu hari ini? KAMU UDAH KELIHATAN SEPERTI ZOMBIE!!!" Ken menekankannya pada si wanita.

"Hari ini, aku menyentuh kamu lagi.. Nggak ada yang berubah, di dalam pencernaanmu hanya ada obat anti depresi. Dengan jumlah yang lebih banyak dari saat itu," sambung Ken.

Wanita itu terkejut. Dia tidak bisa membantahnya karena semua yang dikatakan Ken 100% akurat.

"Bahkan tanpa kamu menggantung dirimu, perlahan kamu akan mati juga karena obat-obatan itu!!!" kata Ken lagi.

"Nggak mungkin..  Selama ini aku baik-baik aja dan nggak pernah overdosis. Tubuhku kuat," jawabnya dengan lesu.

Ken meraih kantong plastik yang si wanita bawa tadi. Kantong itu berisi banyak obat anti depresi. Ken langsung melemparkannya ke tempat sampah.

"Kamu harus hidup lebih baik. Jangan sia-siakan hidupmu.. Adikmu, akan tenang kalau kamu disini baik-baik saja," tukas Ken.

Si wanita terdiam setelah mendengar ucapan Ken. Dia mulai mempercayai Ken. Terlihat wajah pucat dan sembabnya mulai menemukan secercah cahaya.

"Oke, aku harus pergi," Ken berdiri dan menuju pintu untuk segera pulang.

Saat Ken membuka pintu..

"Tunggu..," wanita itu menghentikannya.

Ken kembali menatap mata wanita itu.

"Panggil aku Sarah," sambungnya sambil melempar sebuah senyuman kecil.

"Aku Ken..," jawab Ken.

"Terima kasih Ken.. Tapi, kenapa kamu mau menolongku?" tanya si wanita lagi.

"Aku berusaha agar kemampuanku dapat kugunakan untuk sesuatu yang baik. Membantu orang yang baik.. dan memusnahkan orang yang jahat," jawab Ken dengan padat dan jelas.

Wanita bernama Sarah itu pun kembali tersenyum dan melambaikan tangan ketika Ken akan meninggalkan kamar apartemennya.

Related chapters

  • I Know What You Eat   HILANG

    “Udah lah, Ken. Kalau kamu banyak pikiran begini, bisa-bisa kamu anter pesanan yang salah ke meja pelanggan,” ucap Roy mendekati Ken yang duduk menopang dagu di meja barista. Pikirannya mengawang entah kemana.“Ya, gimana lagi, Bro! Polisi belum ngasih kabar lagi. Aku jadi makin panik. Udah hampir satu minggu. Tapi, nggak ada kemajuan apa-apa,” jawab Ken lesu. Wajahnya seperti tidak dialiri darah.“Ayolah.. Kamu juga akhir-akhir ini jarang makan, lho! Nanti kurus kayak aku, hahaha,” hibur Roy.Tapi tetap saja, gurauan Roy seperti terhalang tabir surya. Tidak ada reaksi yang memuaskan dari Ken. Wajahnya tetap bermuram durja di kala cafe sepi pengunjung.“Kalau cafe lagi sepi gini, mendingan kamu lihatin chef-chef di belakang yang lagi masak. Lihatin orang masak tuh hiburan banget, lho. Untung-untung kalau mereka mau ngajarin kita. Tapi jangan sama chef Danny. Dia galak banget! Mana pelit ilmu lagi,” tukas Roy

  • I Know What You Eat   SPICY CHICKEN CAKE

    “Spicy Chicken Cake?” Sarah penasaran.Baru kali ini Sarah mengetahui ada cake yang dibuat dari daging ayam dan didominasi dengan rasa gurih pedas.“Bukannya semua cake itu mayoritas manis, ya? Kalau pun asin, itu karena karena tambahan keju.. Aku baru tahu ada cake ayam pedas di kota ini,” lanjut Sarah.“Selama aku kerja di sini juga aku belum pernah cobain cake itu, Sar. Aku nggak suka makanan pedas. Apa lagi cake rasanya bener-bener membakar lidah. Dari pada aku sakit perut, mendingan nggak usah coba-coba, kan?” Ken menimpali.“Menu ini adalah Signature Dish (makanan khas/identitas) di cafe La Pose. Banyak lho yang udah nyobain.. Aku selalu saranin ini buat para pelanggan. Kamu mau coba?” tanya Roy dengan sumringah.“Emm.. Kenapa makanan itu bisa spesial? Bukannya hampir sama kayak pizza?” tanya Sarah.“Eiitsss.. Beda dong! Makanan ini supeeeer lembut. Tapi, ada beberapa po

