"Kamu jangan sok peduli dengan anak itu Diana."Gadis itu mengumpat kesal saat nama Diana, disebut oleh mama kembali menghela nafas panjang. Liburannya ke Indonesia berbuah kabar buruk. Ia tak tahu sama sekali jika sang adik dijadikan penebus hutang oleh orang tuanya sendiri. "Harusnya mama malu sama Alin, Ma. Mama sama papa yang bikin hutang, kenapa justru adik aku yang kalian jadikan tumbalnya."PLAAK!!"Jaga mulut kamu Naura." Wanita itu menatap anaknya Tajam setelah ia layangkan sebuah tamparan pada sang anak."Kamu harus ingat juga satu hal. Alin bukan adik kandung kamu.""Naura tahu. Tahu banget. Tapi buat Naura, dia harta berharga Naura ma.""Cih! Harta berharga. Dia itu bukan anak kandung mama dan juga bukan saudara kandung kamu.""Naura nggak mikirin itu. Yang jelas, Alin dan Naura tumbuh besar bersama ma. Dan mama hancurin semuanya! Naura kecewa sama mama." dengan perasaan kesal, Naura keluar dari kamar orang tuanya. Ia berlalu menuju kamar Alin. Ia tak menyangka sama sekal
Alin memeluk Tian dari belakang saat pria itu sedang minum. Alhasil Tian langsung tersedak dan membuatnya terbatuk. Ia langsung memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati Alin tersenyum manis ke arahnya sembari lengan Alin masih memeluk pinggangnya.Tian menatap dengan tatapan curiga, "Apa ada sesuatu yang akan kau minta?" Tanya Tian yang membuat senyum Alin semakin lebar. Bahkan mata kekasihnya itu sampai berbinar.Tian menghela nafas panjang, "Ingin apa?" Tanyanya lembut.Alin melepaskan pelukannya. Ia meraih jemari Tian yang tak menggenggam gelas."Minta Haris untuk datang ke rumahku." Ucap Alin."Haris? Ke rumahmu?" Alin mengangguk, "Untuk apa?""Membawa kak Naura ke sini."Tian menatap Alin dengan tatapan yang sudah ditebak. Tak mungkin ia melakukan hal itu. Sama saja ia bermain dengan hukum. Bagaimana jika orang tua Alin melaporkannya atas kasus penculikan. Bagaimanapun juga, jika hal ini ia lakukan, tuntutan itu akan berlaku juga."Kenapa tak tunggu saja?""Tak bisa?""Bukannya
"Haris itu siapa?"Tian menundukkan wajahnya, melirik Alin yang tengah menelungkup di atas tubuhnya. "Kenapa tiba-tiba menanyai siapa Haris?""Hanya penasaran saja. Dia terlihat cukup bebas jika bersamamu. Sama halnya seperti Delon bersamamu."Tian menghela nafas panjang. Ia lalu menatap langit-langit kamarnya, "Haris itu, anak yang terbuang."Alin turun dari tubuh Tian lalu duduk di samping pria tersebut. "Terbuang maksudnya?"Tian menatap wajah Alin yang terlihat sangat cantik, "Kamu cantik." Celetuk Tian yang seketika mendapatkan pukulan dari Alin, "Serius bisa nggak? Malah bercanda." Ketusnya.Tian tertawa, "Iya sayang. Gitu aja ngambek.""Makanya jangan dibercanda in.""Iyaaa." Tian menarik nafas dalam. "Haris itu kasusnya sebelas dua belas denganku. Bedanya, aku melihat ayahku menghabisi nyawa ibuku sedangkan Haris, ia melihat kedua orang tuanya dihabisi oleh orang kepercayaan keluarga mereka." Alin terdiam. Kenapa orang yang dekat dengannya punya masalah yang rumit semua?.A
Suara bel yang terdengar membuat Alin langsung berlari-lari kecil untuk membukakan pintu. Awalnya Alin tersenyum karena ia mengira yang datang adalah Tian. Pasalnya sudah satu Minggu ini Tian tak ada di rumah karena harus ke Jepang untuk menemui seseorang.Tapi senyumnya seketika lenyap saat ia melihat sosok papanya ada di hadapannya."Papa?" Panggil Alin dengan nada bertanya."Apa kabar nak? Kenapa susah hubungi kamu sekarang? Papa boleh masuk?"Alin melirik ke belakang papanya. Tak ada satupun penjaga rumah Tian. Pantas saja papanya bisa masuk dengan bebas."Alin nggak bisa. Setiap yang masuk ke sini harus ada izin dari Tian." Ucap Alin. Ia sangat sadar mengatakan hal itu pada papanya. Ia tahu apa tujuan papanya ada di sini. "Sebentar saja nak.""Nggak bisa pa. Kalau mau bicara, kita ke depan saja." Yanto melirik pondokan yang Alin tunjuk. Ia ingin protes sekali lagi, namun ia mengurungkan niatnya karena sepertinya Alin memang tidak akan mengizinkan ia masuk ke dalam."Ya sudah, ki
