Share

Hidup baru

***

Kami menepati ruko kecil disebuah kawasan tak jauh dari pasar pagi. Tempat yang strategis untuk membuka usaha. Aku bersyukur Bank tidak melihat Ruko untuk ditarik oleh mereka demi membayar hutang. Ruko itu terdiri dari dua lantai, di lantai atas adalah rumah tinggalku dan anak-anak dengan dua kamar tidur dan satu kamar multifungsi. Sedangkan dilantai bawah aku mulai berusaha berjualan nasi uduk dan pecel lele kecil kecilan, jualanku di restro yang dulu.

Semua pelanggan setia dan kenalanku kuhubungi dan kuundang untuk datang ke ruko milikku sekaligus promosi daganganku. Aku memberikan diskon hari ini untuk mereka.

Para pelanggan setiaku berdatangan menerima undangan dariku. Mereka dari dulu selalu memuji makanan di tempatku, katanya rasanya enak dan beda dari makanan tempat lain. jualan ku ini memang resep dari almarhum Ibu yang baru berpulang, kata beliau warisan turun temurun dari leluhur kami. Lek Karyo saja adik ibuku satu-satunya juga berjualan ini di kampung dan hidupnya makmur sekarang.

Para kenalan, teman dan pelanggan ku merasa sangat prihatin dengan kejadian yang menimpaku. Apalagi mengingat Mas Yadi suami yang baik menurut mereka yang kadang juga mau membantu di restro bila dia libur kerja. 

"Kalian jangan ungkit ungkit masalah itu lagi kenapa, sih. Nanti Tantri gagal move on gara gara kalian," protes Nisa, karena teman-temanku menanyakan asal mula kejadian itu. wanita asal lampung itu sudah berlangganan kepada ku sejak lima tahun lalu pada saat usaha ku masih merintis. 

"Nggak apa apa kok, Nis. Aku sudah kuat mental sekarang, coba lihat aku sudah bangkit lagi, kan?" ucapku membanggakan diri yang terlihat kuat dihadapan mereka, padahal sangat rapuh di dalam.

Mereka semua tertawa melihat tingkahku yang memamerkan kedua otot tanganku pertanda aku kuat.

Setelah selesai makan, mereka memanggilku untuk mendekat.

"Tan, maaf kami tidak bisa membantu mu. Ini ada sedikit pemberian dari teman teman, sesama pedagang di dekat Resto," ujar buk Sari, wanita paruh baya seorang pedagang bakso yang mangkal di sekitar resto. Dia berdiri sambil mengulurkan amplop ke arahku. Aku terkejut dengan pemberian yang tak kusangka ini.

"Udah, nggak usah kaget, kita sesama pedagang harus saling tolong menolong. Dulu kamu juga menolong kami dari satpol PP dan mengizinkan kami mengais rejeki di sekitar lapakmu. Kamu tak takut tersaingi, padahal jualan kita kadang sama," ucapnya lagi.

Aku bersyukur dan terharu sampai meneteskan airmata. Tak menyangka masih ada yang peduli kepada diri ini, padahal mereka hanya pedagang kecil. Itu saja sudah membuatku semangat untuk bangkit lagi. Tak salah pepatah mengatakan 'apa yang tanam itu juga yang akan kita tuai'. Kami sama sekarang, tak ada lagi Tantri yang kaya yang memiliki restroran dengan cabang dimana-mana, semua lenyap dalam sekejab mata. Berkat mereka juga aku jadi berpikir dibalik cobaan ini pasti ada hikmah yang terkandung, contohnya silahturahmi kami jadi semakin erat. Malah tak jarang mereka berkunjung beramai-ramai ke sini. Begitu indahnya kebersamaan.

***

Sore itu saat sedang berjualan dan pengunjung yang tak seberapa, Tama-- asistenku dulu datang ke rukoku. Aku memang mempercayakan semuanya restro dan usaha ku yang lain kepada Tama dulu. Dia lelaki jujur, dapat dipercaya, tegas dan pintar dalam mengelola keuangan semua restroku dulu. Aku sudah menganggapnya adikku sendiri karena dia juga bisa jadi teman dikala waktu senggang kami dalam bekerja. Akan tetapi semenjak peristiwa itu terjadi aku harus memberhentikan Tama. Bagaimana lagi, toh dari mana aku akan menggaji Tama seorang lulusan akuntansi S2 disebuah fakultas ternama di Indonesia. Dia pasti bisa mencari pekerjaan yang lebih baik setelah keluar dari pekerjaannya.

