Livia terbangun dan menyadari Bu Monika tidak lagi berada di dekatnya. Semalam mereka tidur berdampingan di ranjang khusus penunggu pasien. Saat mengetik ponsel untuk melihat jam berapa sekarang, ekor mata Livia sempat melirik ke ranjang Nolan dan melihat suaminya sudah dalam posisi duduk.
Syukurlah, Livia bernapas lega. Sekarang pukul 6.45 dan dia sudah terlambat untuk berangkat ke sekolah. Akhirnya Livia mengirim pesan pada Sissy untuk memberitahukan bahwa dia hari ini tidak masuk karena ada urusan penting. Sesaat setelah pesan terkirim, ponselnya berdering nyaring. Banci menelfon. "Lo ada urusan apa Liv sampai nggak masuk sekolah?" cecar Sissy begitu telfonnya dijawab. "Kak Nolan sakit. Semalam dia dibawa ke rumah sakit," jawab Livia lirih. Dia sempat melirik ke arah Nolan yang sedang melihatnya. Pria itu melontarkan senyum manis yang entah kenapa membuat Livia sedikit salah tingkah. "Oh ya? Sakit apa?" "Kata dokter karena capek. Ya udah ya Sy gitu aja. Tolong buatin gue surat izin, terserah mau lo tulis sakit atau apa kek. Gue ada perlu bentar," pungkas Livia dan langsung menutup telpon. Setelah membasuh muka di toilet, Livia menghampiri Nolan. Langkahnya tidak begitu pasti karena ada sedikit rasa canggung dalam dirinya. "Gimana keadaan kamu kak? Udah mendingan?" tanya Livia sambil pura-pura memeriksa selang infus. Nolan mengangguk. "Udah. Makasih ya udah bawa aku ke sini." Livia manggut-manggut. Dia merasa bingung mau ngomong apa lagi. Karena selama ini mereka memang sama sekali tidak pernah secara intens. "Mmm... kamu mau sarapan sekarang?" dia melihat nampan di atas nakas yang berisi menu sarapan untuk pasien yang entah sejak kapan makanan itu ada di sana. "Boleh." Livia membuka plastik yang menutupi makanan tersebut juga menarik kursi dan duduk di sebelah kasur. Dia tidak punya pilihan lain selain menyuapi suaminya dengan perasaan canggung dan grogi yang membahayakan dirinya. Bukan apa-apa, namun hal ini terlalu dekat dengannya karena sebelumnya tak pernah seperti ini. "Via, aku boleh minta satu hal aja sama kamu?" tanya Nolan di sela-sela sarapannya. Tangannya menggenggam tangan kanan Livia yang sedang memegang sendok. "Apa?" "Selama mama dan papa ada disini, aku mohon sama kamu, tolong jangan perlihatkan kalau kita ada konflik ya," pinta Nolan. Livia mengangguk. Dia paham maksud Nolan yang tidak ingin membuat orang tuanya terluka. Namun di sisi lain, dia juga merasa lega karena Nolan tidak lagi marah padanya. "Aku juga minta maaf kalau beberapa hari kemarin sudah mengabaikan kamu. Aku cuma...." Cemburu? Rasanya tidak mungkin Nolan akan mengatakan hal itu sementara dia sendiri masih belum yakin dengan perasaannya. "....Aku cuma tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kamu. Kamu tahu kan apa akibatnya jika rahasia kita ini diketahui banyak orang?" Livia paham. Orang yang paling dirugikan jika pernikahan rahasianya terbongkar adalah dirinya sendiri. Mana ada sekolah yang akan menerima seorang murid yang sudah menikah? "Aku juga minta maaf kalau udah menyebalkan. Tapi... kamu nggak perlu khawatir, semuanya akan baik-baik aja kok," Livia meyakinkan Nolan. Dia sengaja berbohong dengan tidak mengatakan bahwa Nicky sudah mengetahui rahasia kerena kecerobohannya. Meski terkadang hal itu juga membuatnya khawatir. “Selamat pagi semua,” Bu Monika muncul dengan membawa beberapa totebag yang salah satunya berisi pakaian ganti. Saat melihat kedekatan mereka, dia tersenyum lebar. "Gimana keadaan kamu sayang?" tangan menyentuh dahi putra semata wayangnya tersebut. “Udah mendingan kok ma. Mama dari mana?” Nolan sudah menyelesaikan sarapannya. Saat Livia hendak beringsut, dengan cepat dia meraih lengannya dan membuat Livia terduduk kembali. Livia kaget. Kedua kelopak mata menaut dengan penuh introgasi ke Nolan. Namun suaminya justru membalasnya dengan senyuman dan kedipan mata penuh arti. 