Haris masih setia duduk di ruang tamu rumah Tian. Biasanya jika sudah jam sepuluh malam, ia tak akan berkeliaran lagi dan menetap di kediamannya.Sebenarnya ia di sini hanya sampai Tian tiba. Pria itu sudah di perjalanan dan tentu saja masih di pesawat.Haris melirik Naura yang duduk di kursi meja makan. Entah kapan gadis itu akan pulang. Haris berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sekaleng jus dari dalam sana dan menyerahkannya pada Naura, "Kau tak ingin pulang?" Tanya Haris santai."Kau mengusirku?""Anggap saja begitu.""Ck! Aku tak berani pulang. Aku pulang malam ini, belum tentu besok nyawaku masih di badan." Ucapnya membuat Haris seketika meringis. Menurutnya Naura terlalu lebai menanggapi masalah ini. "Kau sendiri? Kenapa masih di sini?""Kau lihat pondokan kecil di sudut rumah ini? Itu tempat tinggalku. Aku tinggal keluar dari sini dan melangkah ke sana, masuk ke kamarku dan tidur. Apa yang harus aku cemaskan?""Pondoka
Suasa hening terjadi di ruang TV rumah Tian dan itu sudah berlangsung 2 menit."Jadi, bisa diceritakan kenapa semua ada di sini?" Tian menatap Naura yang seketika langsung tertunduk. Sementara Haris hanya diam tak peduli."Tian, apa kak Naura bisa--""Papa tadi datang lagi menemui Alin." Haris melirik Naura yang bicara namun masih tertunduk. "Masalah uang lagi."Kali ini rahang Tian mengeras. Ia menatap lurus pada Haris, "Bisa kau ceritakan Haris?"Haris menghela nafas. Ia sudah yakin jika dirinyalah yang akan ditanya."Yanto datang lagi untuk membawa Alin. Mungkin digadaikan lagi.""Shit!" Umpat Tian."Tapi Alin menolak. Saat perdebatan itu, Naura muncul dan membongkar jika Alin bukanlah adik kandungnya. Alin anak kandung dari Yanto namun bukan dengan istri pria tersebut karena anak kandung istrinya adalah Naura." Haris menatap Naura, "Pengakuan itu membuat gadis gila ini tak mau pulang karena takut besok tubuhnya sudah terpisah dari raga. Jadi, itulah kenapa alasannya ada penyusup g
"kamu jadi ketemu Tiara?" Tian menatap Alin yang sedang ngemil."Jadi. Tapi nanti ketemunya di toko kuenya Tiara.""Perlu ditemani?""Nggak usah Tian. Aku bisa sendiri kok. Lagian ni ya, kalau tiap saat ditemenin, aku kapan bisanya."Tian tersenyum manis. "Ya sudah terserah kamu. Kalau nanti butuh apa-apa, hubungi cepat." Alin mengangguk mantap."Kamu jadi ke Bogor hari ini?""Jadi. Nanti Delon akan menjemput ke sini." Alin kembali mengangguk. Ia kembali fokus pada TV, sedangkan Tian masuk ke kamar untuk bersiap-siap. Selama tiga hari ia harus stay di Bogor untuk menyelesaikan masalah hutang salah satu kliennya padanya. Ya bisa dikatakan, kasusnya sama seperti orang tua Alin. Namun bedanya, kali ini tak ada lagi sistem tumbal. Cukup Alin yang ia terima sebagai penebus hutang orang tuanya kekasihnya itu.Sedang asik menikmati drama China kesukaannya, Alin dikejutkan dengan kehadiran Delon yang memukul pundaknya dari belakang. "Ih, baca salam dulu bisa nggak?" Ucap Alin kesal. Ia melir
Tian baru saja memasuki kota Bogor saat ponselnya berdering dan membuatnya cemas setelahnya. Pasalnya Tiara yang menghubunginya hanya untuk menanyakan apakah Alin jadi ke tempatnya atau tidak. Pasalnya Tiara bilang jika ponsel Alin mati.Hal semakin membuat Tian panik adalah, Ia yang juga tak bisa menghubungi Alin. Dengan cepat, pria itu menghubungi Haris. Tian mengumpat kasar saat panggilan pertamanya tak diangkat oleh Haris. "Lo tenang dulu Tian. Kalau seperti ini--""Gue nggak bisa tenang sebelum tahu kabar Alin.""Tapi kita mesti gimana? Putar balik pun jauh.""Shit. Si Haris kemana sih!" Umpatnya. Tian kembali menghubungi Haris dan tak menghiraukan Delon yang bicara di sebelahnya. "Halo, Haris. Kau periksa CCTV cepat!.""Ha? Kenapa?""Tiara menghubungiku jika Alin belum sampai di tempatnya. Nomor Alin juga mati."Haris melotot kaget mendengarnya. Ia yakin jika tadi Alin sudah meminta izin untuk pergi bertemu dengan Tiara, dan itu sudah lewat dari dua jam yang lalu. Tapi kenapa