***Pov TantriAku terhuyung ke belakang, beruntung di belakangku ada sebuah kursi sehingga aku tidak jadi jatuh. Aku menangis sejadi jadinya, perasaanku hancur berkeping-keping. Syukurlah handphone itu masih dalam genggamanku. Di sana terpapar jelas foto foto suamiku Mas Yadi bersama seorang wanita muda. Itu inbok dari sahabatku Lina, aku memang menyuruhnya Lina menyelidiki keberadaan Mas Yadi, karena sudah beberapa hari ini dia tidak pulang dan tidak ada kabar apapun. Padahal sebelum ini kami baik baik saja tidak punya masalah dalam rumah tangga. Sebegitu pintarnya dia menyembunyikan hal ini dariku. "Apa salahku mas?" ratapku luruh di lantai. Ke empat anakku segera berlari menghampiriku. "Mama kenapa? Mama tidak apa apa, kan?" tanya sisulung Alya yang berumur delapan belas tahun. Tika anakku nomor dua segera mengambil hape dari tanganku dan dia terdiam. Matanya berkaca kaca. Tika memang yang paling dekat dengan mas Yadi dan anaknya sensitif mudah menangis. "Kenapa kak?" tanya
Part 2***[ "kutunggu kamu di cafe biasa ya Tan,"]Sebuah pesan WA dari linamembuyarkan lamunanku. Walau dengan rasa malas yang mendera, terpaksa aku bangkit juga. Kasihan Lina harus menunggu, padahal dia sudah bersusah payah untukku. Sudah dua hari ini aku tidak beraktifitas, seluruh kegiatan kuserahkan pada asistenku-- Tama. Aku masih syock dengan kejadian ini dan sedang mencoba berdamai dengan keadaan yang ku hadapi ini, sulit memang. Terbayang anak anak kedepannya bagaimana tanpa ayah mereka. Bukan soal materi,bukan karena keuanganku lebih dari Mas Yadi, akan tetapi kasih sayang ayah pada mereka yang terenggut tiba-tiba. Akankah anak-anak sanggup menghadapinya karena yang mereka tahu selama ini ayahnya adalah pahlawan serta superhero mereka. Semua ketakutan itu datang bagai sebuah bayang bayang hitam ingin menangkup diri. Aku tidak lemah hanya aku ingin membimbing hati untuk kuat. Seolah tahu dengan apa rasakan dan hadapi handphone ku berdering. panggilan dari ibuku, satu sat
***"Ma, ada telpon dari lek karyo!" Teriak Tika dari bawah. Aku yang ketika itu sedang memeriksa surat surat kepemilikan rumah dan berkas penting lainnya. Aku takut Mas Yadi juga melarikan surat itu, tapi syukurlah, dia tak mengutak atik semua dokumen itu. Segera aku berlari ke bawah menerima telpon tersebut. Perasaan tidak enak menggelayuti pikiranku. Tumben Lek Karyo tiba-tiba menelpon dan ibu yang belum juga sampai padahal dari kemarin beliau bersiap hendak datang. ["Ada apa lek?"] ujarku deg-degan, semoga tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan, harapku. [Yang sabar ya, Tantri. Tadi pagi ketika ibumu berkemas hendak ke tempatmu, beliau terjatuh di kamar mandi...beliau kritis, Tan. Maaf Lelek baru bilang sekarang, karena pikir Lelek ibumu akan baik segera."] Aku terduduk lemas, dunia rasa runtuh seketika. Hanya jeritan histeris yang keluar dari mulut ku. "Cobaan apa lagi ini ya Allah, kenapa engkau menghukum ku begini," Tika yang melihat hal itu segera berlari menghampiriku.
