Suara bel yang terdengar membuat Alin langsung berlari-lari kecil untuk membukakan pintu. Awalnya Alin tersenyum karena ia mengira yang datang adalah Tian. Pasalnya sudah satu Minggu ini Tian tak ada di rumah karena harus ke Jepang untuk menemui seseorang.Tapi senyumnya seketika lenyap saat ia melihat sosok papanya ada di hadapannya."Papa?" Panggil Alin dengan nada bertanya."Apa kabar nak? Kenapa susah hubungi kamu sekarang? Papa boleh masuk?"Alin melirik ke belakang papanya. Tak ada satupun penjaga rumah Tian. Pantas saja papanya bisa masuk dengan bebas."Alin nggak bisa. Setiap yang masuk ke sini harus ada izin dari Tian." Ucap Alin. Ia sangat sadar mengatakan hal itu pada papanya. Ia tahu apa tujuan papanya ada di sini. "Sebentar saja nak.""Nggak bisa pa. Kalau mau bicara, kita ke depan saja." Yanto melirik pondokan yang Alin tunjuk. Ia ingin protes sekali lagi, namun ia mengurungkan niatnya karena sepertinya Alin memang tidak akan mengizinkan ia masuk ke dalam."Ya sudah, ki
Haris masih setia duduk di ruang tamu rumah Tian. Biasanya jika sudah jam sepuluh malam, ia tak akan berkeliaran lagi dan menetap di kediamannya.Sebenarnya ia di sini hanya sampai Tian tiba. Pria itu sudah di perjalanan dan tentu saja masih di pesawat.Haris melirik Naura yang duduk di kursi meja makan. Entah kapan gadis itu akan pulang. Haris berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sekaleng jus dari dalam sana dan menyerahkannya pada Naura, "Kau tak ingin pulang?" Tanya Haris santai."Kau mengusirku?""Anggap saja begitu.""Ck! Aku tak berani pulang. Aku pulang malam ini, belum tentu besok nyawaku masih di badan." Ucapnya membuat Haris seketika meringis. Menurutnya Naura terlalu lebai menanggapi masalah ini. "Kau sendiri? Kenapa masih di sini?""Kau lihat pondokan kecil di sudut rumah ini? Itu tempat tinggalku. Aku tinggal keluar dari sini dan melangkah ke sana, masuk ke kamarku dan tidur. Apa yang harus aku cemaskan?""Pondoka
Suasa hening terjadi di ruang TV rumah Tian dan itu sudah berlangsung 2 menit."Jadi, bisa diceritakan kenapa semua ada di sini?" Tian menatap Naura yang seketika langsung tertunduk. Sementara Haris hanya diam tak peduli."Tian, apa kak Naura bisa--""Papa tadi datang lagi menemui Alin." Haris melirik Naura yang bicara namun masih tertunduk. "Masalah uang lagi."Kali ini rahang Tian mengeras. Ia menatap lurus pada Haris, "Bisa kau ceritakan Haris?"Haris menghela nafas. Ia sudah yakin jika dirinyalah yang akan ditanya."Yanto datang lagi untuk membawa Alin. Mungkin digadaikan lagi.""Shit!" Umpat Tian."Tapi Alin menolak. Saat perdebatan itu, Naura muncul dan membongkar jika Alin bukanlah adik kandungnya. Alin anak kandung dari Yanto namun bukan dengan istri pria tersebut karena anak kandung istrinya adalah Naura." Haris menatap Naura, "Pengakuan itu membuat gadis gila ini tak mau pulang karena takut besok tubuhnya sudah terpisah dari raga. Jadi, itulah kenapa alasannya ada penyusup g
"kamu jadi ketemu Tiara?" Tian menatap Alin yang sedang ngemil."Jadi. Tapi nanti ketemunya di toko kuenya Tiara.""Perlu ditemani?""Nggak usah Tian. Aku bisa sendiri kok. Lagian ni ya, kalau tiap saat ditemenin, aku kapan bisanya."Tian tersenyum manis. "Ya sudah terserah kamu. Kalau nanti butuh apa-apa, hubungi cepat." Alin mengangguk mantap."Kamu jadi ke Bogor hari ini?""Jadi. Nanti Delon akan menjemput ke sini." Alin kembali mengangguk. Ia kembali fokus pada TV, sedangkan Tian masuk ke kamar untuk bersiap-siap. Selama tiga hari ia harus stay di Bogor untuk menyelesaikan masalah hutang salah satu kliennya padanya. Ya bisa dikatakan, kasusnya sama seperti orang tua Alin. Namun bedanya, kali ini tak ada lagi sistem tumbal. Cukup Alin yang ia terima sebagai penebus hutang orang tuanya kekasihnya itu.Sedang asik menikmati drama China kesukaannya, Alin dikejutkan dengan kehadiran Delon yang memukul pundaknya dari belakang. "Ih, baca salam dulu bisa nggak?" Ucap Alin kesal. Ia melir
