"Apa-apaan ini? Siapa dia? Kenapa kamu baru pulang sekolah? Jam berapa sekarang, Via? Ada urusan apa kamu sampai nggak mengizinkan Pak Sam nganter kamu? Urusan sama siapa?" cecar Nolan begitu Livia berhenti tepat di hadapannya.
Melihat hal itu, Pak Sam dan Bik Sum langsung sama-sama ngibrit ke belakang. "Kamu kenapa sih, kak? Yang penting kan sekarang aku udah di rumah. Memangnya cuma kamu yang boleh punya urusan?" Livia tak mau kalah. "Tapi kamu nggak pernah pulang seterlambat ini. Kamu juga nggak jelas perginya kemana, sama siapa?" "Memangnya setiap hari harus sama? Enggak kan?" Livia memicingkan mata penuh kekesalan. "Selama ini aku udah jadi anak patuh yang selalu pulang tepat waktu, kalau semisal tiba-tiba hari ini aku ada urusan, harus aku abaikan gitu?" "Ya setidaknya kamu bilang mau pergi kemana. Kamu tau nggak sih udah bikin khawatir orang serumah? