"Mama? Papa? Apa-apaan ini?"
Alin Kamelia Putri atau yang biasa disapa Alin itu syok bukan main saat ia melihat kedua orangtuanya yang sedang berlutut pada seorang pria.Ia langsung berlari menuju orang tuanya dan meminta keduanya untuk berdiri. Wajah mamanya sudah kacau balau. Mata bengkak seperti habis menangis. Begitupun wajah papanya yang terlihat panik."Alin. Alin untung kamu datang nak. Bantu kami." isak mamanya sambil merangkul Alin."Kenapa? Kalian kenapa? Dan siapa orang ini? Kenapa mama sama papa sampai sujud-sujud seperti itu." tanya Alin kesal."Apa kau yang bernama Alin?" tanya Tian basa basi. Padahal sebenarnya ia sudah melihat foto Alin sebelumnya dari anak buah yang ia suruh.Alin menatap pria tersebut. "Iya. Kau siapa? Kau apakan kedua orang tua ku? Jangan macam-macam, aku bisa melaporkanmu ke polisi." ancam Alin yang justru membuat Tian tertawa."Melaporkanku ke polisi? Apa tak salah? Kau yakin?" tanya Tian sambil menatap kedua orang tua Alin.Alin menatap mama dan papanya yang menunduk takut setelah Tian menatapnya.Alin bertanya untuk dirinya sendiri. Ada hubungan apa orang tuanya dengan pria di hadapannya ini. Kenapa orang tuanya setakut itu.Alin menatap Tian sebentar lalu kembali menatap papanya."Dia siapa pa?" tanya Alin yang tak mau berbasa basi lagi.Pria paruh baya itu langsung berdiri. Ia menghampiri Alin dan membawa anaknya itu untuk duduk di sofa."Alin. Begini nak. Mama sama papa mau minta bantuan kamu. Kami tak ingin dipenjara.""Penjara? Apa maksudnya? Siapa yang mau menjarain papa?"Pria itu menatap Tian. Alin memejamkan matanya kesal. Ia lalu menatap Tian nyalang, "Anda sebenarnya siapa? Ada hubungan apa Anda dengan keluarga saya?" berang Alin pada Tian. Bahkan gadis itu sampai berdiri.Tian bertepuk tangan lalu berdiri dari duduknya. Ia lalu memanggil seseorang. Tak lama setelahnya, seseorang muncul di samping Alin membuat Alin terkejut.Orang baru lagi. Ia tak melihat ada pria ini tadi di luar.Pria itu menyerahkan selembar kertas pada Tian lalu Tian menyerahkan kertas tersebut pada Alin."Silahkan baca terlebih dahulu." ucap Tian. Pria itu kembali duduk. Sedangkan Alin tetap berdiri. Alin melirik kertas tersebut dan mulai membacanya satu persatu."Hutang? Dua milyar? Hu--hutang apa ini ma? Kenapa sebanyak ini?" Alin memijit keningnya yang mendadak sakit. Ia terus menbaca sampai ke bawah. Hal itu berhasil membuat tubuhnya lemah tak berdaya. Ia merosot turun ke lantai. "Menjadikan Alin sebagai jaminan?" ucapnya lirih.Ia menatap kedua orang tuanya. Sedangkan yang ditatap hanya bisa menunduk."Apa ini ma? Apa maksud surat ini?" tanya Alin dengan nada yang mulai meninggi. "Hutang dua milyar? Penjara atau Alin jadi jaminan? Apa maksudnya?" dadanya terasa sesak. Alin bahkan sampai kehabisan kata. Sesakit inikah hidupnya? Semalang inikah takdir yang Tuhan gariskan untuknya?.Alin menatap Tian dengan tatapan ingin membunuh. Ia meremas kertas tersebut sampai tak berbentuk lalu melemparkannya kuat pada Tian tepat mengenai wajah Tian. Kelakuan Alin membuat pria yang ada di sebelah Alin langsung menahan tubuh Alin agar tak bisa bergerak lagi."Lepasin! Kalian brengsek! Kalian pasti menjebak orang tua saya!" teriak Alin menggema di dalam rumah."Kau bisa bertanya pada orang tuamu. Apa aku menjebak mereka?" tantang Tian.Alin menatap lirih mama dan papanya. Dari tatapan Alin, seolah gadis itu meminta penjelasan tentang yang terjadi saat ini.Wanita paruh baya itu masih menunduk. Sedangkan papa Alin sudah menatap sang anak."Papa, papa kalah tender saham nak." ucap pria itu yang langsung membuat tubuh Alin kembali lemas. Ia bahkan nyaris pingsan jika tak ditahan oleh pria di sampingnya itu."Jadi apa sekarang? Papa sama mama jebak Alin? Kenapa harus Alin?" tatapan