***Kami menepati ruko kecil disebuah kawasan tak jauh dari pasar pagi. Tempat yang strategis untuk membuka usaha. Aku bersyukur Bank tidak melihat Ruko untuk ditarik oleh mereka demi membayar hutang. Ruko itu terdiri dari dua lantai, di lantai atas adalah rumah tinggalku dan anak-anak dengan dua kamar tidur dan satu kamar multifungsi. Sedangkan dilantai bawah aku mulai berusaha berjualan nasi uduk dan pecel lele kecil kecilan, jualanku di restro yang dulu. Semua pelanggan setia dan kenalanku kuhubungi dan kuundang untuk datang ke ruko milikku sekaligus promosi daganganku. Aku memberikan diskon hari ini untuk mereka. Para pelanggan setiaku berdatangan menerima undangan dariku. Mereka dari dulu selalu memuji makanan di tempatku, katanya rasanya enak dan beda dari makanan tempat lain. jualan ku ini memang resep dari almarhum Ibu yang baru berpulang, kata beliau warisan turun temurun dari leluhur kami. Lek Karyo saja adik ibuku satu-satunya juga berjualan ini di kampung dan hidupnya m
Part 5***Setiap harinya Tantri berusaha mencari pinjaman untuk membayar hutang suaminya. Jualannya yang tak seberapa tak mampu menutupi membayar hutang yang berkisar ratusanjuta itu. Makanya Tantri berinisiatif meminjam uang dan membayar hutang tersebut dan dia bisa mencicil pinjamannya sendiri dari jualannya. Anak anak Tantri pun berusaha membantu ibu mereka dengan bekerja paruh waktu sepulang sekolah. Contohnya Tika yang menjadi guru les bahasa Inggris untuk anak SD dan Bimo yang bekerja di sebuah cucian motor dan mobil. Hanya sikecil Fatih yang belum bisa membantu, dia hanya membantu di warung menggantikan ibunya bila sedang bepergian,begitupula dengan si sulung Alya. Alya yang akan menghadapi kelulusan tidak ikut membantu bekerja. Tantri tetap berniat menguliahkan Alya setinggi mungkin, agar semua anaknya kelak menjadi orang sukses yang berilmu. Tantri akan berusaha, itu tekadnya dalam hati. Tantri sangat bersyukur mendapatkan anak anak yang peduli kepada orang tuanya. Merek
***Perlahan usaha kecil-kecilanku mulai merangkak naik. Pelangganku sudah banyak, bahkan dari daerah yang jauhpun sudi mampir karena mendengar kabar dari mulut ke mulut enaknya masakanku. Suatu hari ada seorang laki-laki separuh baya datang membeli jualanku. Umurnya sekisaran lima puluh tahun, namun wajahnya masih terlihat muda karena penampilannya begitu rapi. Dia menyuruhku memanggilnya--Mas Nano. "Sudah lama berjualan di sini, dek? Kok saya perasaan baru lihat," ujarnya memulai perkenalan kami. "Baru beberapa bulan ini, Mas. Dulu saya nggak di sini." "Suami sama anak-anak mana?" tanyanya lagi sambil celingukan menengok ke dalam. "Anak anak ada empat orang. Pada sekolah semua, mas." Aku tersenyum pada seorang pembeli yang baru saja masuk. "Suami?" Selidiknya," Aku tak menjawab, kulayani pembeli yang baru saja masuk. Setelah itu aku kembali duduk tak jauh darinya. Karena memang dia duduk dekat dengan meja kasir. "Kalau suaminya, Dek?" tanyanya mengulang pertanyaan tadi. "M
Part 7***Pov TamaSejak mendengar usulan dari Yanto--sahabatku waktu itu, aku menjadi pendiam dan perenung. Pikiranku kacau dan dilema. Telpon dan WA dari Alya tak pernah digubris nya lagi. Aku tidak ingin menyakiti gadis itu, melibatkannya dalam masalah yang menimpaku. Namun bayang-bayang hutang pada Yanto meruntuhkan Pertahanan ku. "Apakah aku tega menjerumuskan seorang gadis lugu tak berdosa itu? Seandainya adikku yang berada diposisi sekarang, bagaimana?" Aku terombang-ambing dalam pikiranku sendiri. Ting.. Sebuah pesan WA dari Yanto mengagetkanku. ["Tam, aku butuh kepastian darimu kapan hutangmu kau bayar. Hutang itu harus segera kau bayar, aku tak main main dengan kata kataku ini. bayar atau tidak kamu mati!" ]Aku bergidik dengan ancaman Yanto. Selain bekerja sebagai marketing, dia juga bekerja di koperasi milik Inang Saragih, sebagai penagih utang kepada kustumer inang yang meminjam duit pada koperasinya."Ya Allah tolong bantu hamba keluar dari masalah ini." gumanku taku
