***Hanya butuh sepuluh menit mereka sampai di Rumah sakit Asih Jaya. Beberapa perawat segera membawa Alya ke ruang pemeriksaan untuk mengecek kondisi Alya dan golongan darahnya. "Cek darah di palang merah, sepertinya wanita ini habis aborsi dan mengalami pendarahan hebat," ujar dokter jaga malam itu. Perawat wanita yang masih setengah mengantuk itu mengangguk, kantuknya seketika lenyap mendengar kata 'pendarahan'. Setelah menghubungi palang merah rumah sakit, ternyata stok darah mereka habis. Perawat itu menginformasikan pada dokter jaga. "Maaf Pak, stok darah di rumah sakit ini sedang habis, jadi bapak bapak ini bisa membawa pasien kerumah sakit lain secepatnya, karena pasien sudah kehilangan darah cukup banyak." Pegawai administrasi memberitahu Yanto dan Tama yang sedari tadi menunggu dengan harap cemas. Tama dan Yanto semakin panik. "Alya bisa kehilangan banyak darah kalau dioper ke rumah sakit lain, karena jarak yang sangat jauh, Nto," ujar Tama. "Tak ada pilihan lain Tam,
Part 25***"Siapa, Tik?" tanya Tantri ketika melihat Tika tertegun setelah menerima telepon dari nomor tak dikenal itu. "Kak Alya ada di rumah sakit, Ma. Begitu kata sipenelepon.""Apa? Ke-kenapa Alya bisa di rumah sakit, Tik?""Entahlah, Ma, orang itu tak menjelaskan secara detail. Sebaiknya kita segera ke sana saja, perasaan Tika nggak enak."Tantri dan Tika bergegas menuju rumah sakit tersebut. Tantri gugup dan cemas, perasaannya tidak enak tadi semakin jelas kentara. "Apakah gelas tadi merupakan firasat tak baik? Apa itu merupakan pertanda buruk?" Berbagai pikiran buruk hadir dibenak Tantri. Setelah menempuh perjalanan setengah jam lamanya mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud. Tantri bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan pasien Alya, tapi belum sampai dia ke meja resepsionis itu, Tika mengamit bahu Tantri menghentikan langkah mamanya dan menunjuk ke arah lobi. Tantri tercenung ketika melihat Tama ada disitu, apa gerangan Tama di sini? dia mengurungkan niatnya ke
***Kabut duka bergelatut di langit rumah Tantri, mendung hitam berarak menemani kesedihan Tantri sekeluarga. Sedari tadi pelayat terus berdatangan, memberikan ucapan duka cita dan bela sungkawa dan juga ada beberapa sahabat yang berusaha menguatkan Tantri yang tak berhenti menangis meratapi dirinya. Di tengah suasana duka keluarga Tantri, duduk seorang laki laki kurus dengan baju lusuh diantara para pelayat. Lelaki tersebut tak lain adalah Yadi--ayah Alya. Dia mengetahui berita kematian Alya lewat istri nya yang menelepon ibunya dan mengatakan berita itu. Yadi langsung mendatangi kediaman Tantri karena dia yakin tak ada yang mengenalinya lagi dengan keadaannya yang sekarang. Kurus, dekil tak terurus. Air mata tak henti keluar, sebentar sebentar di lap nya ingus dan air mata yang meleleh bersamaan. Dia terus memandangi foto Alya yang ada digenggaman tangannya sembari meratap pilu. Untuk mendatangi langsung jasad anaknya dia belum berani mengingat hutang yang begitu banyak ditinggalk
Part 27***Yadi pulang ke rumah dengan lesu, seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Yang pasti rasa bersalah yang menggunung atas kematian Alya. Dia melihat rumahnya ramai."Ngapain lagi sih, Siska?" Pikirnya Dia segera melangkah masuk dan mendapati Siska sedang berkumpul arisan bersama teman temannya. Yadi