Rere menoleh ke sisi kiri dan kanan. Seperti biasanya. Rere memakai kacamata serta kerudung untuk menutupi kepalanya. Rere membuka pintu mobil dan masuk. Dia masuk ke dalam mobil Dion. Keduanya saling berpelukan. Dion mengecup kening dan pipi Rere, sesaat wanita yang dia cintai telah duduk di sampingnya. Rere mengeluarkan cek dari dalam tasnya. "Ini cek sebesar 25 milyar. Ambillah. Ini untukmu.""Apa ini hasil dari merampok suami?" Dion mengambil cek uang itu. Rere tersenyum. "Begitulah.""Kapan kita akan kabur dari kota ini?" tanya Dion. "Secepatnya," jawab Rere. "Aku masih belum mengeruk habis hartanya." Dion terkekeh. "Kamu memang pintar, Sayangku."Rere merebahkan kepalanya di lengan kekar Dion. Tangan Dion mengusap lembut kepala Rere dan mendaratkan kecupan di kening. Rere mengangkat kepalanya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Sayang ... aku harus menjemput putraku. Aku pergi duluan.""Iya ... kamu jemput putra kita. Titip salam untuknya dariku," kata Dion yang s
Keduanya kini sudah berada di kamar hotel. Setelah piknik singkat di pantai. Rere mengajak sang suami untuk bermalam di hotel. Rere tengah menghias dirinya. Memakai gaun malam yang belum sempat dia pakai, pada malam sebelumnya. Sesuai permintaan Aldo waktu itu. Rere memakai gaun malamnya tanpa dalaman. Kali ini Rere memakai gaun malam berwarna maroon. "Al ... bersihkan dulu dirimu," kata Rere.Aldo melangkah mendekati Rere. Dia membelai rambut halus serta menghirup aroma wanginya. "Malam ini kamu sangat cantik.""Mandi dulu, Sayang," bisik Rere seraya mengigit cuping telinga Aldo. Aldo tersenyum. "Tunggu aku, Sayang."Aldo masuk ke kamar mandi. Rere menuangkan minuman pada gelas tinggi berbentuk ramping. Rere menoleh kearah kamar mandi. Dia meraih tasnya. Lalu mengambil sebutir pil dari dalam botol obat dan sebotol jus. Rere memberi satu butir pil itu kedalam minuman berwarna merah. Rere membuka tutup botol pada jus delima. Dia menuangkan sedikit jus itu kedalam gelas satunya la
Taksi berhenti tepat di depan mobil hitam. Rere keluar setelah membayar ongkos taksi. Kaca jendela mobil diturunkan."Masuklah," kata Dimas.Rere masuk ke dalam mobil. Sudah ada Kenan dan Maya di dalam. Rere memang sudah memberitahu Maya pengasuh Kenan. Putranya juga sudah diberi pil tidur.Kenan sudah tertidur pulas di pangkuan pengasuhnya. Dimas menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya menuju bandara.Rere tidak membawa pakaian. Begitu juga dengan Kenan dan pengasuhnya. Mereka hanya membawa diri mereka saja."Kamu yakin akan keputusanmu?" tanya Dimas."Aku yakin. Aku sudah merencanakan ini sejak lama. Saat aku pergi. Suruhanku akan membuat gempar perusahaan dan kehidupan Aldo," tutur Rere."Tapi kamu tengah mengandung," sela Dimas.Rere memang sudah menceritakan semuanya kepada Dimas. Dan meminta bantuan kepada Dimas untuk membantu dirinya melarikan diri.Mobil sampai di bandara kecil khusus. Dimas menyiapkan pesawat pribadi untuk kepergian Rere serta lainnya.Rere keluar dari mob
Aldo sampai di rumah Celine. Dia keluar dari dalam mobil. Wajahnya merah padam. Amarah dalam dirinya telah memuncak. Aldo menendang pintu rumah hingga terbuka. "Celine," teriaknya saat masuk ke dalam. Celine bersembunyi di dalam kamar. Dia tahu apa sebabnya Aldo datang dalam keadaan marah. Dia sudah melihat videonya bersama Dion maupun videonya bersama Aldo. Celine sangat malu untuk keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus menyembunyikan wajahnya di mana. Langkah kaki Aldo terdengar saat menaiki anak tangga. Celine sudah mengunci kamarnya. Aldo mengedor pintu kamar dengan kasar. "Buka pintunya, Celine!"Aldo menendang-nendang pintu. "Jangan membuatku semakin marah!"Di dalam Celine sudah ketakutan bukan main. Aldo berdecak kesal. Dari bibirnya tiada henti mengumpat. Dengan tenaganya, Aldo mendobrak pintu kamar. Aldo masuk dan menatap sengit Celine."Maafkan aku, Aldo," ucap Celine. Aldo mendekati Celine yang tengah berdiri di samping tempat tidur. Celine sudah terlihat sangat t
