Tita masih syok. satu kalimat yang tak ia bayangkan akan keluar dari mulut Mas Delon, satu kalimat yang tak pernah ia bayangkan akan ada yang meminta itu padanya, berhasil membuat kerja jantungnya meningkat. Tita menyentuh dadanya lalu menatap Delon. "Mas, Jantung aku." bisik Tita. Delon langsung panik. ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang, namun langsung dicegat Tita. "Mas mau ngapain?" tanya Tita cepat."Nelpon dokter. tapi jantung kamu--""Iiiihh Mas Delon. kok dokter sih." Dengan tanpa sadar dan spontan, Tita menarik telapak tangan Delon dan meletakkannya tepat di dadanya. sebenarnya tujuan Tita ingin meminta Delon merasakan detaknya, namun sepertinya yang Tita lakukan adalah sebuah kesalahan. karena bukan merasakan detak jantung Tita, justru Delon yang dibuat berdetak tak karuan."Kerasa nggak?" Tanya Tita polos.Delon belum menjawab. Ia menatap Tita Lamat. Sampai Tita sadar jika ia sudah sedikit keterlaluan. Tia langsung menarik tangan Delon dari dadany
Tak jauh beda dengan Delon, Haris dan Naura pun baru saja merasakan pelepasan mereka. Dan kini keduanya sedang berada di bawah selimut, setelah tadi Haris berkali-kali melepaskan benihnya dalam rahim Naura. "Capek?" Tanya Haris pada sang istri.Naura mengangguk, "Ngantuk yank." Ucapnya."Ya udah, kamu tidur ya. Aku mandi dulu." Naura lagi-lagi mengangguk. Ia mengeratkan selimutnya untuk kembali tidur, sementara Haris memilih untuk mandi. Tubuhnya terasa begitu lengket setelah pertempuran penuh nikmat yang ia lakukan bersama Naura.Seperempat jam setelahnya, Haris selesai dan kembali masuk ke dalam selimut. Ia memeluk Naura Yang sudah terlelap dan sama-sama mengarungi mimpi.*****Paginya, Kediaman Tian sedang Tak baik-baik saja. Pasalnya sang istri merajuk karena perkara ia minum pakai gelas warna merah. Bahkan keributan itu menarik perhatian pengantin baru.Naura yang saat itu baru masuk ke dalam langsung dibuat heran dengan Alin yang sedang menangis sesenggukan di sofa keluarga. Di
"Mama? Papa? Apa-apaan ini?" Alin Kamelia Putri atau yang biasa disapa Alin itu syok bukan main saat ia melihat kedua orangtuanya yang sedang berlutut pada seorang pria.Ia langsung berlari menuju orang tuanya dan meminta keduanya untuk berdiri. Wajah mamanya sudah kacau balau. Mata bengkak seperti habis menangis. Begitupun wajah papanya yang terlihat panik."Alin. Alin untung kamu datang nak. Bantu kami." isak mamanya sambil merangkul Alin."Kenapa? Kalian kenapa? Dan siapa orang ini? Kenapa mama sama papa sampai sujud-sujud seperti itu." tanya Alin kesal."Apa kau yang bernama Alin?" tanya Tian basa basi. Padahal sebenarnya ia sudah melihat foto Alin sebelumnya dari anak buah yang ia suruh.Alin menatap pria tersebut. "Iya. Kau siapa? Kau apakan kedua orang tua ku? Jangan macam-macam, aku bisa melaporkanmu ke polisi." ancam Alin yang justru membuat Tian tertawa. "Melaporkanku ke polisi? Apa tak salah? Kau yakin?" tanya Tian sambil menatap kedua orang tua Alin.Alin menatap mama
Pagi ini Alin dibuat tak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan ia sudah melakukan beberapa kesalahan yang membuatnya harus dipanggil keruangan manajer.Ia menghela nafas panjang. Cukup lama Alin berdiri di depan pintu ruangan Zaki sebelum akhirnya ia mengetuk pintu tersebut.Alin membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam.Alin tak banyak bicara setelah ia masuk ke dalam. Ia lebih memilih langsung duduk di kursi yang ada di depan meja Zaki.Zaki yang sedari tadi fokus melihat Alin, langsung bertanya pada gadis tersebut."Kau kenapa?" tanyanya.Bukannya menjawab, Alin justru mengacak rambutnya kesal membuat rambut yang tadi terikat rapi menjadi tak berbentuk."Dasar pria brengsek!" umpat Alin kesal namun sedetik kemudian ia menangis meraung seperti gadis yang baru saja diputus cinta.Zaki yang melihatnya hanya bisa meringis bingung. Alin nyaris seperti gadis gila kehilangan akal."Apa kau putus cinta?" tebak Zaki yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alin."Putus masa depan!" jawab