melengos memasang wajah masam sebentar sebelum masuk ke dalam menuju kamarnya. Siska tak menanggapi, dia tetap meneruskan kegiatannya. Begitulah Siska, dia tidak pernah lagi memperdulikan suaminya, dirinya sibuk dengan acara kumpul kumpul dengan teman arisan dan geng sosialitanya. Dikala senggang dia lebih suka menghabiskan waktu di salon ketimbang memasak atau menanyakan keadaan suaminya sudah makan atau belum. Yang penting baginya uang dari Yadi selalu lancar. Yadi pun begitu dari pada Siska membuat masalah lebih baik segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Usaha jualan toko bangunannya sedang berkembang pesat. "Kenapa laki lu, Sis?" tanya salah seorang temannya. "E
Part 28***Tama yang kritis langsung dibawa ke ruang instalasi gawat darurat. Seorang laki-laki yang menolong Tama berusaha mencari informasi keluarga Tama dari HP Tama. Bersyukur ponsel itu tak dikunci sehingga dia dengan mudah membuka dan mencari orang yang bisa dihubungi. Dia mencoba membuka kontak dan mencari nomor yang sering dihubungi Tama. Dia menemukan sebuah nomor atas nama Yanto di kontak paling atas yang baru-baru ini dihubungi Tama. "Hallo, ini Yanto ya?""Iya, ini siapa?" tanya Yanto dari seberang telepon. "Teman saudara yang memiliki HP ini sekarang sedang di rumah sakit, karena kena tusuk orang." Tanpa basa basi lelaki itu langsung berucap. Yanto yang menerima telpon itu terkejut, dia bergeming beberapa saat lamanya, tidak tahu harus berbuat apa. Sinta yang melihat reaksi suaminya segera mendekat, takut terjadi apa-apa dengan gelagat suaminya. "Telpon dari siapa mas?" tanya Sintia penasaran sambil memperhatikan mimik muka Yanto yang datar serta pandangan kosong.
Bab 29***Rumah sakit itu begitu ramai hingga untuk parkir saja, Lina harus mengantri selama beberapa menit untuk mendapatkan tempat parkir mobilnya. "Apa sih yang terjadi dirumah sakit ini, kok rame nian?" Gerutu Lina sambil memukul stir mobilnya. Hilang sudah jiwa Lina yang dikenal sebagai ibu penyabar ini. Wajahnya yang selalu ceria berubah menjadi perasan jeruk nipis. "Sabar, Lin." Tantri menyentuh tangan sahabatnya karena Lina memencet klakson berkali-kali. "Lihat mobil di depan itu, harusnya parkir di ujung dulu, ini dia parkir lebih dekat. Tak punya adap!" Lina terus menggerutu. Tantri membiarkan Lina mencak-mencak setelah tak berhasil membujuknya untuk diam. Selang beberapa menit kemudian kami mendapatkan lahan parkir juga meski berebut dengan mobil lain. "Kok suasananya seperti hendak menonton konser, sih." Lina masih bersungut-sungut sambil melangkah menuju meja administrasi untuk menanyakan ruang rawat Tama. Setelah mendapat info mereka menuju ruangan yang dimaksud
***Pov TantriAku terhuyung ke belakang, beruntung di belakangku ada sebuah kursi sehingga aku tidak jadi jatuh. Aku menangis sejadi jadinya, perasaanku hancur berkeping-keping. Syukurlah handphone itu masih dalam genggamanku. Di sana terpapar jelas foto foto suamiku Mas Yadi bersama seorang wanita muda. Itu inbok dari sahabatku Lina, aku memang menyuruhnya Lina menyelidiki keberadaan Mas Yadi, karena sudah beberapa hari ini dia tidak pulang dan tidak ada kabar apapun. Padahal sebelum ini kami baik baik saja tidak punya masalah dalam rumah tangga. Sebegitu pintarnya dia menyembunyikan hal ini dariku. "Apa salahku mas?" ratapku luruh di