"Apa kabar buk, baik kan?"

"Ya, gini lah Tam, Alhamdulillah baik. Hidup terus berjalan, saya harus berusaha dari nol lagi," kekehku.

"Kamu bagaimana? Sudah dapat pekerjaan baru?"

Tama tertunduk. "Belum, Bu. Masih melamar sana-sini dan belum membuahkan hasil,"

"Sabar ya, Tam. Ibu yakin sebentar lagi kamu akan dapat pekerjaan yang lebih baik," hiburku.

"Bagaimana dengan hutang itu, ibuk harus mencicil seberapa banyak lagi?" tanyanya. 

"Entah la Tam, sampai kapan hutang ini ibu selesai ibu tidak tahu," ucapku memelas. Kalau mengingat itu semangatku tiba-tiba lenyap, pupus bagai dihembus angin.

"Menurut info dari teman saya yang pernah bekerja sama dengan developer pak Yadi. Pak Yadi hanya bekerja setengah hari saja buk. Sisa dia pulang ke rumah selingkuhannya yang merupakan istri sirinya, dalam beberapa tahun belakangan. Menurut dia lagi, pak Yadi memiliki sebuah rumah mewah, mobil mewah dengan istri keduanya ini. Apa ibuk sedikit pun tidak tahu masalah ini?"

Aku kaget mendengar keterangan Tama. Sedikit pun aku tak menyangka mengetahui kebenaran ini. Aku yang terlalu sibuk dengan bisnisku sampai ingin mengetahui apa kegiatan Mas Yadi saja tak pernah kulakukan. Karena menurutku dia baik-baik saja dan merupakan tipe lelaki setia.

"Ibuk baru tahu sekarang, Tam." Aku menghela napas berat. "Biarlah, semua sudah terjadi tak ada yang bisa disalahkan."

"Saya akan bantu menyelidiki semua itu, mana tau kita masih ada harapan," ujar Tama memberi harapan. Tapi menurutku percuma, harapan apa? Apa Mas Yadi akan mengembalikan semua? Apa dia akan meminta maaf dan kembali padaku? Omong kosong semua itu akan terjadi.

"Maaf Tama, bukan ibuk tidak mau, cuma ibuk tidak ada uang untuk membayar dek Tama," kilahku.

"Nggak kok buk, saya tidak butuh bayaran, saya ikhlas membantu."

"Terserah dek Tama saja. Ibu tak berharap apa-apa lagi karena tak akan mungkin saja pikir ibu."

"Paling tidak separo, Bu, kalaupun tidak semua." Tama kekeh dengan usahanya untuk mencoba, terserah dia saja.

"Hahh, kak Tama, ngapain ke sini?" Sebuah suara mengagetkanku dan Tama. Alya yang tiba-tiba turun dari lantai atas nampak terkejut melihat kehadiran Tama.

Aku melihat Tama juga terkejut dan salah tingkah memandang ke arahku. 

"Alya, kamu kenal Tama? Kapan? Ibuk tidak pernah mempertemukan kalian sebelum ini?" ujarku heran. 

"Nggak buk. Alya teman adik teman saya jadi kami pernah bertemu di rumah teman saya itu," jawab Tama sambil berdiri.

"Saya pamit dulu, Bu. Nanti kalau ada berita mengenai pak Yadi, saya akan beri tahu ibu." Tama menjabat tanganku dan menciumnya sebagai tanda hormat. Dia melangkah keluar tapi sempat melirik juga ke arah Alya yang masih mematung di bawah tangga.

Setelah Tama pergi Alya pun segera naik. Aku agak heran melihat perubahan raut wajah Alya yang pucat mengetahui kehadiran Tama tadi. Ya sudahlah, aku tak mau ambil pusing. Sekarang aku harus segera ke Bank untuk mengurus berkas-berkas yang mengenai rumah, karena kalau besok tukang tagih koperasi pun akan datang. Entah apa yang dilakukan mas Yadi hingga berurusan dengan koperasi yang dikepalai Inang-inang bermarga batak itu.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
D'naya
Siapa nih Tama?
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
loh mereka kenal?
goodnovel comment avatar
D Lista
penasaran nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status