Alin menatap lurus keluar jendela mobil. Sejak keluar dari rumahnya tadi, Alin tak bicara sedikitpun. Bahkan Tian yang mengendarai mobil, selalu melirik dari spion yang ada di atas kepalanya.
"Kau ingin puasa bicara?" tanya Tian pada Alin. Sedikit melirik dari sudut matanya, Alin tersenyum simpul namun sinis."Bukan urusanmu." jawabnya."Memang bukan urusanku. Tapi aku membenci suasana hening seperti kuburan.""Nyalakan saja musik di mobilmu.""Aku bukan musisi." Jawab Tian kesal.Suasana kembali hening. Ia kembali melirik Alin dari kaca spion yang ada di atas kepalanya dan lagi-lagi gadis itu hanya diam, sembari melihat keluar jendela.Tian menghela nafas kasar. Baginya, menghadapi gadis seperti Alin itu tidaklah sulit. Namun memang butuh proses sampai Alin bisa berbaur dengannya.Tian jahat? Tidak sama sekali. Ia hanya sedikit kaku dan memang sedikit bermulut tajam. Namun 'sedikit' itu, berhasil membuat asisten pribadi Tian tak pernah betah berada di samping pria tersebut.Sebenarnya alasan Tian seperti itu hanya ingin membentengi diri. Ia terlalu sibuk hanya sekedar untuk mengurusi dirinya sendiri, salah satunya ya seperti makanan atau lebih luasnya adalah kebutuhan sehari-harinya.Ia butuh seorang manusia yang mampu melakukan pekerjaan tersebut dengan baik. Dan seperti asisten pribadinya sebelum ini, pekerjaan Alin setelah nanti sampai di rumahnya, yaitu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh asisten-asistennya terdahulu.Di mana ia berada, di situ harus ada asistennya. Bahkan hanya untuk menemaninya membaca buku di ruang kerjanya saja pun, asistennya tersebut harus ikut, dan tentu saja penerus selanjutnya adalah Alin.Jika orang lain menilai, mungkin ia akan dicap sebagai manusia yang tak punya kerjaan ataupun manusia 'garing'. Namun Tian tak mempedulikan semua itu lantaran ia sendiri merasa mampu menggaji asistennya dengan cukup tinggi.Bicara soal gaji Tian seketika teringat posisi Alin saat ini yang menjadi asisten pribadinya. Tian sedikit berdehem untuk mencairkan suasana yang nampak kaku."Saat kau bekerja denganku nanti, aku tak ingin mendengar kau merengek tentang gajimu. asalkan kau tahu, keberadaanmu di sini adalah semata-mata untuk melunasi hutang kedua orang tuamu."Alin berdecak, "tak perlu kau ingatkan! aku tak bodoh dan tak juga pikun!""Baguslah kalau kau paham." Alin hanya bergumam menjawab ucapan Tian.setelahnya suasana kembali sunyi dan itu cukup membuat Tian frustasi. ia benci didiamkan seperti ini. selama ia hidup, tak ada yang berani melakukan itu padanya. Hanya dirinya yang boleh melakukan itu pada asisten pribadinya.Sepertinya, harus ada sedikit perjanjian kontrak untuk gadis tersebut. Setidaknya selama Alin menjadi asistennya nanti.×××××Perjalanan yang singkat namun terasa begitu lama bagi Alin itu akhirnya berakhir. Mobil yang di kendarai Tian masuk ke dalam sebuah pekarangan rumah yang begitu besar dan memiliki halaman yang luas.Saat turun dari mobil, Alin dibuat melongo takjub. Ia rasa rumah di hadapannya ini setara dengan rumah sultan Andara. Tak ada yang tak tahu siapa itu Sultan Andara. Bahkan namanya selalu disandingkan dengan kemewahan.Tian menatap wajah bodoh Alin. "Aku tahu kau miskin. Tapi jangan terlalu kau perjelas."Alin mencelos mendengar 'pujian' Tian pada dirinya. Sungguh, ini rasanya ia menghajar pria di depannya ini.Ia tak bisa membalas Tian. Alhasil Alin hanya menggerutu kesal sambil mendumal pelan.Iya menatap Tian yang sudah lebih dulu berjalan masuk ke dalam. Dengan sedikit ragu dan canggung, Alin pun mengekor di belakang pria tersebut. Ia hanya berjarak satu meter dari Tian.Saat pintu utama dibuka, Alin kembali dibuat melongo takjub seperti gadis bodoh.Interior dalam rumah ini bukan interior kaleng-kaleng. Ia tahu harga barang-barang ini sangat mahal.Alin teringat sesuatu. Ia menghentikan langkahnya dan menatap Tian penuh curiga.Sadar Alin tak mengikutinya, Tian pun menghentikan langkahnya.Ia berkacak pinggang melihat Alin yang menyilangkan tangannya ke dada."