lantai. Ke empat anakku segera berlari menghampiriku. "Mama kenapa? Mama tidak apa apa, kan?" tanya sisulung Alya yang berumur delapan belas tahun. Tika anakku nomor dua segera mengambil hape dari tanganku dan dia terdiam. Matanya berkaca kaca. Tika memang yang paling dekat dengan mas Yadi dan anaknya sensitif mudah menangis. "Kenapa kak?" tanya
Part 2***[ "kutunggu kamu di cafe biasa ya Tan,"]Sebuah pesan WA dari linamembuyarkan lamunanku. Walau dengan rasa malas yang mendera, terpaksa aku bangkit juga. Kasihan Lina harus menunggu, padahal dia sudah bersusah payah untukku. Sudah dua hari ini aku tidak beraktifitas, seluruh kegiatan kuserahkan pada asistenku-- Tama. Aku masih syock dengan kejadian ini dan sedang mencoba berdamai dengan keadaan yang ku hadapi ini, sulit memang. Terbayang anak anak kedepannya bagaimana tanpa ayah mereka. Bukan soal materi,bukan karena keuanganku lebih dari Mas Yadi, akan tetapi kasih sayang ayah pada mereka yang terenggut tiba-tiba. Akankah anak-anak sanggup menghadapinya karena yang mereka tahu selama ini ayahnya adalah pahlawan serta superhero mereka. Semua ketakutan itu datang bagai sebuah bayang bayang hitam ingin menangkup diri. Aku tidak lemah hanya aku ingin membimbing hati untuk kuat. Seolah tahu dengan apa rasakan dan hadapi handphone ku berdering. panggilan dari ibuku, satu sat
Bab 29***Rumah sakit itu begitu ramai hingga untuk parkir saja, Lina harus mengantri selama beberapa menit untuk mendapatkan tempat parkir mobilnya. "Apa sih yang terjadi dirumah sakit ini, kok rame nian?" Gerutu Lina sambil memukul stir mobilnya. Hilang sudah jiwa Lina yang dikenal sebagai ibu penyabar ini. Wajahnya yang selalu ceria berubah menjadi perasan jeruk nipis. "Sabar, Lin." Tantri menyentuh tangan sahabatnya karena Lina memencet klakson berkali-kali. "Lihat mobil di depan itu, harusnya parkir di ujung dulu, ini dia parkir lebih dekat. Tak punya adap!" Lina terus menggerutu. Tantri membiarkan Lina mencak-mencak setelah tak berhasil membujuknya untuk diam. Selang beberapa menit kemudian kami mendapatkan lahan parkir juga meski berebut dengan mobil lain. "Kok suasananya seperti hendak menonton konser, sih." Lina masih bersungut-sungut sambil melangkah menuju meja administrasi untuk menanyakan ruang rawat Tama. Setelah mendapat info mereka menuju ruangan yang dimaksud
Part 28***Tama yang kritis langsung dibawa ke ruang instalasi gawat darurat. Seorang laki-laki yang menolong Tama berusaha mencari informasi keluarga Tama dari HP Tama. Bersyukur ponsel itu tak dikunci sehingga dia dengan mudah membuka dan mencari orang yang bisa dihubungi. Dia mencoba membuka kontak dan mencari nomor yang sering dihubungi Tama. Dia menemukan sebuah nomor atas nama Yanto di kontak paling atas yang baru-baru ini dihubungi Tama. "Hallo, ini Yanto ya?""Iya, ini siapa?" tanya Yanto dari seberang telepon. "Teman saudara yang memiliki HP ini sekarang sedang di rumah sakit, karena kena tusuk orang." Tanpa basa basi lelaki itu langsung berucap. Yanto yang menerima telpon itu terkejut, dia bergeming beberapa saat lamanya, tidak tahu harus berbuat apa. Sinta yang melihat reaksi suaminya segera mendekat, takut terjadi apa-apa dengan gelagat suaminya. "Telpon dari siapa mas?" tanya Sintia penasaran sambil memperhatikan mimik muka Yanto yang datar serta pandangan kosong.