***Pagi ini udara terasa dingin daripada biasa. Mungkin akan turun hujan karena awan bergelayut manja di langit yang kelabu. Setelah membereskan piring yang bertumpuk dari pagi tadi, aku duduk sejenak melepas lelah, sementara hanya ada dua orang pembeli yang menikmati sarapan pagi mereka. Sebuah motor besar berhenti di depan parkiran toko. Motor yang kukenal beserta orang yang beberapa hari mengganggu pikiranku."Pagi Dek Tantri, biasa, ya." Senyum Mas Nano merekah, hari ini lelaki itu berpakaian formal dinas pendidikan. Wajahnya nampak ceria, senyum terus terukir di bibir merahnya itu. "Mendung ya, Dek. Tapi tidak dengan hatiku," guraunya saat kuletakkan sepiring nasi uduk yang masih panas di hadapannya. Kubalas gurauan itu dengan senyuman. Mas Nano menikmati sarapannya cepat, sepertinya dia tak ingin berlama-lama. "Dek Tantri ... ini ada sedikit uang untuk membantu Dek Tantri, harap diterima ya dek." Laki laki itu menyerahkan sebuah amplop dihadapanku. Dia sengaja berjalan ke m
Bab 29***Rumah sakit itu begitu ramai hingga untuk parkir saja, Lina harus mengantri selama beberapa menit untuk mendapatkan tempat parkir mobilnya. "Apa sih yang terjadi dirumah sakit ini, kok rame nian?" Gerutu Lina sambil memukul stir mobilnya. Hilang sudah jiwa Lina yang dikenal sebagai ibu penyabar ini. Wajahnya yang selalu ceria berubah menjadi perasan jeruk nipis. "Sabar, Lin." Tantri menyentuh tangan sahabatnya karena Lina memencet klakson berkali-kali. "Lihat mobil di depan itu, harusnya parkir di ujung dulu, ini dia parkir lebih dekat. Tak punya adap!" Lina terus menggerutu. Tantri membiarkan Lina mencak-mencak setelah tak berhasil membujuknya untuk diam. Selang beberapa menit kemudian kami mendapatkan lahan parkir juga meski berebut dengan mobil lain. "Kok suasananya seperti hendak menonton konser, sih." Lina masih bersungut-sungut sambil melangkah menuju meja administrasi untuk menanyakan ruang rawat Tama. Setelah mendapat info mereka menuju ruangan yang dimaksud
Part 28***Tama yang kritis langsung dibawa ke ruang instalasi gawat darurat. Seorang laki-laki yang menolong Tama berusaha mencari informasi keluarga Tama dari HP Tama. Bersyukur ponsel itu tak dikunci sehingga dia dengan mudah membuka dan mencari orang yang bisa dihubungi. Dia mencoba membuka kontak dan mencari nomor yang sering dihubungi Tama. Dia menemukan sebuah nomor atas nama Yanto di kontak paling atas yang baru-baru ini dihubungi Tama. "Hallo, ini Yanto ya?""Iya, ini siapa?" tanya Yanto dari seberang telepon. "Teman saudara yang memiliki HP ini sekarang sedang di rumah sakit, karena kena tusuk orang." Tanpa basa basi lelaki itu langsung berucap. Yanto yang menerima telpon itu terkejut, dia bergeming beberapa saat lamanya, tidak tahu harus berbuat apa. Sinta yang melihat reaksi suaminya segera mendekat, takut terjadi apa-apa dengan gelagat suaminya. "Telpon dari siapa mas?" tanya Sintia penasaran sambil memperhatikan mimik muka Yanto yang datar serta pandangan kosong.
