Alin membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia tak peduli pintu itu akan hancur. Ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin.
"KALIAN MINTA AKU MENGEMBALIKAN SEMUANYA BUKAN? BAIKLAH! AKAN KU TURUTI. TAPI SETELAH INI, JANGAN HARAP AKU AKAN LUNAK!!!"Alin berteriak keras seperti orang kesetanan. Ia hanya ingin melepaskan sesak di hatinya. Semua kekecewaan yang selama ini ia rasakan dan berakhir dengan puncak yang sudah meledak.Ia tahu bagaimana akhir dari masa depannya. Karena besok adalah hari penentuan. Sedangkan uang itu belum ia dapatkan. Ia sudah meminjam ke sana ke mari. Menemui satu per satu teman-temannya dulu. Namun sikap mereka seperti tak mengenalnya. Adapun yang sudah berhasil, namun mendadak menjadi manusia paling miskin di dunia.Apalagi saat ia mendengar kalimat dari mamamya tadi. Ia semakin tak ada semangat lagi untuk mendapatkan uang sebanyak itu.Pasrah? Memang itu yang akan ia lakukan. Menanti hari esok dengan perasaan campur aduk.Ia sudah tak peduli lagi dengan masa depannya. Ia tak peduli lagi dengan impiannya menikah dengan pria yang ia cintai, punya anak dan hidup bahagia. Ia sudah tak peduli.Alin meraih ponselnya. Ia melihat banyak pesan dan panggilan dari Zaki. Alin mencoba menghapus pesan tersebut, tanpa membacanya terlebih dahulu. Bahkan tak ada niatan dari Alin untuk kembali menghubungi Zaki.Ia menghela nafas panjang. Ia mencoba untuk tak melibatkan Zaki saat ini. Sudah cukup banyak Zaki membantunya. Jadi ia tak mau melibatkan sahabatnya itu lagi.Esok paginya, Alin terbangun dengan mata yang sembab. Semalam Ia menangis sejadi-jadinya sampai ia tertidur karena lelahnya.Alin meraih ponselnya yang ada di samping bantalnya dan melihat layar ponsel tersebut. Dan sama seperti semalam, ada banyak panggilan telpon dan pesan dari Zaki. Dan yang ia lakukan adalah menghapus kembali tanpa ia baca.Ia menghela nafas kasar. Ia tak mau lagi melibatkan Zaki. Alin memutuskan untuk mematikan ponselnya. Menyimpan ponsel tersebut ke dalam koper kecilnya yang semalam sudah ia siapkan. Berharap dengan ini, tak ada yang mencarinya pagi, termasuk Zaki.Setelah menyimpan ponselnya tersebut, ia pun melanjutkan dengan memilih beberapa pakaian miliknya dan memasukkan pakaian tersebut ke dalam koper kecil miliknya. Ia hanya membawa tujuh pasang baju dan menyingkirkan sisanya.Sisa dari pakaiannya ia bungkus ke dalam kantong kresek besar dan untuk ia buang. Sungguh, ini jahat memang. Namun ia tahu akan masa depannya seperti apa. Jadi ia tak butuh semua itu lagi. Hak nya di rumah ini pun sudah lenyap. Jadi tak perlu semua barang-barangnya ada di sini lagi.Alin akan menghilangkan jejak dan hidup dalam penjara seorang pria kaya raya bernama Tian.Setelah dirasa semua miliknya tak ada lagi yang diluar, ia pun membawa satu persatu turun ke bawah dan langsung ia kumpulkan di depan rumahnya.Saat ia turun, langkahnya terhenti saat ia melihat mamanya sedang berada di ruang tamu duduk sendirian. Alin mencoba untuk tak peduli lagi. Biarkan ini menjadi pengorbanan terakhirnya sebagai anak. Setelah ini ia sudah tak peduli lagi.Ia melewati begitu saja mamanya yang sedang menatapnya."Mau kamu bawa ke mana itu Alin?" tanya wanita itu pada anaknya."Buang." jawab Alin singkat.Wanita itu terkejut. Ia langsung berdiri dan mendekati Alin. Ia menahan plastik besar yang berisi banyak pakaian Alin."Buang gimana? Kenapa di buang?""Haaahh! Alin nggak butuh ini lagi.""Itu kan baju kamu?""Karena baju Alin makanya Alin buang.""Kenapa di buang. Letakkan saja di kamar.""Itu bukan kamar Alin lagi. Tepatnya setelah Alin putuskan untuk jadikan diri Alin tebusan." wanita itu tersentak mendengar kalimat dari sang anak."Itu masih kamar Alin."Alin tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu kembali membawa pakaiannya ke tempat pembakaran sampah di rumahnya. Alin melempar pakaian tersebut ke dalam tempat pembakaran lalu membakar bungkusan berisi banyak pakaiannya sampai habis. Ia lalu kembali untuk mengambil yang lain dan melakukan hal yang sama.Walaupun mamanya mencoba untuk menghalangi, namun Alin tetap tak mempedulikan itu. Baginya, ia sudah tak ada hak dan keperluan di rumah ini lagi. Begitu juga dengan barang-barangnya. Karena itu, saat ia keluar dari rumah ini nanti, ia juga ingin semua barang-barangnya ikut menghilang dari rumah tersebut.Alin menatap penuh luka tempat pembakaran yang saat ini sedang menghanguskan semua barang-barangnya. Tak terasa air matanya menetes. Dengan cepat Alin menghapusnya. Ia tak mau terlihat cengeng lagi. Ia akan menjadi Alin yang kuat."Kau harus kuat Alin." ucap Alin menguatkan dirinya sendiri. Ia bahkan sampai menghela nafas panjang berkali-kali agar sesak di dadanya bisa hilang. Setidaknya sedikit berkurang.Alin berdiri seperti patung di depan tempat pembakaran sampah tersebut. Ia melihat dengan jelas satu persatu barang-barangnya hangus dibakar api. Semakin banyak api yang menghanguskan semua barang-barangnya, semakin bertambah rasa sakit di hatinya. Ia tak yakin rasa sakit hati itu akan terobati dengan cepat.Alin menengadahkan kepalanya ke atas. Ia menatap langit luas dengan tatapan lirihnya. Inilah puncak dari kekecewaan yang ia rasakan selama ia Hidup. Dan apakah ia harus membenci Tuhan? apa seburuk ini takdir yang Tuhan goreskan untuknya? Kenapa tak pernah ia rasakan kebahagian di rumah ini. Kenapa ia tak bisa leluasa mendapatkan peluk hangat dari orang tuanya.Ia juga ingin merasa diperhatikan. Ditanya kapan pulang saat bekerja dan didukung oleh kedua orang tuanya. Tapi apa boleh buat, itu akan hanya jadi hayalannya. Bahkan sampai sekarang.Setelah kekecewaan ini, ia berjanji tak akan lagi peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Tak akan peduli lagi dengan semuanya. Ia hanya akan menyayangi dirinya sendiri dan akan selalu berterima kasih karena sudah berjuang sampai saat ini.Setelah semua barangnya menjadi abu, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Namun saat ia hendak melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ia dihentikan dengan kedatangan beberapa orang yang ia sudah tahu mereka siapa.Alin tak menghiraukan. Ia masuk ke dalam dan memberitahu orang tuanya jika beberapa pria brengsek itu sudah datang. Ia Bahkan tak mempedulikan apa yang orang tuanya bicarakan setelah itu. ia sungguh benar-benar sudah tak peduli lagi dengan semuanya.Alin berjalan masuk ke kamarnya dan mengambil koper kecil berisi pakaianYang akan ia bawa dan turun ke bawah. Sebelum turun, Alin memperhatikan kamarnya sekali lagi."Jangan menangis Alin. Jangan menangis." ucapnya.Ia lalu menutup pintu kamar dan turun ke bawah.Saat pintu tertutup, ia bisa mendengar suara Tian yang menanyakan tentang uang dua mikyar tersebut.Alin segera turun ke bawah sambil membawa kopernya."Kau tak perlu menanyakan uang tersebut. Aku pilih opsi ke dua.!"*****Alin menatap lurus keluar jendela mobil. Sejak keluar dari rumahnya tadi, Alin tak bicara sedikitpun. Bahkan Tian yang mengendarai mobil, selalu melirik dari spion yang ada di atas kepalanya."Kau ingin puasa bicara?" tanya Tian pada Alin. Sedikit melirik dari sudut matanya, Alin tersenyum simpul namun sinis."Bukan urusanmu." jawabnya."Memang bukan urusanku. Tapi aku membenci suasana hening seperti kuburan.""Nyalakan saja musik di mobilmu.""Aku bukan musisi." Jawab Tian kesal. Suasana kembali hening. Ia kembali melirik Alin dari kaca spion yang ada di atas kepalanya dan lagi-lagi gadis itu hanya diam, sembari melihat keluar jendela.Tian menghela nafas kasar. Baginya, menghadapi gadis seperti Alin itu tidaklah sulit. Namun memang butuh proses sampai Alin bisa berbaur dengannya.Tian jahat? Tidak sama sekali. Ia hanya sedikit kaku dan memang sedikit bermulut tajam. Namun 'sedikit' itu, berhasil membuat asisten pribadi Tian tak pernah betah berada di samping pria tersebut.Sebenarn
