Langit sudah semakin gelap. Namun berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini bintang tak menampakan dirinya satupun. Bulan pun enggan untuk menyapa. Yang terlihat hanyalah awan hitam yang berkelompok-kelompok. Seolah sebentar lagi akan turun hujan lebat.
Walaupun malam sudah cukup larut, Alin masih enggan untuk tertidur. Ia masih kesulitan memejamkan matanya. Dalam benaknya sangat dipenuhi dengan masalah yang sama, yaitu hutang kedua orang tuanya dan masa depannya.Dari rentang waktu yang Tian berikan, hanya tersisa satu hari lagi untuknya berjuang, sedangkan uang dua milyar itu belum ia dapatkan sama sekali.Di mana ia bisa dapat uang sebanyak itu. Ia bahkan sudah mencoba meminjam uang pada Ruli, namun masih tak cukup. Zaki pun baru mengumpulkan sebanyak lima ratus juta.Setiap hari, ia selalu dicerca dengan pertanyaan yang sama dari orang tuanya, yaitu 'apa uangnya sudah ada?'. Sungguh, ia nyaris gila. Orang tuanya yang berhutang, tapi justru dirinyalah yang disengsarakan.Ia tak percaya dengan takdir yang ada padanya saat ini. Seperti ditertawakan oleh waktu. Ia tak diberi kebahagiaan sama sekali dari orang tuanya. Dari kecil ia dibanding-bandingkan dengan kakaknya, bahkan sampai ia besar seperti sekarang ini, bukannya kebahagiaan yang ia dapatkan, melainkan kabar buruk tentang masa depannya.Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang menanggung semuanya.Alin mengusap wajahnya kasar. Ia melirik jam kecil yang ada di meja nakas samping tempat tidurnya.Tengah malam lewat dua puluh lima menit.Hebat bukan? Alin bukan tipe makhluk Tuhan yang suka bergadang. Namun entah kenapa hampir satu minggu ini, ia selalu susah tidur.Alin menyibakkan selimut yang ia kenakan lalu duduk di tepian tempat tidurnya. Ia menghela nafas panjang.Alin berdiri dari sana dan berjalan menuju jendela kamarnya yang posisinya berada di lantai dua. Ia membuka pintu jendela tersebut yang langsung membawanya menuju balkon. Dari atas balkon, Alin bisa melihat halaman rumahnya yang cukup luas dan jalanan yang sudah tak terlalu ramai lagi. Hanya ada satu satu kendaraan yang berlalu lalang. Itu pun kebanyakan kendaraan roda empat.Alin mengusap lengannya yang terasa semakin dingin."Bahkan bintang pun enggan menemanimu malam ini Alin." ucapnya menertawai dirinya sendiri.Ingin rasanya ia kabur dari rumah ini dan pergi kemanapun ia suka. Tapi nasib orangtuanya bagaimana jika ia melakukan hal tersebut.Semoga esok akan ada jawabannya.*****"Kau sudah kembali menghubungi mereka?" Tian membolak-balik sebuah buku tebal yang ia baca. Di telinganya terpasang earphone bluetooth yang ia gunakan untuk menghubungi seseorang di seberang sana."...""Lalu?""...""Baiklah. Kau terus desak mereka. Tak ada tenggang waktu lagi. Jika mereka tak sanggup membayar, mereka harus menerima konsekuensi yang tertulis.""...""Baiklah. Aku tak perlu menyibukkan diriku untuk hal ini bukan? Kuserahkan semuanya padamu dan nanti malam, kita datang lagi ke rumah dua manusia bodoh itu. Jangan lupakan perjanjiannya."Tian melepas earphone tersebut dan meletakkannya di atas meja.Ia kembali membaca buku yang sedari tadi ia buka di hadapannya sampai suara ketukan menghentikannya kembali."Masuk!" perintah Tian dari dalam.Tak lama setelahnya pintu ruang kerja itupun terbuka dan yang masuk lebih dulu adalah anak buahnya."Ada apa?" tanya Tian. Pria itu melipat bukunya dan meletakkan di atas meja begitu saja."Ada yang ingin bertemu dengan anda, bos." jawabnya."Suruh masuk."Pria itu pun mengangguk lalu kembali ke luar. Tak berapa lama, seorang pria masuk ke dalam ruangan Tian. Tian tak mengenal pria tersebut sama sekali."Kau siapa?" tanya Tian masih tenang."Saya Zaki. Saya ke sini bukan untuk berbasa-basi. Saya hanya ingin mengatakan sebaiknya kau rubah perjanjian sialan mu itu untuk Alin. Gadis itu tak bersalah."Tian mengangkat sebelah