'Kak Nolan apa-apaan sih?' batin Livia. Mendadak dia merasa tersipu saat melihat mereka tak sengaja saling beradu selama beberapa detik sebelum akhirnya Livia membuang muka. Oh tidak. Hentikan dirimu Livia. Kamu yang apa-apaan. "Tadi mama pulang ke rumah kalian. Mama ambil beberapa baju ganti untuk Livia sekalian beli sarapan. Sayang, kamu mandi dulu sana terus sarapan," ujar Bu Monika pada Livia. Livia menurut. Nolan melepaskan tangan Livia dan membiarkan istrinya itu untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian Livia keluar lagi dengan penampilan yang lebih fresh. Dia lalu menyantap sarapan yang dibawakan Bu Monika. Hari ini ibu mertuanya tidak kemana-mana. Dia akan ada di sini menemani Nolan dan Livia. Sebentar lagi, Pak Daniel (ayah Nolan) katanya juga akan datang. Tanpa mereka sadari, seseorang mengintip ke dalam kamar ranap Nolan dari panel kaca di pintu. Orang yang tak lain adalah Nicky yang tersenyum getir. Enak sekali kalau sedang sakit terus ada yang memperhatikan seperti itu. Berbeda dengan dia yang hanya ditemani ibunnya ke klinik di hari pertama saja. Selama dirawat di sini dia hanya sendiri. Kalau butuh apa-apa cuma suster yang dia minta tolong. Sejak Nicky kecil Ibunya yang single parent memang selalu menomor satukan pekerjaan dari pada anaknya. *** Sore harinya keadaan Nolan jauh lebih baik. Apalagi saat hasil lab sudah keluar dan menyatakan tidak ada penyakit serius yang bersarang di tubuhnya. Semua merasa lega. Nolan drop murni karena kelelahan. Dan itu memang benar karena memang selama ini dia bekerja dengan sangat keras. Dengan ditemani Livia, Nolan keluar dari kamar rawat inap. Dia merasa jenuh berada di kamar dan ingin jalan-jalan ke taman. Saat Livia menawarkan kursi roda, Nolan menolak dan mengatakan kalau dia masih bisa berjalan. “Oke, kalau begitu biar aku bantu pegangin botol infusnya,” Livia mengulurkan tangannya. Nolan tersenyum dan menyerahkan botol infus yang isinya tinggal setengah itu ke Livia. “Serius deh, kalau infus yang ini sudah habis aku pengen cepet-cepet pulang,” ujar Nolan. “Tapi kalaupun kamu sudah diizinkan pulang, kamu harus cuti dulu sementara dari kantor kan?” Nolan mengangkat bahu. "Mungkin. Aku punya banyak sekali pekerjaan yang masih tertunda, Via." Livia menghela napas. Dia tahu Nolan memang tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Mereka duduk di salah satu bangku taman, menikmati senja yang mulai meluncur ke peraduan sambil bercengkerama. Membicarakan apapun yang selama ini tidak pernah mereka lakukan selama tinggal bersama. Duduk berdekatan seperti ini mendadak membuat Livia agak salah tingkah karena sebelumnya tidak terbiasa. Tapi untungnya Nolan tidak menyadari sikap Livia itu dan malah asyik bercerita. Nolan menceritakan apapun pada Livia. Apapun yang selama ini jarang bahkan sama sekali tidak pernah mereka bicarakan. Sepanjang Nolan bercerita, Livia menyimak sambil sesekali mencuri pandang ke wajah pria itu, yang entah kenapa seketika dia merasakan perasaan menyesal karena selama ini sudah menyebalkan pada sosok pria baik yang tak lain adalah suaminya.Livia membuka mata sambil merasakan tubuhnya tidak nyaman. Huuffh... lagi-lagi dia ketiduran di atas meja belajar dengan posisi tertelungkup. Di hadapannya beberapa buku menumpuk. Dan dia baru sadar, kalau ini terjadi karena dia kelelahan mengerjakan PR. Dengan gerakan