penuh kekecewaan Alin perlihatkan pada kedua orang tuanya."Papa juga tak menyangka nak. Papa nggak tahu sama sekali jika akan terjadi hal yang seperti ini.""Lalu? Apa selanjutnya? Alin dijual?""Alin, kami--""JAWAB SAJA! JANGAN BERTELE-TELE. ALIN BUTUH KEJELASAN."Ck!Decakan terdengar keras dari Tian. Alin langsung menatap pria tersebut, "Dramanya terlalu lama." ucap Tian. "Kalian sanggup melunasi atau tidak?""Alin--"Alin memejamkan matanya saat ia mendengar suara bergetar mamanya memanggilnya."Beri saya waktu, saya akan cari uangnya." ucap Alin mencoba meyakinkan dirinya. Namun permintaan Alin justru membuat Tian tertawa keras."Kau jangan bercanda. Dua milyar bukan uang yang sedikit. Butuh bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk mencarinya." Tian melangkah mendekati Alin, "Kecuali kau jadi seorang pelacur berkelas." lanjutnya sambil berbisik.Alin menatap Tian penuh amarah. Ia seperti sedang direndahkan. Ucapan Tian sangat menyakitkan terdengar di telinganya."Bajingan kau!" umpat Alin."Orang tuamu yang membuatku menjadi bajingan. Coba mereka melunasinya, tak akan ada kejadian seperti ini." ucap Tian, "Jadi bagaimana? Orang tuamu dipenjara seumur hidup, atau kau jadi pelayanku seumur hidupmu."Dada Alin mendadak sesak. Ia kesulitan berkata-kata. Apalagi saat ia melihat tatapan kedua orang tuanya padanya. Ia tak sanggup membayangkan tubuh yang akan ringkih itu menua bahkan perlahan berangsur tak bernyawa di balik jeruji besi.Takdirnya sejak kecil memang tak baik. Tapi apa sekarang juga harus tak baik. Kenapa Tuhan memperlakukan hidupnya sejahat ini. Apa tak ada secelahpun kebahagiaan untuknya? Apa salahnya? Apa dosa yang sudah ia perbuat, sampai-sampai Tuhan menghukumnya sejahat ini.Alin menegarkan dirinya. Ia mencoba dengan pilihan terakhirnya. Ia harap akan ada jalan keluar."Beri aku waktu untuk melunasinya." pinta Alin sambil menatap Tian dengan penuh yakin.Menatap keseriusan Alin, Tianpun tersenyum namun banyak makna dari senyuman tersebut."Baik. Kau akan kuberi waktu sampai minggu depan.""WHAT? Kau gila! Siapa yang bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam satu minggu.! Kau pikir--""Aku hanya memberimu waktu satu minggu. Jika tak setuju, tak apa. Orang tuamu akan--""Oke! Oke! Baiklah. Satu minggu. Aku akan kembalikan semua uang itu dalam satu minggu ini." suasana hening seketika. Kedua orang tua Alin menatap sang anak tak percaya. Di mana Alin akan mendapatkan uang sebanyak itu dalam seminggu?."Alin, kamu--""Saya akan kembalikan uang anda dalam seminggu.""Baiklah. Aku kembali satu minggu lagi. Tentu saja dengan uang yang sudah kau sediakan. Jika tidak, jangan harap kalian bertiga bisa lepas." Tian tersenyum sekilas lalu berjalan keluar meninggalkan kediaman Alin.Sepeninggalan Tian dan anak buahnya, Alin langsung merosot turun dan meraung sejadi-jadinya. Hatinya memberontak. Ia kesal dan marah. Bahkan ia tak mau didekati oleh orang tuanya."Dimana aku bisa dapatkan uang itu? Kalian jahat! Kalian bukan orang tua Alin. KALIAN JAHAT!" teriak Alin kesetanan. Ia tak peduli. Ia lebih memikirkan masa depannya yang terancam satu minggu kedepan.*****Pagi ini Alin dibuat tak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan ia sudah melakukan beberapa kesalahan yang membuatnya harus dipanggil keruangan manajer.Ia menghela nafas panjang. Cukup lama Alin berdiri di depan pintu ruangan Zaki sebelum akhirnya ia mengetuk pintu tersebut.Alin membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam.Alin tak banyak bicara setelah ia masuk ke dalam. Ia lebih memilih langsung duduk di kursi yang ada di depan meja Zaki.Zaki yang sedari tadi fokus melihat Alin, langsung bertanya pada gadis tersebut."Kau kenapa?" tanyanya.Bukannya menjawab, Alin justru mengacak rambutnya kesal membuat rambut yang tadi terikat rapi menjadi tak berbentuk."Dasar pria brengsek!" umpat Alin kesal namun sedetik kemudian ia menangis meraung seperti gadis yang baru saja diputus cinta.Zaki yang melihatnya hanya bisa meringis bingung. Alin nyaris seperti gadis gila kehilangan akal."Apa kau putus cinta?" tebak Zaki yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alin."Putus masa depan!" jawab