alisnya sembari menatap pada Zaki."Apa kau kekasih dari gadis itu?""Saya tak perlu memberitahukan pada anda siapa saya bagi Alin. Yang jelas, hutang itu tak ada hubungannya dengan Alin.""Itu bukan urusanmu.""Akan jadi urusan saya jika itu menyangkut dengan Alin.!"Tian menatap tajam Zaki. Begitu pun pria tersebut.Tian berdiri lalu bertepuk tangan, Sungguh ini dunia lucu. Drama apalagi ini? Setelah drama orang tua yang menjadikan anaknya penjamin, kini drama seorang kekasih yang tak ingin gadisnya dirampas?."Kau tenang saja. Kekasihmu tak akan kuterkam." ucap Tian dengan smirk andalannya, yang tentu saja akan membuat lawannya tersulut emosi."Brengsek kau!" teriak Zaki. Ia ingin memukul Tian, namun anak buah Tian langsung menghantam kaki Zaki membuat pria itu seketika tersungkur.Tian berjongkok lalu menarik rambut Zaki ke belakang, "Kau tak akan bisa menghalangiku, kecuali kau membayar semua hutang orangtua dari kekasihmu itu padaku." Dengan cukup kasar, Tian melepaskan genggamannya dari rambut Tian.Pria yang tadi menghantam kaki Zaki langsung menarik Zaki keluar dari ruangan Tian. Walaupun Zaki memberontak, namun usahanya sia-sia saja sampai ia dilempar keluar dari rumah Tian."Jangan pernah ke sini lagi!" bentak pria yang melempar Zaki tadi.Zaki meringis karena hantaman di bagian kakinya tadi. Walaupun terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya.Sementara di dalam, Tian mengumpat kasar karena ada yang ikut campur dengan urusannya."Kau selidiki pria tadi. Apa hubungannya dengan Alin. Aku tak ingin ketenanganku nanti diusik." ucap Tian pada anak buahnya.Ia meremas ponselnya dengan kuat.*****"Kenapa harus Alin?" suasana ruang keluarga di rumah Alin mendadak sunyi kembali. Setelah sebelumnya tadi ada sedikit tawa di sana dari mamanya Alin karena baru saja menghubungi anak perempuan pertamanya yang sedang belajar di luar negeri."Kenapa harus Alin ma, pa? Kenapa bukan kak Diana?"Papanya Alin berdehem. Ia melirik istrinya sejenak lalu kembali menatap Alin."Alin, mama bukannya nggak mau melibatkan kak Diana. Tapi kamu tahu kan kak Diana sekarang sedang kuliah, dan satu tahun lagi akan wisuda."Alin mencelos. Dadanya terasa perih mendengar jawaban mamanya. Apa seburuk itu dirinya? Sampai sampai mamanya sendiri lebih memilih menjualnya dari pada kakaknya. Apa kehadirannya sungguh tak berharga?."Lalu bagaimana dengan masa depan Alin? Apa kalian tak memikirkannya?"Sepasang suami istri itu saling tatap. Mamanya Alin langsung berdiri mendekati sang anak, namun Alin justru mundur beberapa langkah."Apa setidak berharga itu Alin di mata mama sama papa. Apa seburuk itu Alin bagi kalian? Apa yang sudah Alin perbuat sampai-sampai kalian tega perlakukan ini pada Alin." Alin merasakan cairan hangat itu mengalir dari matanya membasahi pipinya."Alin, dengarkan mama dulu. Mama sama papa--""Sejak kecil Alin selalu dibanding-bandingkan dengan kakak. Kakak yang selalu sempurna di mata kalian. Dan Alin yang paling buruk. Jika memang sepeti itu, kenapa bukan kak Diana yang kalian jual? Kenapa harus Alin? Biarkan berharga kalian itu yang menyelamatkan kalian. Jangan jual Alin! Jangan jadikan Alin pelacur!!"PLAAK!Alin menyentuh pipinya yang memanas karena baru saja ditampar oleh mamanya sendiri."Kamu jangan lancang mengatai kami seperti itu Alin. Dari kecil kamu kamu didik dan jaga, apa seperti ini balasanmu pada kami? Apa kamu bisa mengganti semua yang sudah kami berikan? Jadi jangan pernah mengatai kami seperti itu."Alin tertawa sinis. Ia menatap mamanya, "Jadi kalian minta Alin balas semua yang sudah kalian beri? Haaaa, atau karena itu kalian jadikan Alin tumbal dari semua hutang kalian?" Alin bertepuk tangan takjub, "Baiklah. Jika itu yang kalian mau."*****Alin membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia tak peduli pintu itu akan hancur. Ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin."KALIAN MINTA AKU MENGEMBALIKAN SEMUANYA BUKAN? BAIKLAH! AKAN KU TURUTI. TAPI SETELAH INI, JANGAN HARAP AKU AKAN LUNAK!!!" Alin berteriak keras seperti orang kesetanan. Ia hanya ingin melepaskan sesak di hatinya. Semua kekecewaan yang selama ini ia rasakan dan berakhir dengan puncak yang sudah meledak.Ia tahu bagaimana akhir dari masa depannya. Karena besok adalah hari penentuan. Sedangkan uang itu belum ia dapatkan. Ia sudah meminjam ke sana ke mari. Menemui satu per satu teman-temannya dulu. Namun sikap mereka seperti tak mengenalnya. Adapun yang sudah berhasil, namun mendadak menjadi manusia paling miskin di dunia. Apalagi saat ia mendengar kalimat dari mamamya tadi. Ia semakin tak ada semangat lagi untuk mendapatkan uang sebanyak itu.Pasrah? Memang itu yang akan ia lakukan. Menanti hari esok dengan perasaan campur aduk.Ia sudah tak peduli lagi de
Alin menatap lurus keluar jendela mobil. Sejak keluar dari rumahnya tadi, Alin tak bicara sedikitpun. Bahkan Tian yang mengendarai mobil, selalu melirik dari spion yang ada di atas kepalanya."Kau ingin puasa bicara?" tanya Tian pada Alin. Sedikit melirik dari sudut matanya, Alin tersenyum simpul namun sinis."Bukan urusanmu." jawabnya."Memang bukan urusanku. Tapi aku membenci suasana hening seperti kuburan.""Nyalakan saja musik di mobilmu.""Aku bukan musisi." Jawab Tian kesal. Suasana kembali hening. Ia kembali melirik Alin dari kaca spion yang ada di atas kepalanya dan lagi-lagi gadis itu hanya diam, sembari melihat keluar jendela.Tian menghela nafas kasar. Baginya, menghadapi gadis seperti Alin itu tidaklah sulit. Namun memang butuh proses sampai Alin bisa berbaur dengannya.Tian jahat? Tidak sama sekali. Ia hanya sedikit kaku dan memang sedikit bermulut tajam. Namun 'sedikit' itu, berhasil membuat asisten pribadi Tian tak pernah betah berada di samping pria tersebut.Sebenarn
"Harus mengikuti semua perintah tuan rumah. Bangun jam 04.00 subuh untuk menyiapkan sarapan pagi? kenapa terlalu cepat?" protes Alin saat ia membaca tulisan yang ada dalam selembar kertas yang diberikan oleh Tian padanya tadi. "Sudah kubilang jangan protes!" Alin lagi-lagi mendengus kesal. ia kembali menatap tulisan yang ada dalam kertas tersebut. "Tak bisa mengkonsumsi ayam broiler, udang dan kepiting. Ckckck seleramu sungguh tak menyenangkan."Alin kembali melanjutkan isi kertas tersebut. Setelah ia memahaminya, ia pun kembali menyerahkan kertas tersebut pada Tian."Hanya ini?" tanya Alin namun Tian langsung menggeleng. "kau tahu, ini perjanjian untuk asistenku terdahulu.""Terdahulu? apa bedanya denganku?" "Kau tak boleh lupa, kalau keberadaanmu di sini statusnya berbeda. Akan ada poin tambahan yang nanti harus kau tandatangani.""Kau memaksaku kerja rodi?""Anggap saja begitu." jawab Tian, "tapi satu hal yang paling penting, selama kau berada di sini, jangan pernah masuk ke da
Sudah hampir setengah jam Tian menatap nasi goreng yang tadi ia bawa masuk ke kamarnya. Minatnya untuk menyantap nasi goreng tersebut belum ada sama sekali, walaupun ia tahu rasanya pasti akan mengecewakan, tapi entah kenapa ia tak mau menyentuhnya.Tian berbaring di atas ranjangnya. Ia menatap langit langit kamar yang temaram. Hatinya seketika sakit saat mengingat kenapa ia membenci makanan tersebut.****Dua puluh tahun yang lalu.Praaakk!"Kamu bisa masak tidak?" Pria paruh baya bernama Andi itu baru saja membanting piring berisi nasi goreng yang tadi dihidangkan oleh istrinya.Di samping Andi, anak laki-laki semata wayangnya juga duduk bersama dan melihat semua kejadian yang baru saja terjadi.Anak itu adalah Tian saat kecil. Tian menatap ibunya yang menangis sesegukan. Hatinya marah dan murka melihat perlakuan kasar ayahnya."Maaf mas. Hanya ini yang bisa aku hidangkan sekarang. Kita--""Alah! Banyak alasan kamu. Kenapa kamu nggak minta uang pada keluargamu yang kaya raya itu?