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya.Alin masih menatap Tian dengan tatapan penuh curiga, "Kau! Apa kau bekerja sebagai penjual perawan?"Tian langsung tersedak mendengar tuduhan Alin padanya. "Kau gila?" Bentak Tian."Kau yang gila. Apa pekerjaanmu? Tak mungkin kau bisa punya rumah sebesar ini dengan interior mahal seperti itu. Pasti ada yang kau sembunyikan, benarkan?""Atau jangan-jangan kau!""Jangan-jangan apa? Kau mau menuduhku apa sekarang?"Alin menatap tajam ke arah Tian, "Kau mafia penjual organ manusia?"Kali ini Tian tak tahan lagi. Ia berjalan mendekati Alin dan langsung memukul kepala gadis tersebut walaupun pukulan itu termasuk pelan."Kau mabuk? Atau urat di otakmu putus satu?" Tanya Tian dengan nada kesal."Ya siapa tahu saja. Kalau memang itu pekerjaanmu, nyawaku--"Tak!"Awww. Kenapa kau selalu memukulku!!!?" Bentaknya."Untung kepalamu yang ku pukul. Biasanya kasus tuduhan seperti ini, aku langsung menembak mati si penuduh."Alin langsung diam. Ia menutup mulutnya rapat-rapat."Mau menuduhku lagi?"Dengan cepat Alin menggeleng. Sebisa mungkin ia mencoba untuk tersenyum dengan bibir yang masih tertutup rapat.Tian mendengus kesal. Ia lalu melanjutkan perjalannya menuju lantai dua. Alin masih mengekor di belakang"Ini kamarmu. Dan ini kamarku." Tian menunjuk kamar yang ada di sebelah kirinya sebagai kamar pribadi Tian.Alin mengangguk. Ia lalu berjalan perlahan masuk ke kamar yang ada di sebelah kanan Tian. Namun baru tiga langkah ia berjalan, Tian langsung menarik kerah belakang baju Alin membuat Alin mundur kembali."Kau silahkan susun barang-barang mu di dalam. Aku memberimu waktu seperempat jam. Setelah itu temui aku di sana." Tian menunjuk lantai satu tepatnya di ruang santai.Alin mengikuti arah tunjuk Tian. Di ruang santai tersebut ada televisi yang cukup besar."Kau paham?"Alin mengangguk. Setelahnya Tian langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri. Sedangkan Alin yang sedari tadi mencoba menahan nafas, langsung melepaskan nafas panjang."Dasar pria gila! Pria sombong. Angkuh. Sok ganteng. Kau pikir kau siapa berani memerintah ku? Asal kau tahu ya, aku ini anak gadis yang--"Ceklek!Alin terdiam seketika saat pintu kamar yang tadi ia jampi jampi dengan kata umpatan, terbuka dan memunculkan sosok Tian."Kenapa kau masih di sini?""Oh! Itu. Aku--aku sedang--sedang melirik furniture di sini. Iya. Mewah-mewah ya. Kau hebat mencari uang." Puji Alin yang sebenarnya tak ikhlas ia ucapkan. "Ya sudah. Aku masuk dulu ke dalam. Hehehe. Aku masuk. Ya. Aku--" Alin langsung berjalan kencang dan membuka pintu kamar yang akan ia tempati, masuk ke dalam dan menutupnya kembali.Tian menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Alin."Sudah kukatakan jangan diperjelas kalau kau miskin." Ucap Tian dengan nada sedikit keras membuat Alin yang ada di dalam bisa mendengarnya dengan jelas. Tentu saja gadis itu tak terima dikatai lagi dengan sebutan miskin. Namun apa boleh buat. Di sini ia memang tak punya apa-apa."Dasar pria bemulut ular. Berbisa sekali mulutmu." Ucap Alin mendumal.Sejauh ini, ia tak melihat Tian itu arogan. Itu jika dilihat dari segi kelakuan ya. Tapi tidak dengan mulut pria tersebut. Sungguh arogan sekali. Seperti apa hidupnya nanti di sini. Ia sungguh penasaran.