Langit sudah semakin gelap. Namun berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini bintang tak menampakan dirinya satupun. Bulan pun enggan untuk menyapa. Yang terlihat hanyalah awan hitam yang berkelompok-kelompok. Seolah sebentar lagi akan turun hujan lebat.Walaupun malam sudah cukup larut, Alin masih enggan untuk tertidur. Ia masih kesulitan memejamkan matanya. Dalam benaknya sangat dipenuhi dengan masalah yang sama, yaitu hutang kedua orang tuanya dan masa depannya.Dari rentang waktu yang Tian berikan, hanya tersisa satu hari lagi untuknya berjuang, sedangkan uang dua milyar itu belum ia dapatkan sama sekali.Di mana ia bisa dapat uang sebanyak itu. Ia bahkan sudah mencoba meminjam uang pada Ruli, namun masih tak cukup. Zaki pun baru mengumpulkan sebanyak lima ratus juta.Setiap hari, ia selalu dicerca dengan pertanyaan yang sama dari orang tuanya, yaitu 'apa uangnya sudah ada?'. Sungguh, ia nyaris gila. Orang tuanya yang berhutang, tapi justru dirinyalah yang disengsarakan.Ia ta
Alin membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia tak peduli pintu itu akan hancur. Ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin."KALIAN MINTA AKU MENGEMBALIKAN SEMUANYA BUKAN? BAIKLAH! AKAN KU TURUTI. TAPI SETELAH INI, JANGAN HARAP AKU AKAN LUNAK!!!" Alin berteriak keras seperti orang kesetanan. Ia hanya ingin melepaskan sesak di hatinya. Semua kekecewaan yang selama ini ia rasakan dan berakhir dengan puncak yang sudah meledak.Ia tahu bagaimana akhir dari masa depannya. Karena besok adalah hari penentuan. Sedangkan uang itu belum ia dapatkan. Ia sudah meminjam ke sana ke mari. Menemui satu per satu teman-temannya dulu. Namun sikap mereka seperti tak mengenalnya. Adapun yang sudah berhasil, namun mendadak menjadi manusia paling miskin di dunia. Apalagi saat ia mendengar kalimat dari mamamya tadi. Ia semakin tak ada semangat lagi untuk mendapatkan uang sebanyak itu.Pasrah? Memang itu yang akan ia lakukan. Menanti hari esok dengan perasaan campur aduk.Ia sudah tak peduli lagi de
Alin menatap lurus keluar jendela mobil. Sejak keluar dari rumahnya tadi, Alin tak bicara sedikitpun. Bahkan Tian yang mengendarai mobil, selalu melirik dari spion yang ada di atas kepalanya."Kau ingin puasa bicara?" tanya Tian pada Alin. Sedikit melirik dari sudut matanya, Alin tersenyum simpul namun sinis."Bukan urusanmu." jawabnya."Memang bukan urusanku. Tapi aku membenci suasana hening seperti kuburan.""Nyalakan saja musik di mobilmu.""Aku bukan musisi." Jawab Tian kesal. Suasana kembali hening. Ia kembali melirik Alin dari kaca spion yang ada di atas kepalanya dan lagi-lagi gadis itu hanya diam, sembari melihat keluar jendela.Tian menghela nafas kasar. Baginya, menghadapi gadis seperti Alin itu tidaklah sulit. Namun memang butuh proses sampai Alin bisa berbaur dengannya.Tian jahat? Tidak sama sekali. Ia hanya sedikit kaku dan memang sedikit bermulut tajam. Namun 'sedikit' itu, berhasil membuat asisten pribadi Tian tak pernah betah berada di samping pria tersebut.Sebenarn
"Harus mengikuti semua perintah tuan rumah. Bangun jam 04.00 subuh untuk menyiapkan sarapan pagi? kenapa terlalu cepat?" protes Alin saat ia membaca tulisan yang ada dalam selembar kertas yang diberikan oleh Tian padanya tadi. "Sudah kubilang jangan protes!" Alin lagi-lagi mendengus kesal. ia kembali menatap tulisan yang ada dalam kertas tersebut. "Tak bisa mengkonsumsi ayam broiler, udang dan kepiting. Ckckck seleramu sungguh tak menyenangkan."Alin kembali melanjutkan isi kertas tersebut. Setelah ia memahaminya, ia pun kembali menyerahkan kertas tersebut pada Tian."Hanya ini?" tanya Alin namun Tian langsung menggeleng. "kau tahu, ini perjanjian untuk asistenku terdahulu.""Terdahulu? apa bedanya denganku?" "Kau tak boleh lupa, kalau keberadaanmu di sini statusnya berbeda. Akan ada poin tambahan yang nanti harus kau tandatangani.""Kau memaksaku kerja rodi?""Anggap saja begitu." jawab Tian, "tapi satu hal yang paling penting, selama kau berada di sini, jangan pernah masuk ke da