Aldo sampai di rumah Celine. Dia keluar dari dalam mobil. Wajahnya merah padam. Amarah dalam dirinya telah memuncak. Aldo menendang pintu rumah hingga terbuka. "Celine," teriaknya saat masuk ke dalam. Celine bersembunyi di dalam kamar. Dia tahu apa sebabnya Aldo datang dalam keadaan marah. Dia sudah melihat videonya bersama Dion maupun videonya bersama Aldo. Celine sangat malu untuk keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus menyembunyikan wajahnya di mana. Langkah kaki Aldo terdengar saat menaiki anak tangga. Celine sudah mengunci kamarnya. Aldo mengedor pintu kamar dengan kasar. "Buka pintunya, Celine!"Aldo menendang-nendang pintu. "Jangan membuatku semakin marah!"Di dalam Celine sudah ketakutan bukan main. Aldo berdecak kesal. Dari bibirnya tiada henti mengumpat. Dengan tenaganya, Aldo mendobrak pintu kamar. Aldo masuk dan menatap sengit Celine."Maafkan aku, Aldo," ucap Celine. Aldo mendekati Celine yang tengah berdiri di samping tempat tidur. Celine sudah terlihat sangat t
Tubuh Dion diikat dan didudukkan di kursi. Dion di tempatkan di sebuah kamar kecil. Bulu kuduknya berdiri. Dion menatap sekeliling. Dia menelan salivanya. Mungkinkah ini akhir dari hidupnya. Di atas meja ada tali dan juga beberapa senjata tajam. Belati karatan. Sepertinya itu sudah tumpul. Bisa dipastikan. Ketika benda itu menusuknya. Pasti rasanya akan sangat menyakitkan. Dion meronta ingin melepaskan diri. Tapi ikatan tali itu begitu kuat. "Apa kalian sudah mengikatnya?" tanya Ryan."Sudah, Tuan," jawab mereka. "Siapkan tempat terakhir untuknya. Aldo pasti akan menghabisi pria itu," perintahkan Ryan. Dua pria itu mengangguk. "Baik, Tuan."Ryan duduk sembari menunggu kedatangan Aldo. Dia melacak keberadaan Rere saat ini. Perusahaan Aldo sudah terguncang.Saham mereka turun. Video itu sudah mulai dihapus dari dunia maya. Orangtua Aldo sedari tadi menelepon dirinya. Ryan beralasan akan menceritakan semuanya setelah masalah ini kelar. Suara mobil terdengar. Ryan bangun dari dudukn
Plaak ... plaak ... !Dua tamparan mendarat di sisi kiri dan kanan Aldo. Pukulan itu dari sang ayah yang murka akan perbuatan anaknya.Wijaya menarik kerah kemeja Aldo. "Di mana cucu dan menantuku? Kamu apakan sampai mereka lari, huh?""Aku minta maaf, Pa," lirih Aldo."Minta maaf? Tidak ada gunanya lagi kamu minta maaf. Sudah lama kamu tidak diberi pelajaran." Wijaya melirik pelayan. "Ambilkan sapu. Anak ini sudah sangat keterlaluan."Rina melotot pada suaminya. "Apa dengan menyiksa anakmu, akan mengubah segalanya? Apa Rere akan langsung kembali? Kamu hanya akan menyakiti Aldo saja. Jika sampai putraku terluka, aku akan meninggalkanmu."Wijaya mengepal geram. "Bela saja dia. Lihat putramu ini ... dia menjadi kurang ajar karena sifat manjanya. Dari kecil kamu selalu memanjakan dirinya."Sepasang suami istri itu saling menyalahkan. Aldo memang dilengkapi dua orangtua yang utuh. Tapi sejak kecil Aldo dibesarkan oleh pengasuh. Papa dan mamanya sibuk dengan urusan masing-masing. Rina se
Para perawat mendorong brangkar menuju ruang tindakan. Dokter segera datang dan pintu ditutup. Ryan mondar-mandir di depan ruang tunggu. Dia sudah memberitahu orangtua sahabatnya itu. Ryan khawatir melihat kondisi sahabatnya. Bisa dipastikan Aldo semalaman terguyur air yang dingin. Tangannya dan wajahnya pucat pasi. "Ryan," panggil Wijaya. "Nak ... apa yang terjadi?" tanya Rina. "Aldo menguyur dirinya di kamar mandi," jawab Ryan. Wijaya mengembuskan napas kasar. "Anak itu ... sudah begini dia baru sadar." Wijaya menatap wajah Ryan. "Katakan Ryan. Apa Aldo sering menyiksa Rere?"Ryan tersentak. Dia bingung untuk menjawab. Haruskah dia berkata yang sebenarnya. Sebagai sahabat, dia tidak bisa memberi nasihat kepada Aldo agar bersikap lebih baik. "Katakan Ryan," tuntut Wijaya.Ryan mengangguk. "I-iya ... Aldo sering menyiksanya. Aldo juga sering memukul Rere. Tapi itu sebelum mereka menikah. Aldo hanya cemburu. Rere tidak pernah menuruti perintahnya."Wijaya mengepal geram. Rina me
