Sudah hampir setengah hari Tian cemberut pada Alin. Pasalnya wanita itu setelah memiliki seekor kucing, Alin justru lebih memperhatikan kucing tersebut daripada Tian sendiri.Alasan Alin semakin membuat Tian kesal, yaitu Tian bisa mengambil ini dan itu sendirian sedangkan anak kucing tersebut harus dibuatkan makanan dan susu. Seperti yang terjadi saat ini. Tian baru saja selesai makan siang yang ia ambil sendiri Walaupun memang makanan tersebut dibuatkan oleh Alin. Namun Ia juga ingin Alin menyiapkan untuknya, tapi apa boleh buat wanitanya itu sekarang lebih terfokus pada Tina."Sampai kapan kamu mau main-main sama kucing itu?" tanya Tian cemberut. "Kenapa memangnya?""Bukan kenapa-napa. aku juga butuh perhatian dari kamu."Mendengar rengekan Tian, Alin pun seketika tersenyum geli. Secara kodrat Tian adalah manusia yang bisa bekerja sendiri, mengambil ini dan itu sendirian. Karena pria tersebut masih memiliki tubuh yang sehat dan lengkap. Dan lagi ia dan Tian juga bukan pasangan sua
"Saatnya makan pria pemalas." Alin memeluk Tian yang masih tertidur pulas. Padahal Tian baru saja pulang dari perjalanan kerja keluar kota selama lima hari. Tian mengeliat malas. Ia menarik Alin ke dalam pelukannya. Alin memberontak. Pasalnya ia meminta Tian untuk bangun, tapi kenapa dirinya yang ditarik untuk tidur."Makan dulu." Ucap Alin.Pelukan Tian melonggar. "Aku ngantuk. Nanti saja ya.""Ya sudah. Terserah kamu saja. Aku mau ke toko milik Tiara dulu. Hampir seminggu aku tak mengabari statusku pada Tiara."Mendengar itu, Tian langsung membuka matanya lebar, "Kamu pergi denganku." Alin mendelik kesal, "Aku bisa sendiri. Bukannya kamu lelah? Ngantuk? Akan bahaya jika menyetir.""Justru membiarkanmu pergi sendirian jauh lebih bahaya.""Aku hanya ke tokonya Tiara.""Aku tahu sayang. Tapi tidak pergi sendirian. Aku siap-siap dulu." Tian langsung duduk dari tidurnya. "Makan dulu.!" Perintah Alin kembali. "Oke. Tapi perginya bareng aku.""Iya iya. Turun dulu ke bawah. Makanannya
"kalau om bisa bawa Alin untuk bertemu saya, saya akan berikan om uang lima ratus juta secara cuma-cuma." Yanto menatap Zaki dengan serius. Awalnya ia menatap remeh ke arah Zaki, namun setelah Zaki memperlihatkan uang 500 juta tersebut, Yanto langsung bersemangat. Ia Bahkan tak melepaskan pandangannya dari uang yang ada di dalam brankas di kantor Zaki."Apa jaminannya sebagai penanda kau tak menipuku?" tanya Yanto dengan wajah serius."Kau tahu kantorku kan? Kau tahu cafe ini bukan? dan kau lihat itu. Di sana ada CCTV. Dan CCTV itu sedari tadi sudah merekam kehadiranmu di sini. Dan lagi, kau bisa minta polisi mengecek CCTV itu jika nanti aku berbohong."Yanto mengangguk mencoba mempercayai ucapan Zaki."Tapi, Kau juga akan menerima ganjarannya Jika kau tak menepati janjimu untuk membawa Alin di hadapanku."Yanto tersenyum remeh. "Kalau soal itu kau tenang saja. Putriku itu sangat penurut. Jadi aku yakin dia akan menuruti apa yang aku minta padanya." Zaki mengangguk pelan, namun terli
"Kamu jangan sok peduli dengan anak itu Diana."Gadis itu mengumpat kesal saat nama Diana, disebut oleh mama kembali menghela nafas panjang. Liburannya ke Indonesia berbuah kabar buruk. Ia tak tahu sama sekali jika sang adik dijadikan penebus hutang oleh orang tuanya sendiri. "Harusnya mama malu sama Alin, Ma. Mama sama papa yang bikin hutang, kenapa justru adik aku yang kalian jadikan tumbalnya."PLAAK!!"Jaga mulut kamu Naura." Wanita itu menatap anaknya Tajam setelah ia layangkan sebuah tamparan pada sang anak."Kamu harus ingat juga satu hal. Alin bukan adik kandung kamu.""Naura tahu. Tahu banget. Tapi buat Naura, dia harta berharga Naura ma.""Cih! Harta berharga. Dia itu bukan anak kandung mama dan juga bukan saudara kandung kamu.""Naura nggak mikirin itu. Yang jelas, Alin dan Naura tumbuh besar bersama ma. Dan mama hancurin semuanya! Naura kecewa sama mama." dengan perasaan kesal, Naura keluar dari kamar orang tuanya. Ia berlalu menuju kamar Alin. Ia tak menyangka sama sekal