"Harus mengikuti semua perintah tuan rumah. Bangun jam 04.00 subuh untuk menyiapkan sarapan pagi? kenapa terlalu cepat?" protes Alin saat ia membaca tulisan yang ada dalam selembar kertas yang diberikan oleh Tian padanya tadi. "Sudah kubilang jangan protes!" Alin lagi-lagi mendengus kesal. ia kembali menatap tulisan yang ada dalam kertas tersebut. "Tak bisa mengkonsumsi ayam broiler, udang dan kepiting. Ckckck seleramu sungguh tak menyenangkan."Alin kembali melanjutkan isi kertas tersebut. Setelah ia memahaminya, ia pun kembali menyerahkan kertas tersebut pada Tian."Hanya ini?" tanya Alin namun Tian langsung menggeleng. "kau tahu, ini perjanjian untuk asistenku terdahulu.""Terdahulu? apa bedanya denganku?" "Kau tak boleh lupa, kalau keberadaanmu di sini statusnya berbeda. Akan ada poin tambahan yang nanti harus kau tandatangani.""Kau memaksaku kerja rodi?""Anggap saja begitu." jawab Tian, "tapi satu hal yang paling penting, selama kau berada di sini, jangan pernah masuk ke da
Sudah hampir setengah jam Tian menatap nasi goreng yang tadi ia bawa masuk ke kamarnya. Minatnya untuk menyantap nasi goreng tersebut belum ada sama sekali, walaupun ia tahu rasanya pasti akan mengecewakan, tapi entah kenapa ia tak mau menyentuhnya.Tian berbaring di atas ranjangnya. Ia menatap langit langit kamar yang temaram. Hatinya seketika sakit saat mengingat kenapa ia membenci makanan tersebut.****Dua puluh tahun yang lalu.Praaakk!"Kamu bisa masak tidak?" Pria paruh baya bernama Andi itu baru saja membanting piring berisi nasi goreng yang tadi dihidangkan oleh istrinya.Di samping Andi, anak laki-laki semata wayangnya juga duduk bersama dan melihat semua kejadian yang baru saja terjadi.Anak itu adalah Tian saat kecil. Tian menatap ibunya yang menangis sesegukan. Hatinya marah dan murka melihat perlakuan kasar ayahnya."Maaf mas. Hanya ini yang bisa aku hidangkan sekarang. Kita--""Alah! Banyak alasan kamu. Kenapa kamu nggak minta uang pada keluargamu yang kaya raya itu?
"Aku membawamu ke sini bukan untuk memecahkan semua barang-barang ku." Alin terkejut saat Tian tiba-tiba muncul di hadapannya saat ia sedang membersihkan pecahan kaca dari gelas yang tadi ia pakai.Alin mendadak kikuk. Ia sungguh tak sengaja. "Aku tak sengaja melakukannya." Ucapnya tertunduk."Tentu saja kau tak sengaja. Jika kau sengaja, sudah ku pastikan kau untuk menggantinya. Kau tahu berapa harga gelas yang tadi kau pecahkan?" Alin menggeleng. "Gelas itu seharga iPhone keluaran terbaru.""Ha? Gelas kaca bening ginian doang, seharga iPhone?" Tian mengangguk. "Kau tak percaya?"Alin langsung menggeleng yakin. Ia tak percaya gelas kecil ini harganya semahal itu. Di balik ketidak yakinkan Alin, Tian justru tertawa dalam hatinya. Ia menertawakan wajah bodoh Alin. Mana ada gelas seperti itu belinya seharga iPhone."Pintar. Aku pikir kau bodoh. ternyata tidak." Lanjut Tian membuat Alin seketika mengumpat kasar dalam hatinya."Cepat kau bereskan dan sekali lagi kau pecahkan peralatan