Australia "Ken ... cepat bangun," pekik Rere dari arah dapur. Kenan masih bergelung selimut. Dia enggan untuk bangun. Rere selesai membuat sarapan pagi. Dia lalu ke kamar Kenan. Rere tidak bekerja karena kondisinya saat ini tengah berbadan dua. Rere menyewa rumah sederhana untuk mereka berdua. Rere menghidupi dirinya dan Kenan dengan uang tabungan. Dan juga dengan uang yang dia ambil dari sang suami. Rere masuk ke kamar Kenan. dia duduk di tepi ranjang. Rere mengusap lembut puncak kepala Kenan. "Ken ... hari ini tidak libur, Sayang. Kamu harus sekolah," ucap Rere. Kenan membuka matanya. Dia sudah bangun sedari tadi. "Kenan enggak mau sekolah. Mereka semua mengejekku. Kita pulang saja, Mom. Ken tidak suka di sini.""Apa yang mereka katakan?" tanya Rere. "Mereka semua pergi sekolah naik mobil. Diantar mama dan papa. Kalau yang kaya, mereka diantar supir yang memakai seragam. Sedangkan Ken ... hanya pakai sepeda. Mereka suka merusak sepedaku," keluh Kenan. Rere mengusap lembut k
Kenan pulang ke rumah. Dia masuk ke kamarnya dan mulai menulis surat untuk Aldo. Kenan ingin menanyakan kenapa daddynya itu lebih memilih Celine daripada ibunya sendiri."Alamat rumah Daddy apanya? Yang aku ingat hanya rumah lama saja. Tapi ... apa majikan Liora itu akan menyampaikan surat ini?" Kenan menepuk jidatnya. "Kenapa tidak gunakan media sosial saja. Aku akan membuat video dan menyebarkannya."Kenan mengunci pintu kamarnya. Dia meletakkan ponsel di meja. Kenan berdiri dan mulai bicara. "Daddy ... Kenan di sini. Kenan dan Mommy di Australia. Kenapa Daddy lebih memilih tante Celine daripada Mommy. Sebentar lagi adik bayi akan lahir. Kemarilah Dad, Kenan akan menunggumu." Kenan mematikan kamera videonya. Dia memutar kembali video itu. "Nah ... sepertinya ini sudah cukup ." Kenan mulai mengupload video itu tapi tidak bisa. Dia sedikit kesal dan mulai mencoba kembali. Tapi tidak bisa. Di dalam mobil John terkekeh geli. Rere mengernyit melihat tingkah aneh temannya. "Kamu ken
"Kamu kenapa?" tanya Liora."Aku tidak jadi mengirim surat," jawab Kenan. Sesuai perjanjian. Kenan dan Liora bertemu di bangku jalanan, tempat mereka pertama kali bertemu. "Kenapa?" tanya Liora ingin tahu. "Daddyku sering memukul mommy. Pantas saja mommy pergi," jawab Kenan. "Ibuku juga begitu. Ayahku sering menyiksa kami," ungkap Liora. "Lalu ... di mana ayahmu?" tanya Kenan dengan menatap penuh pada wajah teman barunya. Liora mengedikan bahu. "Entahlah ... dia pergi dengan meninggalkan hutang. Ibuku harus menjadi pelayan.""Kasihan," ucap Kenan. Liora memberi tatapan tidak suka. Dia tidak ingin seseorang mengasihani dirinya. "Bagaimana kalau kita ke tempat majikanku. Dia punya anak perempuan seperti kita. Namanya Angel," ajak Liora. "Apa rumah tuanmu tidak jauh?" tanya Kenan.Liora mengeleng. "Hanya melewati dua blok saja. Di sana hanya ada perumahan elite."Kenan tersenyum. "Kedengarannya menarik. Aku tidak punya teman. Menambah teman bagus sepertinya."Kenan menaiki sepe
"Wah ... lucu sekali anak ini," ucap para karyawan kantor. Semua heboh dan kagum akan tingkah kedua anak kecil yang beradegan layaknya tuan putri dan pangeran. Ryan dan Wijaya masuk ke gedung kantor. Wijaya heran melihat para karyawannya itu heboh dan meniru adegan melamar seorang wanita. "Ehem." Wijaya berdehem lalu menatap satu per satu bawahannya. Semuanya berdiri tegak dan memasang tampang tidak bersalah. "Selamat pagi, Pak.""Apa yang kalian lihat?" tanya Wijaya. "Hanya video viral, Pak," jawab salah satu pria. Wijaya mengangguk. "Jam kerja sebentar lagi dimulai. Lakukan pekerjaan kalian dengan baik.""Siap, Pak," ucap para karyawan serempak. Wijaya dan Ryan masuk ke dalam lift khusus. Ryan meraih ponselnya. Dia penasaran dengan video yang para rekannya maksud."Apa kamu penasaran dengan video viral itu?" tanya Wijaya. Ryan terkekeh. "Mau lihat saja. Akhir-akhir ini banyak sekali video viral."Ryan mencari-cari video yang tengah viral. Salah satu karyawan mengirim video i