sedikit malas, Livia mulai mengemasi buku-buku tersebut dan memasukkan sebagian ke dalam tas. Dia hanya bisa memutar lirih saat melihat beberapa tugas yang belum terselesaikan. Bodo amat! Batinnya. Livia sudah menyerah dengan PR Fisika yang telah dia kerjakan sejak dua jam lalu itu dan langsung melasakkan buku tulis bercover CAMPUS ke dalam tas sekolah miliknya. Setelah semua dirasa beres, Livia menggerakkan ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu memakai skincare sebagai rutinitas wajib sebelum tidur. Begitu selesai, dia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Namun saja dia bersiap untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda, Livia menggeram lirih saat melihat botol minuman di atas nakas di baru sebelah
Suara alarm yang nyaring memenuhi seisi kamar Livia. Dengan mata yang masih terpejam, tangan Livia meraba-raba nakas untuk mematikan bunyi alarm yang bersumber dari ponselnya itu."BUGG!!" Bukan alarm yang akhirnya membuat Livia terbangun, melainkan botol minumannya yang terjatuh ke lantai. Reflek Livia melompat dari atas tempat tidur karena cairan yang ada di dalam botol itu keluar dan membasahi karpet di bawah tempat tidurnya. Semalam setelah minum, dia lupa menutup botolnya kembali karena ngantuk yang tak tertahan."Adduuuuuhhh... ada-ada aja siiiiih!" Livia menggerutu sembari mencabut beberapa lembar tisu dan mengelap bekas tumpahan air tersebut. Suara alarm masih berdering dan kini mata Livia sudah benar-benar terbuka. Dia menyambar ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Di saat yang bersamaan matanya melihat sebuah pesan masuk di layar.[Aku berangkat ke kantor. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat sekolah. Have a nice day]"Hmmmhh... ck!" Livia berdecak usai membaca pesan y
Saat bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat, Livia langsung meninggalkan kelas. Dia berjalan cepat menuju tempat dimana dia pagi tadi bertabrakan dengan Nicky, yaitu di depan ruang Laboratorium. Tapi setibanya di sana, dia bingung saat melihat sekumpulan murid laki-laki dan perempuan tengah nongkrong. Akhirnya Livia cuma bisa mengamati tempat itu dari jauh, sembari matanya melihat-lihat area di sekitarnya. Matanya berbinar saat melihat lembaran putih seukuran dokumen kertas a4 berada di dekat kaki salah seorang murid. Livia yakin itu miliknya. Kertas itu tampak sudah lecek bekas diinjak-injak. "Ya Tuhan. Nggak pa-pa dokumen itu lecek tapi plis jangan ada yang notice, terus ngambil dokumen itu..." desis Livia lirih. Andai aja Sissy masuk sekolah hari ini. Dia pasti bisa meminta anak itu mengambil kertas tersebut. Karena Sissy kan ahli banget ngomong. Dia pasti punya banyak alasan untuk dikatakan terkait kertas itu. Livia putus asa dan kembali ke kelas. Dan saat jam pulang seko
"Apa-apaan ini? Siapa dia? Kenapa kamu baru pulang sekolah? Jam berapa sekarang, Via? Ada urusan apa kamu sampai nggak mengizinkan Pak Sam nganter kamu? Urusan sama siapa?" cecar Nolan begitu Livia berhenti tepat di hadapannya. Melihat hal itu, Pak Sam dan Bik Sum langsung sama-sama ngibrit ke belakang. "Kamu kenapa sih, kak? Yang penting kan sekarang aku udah di rumah. Memangnya cuma kamu yang boleh punya urusan?" Livia tak mau kalah. "Tapi kamu nggak pernah pulang seterlambat ini. Kamu juga nggak jelas perginya kemana, sama siapa?" "Memangnya setiap hari harus sama? Enggak kan?" Livia memicingkan mata penuh kekesalan. "Selama ini aku udah jadi anak patuh yang selalu pulang tepat waktu, kalau semisal tiba-tiba hari ini aku ada urusan, harus aku abaikan gitu?" "Ya setidaknya kamu bilang mau pergi kemana. Kamu tau nggak sih udah bikin khawatir orang serumah? Kalau aja ayah kamu tahu kamu pulang ter....." "Stop!!" potong Livia sewot dengan mata sedikit melotot. "Kenapa sih harus
