Pagi ini Alin dibuat tak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan ia sudah melakukan beberapa kesalahan yang membuatnya harus dipanggil keruangan manajer.
Ia menghela nafas panjang. Cukup lama Alin berdiri di depan pintu ruangan Zaki sebelum akhirnya ia mengetuk pintu tersebut.Alin membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam.Alin tak banyak bicara setelah ia masuk ke dalam. Ia lebih memilih langsung duduk di kursi yang ada di depan meja Zaki.Zaki yang sedari tadi fokus melihat Alin, langsung bertanya pada gadis tersebut."Kau kenapa?" tanyanya.Bukannya menjawab, Alin justru mengacak rambutnya kesal membuat rambut yang tadi terikat rapi menjadi tak berbentuk."Dasar pria brengsek!" umpat Alin kesal namun sedetik kemudian ia menangis meraung seperti gadis yang baru saja diputus cinta.Zaki yang melihatnya hanya bisa meringis bingung. Alin nyaris seperti gadis gila kehilangan akal."Apa kau putus cinta?" tebak Zaki yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alin."Putus masa depan!" jawab Alin ketus. Ia menundukkan kepalanya ke atas meja. Suara helaan nafas panjang terdengar cukup keras, namun setelahnya, Zaki dikejutkan dengan suara isakan Alin.Pria itu langsung berdiri dan menghampiri Alin. Ia berjongkok mensejajarkan dirinya pada karyawannya tersebut, "Kau kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Zaki mulai cemas. Pasalnya tak biasanya Alin seperti ini. Alin terkenal sebagai gadis yang periang di lingkungan cafe, jadi cukup aneh baginya melihat Alin yang tiba-tiba marah lalu menangis seperti ini."Kau punya uang dua milyar?" tanya Alin tiba-tiba membuat isi kepala Zaki mendadak kosong.Alin melirik Zaki yang diam misterius."Hei!" teriaknya pada manajernya tersebut. Zaki terlonjak kaget, "Kenapa kau diam?""Apa kepalamu baru saja terbentur? Atau kau sedang demam?" Zaki menyentuh kening Alin dengan tangannya dan tak ada panas sedikitpun. Suhu tubuh gadis tersebut sangat normal."Ck! Aku sehat. Aku tak gila.""Lalu untuk apa kau tanyakan uang dua milyar? Kau kalah judi?""Ya. Kalah tender. Kau tahu tender? Dan itu membuatku gila!" kesalnya.Zaki berdiri dari jongkoknya. Ia melipat tangannya ke arah dada, "Tender? Tender apa? Kau ikut apa sampai kau kalah tender?"Alin menengadah menatap Zaki. Dengan masih sesekali terisak, "Papaku." jawabnya, "Dia meminjam uang pada seorang pria kaya raya namun licik. Dan sekarang, mereka tak sanggup membayarnya.""Lalu? Kenapa kau yang harus mencarikan uang itu? Harusnya itu jadi tanggung jawab mereka.""Betul. Aku akan diam jika bukan aku yang mereka jadikan penebusnya."Mendengar itu, Zaki langsung terkejut bukan main. Ia mencoba menajamkan kembali pendengarannya."Maksudmu? Penebus apa?""Hutang itu diikat surat penjanjian. Jika mereka tak sanggup membayar, ada dua opsi yang diberikan pada orang tuaku." Alin menghela nafas sejenak lalu kembali menundukkan wajahnya di atas meja. "Opsi pertama, orang tuaku terancam dipenjara seumur hidup, opsi kedua, hutang akan dianggap lunas jika aku mau dijadikan jaminan penebus hutang tersebut."BRAAKK!Alin terkejut saat mendengar gebrakan meja di samping telinganya. Ia langsung menatap Zaki kesal. Bagaimana tidak, telinganya langsung berdengung mendengar suara gebrakan meja tersebut."Bisa kau pukul meja yang lain?" kesalnya.Zaki tak menjawab. Ia menatap Alin dengan tatapan penuh."Kapan limit waktu pelunasan?" tanya Zaki serius."Satu minggu.""Ha? Apa pria itu gila?""Sebelum kau mengatakannya gila seperti tadi, aku sudah lebih dulu meneriakinya gila. Sekarang yang harus kulakukam hanyalah mencari uang tersebut.""Itu terlalu banyak Alin. Dan waktunya terlalu singkat." keluh Zaki."Aku tahu. Tapi aku bisa apa?""Kenapa harus kau yang mereka jadikan penebusnya? Kau punya kakak perempuan kan? Kenapa bukan dia?"Alin menatap Zaki. Mungkin orang yang tak tahu hubungan persahabatan mereka, akan mengira Zaki terlalu ikut campur. Namun bagi Alin, Zaki adalah sahabatnya. Karena itu Zaki tahu segalanya dan tahu juga jika Alin punya satu