Langit sudah semakin gelap. Namun berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini bintang tak menampakan dirinya satupun. Bulan pun enggan untuk menyapa. Yang terlihat hanyalah awan hitam yang berkelompok-kelompok. Seolah sebentar lagi akan turun hujan lebat.Walaupun malam sudah cukup larut, Alin masih enggan untuk tertidur. Ia masih kesulitan memejamkan matanya. Dalam benaknya sangat dipenuhi dengan masalah yang sama, yaitu hutang kedua orang tuanya dan masa depannya.Dari rentang waktu yang Tian berikan, hanya tersisa satu hari lagi untuknya berjuang, sedangkan uang dua milyar itu belum ia dapatkan sama sekali.Di mana ia bisa dapat uang sebanyak itu. Ia bahkan sudah mencoba meminjam uang pada Ruli, namun masih tak cukup. Zaki pun baru mengumpulkan sebanyak lima ratus juta.Setiap hari, ia selalu dicerca dengan pertanyaan yang sama dari orang tuanya, yaitu 'apa uangnya sudah ada?'. Sungguh, ia nyaris gila. Orang tuanya yang berhutang, tapi justru dirinyalah yang disengsarakan.Ia ta
Alin membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia tak peduli pintu itu akan hancur. Ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin."KALIAN MINTA AKU MENGEMBALIKAN SEMUANYA BUKAN? BAIKLAH! AKAN KU TURUTI. TAPI SETELAH INI, JANGAN HARAP AKU AKAN LUNAK!!!" Alin berteriak keras seperti orang kesetanan. Ia hanya ingin melepaskan sesak di hatinya. Semua kekecewaan yang selama ini ia rasakan dan berakhir dengan puncak yang sudah meledak.Ia tahu bagaimana akhir dari masa depannya. Karena besok adalah hari penentuan. Sedangkan uang itu belum ia dapatkan. Ia sudah meminjam ke sana ke mari. Menemui satu per satu teman-temannya dulu. Namun sikap mereka seperti tak mengenalnya. Adapun yang sudah berhasil, namun mendadak menjadi manusia paling miskin di dunia. Apalagi saat ia mendengar kalimat dari mamamya tadi. Ia semakin tak ada semangat lagi untuk mendapatkan uang sebanyak itu.Pasrah? Memang itu yang akan ia lakukan. Menanti hari esok dengan perasaan campur aduk.Ia sudah tak peduli lagi de
Alin menatap lurus keluar jendela mobil. Sejak keluar dari rumahnya tadi, Alin tak bicara sedikitpun. Bahkan Tian yang mengendarai mobil, selalu melirik dari spion yang ada di atas kepalanya."Kau ingin puasa bicara?" tanya Tian pada Alin. Sedikit melirik dari sudut matanya, Alin tersenyum simpul namun sinis."Bukan urusanmu." jawabnya."Memang bukan urusanku. Tapi aku membenci suasana hening seperti kuburan.""Nyalakan saja musik di mobilmu.""Aku bukan musisi." Jawab Tian kesal. Suasana kembali hening. Ia kembali melirik Alin dari kaca spion yang ada di atas kepalanya dan lagi-lagi gadis itu hanya diam, sembari melihat keluar jendela.Tian menghela nafas kasar. Baginya, menghadapi gadis seperti Alin itu tidaklah sulit. Namun memang butuh proses sampai Alin bisa berbaur dengannya.Tian jahat? Tidak sama sekali. Ia hanya sedikit kaku dan memang sedikit bermulut tajam. Namun 'sedikit' itu, berhasil membuat asisten pribadi Tian tak pernah betah berada di samping pria tersebut.Sebenarn
