***Perlahan usaha kecil-kecilanku mulai merangkak naik. Pelangganku sudah banyak, bahkan dari daerah yang jauhpun sudi mampir karena mendengar kabar dari mulut ke mulut enaknya masakanku. Suatu hari ada seorang laki-laki separuh baya datang membeli jualanku. Umurnya sekisaran lima puluh tahun, namun wajahnya masih terlihat muda karena penampilannya begitu rapi. Dia menyuruhku memanggilnya--Mas Nano. "Sudah lama berjualan di sini, dek? Kok saya perasaan baru lihat," ujarnya memulai perkenalan kami. "Baru beberapa bulan ini, Mas. Dulu saya nggak di sini." "Suami sama anak-anak mana?" tanyanya lagi sambil celingukan menengok ke dalam. "Anak anak ada empat orang. Pada sekolah semua, mas." Aku tersenyum pada seorang pembeli yang baru saja masuk. "Suami?" Selidiknya," Aku tak menjawab, kulayani pembeli yang baru saja masuk. Setelah itu aku kembali duduk tak jauh darinya. Karena memang dia duduk dekat dengan meja kasir. "Kalau suaminya, Dek?" tanyanya mengulang pertanyaan tadi. "M
Part 7***Pov TamaSejak mendengar usulan dari Yanto--sahabatku waktu itu, aku menjadi pendiam dan perenung. Pikiranku kacau dan dilema. Telpon dan WA dari Alya tak pernah digubris nya lagi. Aku tidak ingin menyakiti gadis itu, melibatkannya dalam masalah yang menimpaku. Namun bayang-bayang hutang pada Yanto meruntuhkan Pertahanan ku. "Apakah aku tega menjerumuskan seorang gadis lugu tak berdosa itu? Seandainya adikku yang berada diposisi sekarang, bagaimana?" Aku terombang-ambing dalam pikiranku sendiri. Ting.. Sebuah pesan WA dari Yanto mengagetkanku. ["Tam, aku butuh kepastian darimu kapan hutangmu kau bayar. Hutang itu harus segera kau bayar, aku tak main main dengan kata kataku ini. bayar atau tidak kamu mati!" ]Aku bergidik dengan ancaman Yanto. Selain bekerja sebagai marketing, dia juga bekerja di koperasi milik Inang Saragih, sebagai penagih utang kepada kustumer inang yang meminjam duit pada koperasinya."Ya Allah tolong bantu hamba keluar dari masalah ini." gumanku taku
***Pagi ini udara terasa dingin daripada biasa. Mungkin akan turun hujan karena awan bergelayut manja di langit yang kelabu. Setelah membereskan piring yang bertumpuk dari pagi tadi, aku duduk sejenak melepas lelah, sementara hanya ada dua orang pembeli yang menikmati sarapan pagi mereka. Sebuah motor besar berhenti di depan parkiran toko. Motor yang kukenal beserta orang yang beberapa hari mengganggu pikiranku."Pagi Dek Tantri, biasa, ya." Senyum Mas Nano merekah, hari ini lelaki itu berpakaian formal dinas pendidikan. Wajahnya nampak ceria, senyum terus terukir di bibir merahnya itu. "Mendung ya, Dek. Tapi tidak dengan hatiku," guraunya saat kuletakkan sepiring nasi uduk yang masih panas di hadapannya. Kubalas gurauan itu dengan senyuman. Mas Nano menikmati sarapannya cepat, sepertinya dia tak ingin berlama-lama. "Dek Tantri ... ini ada sedikit uang untuk membantu Dek Tantri, harap diterima ya dek." Laki laki itu menyerahkan sebuah amplop dihadapanku. Dia sengaja berjalan ke m
***Mereka berdua sudah duduk berhadapan di sebuah kafe kecil di dekat taman kota. Tama memesan jus jambu dan nasi goreng seafood kesukaan Alya. "Kamu yakin dengan keputusanmu ini Al? Sebaiknya kamu batalkan saja. Kak Tama susah bekerja harian di Toko Babah Lim, Cukuplah tuk bayar hutang dan bayar kos," ujar Tama mencoba menjernihkan pikiran Alya kembali. Alya hanya diam kemudian mengangguk lemah tanpa memandang wajah Tama, Alya merasa malu untuk mengungkap kan keinginan itu, tapi Alya sudah bulat dengan keputusannya."Al, kamu bisa menarik kembali keinginanmu itu sebelum kita ketempat Yanto. Kita cari pekerjaan lain, ya." Tama mencoba membujuk Alya untuk membatalkan keinginannya itu. Ini salahnya juga, dia yang menawarkan pekerjaan itu pada Alya. Sekarang Alya yang keras kepala tak mau membatalkan keinginannya. Sebenarnya Tama masih tak tega melakukan semua pada Alya, dari hati paling dalam Tama sangat menyayangi Alya. Hanya karena tuntutan hutang ini betul betul membelenggu batin