saudara perempuan lagi.Itulah alasan kenapa ayahnya tahu kontak Zaki.Alin menghela nafas panjang, "Aku tak yakin mereka mau mengorbankan Diana demi hal ini.""Lalu? Kau akan diam begitu saja dan menerima keputusan yang merugikanmu seperti ini?""Aku tak menerimanya, Zaki.""Ini sama saja kau menerimanya!" Nada suara Zaki mulai meninggi membuat Alin terdiam, "Kau bodoh atau apa? Ini sama saja kau menerimanya. Kau yakin akan bisa mendapatkan uang itu dalam satu minggu ini? Itu tak sedikit Alin.""Aku tahu. Lalu aku bisa apa?""Kenapa kau tak protes pada orang tuamu?"Alin diam sejenak, ia menunduk, "Aku tak tega."Zaki berteriak kesal. Ia mengacak rambutnya marah, "Kau tak tega pada mereka, tapi mereka tega padamu Alin.""Zaki, aku--""Kenapa kau selalu diam? Mana suara lantangmu saat membantahku? Mana cerewetmu? Kau selalu tak terima jika aku membuatmu kesal, tapi ini jauh lebih dari kesal Alin. Kau bisa menolaknya.""Zaki, kau tak lihat bagaimana kondisi orang tuaku semalam.""Baik. Aku akan bicara pada orang tuamu." Zaki langsung berjalan menuju laci meja kerjanya dan mengambil kunci mobil dari dalam sana."Kau mau kemana?" tanya Alin cepat."Bertemu orang tuamu.""Tidak! Jangan pernah kau bertemu mereka.!" bentak Alin menghentikan langkah Zaki. "Kau tak tahu masalahnya Zaki. Aku hanya tak ingin kau terlibat.""Setidaknya aku bisa mencari jalan keluar bersama orang tuamu, Alin.""Tak akan Ada jalan keluar. Mereka hanya akan mengejekmu. Kau tahu, jika tak ada keperluan mendesak, orang tuaku tak akan menghubungimu."Zaki berdecak kesal. Ia merasa orang tua Alin sudah sangat keterlaluan. Mereka bisa setega itu menjual Alin. Walaupun bahasa lembutnya dari kata 'jual' tadi adalah penjamin, namun bagi Zaki, ini tidak wajar. Ini sangat keterlaluan.Ia tak menyangka ini terjadi pada sahabatnya. Selama ini ia hanya melihat itu di TV TV. Tapi sekarang, ia melihat langsung di dunia nyata dan itu dialami oleh Alin.Ia sendiri juga bingung kalau untuk mencari uang sebanyak itu. Mungkin jika rentang waktu yang diberi lebih dari tiga bulan, mungkin ia bisa mencarikannya. Namun ini hanya seminggu. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu seminggu untuk membantu Alin."Terkadang aku heran, sebenarnya mereka orang tuaku atau bukan. Perlakuan mereka padaku dan kak Diana sungguh berbeda. Kakakku lebih diratukan dan aku lebih dianggap seperti anak buangan." Alin melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong."Ternyata seperti ini rasanya kau punya orang tua, tapi seperti yatim piatu. Dan sekarang, finalnya kejahatan mereka padaku sudah selesai. Takdirku akan berubah menjadi neraka satu minggu lagi."Zaki terdiam saat Alin mengusap wajahnya yang sudah dialiri air mata. Tak pernah Alin seperti ini. Ia sama sekali tak pernah melihat Alin seterpuruk ini. Bahkan sejak mereka pertama kali bertemu.Zaki berjalan mendekati Alin. Berjongkok di depan Alin dan menangkup kedua pipi Alin.Mereka saling tatap."Siapa pria itu? Beritahu siapa pria itu, dan biarkan aku yang bicara dengannya."***Langit sudah semakin gelap. Namun berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini bintang tak menampakan dirinya satupun. Bulan pun enggan untuk menyapa. Yang terlihat hanyalah awan hitam yang berkelompok-kelompok. Seolah sebentar lagi akan turun hujan lebat.Walaupun malam sudah cukup larut, Alin masih enggan untuk tertidur. Ia masih kesulitan memejamkan matanya. Dalam benaknya sangat dipenuhi dengan masalah yang sama, yaitu hutang kedua orang tuanya dan masa depannya.Dari rentang waktu yang Tian berikan, hanya tersisa satu hari lagi untuknya berjuang, sedangkan uang dua milyar itu belum ia dapatkan sama sekali.Di mana ia bisa dapat uang sebanyak itu. Ia bahkan sudah mencoba meminjam uang pada Ruli, namun masih tak cukup. Zaki pun baru mengumpulkan sebanyak lima ratus juta.Setiap hari, ia selalu dicerca dengan pertanyaan yang sama dari orang tuanya, yaitu 'apa uangnya sudah ada?'. Sungguh, ia nyaris gila. Orang tuanya yang berhutang, tapi justru dirinyalah yang disengsarakan.Ia ta