Tubuh Dion diikat dan didudukkan di kursi. Dion di tempatkan di sebuah kamar kecil. Bulu kuduknya berdiri. Dion menatap sekeliling. Dia menelan salivanya. Mungkinkah ini akhir dari hidupnya. Di atas meja ada tali dan juga beberapa senjata tajam. Belati karatan. Sepertinya itu sudah tumpul. Bisa dipastikan. Ketika benda itu menusuknya. Pasti rasanya akan sangat menyakitkan. Dion meronta ingin melepaskan diri. Tapi ikatan tali itu begitu kuat. "Apa kalian sudah mengikatnya?" tanya Ryan."Sudah, Tuan," jawab mereka. "Siapkan tempat terakhir untuknya. Aldo pasti akan menghabisi pria itu," perintahkan Ryan. Dua pria itu mengangguk. "Baik, Tuan."Ryan duduk sembari menunggu kedatangan Aldo. Dia melacak keberadaan Rere saat ini. Perusahaan Aldo sudah terguncang.Saham mereka turun. Video itu sudah mulai dihapus dari dunia maya. Orangtua Aldo sedari tadi menelepon dirinya. Ryan beralasan akan menceritakan semuanya setelah masalah ini kelar. Suara mobil terdengar. Ryan bangun dari dudukn
Plaak ... plaak ... !Dua tamparan mendarat di sisi kiri dan kanan Aldo. Pukulan itu dari sang ayah yang murka akan perbuatan anaknya.Wijaya menarik kerah kemeja Aldo. "Di mana cucu dan menantuku? Kamu apakan sampai mereka lari, huh?""Aku minta maaf, Pa," lirih Aldo."Minta maaf? Tidak ada gunanya lagi kamu minta maaf. Sudah lama kamu tidak diberi pelajaran." Wijaya melirik pelayan. "Ambilkan sapu. Anak ini sudah sangat keterlaluan."Rina melotot pada suaminya. "Apa dengan menyiksa anakmu, akan mengubah segalanya? Apa Rere akan langsung kembali? Kamu hanya akan menyakiti Aldo saja. Jika sampai putraku terluka, aku akan meninggalkanmu."Wijaya mengepal geram. "Bela saja dia. Lihat putramu ini ... dia menjadi kurang ajar karena sifat manjanya. Dari kecil kamu selalu memanjakan dirinya."Sepasang suami istri itu saling menyalahkan. Aldo memang dilengkapi dua orangtua yang utuh. Tapi sejak kecil Aldo dibesarkan oleh pengasuh. Papa dan mamanya sibuk dengan urusan masing-masing. Rina se
Para perawat mendorong brangkar menuju ruang tindakan. Dokter segera datang dan pintu ditutup. Ryan mondar-mandir di depan ruang tunggu. Dia sudah memberitahu orangtua sahabatnya itu. Ryan khawatir melihat kondisi sahabatnya. Bisa dipastikan Aldo semalaman terguyur air yang dingin. Tangannya dan wajahnya pucat pasi. "Ryan," panggil Wijaya. "Nak ... apa yang terjadi?" tanya Rina. "Aldo menguyur dirinya di kamar mandi," jawab Ryan. Wijaya mengembuskan napas kasar. "Anak itu ... sudah begini dia baru sadar." Wijaya menatap wajah Ryan. "Katakan Ryan. Apa Aldo sering menyiksa Rere?"Ryan tersentak. Dia bingung untuk menjawab. Haruskah dia berkata yang sebenarnya. Sebagai sahabat, dia tidak bisa memberi nasihat kepada Aldo agar bersikap lebih baik. "Katakan Ryan," tuntut Wijaya.Ryan mengangguk. "I-iya ... Aldo sering menyiksanya. Aldo juga sering memukul Rere. Tapi itu sebelum mereka menikah. Aldo hanya cemburu. Rere tidak pernah menuruti perintahnya."Wijaya mengepal geram. Rina me
Australia "Ken ... cepat bangun," pekik Rere dari arah dapur. Kenan masih bergelung selimut. Dia enggan untuk bangun. Rere selesai membuat sarapan pagi. Dia lalu ke kamar Kenan. Rere tidak bekerja karena kondisinya saat ini tengah berbadan dua. Rere menyewa rumah sederhana untuk mereka berdua. Rere menghidupi dirinya dan Kenan dengan uang tabungan. Dan juga dengan uang yang dia ambil dari sang suami. Rere masuk ke kamar Kenan. dia duduk di tepi ranjang. Rere mengusap lembut puncak kepala Kenan. "Ken ... hari ini tidak libur, Sayang. Kamu harus sekolah," ucap Rere. Kenan membuka matanya. Dia sudah bangun sedari tadi. "Kenan enggak mau sekolah. Mereka semua mengejekku. Kita pulang saja, Mom. Ken tidak suka di sini.""Apa yang mereka katakan?" tanya Rere. "Mereka semua pergi sekolah naik mobil. Diantar mama dan papa. Kalau yang kaya, mereka diantar supir yang memakai seragam. Sedangkan Ken ... hanya pakai sepeda. Mereka suka merusak sepedaku," keluh Kenan. Rere mengusap lembut k