"Buatkan aku nasi goreng." Teriak Tian dari ruang santai.
Alin melirik sejenak lalu tersenyum tipis.Aku akan membuatkan yang spesial untukmu. Ucap Alin dalam hatinya.Alin mulai fokus memasak. Sesekali ia melirik ke arah Tian lalu tersenyum lagi.Namun saat asik memperhatikan Tian, tanpa sadar Alin melukai jari telunjuknya saat ia mengiris bawang membuatnya mengaduh.Mendengar ringisan Alin, Tian langsung berdiri dari duduknya dan mendekati gadis tersebut.Tian melihat jemari Alin yang terluka. Saat Alin ingin memasukkan ke dalam mulutnya, Tian langsung mencegah. Ia membawa Alin menuju wastafel, menyalakan air dingin dan menaruh tangan Alin di bawah guyuran air dingin tersebut."Dasar ceroboh." Ucap Tian.Alin menatap Tian sambil sesekali meringis perih."Kenapa kau bisa melukai jarimu sendiri? Apa terlalu fokus melihatku?""Kau benar." Jawab Alin. Tian langsung menatapnya, "Kamu benar TianPonsel Alin berteriak keras sedari tadi. Namun yang punya barang masih asik bergelung di dalam selimut tebal serta di dalam pelukan seorang pria yang semalam membuatnya gila.Siapa lagi kalau bukan Tian. Pria itu muncul secara tiba-tiba di apartemen dan berakhir di ranjang. Eitts, berakhir di ranjang bukan berarti berbagi kenikmatan lagi. Mereka hanya saling memeluk sepanjang malam. Walaupun rasa untuk memakan Alin bagi Tian begitu besar, namun ia tak ingin melakukannya. Ia tak ingin Alin berpikir jika kedatangan dirinya hanya untuk tubuh gadis tersebut.Alin meraba-raba bantalnya dan mendapatkan apa yang ia cari. Alin langsung memfokuskan pandangannya pada layar ponselnya.Alin langsung terduduk kaget saat melihat nama Delon ada di sana. Ia spontan langsung duduk membuat Tian yang ada di sampingnya terganggu."Halo Delon." Ucap Alin terlebih dahulu."Kau dimana? Kenapa pintu apartemen tak bisa dibuka? Kau mengganti password-nya?""A itu, aku--" Alin terkejut saat ponselnya direbut
Pagi ini keributan terjadi antara Alin dan Tian. Alin sudah terlambat pergi bekerja, sedangkan Tian bersikeras agar Alin tak pergi. Jikapun Alin pergi, Tian harus mengantarnya dan tak boleh pergi sendirian."Tian, aku punya motor.""Aku tahu. Aku punya mobil."Alin mendelik kesal, "Tian, aku sudah terlambat. Tiara bisa memarahiku.""Bahkan membeli toko Tiara saja aku bisa."Tian masih bersikeras dengan kekuasaannya. Membuat Alin sangat ingin menggigit Tian dengan sangat keras."Pilihannya hanya dua Alin, pergi denganku atau tak boleh pergi sama sekali.""Tapi--""Aku hitung sampai tiga. Tentukan pilihanmu cepat, satu, dua," Tian melirik Alin dari sudut matanya. Alin hanya diam. "Dua setengah,""Tiga. Kenapa harus berlama -lama. Langsung tiga saja. Aku tak ingin main hitung-hitungan, aku ingin pergi bekerja."Tian berdecak kesal. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Tiara."Kau menghubungi siapa?" Tanya Alin."Halo, Ra. Hari ini Alin tak ma--"Pip!Alin mematikan ponsel tersebut d
"Aku tadi menemui Irene." Alin seketika menengadah menatap Tian yang berdiri di sampingnya sementara ia sedang memberi makan anak kucing yang ia temui di tepi jalan saat ia dan Tian mampir ke sebuah tempat makan."Lalu?""Aku hanya memberi tahumu. Aku tak ingin kau berpikir hal yang aneh."Alin seketika tertawa. Ia berdiri dari jongkoknya dan menatap Tian lekat, "Memangnya ada urusannya denganku? Kita bukan siapa-siapa." Ucap Alin santai. Alin melangkah meninggalkan Tian namun dengan cepat ditahan oleh pria tersebut. "Satu detik yang lalu kita memang bukan siapa-siapa. Tapi tidak untuk satu detik saat ini sampai seterusnya."Tatapan Alin mendadak berubah. Ia fokus pada Tian dan tak mau memalingkan wajahnya pada pria tersebut. Apa kalimat yang akan Tian katakan ini sama dengan yang hatinya inginkan?"Satu detik yang akan datang? Kita--""Kamu milikku Alin. Mulai detik ini sampai kapanpun."Sungguh. Apa ia harus melompat kesenangan? Atau apa ia harus berlarian berteriak mengatakan jika
Sudah hampir setengah hari Tian cemberut pada Alin. Pasalnya wanita itu setelah memiliki seekor kucing, Alin justru lebih memperhatikan kucing tersebut daripada Tian sendiri.Alasan Alin semakin membuat Tian kesal, yaitu Tian bisa mengambil ini dan itu sendirian sedangkan anak kucing tersebut harus dibuatkan makanan dan susu. Seperti yang terjadi saat ini. Tian baru saja selesai makan siang yang ia ambil sendiri Walaupun memang makanan tersebut dibuatkan oleh Alin. Namun Ia juga ingin Alin menyiapkan untuknya, tapi apa boleh buat wanitanya itu sekarang lebih terfokus pada Tina."Sampai kapan kamu mau main-main sama kucing itu?" tanya Tian cemberut. "Kenapa memangnya?""Bukan kenapa-napa. aku juga butuh perhatian dari kamu."Mendengar rengekan Tian, Alin pun seketika tersenyum geli. Secara kodrat Tian adalah manusia yang bisa bekerja sendiri, mengambil ini dan itu sendirian. Karena pria tersebut masih memiliki tubuh yang sehat dan lengkap. Dan lagi ia dan Tian juga bukan pasangan sua