  • I Know What You Eat   AMANITA VIROSA

    Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m

  • I Know What You Eat   EFEK RACUN

    Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag

  • I Know What You Eat   MENGUNJUNGI KAK ROSE

    Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”

  • I Know What You Eat   THE TIFFANY YELLOW DIAMOND

    “CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi

  • I Know What You Eat   KENANGAN

    “Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia

  • I Know What You Eat   MEET BERTHA

    “Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah

Latest chapter

  • I Know What You Eat   CINEMA (PART 2)

    “ROY!! ROYY!!” panggil Ken keras. Tapi tetap tak menyadarkan sosok Roy yang berdiri membatu di dekat tempat parkir. Tatapan Roy kosong yang memusat ke satu titik.Tap..Tap..Tap..Ken mendekati Roy dengan cepat. Khawatir kawannya mengalami hal yang buruk.“Roy? Kamu ngapain di sini? Ayo masuk! Filmnya udah mau dimulai..,” panggil Ken. Tangan kanannya menggenggam lengan Roy yang dibalut pakaian lengan panjang. Dgoyang-goyangkannya beberapa kali.“Tadi.. aku lihat Bertha!” jawab Roy lirih. Matanya melotot dan wajahnya kaku.Ken ikut berperanjat. Pertemuannya dengan Bertha yang ia rahasiakan dengan rapi, terasa sia-sia karena Roy bisa menjumpai Bertha tanpa sengaja.“Bertha? Ah, nggak mungkin! Kamu beneran lihat Bertha? Dimana?” Ken mencoba mengalihkan.“Mmm.. Nggak begitu jelas. Tapi.. kayaknya orang tadi bener-bener Bertha. Aku ikuti sampai sini, tapi aku kehilangan d

  • I Know What You Eat   CINEMA

    Hari yang kelam masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada perkembangan apa pun yang terungkap mengenai Bertha atau pun mengenai orang tua Ken. Kini semuanya terasa mengapung di atas angin.“Kalau kamu mau ambil cuti lagi nggak apa-apa, Roy. Kayaknya pikiranmu belum sepenuhnya jernih,” ucap Ken cemas.Cafe baru berjalan selama dua jam dan Roy selalu saja menyajikan pesanan yang salah kepada para pelanggan. Fokusnya benar-benar kacau.“Permisi, Kak.. Tadi saya pesan cappucino.. Kenapa yang saya terima malah hazelnut, ya?” tegur seorang pembeli yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Roy.“Ehh.. Maaf, Kak.. Saya buatkan yang baru ya..,” jawab Roy kebingungan. Tangannya meraih cangkir kopi dengan begitu terburu-buru. Diraihnya pula bubuk kopi dengan tidak sabar.PRAKK!!Sebotol kopi hitam tidak sengaja tersenggol hingga tumpah mengotori meja barista.“Aduhh.. Pakai tumpah segala! Tunggu sebentar

  • I Know What You Eat   MEET BERTHA (PART 2)

    “Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Ber? Kalau kamu menyerahkan diri ke polisi dan berjanji mengembalikan berlian itu, kamu masih bisa membujuk Tuan Smith untuk membatalkan tuntutannya. Dia masih bisa maafin kamu. Semarah-marahnya dia ke kamu, dia tetep punya perasaan cinta ke kamu, kan?” usul Sarah.“Yang diomongin Sarah emang bener. Lagi pula, kemarin Tuan Smith juga bilang kalau dia akan mempertimbangkan tuntutannya kalau berliannya kembali dengan keadaan yang utuh tanpa kerusakan sedikit pun. Tapi.. Nggak semudah itu.. Aku juga setuju kalau Bertha harus berhadapan dengan polisi dan menyelesaikan semuanya secara hukum. Tapi, aku khawatir tentang pengembalian berlian itu..,” tiba-tiba Ken melanjutkan ucapan Sarah. Membuat Sarah dan Bertha menatap ke arah Ken.“Berlian-berlian itu nggak akan bisa dikembalikan sekarang. BERTHA MENELAN BERLIAN ITU!!!” ujar Ken tajam.Mata Bertha berbelalak. Debaran jantungnya kian memburu dan