Alin menenangkan hatinya terlebih dahulu. Ia tak ingin masak dengan suasana hati yang buruk. Karena ia yakin itu akan mempengaruhi rasa dari masakannya sendiri.Setelah dirasa tenang, ia pun mulai mengeluarkan beberapa bahan yang ada di dalam lemari pendingin dan mulai menyianginya satu persatu. Alin menghela nafas panjang untuk melegakan suasana hatinya. Melihat situasi tadi pagi, Alin tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti untuk kedepannya. Seketika ia menyesal mengiyakan untuk menjadi penjamin penebus hutang-hutang keluarganya. jika dulu ia menolak, mungkin ia masih bisa bebas saat ini.Dan jika bicara tentang orang tuanya yang akan dipenjara jika hutang itu tak bisa dilunasi, jujur itu bukan urusannya. Karena selama ini ia sendiri juga tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari mereka. Bahkan ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Tapi nasi sudah jadi bubur. penyesalan memang datang di akhir. ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi dan yang bisa ia lakuka
Zaki kembali mengumpat kasar. Sudah dua Minggu ia putus kontak dengan Alin. Ia bahkan nyaris putus asa. Saat ia ingin mengikuti pria sialan itu, pasti ada saja yang menghalanginya. ia tahu dimana rumah Tian, namun tak pernah bisa masuk pagi semenjak insiden ia menerobos masuk ke dalam sana.Zaki meraih ponselnya lagi dan mencoba untuk kesekian kalinya menghubungi Alin. Berharap untuk kali ini ada titik terang dimana Alin disembunyikan oleh si brengsek itu."BRENGSEK!!" Umpatnya keras. Ia membanting ponselnya dengan sangat keras, membuat benda tersebut terbelah beberapa bagian."Dimana lagi aku harus cari kamu Alin!" Keluhnya lirih. Ia sungguh kehilangan akal sehatnya. *****Dua Minggu sudah ia berada di kediaman Tian menjadi 'tawanan' pria tersebut. Namun tak seperti tawanan biasanya, ia justru bisa bebas di rumah sebesar ini. Asal ia tak keluar, posisinya sudah aman.Sudah 1 jam yang lalu Tian berangkat ke kantor. Entah di mana pria itu bekerja, Alin sangat tidak mempedulikannya. K
Tian terbangun dari tidurnya. Kerongkongannya mendadak kering dan ia butuh air. Ia melirik ke arah jam yang terpanjang di dinding kamarnya. Jarum jam masih menunjukkan pukul satu malam.Tian menyibak selimut tebal yang ia kenakan dan turun dari tempat tidurnya. Ia memutuskan untuk ke dapur saja, karena persediaan air dalam kamarnya pun sudah habis.Baru saja ia membuka pintu kamarnya, ia dibuat terkejut karena mendengar suara krasak krusuk dari arah dapur.Tian yang memang selalu parno dengan hal mistis membuat bulu kuduknya seketika meremang.Secara perlahan, ia mencoba turun ke bawah dan melihat siapa yang ada di dapur.Di hadapannya, ia bisa melihat seseorang yang membelakangi nya. Seperti perempuan namun dengan pakaian yang, haaah. Sangat minim.Tian memperhatikan kaki perempuan itu. Kakinya menapak lantai. Itu artinya, yang dihadapannya ini pastilah manusia."Apa yang kau lakukan malam-malam begini?"Gadis itu terkejut dan langsung memutar tubuhnya ke belakang."Sudah ku duga."
Alin keluar dari kamarnya saat ia mendengar suara pintu kamar Tian terbuka."Kau mau ke mana?" Tanya Alin cepat.Tian menatap dengan tenang, "Bukan urusanmu."Tersenyum tipis, Alin melangkah mendekati Tian. "Apa libur begini kau tak ada niatan keluar?" Tanya Alin sedikit ragu. Namun melihat reaksi Tian membuatnya cemberut, "Aku bosan di rumah." Rengeknya kemudian. "Kau biasanya akan menghabiskan cemilanku diwaktu senggang. Jadi lakukan itu.""Tidak. Kau lihat badanku? Aku semakin gemuk di sini. Kau lihat ini lenganku? Ya Tuhan, apa ini. Kenapa banyak sekali gelambirnya." Alin memperlihatkan lengannya yang hanya diisi sedikit lemak.Alin kembali melihat ekspresi Tian. Dan kalian tahu? Raut wajah itu tetap masih sama, datar."Cih! Kalau tidak boleh ya sudah." Alin melangkah lesu melewati Tian begitu saja. Setiap anak tangga yang ia injak, mulutnya tak henti mengomel.Ia sesekali melirik ke belakang dan kembali mengomel.Tian tersenyum tipis melihat kelakuan Alin. Ia melangkah turun le