Part 27***Yadi pulang ke rumah dengan lesu, seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Yang pasti rasa bersalah yang menggunung atas kematian Alya. Dia melihat rumahnya ramai."Ngapain lagi sih, Siska?" Pikirnya Dia segera melangkah masuk dan mendapati Siska sedang berkumpul arisan bersama teman temannya. Yadi melengos memasang wajah masam sebentar sebelum masuk ke dalam menuju kamarnya. Siska tak menanggapi, dia tetap meneruskan kegiatannya. Begitulah Siska, dia tidak pernah lagi memperdulikan suaminya, dirinya sibuk dengan acara kumpul kumpul dengan teman arisan dan geng sosialitanya. Dikala senggang dia lebih suka menghabiskan waktu di salon ketimbang memasak atau menanyakan keadaan suaminya sudah makan atau belum. Yang penting baginya uang dari Yadi selalu lancar. Yadi pun begitu dari pada Siska membuat masalah lebih baik segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Usaha jualan toko bangunannya sedang berkembang pesat. "Kenapa laki lu, Sis?" tanya salah seorang temannya. "E
***Kabut duka bergelatut di langit rumah Tantri, mendung hitam berarak menemani kesedihan Tantri sekeluarga. Sedari tadi pelayat terus berdatangan, memberikan ucapan duka cita dan bela sungkawa dan juga ada beberapa sahabat yang berusaha menguatkan Tantri yang tak berhenti menangis meratapi dirinya. Di tengah suasana duka keluarga Tantri, duduk seorang laki laki kurus dengan baju lusuh diantara para pelayat. Lelaki tersebut tak lain adalah Yadi--ayah Alya. Dia mengetahui berita kematian Alya lewat istri nya yang menelepon ibunya dan mengatakan berita itu. Yadi langsung mendatangi kediaman Tantri karena dia yakin tak ada yang mengenalinya lagi dengan keadaannya yang sekarang. Kurus, dekil tak terurus. Air mata tak henti keluar, sebentar sebentar di lap nya ingus dan air mata yang meleleh bersamaan. Dia terus memandangi foto Alya yang ada digenggaman tangannya sembari meratap pilu. Untuk mendatangi langsung jasad anaknya dia belum berani mengingat hutang yang begitu banyak ditinggalk
Part 25***"Siapa, Tik?" tanya Tantri ketika melihat Tika tertegun setelah menerima telepon dari nomor tak dikenal itu. "Kak Alya ada di rumah sakit, Ma. Begitu kata sipenelepon.""Apa? Ke-kenapa Alya bisa di rumah sakit, Tik?""Entahlah, Ma, orang itu tak menjelaskan secara detail. Sebaiknya kita segera ke sana saja, perasaan Tika nggak enak."Tantri dan Tika bergegas menuju rumah sakit tersebut. Tantri gugup dan cemas, perasaannya tidak enak tadi semakin jelas kentara. "Apakah gelas tadi merupakan firasat tak baik? Apa itu merupakan pertanda buruk?" Berbagai pikiran buruk hadir dibenak Tantri. Setelah menempuh perjalanan setengah jam lamanya mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud. Tantri bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan pasien Alya, tapi belum sampai dia ke meja resepsionis itu, Tika mengamit bahu Tantri menghentikan langkah mamanya dan menunjuk ke arah lobi. Tantri tercenung ketika melihat Tama ada disitu, apa gerangan Tama di sini? dia mengurungkan niatnya ke