Part 10***Sekarang aku mulai rutin mengikuti pengajian setelah sholat ashar di mesjid samping pasar itu. "Ya Allah, Tan. Kamu berhijab sekarang!" pekik Lina saat dia main ke warungku bersama putri kecilnya yang semakin gemuk kulihat. Lina tersenyum lebar memamerkan gigi kawatnya sambil memelukku, sudah lama juga dia tak datang ke sini. "Kamu sih, sudah lama tak ke sini. Aku juga minta maaf saking sibuknya tak pernah ke tempatmu."Aku menggambil alih bayi perempuan--Rara dari gendongan Lina, bocah itu tersenyum senang. "Aku ikut pengajian bakda Asar, Lin. Di samping pasar, nambah ilmu dan iman, Lin. Ketuanya baik dan pesertanya sebaya kita rata-rata. Kamu mau ikut? Ayoklah, Lin. Kita yng lemah iman ini harus mencari hidayah, bukan menunggu hidayah yang datang," terangku. Lina yang mulanya dia, akhirnya mengangguk setuju. Aku bersyukur, Allah memudahkan jalanku mengajak Lina mendekat padanya. "Lin, apa kamu mendengar kabar, Mas Yadi?" tanyaku saat dia menikmati sepiring nasi uduk
***POV AlyaKak Tama sudah menunggu di ujung ruko yang temaram dari cahaya lampu jalan yang jauh dari situ. Dengan stelan jeans dia tampak begitu tampan. Kak Tama memamerkan senyum manisnya, menyerahkan helm berwarna hitam padaku. Aku menaiki motornya dan mengikuti Kak Tama menuju sebuah rumah yang cukup mewah. Menurut kak Tama itu merupakan rumah Yanto-- sahabat kak Tama yang akan menjadi perantara aku dan calon pembeliku. Mengingat itu aku menjadi takut dan mulas kembali, ingin rasanya membatalkan semua ini. "Kenapa berhenti, Al?" tanya kak Tama melihat aku berhenti mengikuti langkahnya memasuki rumah itu. "Al-Alya takut kak!" cicitku. "Alya! Jangan buat kakak emosi. Kita sudah sampai di sini, kita tak bisa mundur lagi," bentak kak Tama sambil menarik ku. Nyaliku menjadi ciut, aku sudah pasrah pada nasib yang akan menimpaku. Dengan terpaksa aku mengikuti Kak Tama kembali, hingga akirnya kami sampai di depan pintu yang sudah terbuka. Siempunya rumah sudah menunggu kedatangan kam
***Pov TantriKeadaan Bimo sudah mulai membaik, selepas subuh dia telah sadar dari komanya dan sudah dipindahkan ke ruang inap. Tika menelponku mengabari keadaan Bimo itu. Aku sangat bersyukur putraku telah melewati masa kritisnya. Selepas sholat subuh aku langsung bersedekah subuh dengan doa, Bimo segera pulih seperti sedia kala dan aku bisa membayar biaya rumah sakit Bimo. Aku sudah berusaha mengurus BPJS kesehatan untuk biaya perawatan Bimo, tapi dalam kondisi mendesak begini ada saja persyaratan kepengurusan yang membuat pelik. Semoga aku tak berhutang lagi untuk biaya perawatan Bimo ini, walau sebenarnya hatiku gamang dari mana biaya itu aku dapatkan, sementara hasil jualan untuk mencicil pada hutang yang lain. Setelah selesai mengantar pesanan kepada keluarga yang akan mengadakan syukuran khitanan, aku segera bergegas ke rumah sakit ingin melihat keadaan Bimo. Aku sudah mengantongi beberapa ratus ribu untuk membayar biaya perawatan lanjutan Bima, sedang biaya administrasi awa
***POV TamaKami memasuki sebuah club besar di kawasan Thamrin. Yanto menyuruh kami ke atas sedangkan dia akan menemui bosnya--pembeli Alya. Aku melirik Alya yang kugenggan tangannya. Tangan itu sedingin es, dapat ku rasakan ketakutan Alya karena sebentar lagi mahkota yang selama ini dijaganya akan diserahkan bukan pada suaminya nanti, tapi pada orang asing yang tidak dikenalnya. Beginikah hidup yang sebenarnya, ada harga untuk sebuah pengorbanan, lagi harga itu dinilai dengan nominal. Aku melihat Yanto yang sedang berbincang dengan seseorang, dia menerima sebuah kertas dan segera naik ke atas menuju tempat kami berdiri. "Alya akan kuantar ke tempat bos dulu, Tam. Kamu tunggu di sini." Yanto berteriak karena iringan music yang keras memekakan telinga. Alya memegang tanganku erat, dia tak mau melepaskan ketika Yanto mengajak pergi. "Alya takut kak," Dia mencicit lagi. Tubuh itu gemetar, nampak bulir keringat keluar dari dahi Alya. "Sudah pergi sana Al, Kak Tama tunggu di sini sa