"Wah ... lucu sekali anak ini," ucap para karyawan kantor. Semua heboh dan kagum akan tingkah kedua anak kecil yang beradegan layaknya tuan putri dan pangeran. Ryan dan Wijaya masuk ke gedung kantor. Wijaya heran melihat para karyawannya itu heboh dan meniru adegan melamar seorang wanita. "Ehem." Wijaya berdehem lalu menatap satu per satu bawahannya. Semuanya berdiri tegak dan memasang tampang tidak bersalah. "Selamat pagi, Pak.""Apa yang kalian lihat?" tanya Wijaya. "Hanya video viral, Pak," jawab salah satu pria. Wijaya mengangguk. "Jam kerja sebentar lagi dimulai. Lakukan pekerjaan kalian dengan baik.""Siap, Pak," ucap para karyawan serempak. Wijaya dan Ryan masuk ke dalam lift khusus. Ryan meraih ponselnya. Dia penasaran dengan video yang para rekannya maksud."Apa kamu penasaran dengan video viral itu?" tanya Wijaya. Ryan terkekeh. "Mau lihat saja. Akhir-akhir ini banyak sekali video viral."Ryan mencari-cari video yang tengah viral. Salah satu karyawan mengirim video i
Dengan tidak sabarnya John mengetuk pintu rumah Rere. Dia ingin memberitahu Rere perihal ini. Rere memutar kunci dan membuka pintu. "John ... ada apa?" tanya Rere heran. John menyelonong masuk kedalam. Dia duduk di sofa dengan diikuti oleh Rere. John meletakkan ponselnya di meja. "Kamu lihat video anakmu. Aku sudah menghapusnya dari dunia maya," ucap John.Dahi Rere berkerut. Dia mengambil ponsel itu dan memutar video yang dimaksud oleh John. Rere mengerjap. Dia tersentak kaget melihat video itu. "Apa ini tersebar di dunia maya?"John mengangguk. "Iya ... anakmu viral di dunia maya. Seluruh dunia tengah membicarakannya.""Apa kamu tidak bisa menghapusnya?" tanya Rere."Sudah aku hapus. Tapi aku tidak yakin bisa semuanya. Video itu sudah tersebar luas. Banyak yang mengunduhnya dan kembali menyebarkan video itu," terang John.Rere menghela. "Apa mungkin Aldo sudah melihat video ini? Dia pasti akan mencariku. Aku tidak mau kembali padanya.""Apa rencanamu?" tanya John. "Aku harus pe
Aldo membuka matanya. Dia terbangun dari tidur lelapnya. Dengan perlahan dia mengerakkan tangannya. Sedikit-sedikit tangan itu bergerak.Aldo juga mencoba mengerakkan kakinya. Dengan perlahan dia menurunkan kakinya dari ranjang tidur. Braakk ... !Aldo terjatuh dari tempat tidur. Dia meneteskan air mata. Bagaimana dia akan pergi menyusul istri dan anaknya. Kondisinya saja seperti pria lumpuh. Pintu kamar terbuka. Perawat pria datang dan segera membantu Aldo bangun."Tuan ... kenapa tidak memencet tombol saja. Saya akan datang jika diperlukan," ucap perawat itu. Ada satu tombol pemanggil di kamar Aldo. Jika ditekan maka perawat akan datang ke kamarnya. Aldo didudukkan di kursi roda. "Kita mandi dulu. Setelah itu saya akan menjemur Tuan. Cuaca pagi ini sangat cerah."Pelayan menyiapkan air hangat untuk Aldo. Lalu membantu Aldo untuk membersihkan dirinya. Setelah siap, pelayan itu membawa Aldo turun.Seperti biasanya. Aldo akan berjemur di pagi hari. Rina dan Wijaya tersenyum melih
"Seminggu lagi Anda datang kemari. Posisinya normal. Semuanya baik-baik saja. Hanya tunggu waktu saja," jelas Dokter. "Apa tidak apa-apa lewat begini?" tanya Rere. Kandungan Rere sudah mencapai 40 minggu. Namun tanda-tanda untuk melahirkan tidak ada sama sekali. "Tidak apa-apa, karena kandungan Anda tidak bersalah. Kita akan tunggu 42 minggu batasnya. Jika masih belum keluar tanda-tanda melahirkan. Maka akan kami beri tindakan," ucap Dokter. Rere tidak ingin melakukan operasi caesar. Menurutnya kondisi pulihnya akan lama. Tidak seperti melahirkan secara normal. Apalagi dia hanya berdua dengan Kenan. Tidak ada siapapun yang menemani. Kenan mengecup hasil USG adik bayinya. "Kapan dia akan lahir, Mom?""Sebentar lagi, Ken," jawab Rere. Rere beralih pada Dokter. "Terima kasih, Dok. Minggu depan saya akan kembali."Dokter mengangguk. "Sama-sama, Nyonya."Rere membawa Kenan keluar dari ruangan Dokter. Kenan mengusap perut besar mommynya. "Mom ... apa adik Kenan perempuan?" tanyan