Alin memeluk Tian dari belakang saat pria itu sedang minum. Alhasil Tian langsung tersedak dan membuatnya terbatuk. Ia langsung memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati Alin tersenyum manis ke arahnya sembari lengan Alin masih memeluk pinggangnya.Tian menatap dengan tatapan curiga, "Apa ada sesuatu yang akan kau minta?" Tanya Tian yang membuat senyum Alin semakin lebar. Bahkan mata kekasihnya itu sampai berbinar.Tian menghela nafas panjang, "Ingin apa?" Tanyanya lembut.Alin melepaskan pelukannya. Ia meraih jemari Tian yang tak menggenggam gelas."Minta Haris untuk datang ke rumahku." Ucap Alin."Haris? Ke rumahmu?" Alin mengangguk, "Untuk apa?""Membawa kak Naura ke sini."Tian menatap Alin dengan tatapan yang sudah ditebak. Tak mungkin ia melakukan hal itu. Sama saja ia bermain dengan hukum. Bagaimana jika orang tua Alin melaporkannya atas kasus penculikan. Bagaimanapun juga, jika hal ini ia lakukan, tuntutan itu akan berlaku juga."Kenapa tak tunggu saja?""Tak bisa?""Bukannya
"Haris itu siapa?"Tian menundukkan wajahnya, melirik Alin yang tengah menelungkup di atas tubuhnya. "Kenapa tiba-tiba menanyai siapa Haris?""Hanya penasaran saja. Dia terlihat cukup bebas jika bersamamu. Sama halnya seperti Delon bersamamu."Tian menghela nafas panjang. Ia lalu menatap langit-langit kamarnya, "Haris itu, anak yang terbuang."Alin turun dari tubuh Tian lalu duduk di samping pria tersebut. "Terbuang maksudnya?"Tian menatap wajah Alin yang terlihat sangat cantik, "Kamu cantik." Celetuk Tian yang seketika mendapatkan pukulan dari Alin, "Serius bisa nggak? Malah bercanda." Ketusnya.Tian tertawa, "Iya sayang. Gitu aja ngambek.""Makanya jangan dibercanda in.""Iyaaa." Tian menarik nafas dalam. "Haris itu kasusnya sebelas dua belas denganku. Bedanya, aku melihat ayahku menghabisi nyawa ibuku sedangkan Haris, ia melihat kedua orang tuanya dihabisi oleh orang kepercayaan keluarga mereka." Alin terdiam. Kenapa orang yang dekat dengannya punya masalah yang rumit semua?.A
Suara bel yang terdengar membuat Alin langsung berlari-lari kecil untuk membukakan pintu. Awalnya Alin tersenyum karena ia mengira yang datang adalah Tian. Pasalnya sudah satu Minggu ini Tian tak ada di rumah karena harus ke Jepang untuk menemui seseorang.Tapi senyumnya seketika lenyap saat ia melihat sosok papanya ada di hadapannya."Papa?" Panggil Alin dengan nada bertanya."Apa kabar nak? Kenapa susah hubungi kamu sekarang? Papa boleh masuk?"Alin melirik ke belakang papanya. Tak ada satupun penjaga rumah Tian. Pantas saja papanya bisa masuk dengan bebas."Alin nggak bisa. Setiap yang masuk ke sini harus ada izin dari Tian." Ucap Alin. Ia sangat sadar mengatakan hal itu pada papanya. Ia tahu apa tujuan papanya ada di sini. "Sebentar saja nak.""Nggak bisa pa. Kalau mau bicara, kita ke depan saja." Yanto melirik pondokan yang Alin tunjuk. Ia ingin protes sekali lagi, namun ia mengurungkan niatnya karena sepertinya Alin memang tidak akan mengizinkan ia masuk ke dalam."Ya sudah, ki
Haris masih setia duduk di ruang tamu rumah Tian. Biasanya jika sudah jam sepuluh malam, ia tak akan berkeliaran lagi dan menetap di kediamannya.Sebenarnya ia di sini hanya sampai Tian tiba. Pria itu sudah di perjalanan dan tentu saja masih di pesawat.Haris melirik Naura yang duduk di kursi meja makan. Entah kapan gadis itu akan pulang. Haris berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sekaleng jus dari dalam sana dan menyerahkannya pada Naura, "Kau tak ingin pulang?" Tanya Haris santai."Kau mengusirku?""Anggap saja begitu.""Ck! Aku tak berani pulang. Aku pulang malam ini, belum tentu besok nyawaku masih di badan." Ucapnya membuat Haris seketika meringis. Menurutnya Naura terlalu lebai menanggapi masalah ini. "Kau sendiri? Kenapa masih di sini?""Kau lihat pondokan kecil di sudut rumah ini? Itu tempat tinggalku. Aku tinggal keluar dari sini dan melangkah ke sana, masuk ke kamarku dan tidur. Apa yang harus aku cemaskan?""Pondoka