***Hanya butuh sepuluh menit mereka sampai di Rumah sakit Asih Jaya. Beberapa perawat segera membawa Alya ke ruang pemeriksaan untuk mengecek kondisi Alya dan golongan darahnya. "Cek darah di palang merah, sepertinya wanita ini habis aborsi dan mengalami pendarahan hebat," ujar dokter jaga malam itu. Perawat wanita yang masih setengah mengantuk itu mengangguk, kantuknya seketika lenyap mendengar kata 'pendarahan'. Setelah menghubungi palang merah rumah sakit, ternyata stok darah mereka habis. Perawat itu menginformasikan pada dokter jaga. "Maaf Pak, stok darah di rumah sakit ini sedang habis, jadi bapak bapak ini bisa membawa pasien kerumah sakit lain secepatnya, karena pasien sudah kehilangan darah cukup banyak." Pegawai administrasi memberitahu Yanto dan Tama yang sedari tadi menunggu dengan harap cemas. Tama dan Yanto semakin panik. "Alya bisa kehilangan banyak darah kalau dioper ke rumah sakit lain, karena jarak yang sangat jauh, Nto," ujar Tama. "Tak ada pilihan lain Tam,
Pov alyaPart 23***Malam itu aku berangkat bekerja seperti biasanya. Sekarang aku betul-betul sudah bekerja sebagai waiters di sebuah club Internasional. Sejak kejadian Pak Bos melihat foto aku dan Pak Nano check in di hotel, dia mulai jarang menemuiku dan mengajakku kemana-mana. Paling sesekali saja bila dia butuh. Untuk itulah Kak Yanto mencarikan pekerjaan untukku. Seperti yang sering dilihat mama dan adik adik, aku berangkat menggunakan taxi onlen. Biasanya Kak Tama mau mengantar dan menjemput, tapi sejak dia bekerja paruh waktu di toko Aliong, dia selalu beralasan capek. Entahlah, dia mulai berubah sejak aku jarang memberinya uang karena separoh gajiku digunakan untuk membayar cicilan hutang pada Pak Bos untuk operasi Bimo waktu itu. Awalnya Pak Bos mau menerima berapapun cicilan yang ku berikan, tapi kali ini tidak, dia mematok berapa cicilan yang harus kubayar tiap bulannya. Dia sudah menemukan gadis baru, begitu info yang kuterima dari salah seorang teman kerjaku sebagai w
Part 22***Namaku Tika Trihapsari, anak kedua dari mama yang kuat dan tangguh bernama Tantri. Aku termasuk anak yang berprestasi di sekolah. Aku selalu unggul di mata pelajaran bahasa Inggris, sehingga aku bisa mengajar les bahasa Inggris untuk anak SMP dan sekolah dasar. Lumayan lah bisa membantu mama mencicil hutang yang ditinggalkan Ayah. Kalau mengingat ayah, aku jadi sedih karena aku paling dekat dengan beliau. aku sangat tidak percaya dengan telah apa yang beliau perbuat terhadap mama. Ayah memang pernah bercerita kalau hubungannya dengan mama tanpa ada landasan cinta. Tapi untuk meninggalkan mama, kurasa tak akan dilakukannya. Namun apa? Beliau meninggalkan kami tanpa kabar dan jejak malah menambah penderitaan kami sekeluarga dengan hutang yang menumpuk. Aku begitu mengidolakan ayah, bila aku mengagumi seorang lelaki atau ada lelaki yang ingin mendekatiku maka ayahlah yang menjadi acuanku. Penyayang nya kepada kelurga, tak pernah marah, lembut tapi tegas dan memperlakukan is
Part 21***Kicauan dua ekor burung yang bertengger di pagar ruko pagi ini menambah suasana menjadi riang dan bersemangat. Tantri melayani beberapa pembeli pagi ini dengan semangat menggebu. Sudah tiga hari ini Tantri kembali jualan setelah libur karena operasi Bimo di rumah sakit. Dia tak bisa berlama-lama libur mengingat cicilan hutang yang harus dibayar setiap harinya. Ditambah dia harus mencari biaya untuk kuliah Alya yang sudah mendekati jadwalnya. "Ma, Mas Bimo mau makan nasi uduk buatan Mama," pinta Fatih yang turun setengah berlari. Dengan senang hati membuatkannya untuk Bimo, kebetulan tak ada pembeli. Pasca operasi itu Bimo jadi semakin pendiam, dia mengatakan bahwa matanya sebelah kiri sudah tidak melihat lagi dan yang sebelah kanan hanya samar samar saja.Hati Tantri teriris, begitu berat cobaan yang dihadapi Bimo diusia nya yang masih sangat muda. Namun, Bimo tidak mau dikasihani. Dia mengerjakan aktivitas sendiri tanpa bantuan siapapun, hanya sesekali dia meminta bantu