Part 27***Yadi pulang ke rumah dengan lesu, seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Yang pasti rasa bersalah yang menggunung atas kematian Alya. Dia melihat rumahnya ramai."Ngapain lagi sih, Siska?" Pikirnya Dia segera melangkah masuk dan mendapati Siska sedang berkumpul arisan bersama teman temannya. Yadi melengos memasang wajah masam sebentar sebelum masuk ke dalam menuju kamarnya. Siska tak menanggapi, dia tetap meneruskan kegiatannya. Begitulah Siska, dia tidak pernah lagi memperdulikan suaminya, dirinya sibuk dengan acara kumpul kumpul dengan teman arisan dan geng sosialitanya. Dikala senggang dia lebih suka menghabiskan waktu di salon ketimbang memasak atau menanyakan keadaan suaminya sudah makan atau belum. Yang penting baginya uang dari Yadi selalu lancar. Yadi pun begitu dari pada Siska membuat masalah lebih baik segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Usaha jualan toko bangunannya sedang berkembang pesat. "Kenapa laki lu, Sis?" tanya salah seorang temannya. "E
***Kabut duka bergelatut di langit rumah Tantri, mendung hitam berarak menemani kesedihan Tantri sekeluarga. Sedari tadi pelayat terus berdatangan, memberikan ucapan duka cita dan bela sungkawa dan juga ada beberapa sahabat yang berusaha menguatkan Tantri yang tak berhenti menangis meratapi dirinya. Di tengah suasana duka keluarga Tantri, duduk seorang laki laki kurus dengan baju lusuh diantara para pelayat. Lelaki tersebut tak lain adalah Yadi--ayah Alya. Dia mengetahui berita kematian Alya lewat istri nya yang menelepon ibunya dan mengatakan berita itu. Yadi langsung mendatangi kediaman Tantri karena dia yakin tak ada yang mengenalinya lagi dengan keadaannya yang sekarang. Kurus, dekil tak terurus. Air mata tak henti keluar, sebentar sebentar di lap nya ingus dan air mata yang meleleh bersamaan. Dia terus memandangi foto Alya yang ada digenggaman tangannya sembari meratap pilu. Untuk mendatangi langsung jasad anaknya dia belum berani mengingat hutang yang begitu banyak ditinggalk
Part 25***"Siapa, Tik?" tanya Tantri ketika melihat Tika tertegun setelah menerima telepon dari nomor tak dikenal itu. "Kak Alya ada di rumah sakit, Ma. Begitu kata sipenelepon.""Apa? Ke-kenapa Alya bisa di rumah sakit, Tik?""Entahlah, Ma, orang itu tak menjelaskan secara detail. Sebaiknya kita segera ke sana saja, perasaan Tika nggak enak."Tantri dan Tika bergegas menuju rumah sakit tersebut. Tantri gugup dan cemas, perasaannya tidak enak tadi semakin jelas kentara. "Apakah gelas tadi merupakan firasat tak baik? Apa itu merupakan pertanda buruk?" Berbagai pikiran buruk hadir dibenak Tantri. Setelah menempuh perjalanan setengah jam lamanya mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud. Tantri bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan pasien Alya, tapi belum sampai dia ke meja resepsionis itu, Tika mengamit bahu Tantri menghentikan langkah mamanya dan menunjuk ke arah lobi. Tantri tercenung ketika melihat Tama ada disitu, apa gerangan Tama di sini? dia mengurungkan niatnya ke