*****"Harus mengikuti semua perintah tuan rumah. Bangun jam 04.00 subuh untuk menyiapkan sarapan pagi? kenapa terlalu cepat?" protes Alin saat ia membaca tulisan yang ada dalam selembar kertas yang diberikan oleh Tian padanya tadi. "Sudah kubilang jangan protes!" Alin lagi-lagi mendengus kesal. ia kembali menatap tulisan yang ada dalam kertas tersebut. "Tak bisa mengkonsumsi ayam broiler, udang dan kepiting. Ckckck seleramu sungguh tak menyenangkan."Alin kembali melanjutkan isi kertas tersebut. Setelah ia memahaminya, ia pun kembali menyerahkan kertas tersebut pada Tian."Hanya ini?" tanya Alin namun Tian langsung menggeleng. "kau tahu, ini perjanjian untuk asistenku terdahulu.""Terdahulu? apa bedanya denganku?" "Kau tak boleh lupa, kalau keberadaanmu di sini statusnya berbeda. Akan ada poin tambahan yang nanti harus kau tandatangani.""Kau memaksaku kerja rodi?""Anggap saja begitu." jawab Tian, "tapi satu hal yang paling penting, selama kau berada di sini, jangan pernah masuk ke da
Sudah hampir setengah jam Tian menatap nasi goreng yang tadi ia bawa masuk ke kamarnya. Minatnya untuk menyantap nasi goreng tersebut belum ada sama sekali, walaupun ia tahu rasanya pasti akan mengecewakan, tapi entah kenapa ia tak mau menyentuhnya.Tian berbaring di atas ranjangnya. Ia menatap langit langit kamar yang temaram. Hatinya seketika sakit saat mengingat kenapa ia membenci makanan tersebut.****Dua puluh tahun yang lalu.Praaakk!"Kamu bisa masak tidak?" Pria paruh baya bernama Andi itu baru saja membanting piring berisi nasi goreng yang tadi dihidangkan oleh istrinya.Di samping Andi, anak laki-laki semata wayangnya juga duduk bersama dan melihat semua kejadian yang baru saja terjadi.Anak itu adalah Tian saat kecil. Tian menatap ibunya yang menangis sesegukan. Hatinya marah dan murka melihat perlakuan kasar ayahnya."Maaf mas. Hanya ini yang bisa aku hidangkan sekarang. Kita--""Alah! Banyak alasan kamu. Kenapa kamu nggak minta uang pada keluargamu yang kaya raya itu?
"Aku membawamu ke sini bukan untuk memecahkan semua barang-barang ku." Alin terkejut saat Tian tiba-tiba muncul di hadapannya saat ia sedang membersihkan pecahan kaca dari gelas yang tadi ia pakai.Alin mendadak kikuk. Ia sungguh tak sengaja. "Aku tak sengaja melakukannya." Ucapnya tertunduk."Tentu saja kau tak sengaja. Jika kau sengaja, sudah ku pastikan kau untuk menggantinya. Kau tahu berapa harga gelas yang tadi kau pecahkan?" Alin menggeleng. "Gelas itu seharga iPhone keluaran terbaru.""Ha? Gelas kaca bening ginian doang, seharga iPhone?" Tian mengangguk. "Kau tak percaya?"Alin langsung menggeleng yakin. Ia tak percaya gelas kecil ini harganya semahal itu. Di balik ketidak yakinkan Alin, Tian justru tertawa dalam hatinya. Ia menertawakan wajah bodoh Alin. Mana ada gelas seperti itu belinya seharga iPhone."Pintar. Aku pikir kau bodoh. ternyata tidak." Lanjut Tian membuat Alin seketika mengumpat kasar dalam hatinya."Cepat kau bereskan dan sekali lagi kau pecahkan peralatan
Alin menenangkan hatinya terlebih dahulu. Ia tak ingin masak dengan suasana hati yang buruk. Karena ia yakin itu akan mempengaruhi rasa dari masakannya sendiri.Setelah dirasa tenang, ia pun mulai mengeluarkan beberapa bahan yang ada di dalam lemari pendingin dan mulai menyianginya satu persatu. Alin menghela nafas panjang untuk melegakan suasana hatinya. Melihat situasi tadi pagi, Alin tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti untuk kedepannya. Seketika ia menyesal mengiyakan untuk menjadi penjamin penebus hutang-hutang keluarganya. jika dulu ia menolak, mungkin ia masih bisa bebas saat ini.Dan jika bicara tentang orang tuanya yang akan dipenjara jika hutang itu tak bisa dilunasi, jujur itu bukan urusannya. Karena selama ini ia sendiri juga tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari mereka. Bahkan ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Tapi nasi sudah jadi bubur. penyesalan memang datang di akhir. ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi dan yang bisa ia lakuka