Paginya, Livia dan Nolan keluar bersamaan dari kamar mereka masing-masing. Mereka berdua tampak sudah sama-sama rapi. Untuk beberapa saat keduanya saling tatap, namun setelahnya Nolan memilih berlalu mendahului Livia tanpa sapaan sepatah kata pun.Livia memutar bola matanya dan mendengus. Ada setitik perasaan kesal atas sikap Nolan pagi itu. Entah apa yang mendorong Livia untuk mengecek ponselnya saat itu juga dan dia kembali merasakan kejanggalan. Nolan yang biasanya setiap pagi mengirimi pesan 'manis', pagi ini tidak ada. Namun Livia tak mau ambil pusing. Bahkan dia sempat berpikir, mungkin karena mereka pagi ini bakal sarapan bareng, atau karena pada saat dia berangkat Livia sudah bangun atau..... lhoh... kenapa kesannya aku jadi mengharapin dia?Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk bersama di ruang makan. Menikmati sarapan tanpa percakapan. Mereka memang jarang sekali sarapan bareng seperti ini. Karena seringnya Nolan berangkat jauh lebih dulu daripada Livia. Tapi entah kenap
Livia terbangun dan menyadari Bu Monika tidak lagi berada di dekatnya. Semalam mereka tidur berdampingan di ranjang khusus penunggu pasien. Saat mengetik ponsel untuk melihat jam berapa sekarang, ekor mata Livia sempat melirik ke ranjang Nolan dan melihat suaminya sudah dalam posisi duduk.Syukurlah, Livia bernapas lega. Sekarang pukul 6.45 dan dia sudah terlambat untuk berangkat ke sekolah. Akhirnya Livia mengirim pesan pada Sissy untuk memberitahukan bahwa dia hari ini tidak masuk karena ada urusan penting. Sesaat setelah pesan terkirim, ponselnya berdering nyaring. Banci menelfon."Lo ada urusan apa Liv sampai nggak masuk sekolah?" cecar Sissy begitu telfonnya dijawab."Kak Nolan sakit. Semalam dia dibawa ke rumah sakit," jawab Livia lirih. Dia sempat melirik ke arah Nolan yang sedang melihatnya. Pria itu melontarkan senyum manis yang entah kenapa membuat Livia sedikit salah tingkah."Oh ya? Sakit apa?""Kata dokter karena capek. Ya udah ya Sy gitu aja. Tolong buatin gue surat izin
Paginya, Livia dan Nolan keluar bersamaan dari kamar mereka masing-masing. Mereka berdua tampak sudah sama-sama rapi. Untuk beberapa saat keduanya saling tatap, namun setelahnya Nolan memilih berlalu mendahului Livia tanpa sapaan sepatah kata pun.Livia memutar bola matanya dan mendengus. Ada setitik perasaan kesal atas sikap Nolan pagi itu. Entah apa yang mendorong Livia untuk mengecek ponselnya saat itu juga dan dia kembali merasakan kejanggalan. Nolan yang biasanya setiap pagi mengirimi pesan 'manis', pagi ini tidak ada. Namun Livia tak mau ambil pusing. Bahkan dia sempat berpikir, mungkin karena mereka pagi ini bakal sarapan bareng, atau karena pada saat dia berangkat Livia sudah bangun atau..... lhoh... kenapa kesannya aku jadi mengharapin dia?Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk bersama di ruang makan. Menikmati sarapan tanpa percakapan. Mereka memang jarang sekali sarapan bareng seperti ini. Karena seringnya Nolan berangkat jauh lebih dulu daripada Livia. Tapi entah kenap