Tian baru saja memasuki kota Bogor saat ponselnya berdering dan membuatnya cemas setelahnya. Pasalnya Tiara yang menghubunginya hanya untuk menanyakan apakah Alin jadi ke tempatnya atau tidak. Pasalnya Tiara bilang jika ponsel Alin mati.Hal semakin membuat Tian panik adalah, Ia yang juga tak bisa menghubungi Alin. Dengan cepat, pria itu menghubungi Haris. Tian mengumpat kasar saat panggilan pertamanya tak diangkat oleh Haris. "Lo tenang dulu Tian. Kalau seperti ini--""Gue nggak bisa tenang sebelum tahu kabar Alin.""Tapi kita mesti gimana? Putar balik pun jauh.""Shit. Si Haris kemana sih!" Umpatnya. Tian kembali menghubungi Haris dan tak menghiraukan Delon yang bicara di sebelahnya. "Halo, Haris. Kau periksa CCTV cepat!.""Ha? Kenapa?""Tiara menghubungiku jika Alin belum sampai di tempatnya. Nomor Alin juga mati."Haris melotot kaget mendengarnya. Ia yakin jika tadi Alin sudah meminta izin untuk pergi bertemu dengan Tiara, dan itu sudah lewat dari dua jam yang lalu. Tapi kenapa
Suasana masih terasa tegang. Naura melangkah mendekati Zaki, lalu berdiri di hadapan Zaki yang saat ini sedang berlutut. Ia menatap Zaki tak percaya. Namun Haris memperlihatkan CCTV seorang pria yang menggendong Alin padanya, dan ciri-cirinya terlihat sama. jika memang Zaki yang melakukan ini pada Alin, sungguh ia sangat kecewa. padahal Ia tahu Zaki adalah pria yang sangat baik, bahkan padanya saja Zaki sudah menganggap dirinya sebagai kakak sendiri. Dan jika Zaki melakukan hal ini pada Alin, ia sungguh teramat sangat kecewa. Naura ikut berlutut mensejajarkan posisinya pada Zaki. "Bilang sama gue kalau Alin nggak ada sama lo.?" Tanya Naura dengan kata-kata dan nada suara yang masih dibuat selembut mungkin, namun Zaki justru membalas pertanyaan Naura dengan senyum sinis."Kenapa lo senyum? gue tanya sama lo, Alin ada sama lo tau nggak?" Naura menyipit menatap Zaki, "dan jangan bilang Alin benar-benar ada sama lo.""Kenapa lo peduli? biasanya Lo nggak pernah peduli sama dia. Bahkan di
Tian!Teriakan Alin terdengar terpekik keras. Membuat Tian yang saat itu sedang kesetanan membabi buta menghajar Zaki langsung terhenti. Pria itu menatap Zaki yang sudah tak sadarkan diri di hadapannya sekilas lalu memutar tubuhnya menatap Alin."Sayang." Panggil Tian. Pria itu langsung berlari mendekati Alin dan memeluk Alin sangat lembut. Seolah tubuh kekasihnya itu begitu rapuh yang akan hancur saat Ia peluk.Alin masih syok dan tidak mau bicara karena terkejut melihat keadaan Zaki yang sudah tak sadarkan diri. Bahkan ia ragu Zaki masih bernafas karena kondisi Zaki yang terlihat begitu parah. Namun di satu sisi, ia merasa lega karena kebenciannya pada pria tersebut sedikit terbayarkan. Sebenarnya tadi Zaki mencoba untuk memperkosanya, namun tiba-tiba saja suara seperti alarm berbunyi di kamar tersebut yang membuat Zaki berhenti dan langsung keluar dari kamar. Wajahnya babak belur seperti ini karena dia menolak dan melawan pria tersebut.Ia berpikir setelah itu ia akan mati di tang
Sebelum berangkat ke Bogor, Tian bermaksud untuk ke kantor polisi terlebih dahulu. Pria itu hanya ingin memastikan Zaki menderita di sana. Dan sudah tiga menit yang lalu ia sampai di kantor polisi dan saat ini sedang berhadapan dengan Zaki dibalik sebuah kaca yang jadi pembatas mereka.Tian menatap bengis pria yang sudah babak belur tersebut. Sungguh, wajah Zaki tak terlihat tampan lagi seperti sebelumnya. "Ternyata nyalimu besar juga. Sudah kukatakan padamu jangan menggangguku lagi. Aku tak memakan uangmu sepersen pun dan aku tak butuh itu. Aku sudah mengatakan dulu untuk jangan menggangguku dengan Alin, tapi sepertinya ancaman yang aku berikan tak kau indahkan sama sekali." Ucap Tian sembari menatap tajam Zaki.Zaki tersenyum sinis, "Sebenarnya bukan aku yang pengganggu di sini, sialan. Kau lah orang sebenarnya. Kau tiba-tiba mengambil Alin dariku padahal aku dan Alin sudah bersama sejak lama.""Harusnya yang kau tuntut itu orang tua Alin, karena manusia rakus itu menjual Alin pada