"Harus mengikuti semua perintah tuan rumah. Bangun jam 04.00 subuh untuk menyiapkan sarapan pagi? kenapa terlalu cepat?" protes Alin saat ia membaca tulisan yang ada dalam selembar kertas yang diberikan oleh Tian padanya tadi. "Sudah kubilang jangan protes!" Alin lagi-lagi mendengus kesal. ia kembali menatap tulisan yang ada dalam kertas tersebut. "Tak bisa mengkonsumsi ayam broiler, udang dan kepiting. Ckckck seleramu sungguh tak menyenangkan."Alin kembali melanjutkan isi kertas tersebut. Setelah ia memahaminya, ia pun kembali menyerahkan kertas tersebut pada Tian."Hanya ini?" tanya Alin namun Tian langsung menggeleng. "kau tahu, ini perjanjian untuk asistenku terdahulu.""Terdahulu? apa bedanya denganku?" "Kau tak boleh lupa, kalau keberadaanmu di sini statusnya berbeda. Akan ada poin tambahan yang nanti harus kau tandatangani.""Kau memaksaku kerja rodi?""Anggap saja begitu." jawab Tian, "tapi satu hal yang paling penting, selama kau berada di sini, jangan pernah masuk ke da
Sudah hampir setengah jam Tian menatap nasi goreng yang tadi ia bawa masuk ke kamarnya. Minatnya untuk menyantap nasi goreng tersebut belum ada sama sekali, walaupun ia tahu rasanya pasti akan mengecewakan, tapi entah kenapa ia tak mau menyentuhnya.Tian berbaring di atas ranjangnya. Ia menatap langit langit kamar yang temaram. Hatinya seketika sakit saat mengingat kenapa ia membenci makanan tersebut.****Dua puluh tahun yang lalu.Praaakk!"Kamu bisa masak tidak?" Pria paruh baya bernama Andi itu baru saja membanting piring berisi nasi goreng yang tadi dihidangkan oleh istrinya.Di samping Andi, anak laki-laki semata wayangnya juga duduk bersama dan melihat semua kejadian yang baru saja terjadi.Anak itu adalah Tian saat kecil. Tian menatap ibunya yang menangis sesegukan. Hatinya marah dan murka melihat perlakuan kasar ayahnya."Maaf mas. Hanya ini yang bisa aku hidangkan sekarang. Kita--""Alah! Banyak alasan kamu. Kenapa kamu nggak minta uang pada keluargamu yang kaya raya itu?
"Aku membawamu ke sini bukan untuk memecahkan semua barang-barang ku." Alin terkejut saat Tian tiba-tiba muncul di hadapannya saat ia sedang membersihkan pecahan kaca dari gelas yang tadi ia pakai.Alin mendadak kikuk. Ia sungguh tak sengaja. "Aku tak sengaja melakukannya." Ucapnya tertunduk."Tentu saja kau tak sengaja. Jika kau sengaja, sudah ku pastikan kau untuk menggantinya. Kau tahu berapa harga gelas yang tadi kau pecahkan?" Alin menggeleng. "Gelas itu seharga iPhone keluaran terbaru.""Ha? Gelas kaca bening ginian doang, seharga iPhone?" Tian mengangguk. "Kau tak percaya?"Alin langsung menggeleng yakin. Ia tak percaya gelas kecil ini harganya semahal itu. Di balik ketidak yakinkan Alin, Tian justru tertawa dalam hatinya. Ia menertawakan wajah bodoh Alin. Mana ada gelas seperti itu belinya seharga iPhone."Pintar. Aku pikir kau bodoh. ternyata tidak." Lanjut Tian membuat Alin seketika mengumpat kasar dalam hatinya."Cepat kau bereskan dan sekali lagi kau pecahkan peralatan
Alin menenangkan hatinya terlebih dahulu. Ia tak ingin masak dengan suasana hati yang buruk. Karena ia yakin itu akan mempengaruhi rasa dari masakannya sendiri.Setelah dirasa tenang, ia pun mulai mengeluarkan beberapa bahan yang ada di dalam lemari pendingin dan mulai menyianginya satu persatu. Alin menghela nafas panjang untuk melegakan suasana hatinya. Melihat situasi tadi pagi, Alin tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti untuk kedepannya. Seketika ia menyesal mengiyakan untuk menjadi penjamin penebus hutang-hutang keluarganya. jika dulu ia menolak, mungkin ia masih bisa bebas saat ini.Dan jika bicara tentang orang tuanya yang akan dipenjara jika hutang itu tak bisa dilunasi, jujur itu bukan urusannya. Karena selama ini ia sendiri juga tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari mereka. Bahkan ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Tapi nasi sudah jadi bubur. penyesalan memang datang di akhir. ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi dan yang bisa ia lakuka