"Apa-apaan ini? Siapa dia? Kenapa kamu baru pulang sekolah? Jam berapa sekarang, Via? Ada urusan apa kamu sampai nggak mengizinkan Pak Sam nganter kamu? Urusan sama siapa?" cecar Nolan begitu Livia berhenti tepat di hadapannya. Melihat hal itu, Pak Sam dan Bik Sum langsung sama-sama ngibrit ke belakang. "Kamu kenapa sih, kak? Yang penting kan sekarang aku udah di rumah. Memangnya cuma kamu yang boleh punya urusan?" Livia tak mau kalah. "Tapi kamu nggak pernah pulang seterlambat ini. Kamu juga nggak jelas perginya kemana, sama siapa?" "Memangnya setiap hari harus sama? Enggak kan?" Livia memicingkan mata penuh kekesalan. "Selama ini aku udah jadi anak patuh yang selalu pulang tepat waktu, kalau semisal tiba-tiba hari ini aku ada urusan, harus aku abaikan gitu?" "Ya setidaknya kamu bilang mau pergi kemana. Kamu tau nggak sih udah bikin khawatir orang serumah? Kalau aja ayah kamu tahu kamu pulang ter....." "Stop!!" potong Livia sewot dengan mata sedikit melotot. "Kenapa sih harus
Saat bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat, Livia langsung meninggalkan kelas. Dia berjalan cepat menuju tempat dimana dia pagi tadi bertabrakan dengan Nicky, yaitu di depan ruang Laboratorium. Tapi setibanya di sana, dia bingung saat melihat sekumpulan murid laki-laki dan perempuan tengah nongkrong. Akhirnya Livia cuma bisa mengamati tempat itu dari jauh, sembari matanya melihat-lihat area di sekitarnya. Matanya berbinar saat melihat lembaran putih seukuran dokumen kertas a4 berada di dekat kaki salah seorang murid. Livia yakin itu miliknya. Kertas itu tampak sudah lecek bekas diinjak-injak. "Ya Tuhan. Nggak pa-pa dokumen itu lecek tapi plis jangan ada yang notice, terus ngambil dokumen itu..." desis Livia lirih. Andai aja Sissy masuk sekolah hari ini. Dia pasti bisa meminta anak itu mengambil kertas tersebut. Karena Sissy kan ahli banget ngomong. Dia pasti punya banyak alasan untuk dikatakan terkait kertas itu. Livia putus asa dan kembali ke kelas. Dan saat jam pulang seko
Suara alarm yang nyaring memenuhi seisi kamar Livia. Dengan mata yang masih terpejam, tangan Livia meraba-raba nakas untuk mematikan bunyi alarm yang bersumber dari ponselnya itu."BUGG!!" Bukan alarm yang akhirnya membuat Livia terbangun, melainkan botol minumannya yang terjatuh ke lantai. Reflek Livia melompat dari atas tempat tidur karena cairan yang ada di dalam botol itu keluar dan membasahi karpet di bawah tempat tidurnya. Semalam setelah minum, dia lupa menutup botolnya kembali karena ngantuk yang tak tertahan."Adduuuuuhhh... ada-ada aja siiiiih!" Livia menggerutu sembari mencabut beberapa lembar tisu dan mengelap bekas tumpahan air tersebut. Suara alarm masih berdering dan kini mata Livia sudah benar-benar terbuka. Dia menyambar ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Di saat yang bersamaan matanya melihat sebuah pesan masuk di layar.[Aku berangkat ke kantor. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat sekolah. Have a nice day]"Hmmmhh... ck!" Livia berdecak usai membaca pesan y
Livia membuka mata sambil merasakan tubuhnya tidak nyaman. Huuffh... lagi-lagi dia ketiduran di atas meja belajar dengan posisi tertelungkup. Di hadapannya beberapa buku menumpuk. Dan dia baru sadar, kalau ini terjadi karena dia kelelahan mengerjakan PR. Dengan gerakan sedikit malas, Livia mulai mengemasi buku-buku tersebut dan memasukkan sebagian ke dalam tas. Dia hanya bisa memutar lirih saat melihat beberapa tugas yang belum terselesaikan. Bodo amat! Batinnya. Livia sudah menyerah dengan PR Fisika yang telah dia kerjakan sejak dua jam lalu itu dan langsung melasakkan buku tulis bercover CAMPUS ke dalam tas sekolah miliknya. Setelah semua dirasa beres, Livia menggerakkan ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu memakai skincare sebagai rutinitas wajib sebelum tidur. Begitu selesai, dia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Namun saja dia bersiap untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda, Livia menggeram lirih saat melihat botol minuman di atas nakas di baru sebelah