Alin membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia tak peduli pintu itu akan hancur. Ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin."KALIAN MINTA AKU MENGEMBALIKAN SEMUANYA BUKAN? BAIKLAH! AKAN KU TURUTI. TAPI SETELAH INI, JANGAN HARAP AKU AKAN LUNAK!!!" Alin berteriak keras seperti orang kesetanan. Ia hanya ingin melepaskan sesak di hatinya. Semua kekecewaan yang selama ini ia rasakan dan berakhir dengan puncak yang sudah meledak.Ia tahu bagaimana akhir dari masa depannya. Karena besok adalah hari penentuan. Sedangkan uang itu belum ia dapatkan. Ia sudah meminjam ke sana ke mari. Menemui satu per satu teman-temannya dulu. Namun sikap mereka seperti tak mengenalnya. Adapun yang sudah berhasil, namun mendadak menjadi manusia paling miskin di dunia. Apalagi saat ia mendengar kalimat dari mamamya tadi. Ia semakin tak ada semangat lagi untuk mendapatkan uang sebanyak itu.Pasrah? Memang itu yang akan ia lakukan. Menanti hari esok dengan perasaan campur aduk.Ia sudah tak peduli lagi de
Alin menatap lurus keluar jendela mobil. Sejak keluar dari rumahnya tadi, Alin tak bicara sedikitpun. Bahkan Tian yang mengendarai mobil, selalu melirik dari spion yang ada di atas kepalanya."Kau ingin puasa bicara?" tanya Tian pada Alin. Sedikit melirik dari sudut matanya, Alin tersenyum simpul namun sinis."Bukan urusanmu." jawabnya."Memang bukan urusanku. Tapi aku membenci suasana hening seperti kuburan.""Nyalakan saja musik di mobilmu.""Aku bukan musisi." Jawab Tian kesal. Suasana kembali hening. Ia kembali melirik Alin dari kaca spion yang ada di atas kepalanya dan lagi-lagi gadis itu hanya diam, sembari melihat keluar jendela.Tian menghela nafas kasar. Baginya, menghadapi gadis seperti Alin itu tidaklah sulit. Namun memang butuh proses sampai Alin bisa berbaur dengannya.Tian jahat? Tidak sama sekali. Ia hanya sedikit kaku dan memang sedikit bermulut tajam. Namun 'sedikit' itu, berhasil membuat asisten pribadi Tian tak pernah betah berada di samping pria tersebut.Sebenarn
"Harus mengikuti semua perintah tuan rumah. Bangun jam 04.00 subuh untuk menyiapkan sarapan pagi? kenapa terlalu cepat?" protes Alin saat ia membaca tulisan yang ada dalam selembar kertas yang diberikan oleh Tian padanya tadi. "Sudah kubilang jangan protes!" Alin lagi-lagi mendengus kesal. ia kembali menatap tulisan yang ada dalam kertas tersebut. "Tak bisa mengkonsumsi ayam broiler, udang dan kepiting. Ckckck seleramu sungguh tak menyenangkan."Alin kembali melanjutkan isi kertas tersebut. Setelah ia memahaminya, ia pun kembali menyerahkan kertas tersebut pada Tian."Hanya ini?" tanya Alin namun Tian langsung menggeleng. "kau tahu, ini perjanjian untuk asistenku terdahulu.""Terdahulu? apa bedanya denganku?" "Kau tak boleh lupa, kalau keberadaanmu di sini statusnya berbeda. Akan ada poin tambahan yang nanti harus kau tandatangani.""Kau memaksaku kerja rodi?""Anggap saja begitu." jawab Tian, "tapi satu hal yang paling penting, selama kau berada di sini, jangan pernah masuk ke da
Sudah hampir setengah jam Tian menatap nasi goreng yang tadi ia bawa masuk ke kamarnya. Minatnya untuk menyantap nasi goreng tersebut belum ada sama sekali, walaupun ia tahu rasanya pasti akan mengecewakan, tapi entah kenapa ia tak mau menyentuhnya.Tian berbaring di atas ranjangnya. Ia menatap langit langit kamar yang temaram. Hatinya seketika sakit saat mengingat kenapa ia membenci makanan tersebut.****Dua puluh tahun yang lalu.Praaakk!"Kamu bisa masak tidak?" Pria paruh baya bernama Andi itu baru saja membanting piring berisi nasi goreng yang tadi dihidangkan oleh istrinya.Di samping Andi, anak laki-laki semata wayangnya juga duduk bersama dan melihat semua kejadian yang baru saja terjadi.Anak itu adalah Tian saat kecil. Tian menatap ibunya yang menangis sesegukan. Hatinya marah dan murka melihat perlakuan kasar ayahnya."Maaf mas. Hanya ini yang bisa aku hidangkan sekarang. Kita--""Alah! Banyak alasan kamu. Kenapa kamu nggak minta uang pada keluargamu yang kaya raya itu?