"Ini Kakek, Ken," ujar Wijaya. Mata Kenan menatap Aldo yang duduk di kursi roda. Dia teringat akan ucapan dari John dan Rere. Daddynya sendiri telah memukul wanita yang melahirkannya. Dan membuatnya berada di negeri orang. "Kalian siapa?" tanya John. "Kami mertua Rere," sahut Rina. "Masuklah," kata John Kenan menghadang semuanya untuk masuk. "Kenapa Daddy datang?! Apa Daddy ingin memukul mommy lagi?" John tersentak akan ucapan Kenan. Dia tidak mengira jika Kenan mengetahui sifat buruk Aldo. Aldo meraih tangan kecil Kenan. "Maafkan Daddy, Ken. Sungguh Daddy minta maaf padamu."Kenan mendorong kursi roda Aldo. "Kenan membenci Daddy." Kenan hendak pergi tetapi John meraih tangannya. "Mau kemana?" Kenan melepas tangannya. "Lepaskan!"Aldo meraih tangan Kenan dan membawa tubuh putranya itu ke dalam pelukan hangatnya. Kenan meronta minta dilepas. Tapi Aldo memeluknya dengan kuat. "Dengarkan Daddy, Ken. Semuanya memang Daddy yang salah."Kenan melepas pelukkan Aldo. Dia Mendoron
Rere mengerjap. Dia membuka matanya dengan perlahan. "Ken ...."Rina dan Wijaya yang duduk di sofa segera menghampiri menantunya. Rere memandang mertuanya. "Di mana Kenan dan putriku? Apa kalian kemari untuk mengambilnya? Kumohon ... jangan ambil mereka dariku," lirih Rere dengan terisak. Rina mengeleng. "Tidak, Nak. Kami di sini karena kami ingin menjemputmu. Membawamu pulang ke rumah yang memang seharusnya tempatmu tinggal.""Rere ... kami tahu, Aldo banyak bersalah padamu. Maafkan kami karena tidak mendidiknya dengan benar. Kami di sini bukan untuk mengambil anak-anakmu. Tapi ingin menjemputmu, Nak," ucap Wijaya. "Tapi kalian punya menantu lain. Kalian menginginkan anakku untuknya. Jangan lakukan itu ... kumohon," ucap Rere. Rina mengeleng. "Kamu menantu kami. Hanya kamu seorang, Re."Rina mengusap puncak kepala Rere. Tidak ada niatan baginya untuk mengantikan Rere dengan wanita lain. Rina sudah menyukai Rere saat keduanya bertemu. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan Aldo dan
Aldo tertidur di sofa rumah sakit. Kenan sudah bersama nenek dan kakeknya di rumah. Hanya Aldo yang menemani Rere saat ini. Besok Rere sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Dengan perlahan Rere turun dari ranjang. Putri kecil mereka menangis. Aldo mengerjap. Dia terbangun dari tidur lelapnya. Aldo bergegas karena melihat Rere perlahan mendekati putrinya. "Biar aku saja. Kamu duduklah," ucap Aldo. Rere kembali duduk di ranjang. Aldo memeriksa putri mereka. "Popoknya kotor.""Bawa dia kemari. Akan aku ganti," kata Rere. Aldo mengambil putri kecilnya. Lalu meletakkannya di ranjang pasein. Dia mengambil segala keperluan ganti si kecil. Rere menganti popok kotor putrinya dengan yang baru. Aldo memperhatikan hal itu. Selesai dengan itu, kembali Aldo membereskan semuanya. Rere menyusui putrinya. Kembali Aldo memperhatikan keduanya. Rere masih dingin. Tidak ada obrolan hangat ataupun acara saling sentuh menyentuh.Rere hanya bicara jika dia perlu saja. Selebihnya Rere akan diam dan
Rere duduk di kursi roda. Aldo mendorong kursi roda keluar rumah sakit. Administrasi sudah diurus olehnya. Rere mengernyit, melihat mobil berwarna merah yang dia beli terparkir manis di parkiran. "Ini mobilku," ujar Rere. "Iya ... ini mobilmu. Aku meminjamnya untuk membawamu pulang," kata Aldo. Aldo membuka pintu mobil bagian belakang. Dia mengambil alih Rachel terlebih dulu. Tempat tidur bayi sudah disiapkan di dalam mobil. Aldo meletakkan Rachel terlebih dulu. Setelah itu membantu Rere untuk masuk ke mobil. Aldo masuk menyusul. Menghidupkan mesin dan mengemudikannya menuju rumah baru. Di dalam perjalanan tidak ada satu pun yang bicara.Rere terdiam dan begitu juga dengan Aldo. Suasana kembali canggung. Setiap Aldo bicara kepada Rere. Yang ada hanya jawaban ketus dan bernada marah yang Aldo dapatkan. Rere mengernyit menatap perumahan elite yang dia lewati. "Apa kita ke rumah baru?" Aldo mengangguk. "Iya ... kita langsung saja ke rumah baru. Kenan juga sudah ada di sana.""Ba