  • I Know What You Eat   MEET BERTHA

    “Bertha?” ucap Ken terkejut.Sosok dengan tudung kepala super lebar itu mengangkat kepalanya perlahan. Diarahkan wajahnya ke atas untuk menatap seseorang yang telah menyebut namanya.Wajah yang sangat manis dengan tatapan mata yang pernah Ken lihat beberapa waktu lalu. Rambut gelapnya yang cantik, membuat parasnya terlihat semakin menawan.“K.. K.. Kak Ken? Temen kerja Kak Roy, kan?” tanya Bertha. Matanya berbelalak dan raut wajahnya mendadak panik seketika.Mereka saling bertatap mata sekitar beberapa detik. Sebelum Ken tersadar dari keterkejutannya, Bertha hendak melepaskan jemarinya dari tangan Ken dan segera kabur.“Maaf, Kak.. Aku harus pergi!” ucap Bertha sembari membalikkan tubuhnya.GRAB!!!Sayangnya, GAGAL!Ken mencengkeram erat mantel tebal Bertha hingga langkahnya tertahan.“Kak! Lepasin aku! Aku mau pergi! Tolong jangan tahan aku!” pekik Bertha.Di tengah

  • I Know What You Eat   KENANGAN

    “Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia

  • I Know What You Eat   THE TIFFANY YELLOW DIAMOND

    “CEPAT BERI TAHU SAYA DI MANA PEREMPUAN NGGAK TAHU DIRI ITU!” bentak seorang pria tua berusia 60 tahun. Tubuhnya tinggi gempal dengan rambut cepak yang didominasi oleh uban berwarna putih semi abu-abu. Wajah garang dan tajamnya mengintimasi Roy dan Ken yang tengah bergidik ngeri di sebuah ruangan sempit di kantor polisi. Ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada satu meja dan empat kursi kecil.Pertemuan antara Roy, Ken, dan seorang pria tua ini disaksikan oleh salah seorang petugas polisi yang tengah bertugas hari itu.“Tuan! Tolong panggil anak anda! Dia tidak seharusnya melaporkan adik saya bahkan sebelum adik saya ditemukan dan buka suara! Saya tidak tahu kenapa anak anda bisa melaporkan Bertha sedangkan dia belum memiliki bukti yang kuat!” jawab Roy setengah gemetar. Dibalik rasa khawatirnya, ada kekesalan kepada sosok yang menjadi kekasih Bertha karena tindakan gegabahnya.“Anak saya? Anak? HAHAHAHAHA!! Jadi, selama ini kamu pi

  • I Know What You Eat   MENGUNJUNGI KAK ROSE

    Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum, Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”

  • I Know What You Eat   EFEK RACUN

    Dua jam berlalu..Tap..Tap..Tap..“Tante.. Lebih baik Tante istirahat. Sudah hampir dua jam Tante mondar-mandir. Saya bisa belikan Tante makanan di kantin rumah sakit kalau Tante lapar,” ucap Ken dari kursi pengunjung. Dilihatnya sosok itu berjalan bolak-balik dengan tangan yang dilipat di depan.“Saya belum tenang kalau dokter belum keluar.. Saya belum bisa tenang..,” ucap Tante itu lirih. Ditahannya air mata yang sejak tadi mengisi pelupuk matanya.Mereka bertiga tengah menanti sosok yang keluar dari pintu yang kokoh tegak di hadapan mereka. Ruangan itulah dimana si Nenek dibawa masuk oleh beberapa perawat dan seorang dokter laki-laki.“Ruang ICU”.Begitulah yang tertulis di atas pintu itu.“Saya juga nggak akan makan apapun sebelum ada kabar tentang ibu saya.. Dan satu lagi! Stop panggil saya tante! Saya bukan tante kamu.. Saya masih berusia 30 tahun..,” sambungnya lag

  • I Know What You Eat   AMANITA VIROSA

    Ken memutar otak dan mencari-cari untuk dapat menggambarkan makanan yang ada di dalam pencernaan nenek itu. Jemari nenek itu seolah-olah menjadi selang yang menghubungkan antara dirinya dan diri Ken. Begitu jelas penglihatan yang Ken dapatkan. Tapi, butuh waktu beberapa saat untuk mengingat makanan apakah itu.Tidak semua makanan bisa Ken ketahui dengan jelas. Apa lagi makanan yang tidak familiar. Makanan yang belum pernah Ken lihat atau makan. Kadang, Ken juga tidak mengetahui dampak suatu makanan yang sama sekali tidak ia kenali.“Nak.. Kamu baik-baik saja?” tanya si Nenek dengan jemari kasar yang masih menggenggam pergelangan tangan Ken.“Tumbuhan.. Lembab..,” ucap Ken lirih.“Hey, anak ingusan! Kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh? Jangan pura-pura sakit ya, kamu! Masalah ini belum selesai!” sindir Tuan Antony.Ken tertunduk lama. Matanya sesekali ia pejamkan untuk memusatkan konsentrasi pada gambaran yang m

DMCA.com Protection Status