"Aku membawamu ke sini bukan untuk memecahkan semua barang-barang ku." Alin terkejut saat Tian tiba-tiba muncul di hadapannya saat ia sedang membersihkan pecahan kaca dari gelas yang tadi ia pakai.Alin mendadak kikuk. Ia sungguh tak sengaja. "Aku tak sengaja melakukannya." Ucapnya tertunduk."Tentu saja kau tak sengaja. Jika kau sengaja, sudah ku pastikan kau untuk menggantinya. Kau tahu berapa harga gelas yang tadi kau pecahkan?" Alin menggeleng. "Gelas itu seharga iPhone keluaran terbaru.""Ha? Gelas kaca bening ginian doang, seharga iPhone?" Tian mengangguk. "Kau tak percaya?"Alin langsung menggeleng yakin. Ia tak percaya gelas kecil ini harganya semahal itu. Di balik ketidak yakinkan Alin, Tian justru tertawa dalam hatinya. Ia menertawakan wajah bodoh Alin. Mana ada gelas seperti itu belinya seharga iPhone."Pintar. Aku pikir kau bodoh. ternyata tidak." Lanjut Tian membuat Alin seketika mengumpat kasar dalam hatinya."Cepat kau bereskan dan sekali lagi kau pecahkan peralatan
Alin menenangkan hatinya terlebih dahulu. Ia tak ingin masak dengan suasana hati yang buruk. Karena ia yakin itu akan mempengaruhi rasa dari masakannya sendiri.Setelah dirasa tenang, ia pun mulai mengeluarkan beberapa bahan yang ada di dalam lemari pendingin dan mulai menyianginya satu persatu. Alin menghela nafas panjang untuk melegakan suasana hatinya. Melihat situasi tadi pagi, Alin tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti untuk kedepannya. Seketika ia menyesal mengiyakan untuk menjadi penjamin penebus hutang-hutang keluarganya. jika dulu ia menolak, mungkin ia masih bisa bebas saat ini.Dan jika bicara tentang orang tuanya yang akan dipenjara jika hutang itu tak bisa dilunasi, jujur itu bukan urusannya. Karena selama ini ia sendiri juga tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari mereka. Bahkan ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Tapi nasi sudah jadi bubur. penyesalan memang datang di akhir. ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi dan yang bisa ia lakuka
Zaki kembali mengumpat kasar. Sudah dua Minggu ia putus kontak dengan Alin. Ia bahkan nyaris putus asa. Saat ia ingin mengikuti pria sialan itu, pasti ada saja yang menghalanginya. ia tahu dimana rumah Tian, namun tak pernah bisa masuk pagi semenjak insiden ia menerobos masuk ke dalam sana.Zaki meraih ponselnya lagi dan mencoba untuk kesekian kalinya menghubungi Alin. Berharap untuk kali ini ada titik terang dimana Alin disembunyikan oleh si brengsek itu."BRENGSEK!!" Umpatnya keras. Ia membanting ponselnya dengan sangat keras, membuat benda tersebut terbelah beberapa bagian."Dimana lagi aku harus cari kamu Alin!" Keluhnya lirih. Ia sungguh kehilangan akal sehatnya. *****Dua Minggu sudah ia berada di kediaman Tian menjadi 'tawanan' pria tersebut. Namun tak seperti tawanan biasanya, ia justru bisa bebas di rumah sebesar ini. Asal ia tak keluar, posisinya sudah aman.Sudah 1 jam yang lalu Tian berangkat ke kantor. Entah di mana pria itu bekerja, Alin sangat tidak mempedulikannya. K