Zaki kembali mengumpat kasar. Sudah dua Minggu ia putus kontak dengan Alin. Ia bahkan nyaris putus asa. Saat ia ingin mengikuti pria sialan itu, pasti ada saja yang menghalanginya. ia tahu dimana rumah Tian, namun tak pernah bisa masuk pagi semenjak insiden ia menerobos masuk ke dalam sana.Zaki meraih ponselnya lagi dan mencoba untuk kesekian kalinya menghubungi Alin. Berharap untuk kali ini ada titik terang dimana Alin disembunyikan oleh si brengsek itu."BRENGSEK!!" Umpatnya keras. Ia membanting ponselnya dengan sangat keras, membuat benda tersebut terbelah beberapa bagian."Dimana lagi aku harus cari kamu Alin!" Keluhnya lirih. Ia sungguh kehilangan akal sehatnya. *****Dua Minggu sudah ia berada di kediaman Tian menjadi 'tawanan' pria tersebut. Namun tak seperti tawanan biasanya, ia justru bisa bebas di rumah sebesar ini. Asal ia tak keluar, posisinya sudah aman.Sudah 1 jam yang lalu Tian berangkat ke kantor. Entah di mana pria itu bekerja, Alin sangat tidak mempedulikannya. K
Tian terbangun dari tidurnya. Kerongkongannya mendadak kering dan ia butuh air. Ia melirik ke arah jam yang terpanjang di dinding kamarnya. Jarum jam masih menunjukkan pukul satu malam.Tian menyibak selimut tebal yang ia kenakan dan turun dari tempat tidurnya. Ia memutuskan untuk ke dapur saja, karena persediaan air dalam kamarnya pun sudah habis.Baru saja ia membuka pintu kamarnya, ia dibuat terkejut karena mendengar suara krasak krusuk dari arah dapur.Tian yang memang selalu parno dengan hal mistis membuat bulu kuduknya seketika meremang.Secara perlahan, ia mencoba turun ke bawah dan melihat siapa yang ada di dapur.Di hadapannya, ia bisa melihat seseorang yang membelakangi nya. Seperti perempuan namun dengan pakaian yang, haaah. Sangat minim.Tian memperhatikan kaki perempuan itu. Kakinya menapak lantai. Itu artinya, yang dihadapannya ini pastilah manusia."Apa yang kau lakukan malam-malam begini?"Gadis itu terkejut dan langsung memutar tubuhnya ke belakang."Sudah ku duga."
Alin keluar dari kamarnya saat ia mendengar suara pintu kamar Tian terbuka."Kau mau ke mana?" Tanya Alin cepat.Tian menatap dengan tenang, "Bukan urusanmu."Tersenyum tipis, Alin melangkah mendekati Tian. "Apa libur begini kau tak ada niatan keluar?" Tanya Alin sedikit ragu. Namun melihat reaksi Tian membuatnya cemberut, "Aku bosan di rumah." Rengeknya kemudian. "Kau biasanya akan menghabiskan cemilanku diwaktu senggang. Jadi lakukan itu.""Tidak. Kau lihat badanku? Aku semakin gemuk di sini. Kau lihat ini lenganku? Ya Tuhan, apa ini. Kenapa banyak sekali gelambirnya." Alin memperlihatkan lengannya yang hanya diisi sedikit lemak.Alin kembali melihat ekspresi Tian. Dan kalian tahu? Raut wajah itu tetap masih sama, datar."Cih! Kalau tidak boleh ya sudah." Alin melangkah lesu melewati Tian begitu saja. Setiap anak tangga yang ia injak, mulutnya tak henti mengomel.Ia sesekali melirik ke belakang dan kembali mengomel.Tian tersenyum tipis melihat kelakuan Alin. Ia melangkah turun le
"Alin." Alin terlonjak kaget saat tubuhnya tiba-tiba dipeluk oleh seseorang. Dengan cepat Alin melepaskan pelukan itu dan melihat siapa pelakunya."Delon, kau?" "Hehehe. Jangan marah. Aku hanya bercanda." Pria itu lalu mencomot gorengan yang baru saja Alin masak. "Mana Tian?" Tanyanya.Alin yang masih kesal, hanya menjawab seadanya saja, "Kamar." Ucapnya."Jangan marah. Aku bercanda, Alin.""Tapi bercandanya keterlaluan. Nanti kalau aku kena minyak panas bagaimana?""Buktinya nggak kan.""Kau--"Delon langsung berlari menuju kamar Tian saat Alin ingin melayangkan spatula padanya.Setibanya di kamar Tian, Delon melihat Tian sedang santai membaca sesuatu di atas tempat tidur."Sibuk bro?" Ucapnya sambil mengintip."Kapan kau tiba?""Baru saja. Asistenmu itu lucu." Tian menyipit, "Alin?""Siapa lagi. Asistenmu saat ini hanya satu.""Kenapa dia?""Aku memeluknya tadi di bawah, tapi dia heboh bukan main. Padahal aku hanya memeluknya sebentar."Tian mengehentikan kegiatan membacanya. Ia t