"Saatnya makan pria pemalas." Alin memeluk Tian yang masih tertidur pulas. Padahal Tian baru saja pulang dari perjalanan kerja keluar kota selama lima hari. Tian mengeliat malas. Ia menarik Alin ke dalam pelukannya. Alin memberontak. Pasalnya ia meminta Tian untuk bangun, tapi kenapa dirinya yang ditarik untuk tidur."Makan dulu." Ucap Alin.Pelukan Tian melonggar. "Aku ngantuk. Nanti saja ya.""Ya sudah. Terserah kamu saja. Aku mau ke toko milik Tiara dulu. Hampir seminggu aku tak mengabari statusku pada Tiara."Mendengar itu, Tian langsung membuka matanya lebar, "Kamu pergi denganku." Alin mendelik kesal, "Aku bisa sendiri. Bukannya kamu lelah? Ngantuk? Akan bahaya jika menyetir.""Justru membiarkanmu pergi sendirian jauh lebih bahaya.""Aku hanya ke tokonya Tiara.""Aku tahu sayang. Tapi tidak pergi sendirian. Aku siap-siap dulu." Tian langsung duduk dari tidurnya. "Makan dulu.!" Perintah Alin kembali. "Oke. Tapi perginya bareng aku.""Iya iya. Turun dulu ke bawah. Makanannya
"kalau om bisa bawa Alin untuk bertemu saya, saya akan berikan om uang lima ratus juta secara cuma-cuma." Yanto menatap Zaki dengan serius. Awalnya ia menatap remeh ke arah Zaki, namun setelah Zaki memperlihatkan uang 500 juta tersebut, Yanto langsung bersemangat. Ia Bahkan tak melepaskan pandangannya dari uang yang ada di dalam brankas di kantor Zaki."Apa jaminannya sebagai penanda kau tak menipuku?" tanya Yanto dengan wajah serius."Kau tahu kantorku kan? Kau tahu cafe ini bukan? dan kau lihat itu. Di sana ada CCTV. Dan CCTV itu sedari tadi sudah merekam kehadiranmu di sini. Dan lagi, kau bisa minta polisi mengecek CCTV itu jika nanti aku berbohong."Yanto mengangguk mencoba mempercayai ucapan Zaki."Tapi, Kau juga akan menerima ganjarannya Jika kau tak menepati janjimu untuk membawa Alin di hadapanku."Yanto tersenyum remeh. "Kalau soal itu kau tenang saja. Putriku itu sangat penurut. Jadi aku yakin dia akan menuruti apa yang aku minta padanya." Zaki mengangguk pelan, namun terli
"Kamu jangan sok peduli dengan anak itu Diana."Gadis itu mengumpat kesal saat nama Diana, disebut oleh mama kembali menghela nafas panjang. Liburannya ke Indonesia berbuah kabar buruk. Ia tak tahu sama sekali jika sang adik dijadikan penebus hutang oleh orang tuanya sendiri. "Harusnya mama malu sama Alin, Ma. Mama sama papa yang bikin hutang, kenapa justru adik aku yang kalian jadikan tumbalnya."PLAAK!!"Jaga mulut kamu Naura." Wanita itu menatap anaknya Tajam setelah ia layangkan sebuah tamparan pada sang anak."Kamu harus ingat juga satu hal. Alin bukan adik kandung kamu.""Naura tahu. Tahu banget. Tapi buat Naura, dia harta berharga Naura ma.""Cih! Harta berharga. Dia itu bukan anak kandung mama dan juga bukan saudara kandung kamu.""Naura nggak mikirin itu. Yang jelas, Alin dan Naura tumbuh besar bersama ma. Dan mama hancurin semuanya! Naura kecewa sama mama." dengan perasaan kesal, Naura keluar dari kamar orang tuanya. Ia berlalu menuju kamar Alin. Ia tak menyangka sama sekal
Alin memeluk Tian dari belakang saat pria itu sedang minum. Alhasil Tian langsung tersedak dan membuatnya terbatuk. Ia langsung memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati Alin tersenyum manis ke arahnya sembari lengan Alin masih memeluk pinggangnya.Tian menatap dengan tatapan curiga, "Apa ada sesuatu yang akan kau minta?" Tanya Tian yang membuat senyum Alin semakin lebar. Bahkan mata kekasihnya itu sampai berbinar.Tian menghela nafas panjang, "Ingin apa?" Tanyanya lembut.Alin melepaskan pelukannya. Ia meraih jemari Tian yang tak menggenggam gelas."Minta Haris untuk datang ke rumahku." Ucap Alin."Haris? Ke rumahmu?" Alin mengangguk, "Untuk apa?""Membawa kak Naura ke sini."Tian menatap Alin dengan tatapan yang sudah ditebak. Tak mungkin ia melakukan hal itu. Sama saja ia bermain dengan hukum. Bagaimana jika orang tua Alin melaporkannya atas kasus penculikan. Bagaimanapun juga, jika hal ini ia lakukan, tuntutan itu akan berlaku juga."Kenapa tak tunggu saja?""Tak bisa?""Bukannya