"Aku membawamu ke sini bukan untuk memecahkan semua barang-barang ku." Alin terkejut saat Tian tiba-tiba muncul di hadapannya saat ia sedang membersihkan pecahan kaca dari gelas yang tadi ia pakai.Alin mendadak kikuk. Ia sungguh tak sengaja. "Aku tak sengaja melakukannya." Ucapnya tertunduk."Tentu saja kau tak sengaja. Jika kau sengaja, sudah ku pastikan kau untuk menggantinya. Kau tahu berapa harga gelas yang tadi kau pecahkan?" Alin menggeleng. "Gelas itu seharga iPhone keluaran terbaru.""Ha? Gelas kaca bening ginian doang, seharga iPhone?" Tian mengangguk. "Kau tak percaya?"Alin langsung menggeleng yakin. Ia tak percaya gelas kecil ini harganya semahal itu. Di balik ketidak yakinkan Alin, Tian justru tertawa dalam hatinya. Ia menertawakan wajah bodoh Alin. Mana ada gelas seperti itu belinya seharga iPhone."Pintar. Aku pikir kau bodoh. ternyata tidak." Lanjut Tian membuat Alin seketika mengumpat kasar dalam hatinya."Cepat kau bereskan dan sekali lagi kau pecahkan peralatan
Alin menenangkan hatinya terlebih dahulu. Ia tak ingin masak dengan suasana hati yang buruk. Karena ia yakin itu akan mempengaruhi rasa dari masakannya sendiri.Setelah dirasa tenang, ia pun mulai mengeluarkan beberapa bahan yang ada di dalam lemari pendingin dan mulai menyianginya satu persatu. Alin menghela nafas panjang untuk melegakan suasana hatinya. Melihat situasi tadi pagi, Alin tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti untuk kedepannya. Seketika ia menyesal mengiyakan untuk menjadi penjamin penebus hutang-hutang keluarganya. jika dulu ia menolak, mungkin ia masih bisa bebas saat ini.Dan jika bicara tentang orang tuanya yang akan dipenjara jika hutang itu tak bisa dilunasi, jujur itu bukan urusannya. Karena selama ini ia sendiri juga tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari mereka. Bahkan ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Tapi nasi sudah jadi bubur. penyesalan memang datang di akhir. ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi dan yang bisa ia lakuka
Zaki kembali mengumpat kasar. Sudah dua Minggu ia putus kontak dengan Alin. Ia bahkan nyaris putus asa. Saat ia ingin mengikuti pria sialan itu, pasti ada saja yang menghalanginya. ia tahu dimana rumah Tian, namun tak pernah bisa masuk pagi semenjak insiden ia menerobos masuk ke dalam sana.Zaki meraih ponselnya lagi dan mencoba untuk kesekian kalinya menghubungi Alin. Berharap untuk kali ini ada titik terang dimana Alin disembunyikan oleh si brengsek itu."BRENGSEK!!" Umpatnya keras. Ia membanting ponselnya dengan sangat keras, membuat benda tersebut terbelah beberapa bagian."Dimana lagi aku harus cari kamu Alin!" Keluhnya lirih. Ia sungguh kehilangan akal sehatnya. *****Dua Minggu sudah ia berada di kediaman Tian menjadi 'tawanan' pria tersebut. Namun tak seperti tawanan biasanya, ia justru bisa bebas di rumah sebesar ini. Asal ia tak keluar, posisinya sudah aman.Sudah 1 jam yang lalu Tian berangkat ke kantor. Entah di mana pria itu bekerja, Alin sangat tidak mempedulikannya. K
Tian terbangun dari tidurnya. Kerongkongannya mendadak kering dan ia butuh air. Ia melirik ke arah jam yang terpanjang di dinding kamarnya. Jarum jam masih menunjukkan pukul satu malam.Tian menyibak selimut tebal yang ia kenakan dan turun dari tempat tidurnya. Ia memutuskan untuk ke dapur saja, karena persediaan air dalam kamarnya pun sudah habis.Baru saja ia membuka pintu kamarnya, ia dibuat terkejut karena mendengar suara krasak krusuk dari arah dapur.Tian yang memang selalu parno dengan hal mistis membuat bulu kuduknya seketika meremang.Secara perlahan, ia mencoba turun ke bawah dan melihat siapa yang ada di dapur.Di hadapannya, ia bisa melihat seseorang yang membelakangi nya. Seperti perempuan namun dengan pakaian yang, haaah. Sangat minim.Tian memperhatikan kaki perempuan itu. Kakinya menapak lantai. Itu artinya, yang dihadapannya ini pastilah manusia."Apa yang kau lakukan malam-malam begini?"Gadis itu terkejut dan langsung memutar tubuhnya ke belakang."Sudah ku duga."