***Hanya butuh sepuluh menit mereka sampai di Rumah sakit Asih Jaya. Beberapa perawat segera membawa Alya ke ruang pemeriksaan untuk mengecek kondisi Alya dan golongan darahnya. "Cek darah di palang merah, sepertinya wanita ini habis aborsi dan mengalami pendarahan hebat," ujar dokter jaga malam itu. Perawat wanita yang masih setengah mengantuk itu mengangguk, kantuknya seketika lenyap mendengar kata 'pendarahan'. Setelah menghubungi palang merah rumah sakit, ternyata stok darah mereka habis. Perawat itu menginformasikan pada dokter jaga. "Maaf Pak, stok darah di rumah sakit ini sedang habis, jadi bapak bapak ini bisa membawa pasien kerumah sakit lain secepatnya, karena pasien sudah kehilangan darah cukup banyak." Pegawai administrasi memberitahu Yanto dan Tama yang sedari tadi menunggu dengan harap cemas. Tama dan Yanto semakin panik. "Alya bisa kehilangan banyak darah kalau dioper ke rumah sakit lain, karena jarak yang sangat jauh, Nto," ujar Tama. "Tak ada pilihan lain Tam,
Pov alyaPart 23***Malam itu aku berangkat bekerja seperti biasanya. Sekarang aku betul-betul sudah bekerja sebagai waiters di sebuah club Internasional. Sejak kejadian Pak Bos melihat foto aku dan Pak Nano check in di hotel, dia mulai jarang menemuiku dan mengajakku kemana-mana. Paling sesekali saja bila dia butuh. Untuk itulah Kak Yanto mencarikan pekerjaan untukku. Seperti yang sering dilihat mama dan adik adik, aku berangkat menggunakan taxi onlen. Biasanya Kak Tama mau mengantar dan menjemput, tapi sejak dia bekerja paruh waktu di toko Aliong, dia selalu beralasan capek. Entahlah, dia mulai berubah sejak aku jarang memberinya uang karena separoh gajiku digunakan untuk membayar cicilan hutang pada Pak Bos untuk operasi Bimo waktu itu. Awalnya Pak Bos mau menerima berapapun cicilan yang ku berikan, tapi kali ini tidak, dia mematok berapa cicilan yang harus kubayar tiap bulannya. Dia sudah menemukan gadis baru, begitu info yang kuterima dari salah seorang teman kerjaku sebagai w
Part 22***Namaku Tika Trihapsari, anak kedua dari mama yang kuat dan tangguh bernama Tantri. Aku termasuk anak yang berprestasi di sekolah. Aku selalu unggul di mata pelajaran bahasa Inggris, sehingga aku bisa mengajar les bahasa Inggris untuk anak SMP dan sekolah dasar. Lumayan lah bisa membantu mama mencicil hutang yang ditinggalkan Ayah. Kalau mengingat ayah, aku jadi sedih karena aku paling dekat dengan beliau. aku sangat tidak percaya dengan telah apa yang beliau perbuat terhadap mama. Ayah memang pernah bercerita kalau hubungannya dengan mama tanpa ada landasan cinta. Tapi untuk meninggalkan mama, kurasa tak akan dilakukannya. Namun apa? Beliau meninggalkan kami tanpa kabar dan jejak malah menambah penderitaan kami sekeluarga dengan hutang yang menumpuk. Aku begitu mengidolakan ayah, bila aku mengagumi seorang lelaki atau ada lelaki yang ingin mendekatiku maka ayahlah yang menjadi acuanku. Penyayang nya kepada kelurga, tak pernah marah, lembut tapi tegas dan memperlakukan is
Part 21***Kicauan dua ekor burung yang bertengger di pagar ruko pagi ini menambah suasana menjadi riang dan bersemangat. Tantri melayani beberapa pembeli pagi ini dengan semangat menggebu. Sudah tiga hari ini Tantri kembali jualan setelah libur karena operasi Bimo di rumah sakit. Dia tak bisa berlama-lama libur mengingat cicilan hutang yang harus dibayar setiap harinya. Ditambah dia harus mencari biaya untuk kuliah Alya yang sudah mendekati jadwalnya. "Ma, Mas Bimo mau makan nasi uduk buatan Mama," pinta Fatih yang turun setengah berlari. Dengan senang hati membuatkannya untuk Bimo, kebetulan tak ada pembeli. Pasca operasi itu Bimo jadi semakin pendiam, dia mengatakan bahwa matanya sebelah kiri sudah tidak melihat lagi dan yang sebelah kanan hanya samar samar saja.Hati Tantri teriris, begitu berat cobaan yang dihadapi Bimo diusia nya yang masih sangat muda. Namun, Bimo tidak mau dikasihani. Dia mengerjakan aktivitas sendiri tanpa bantuan siapapun, hanya sesekali dia meminta bantu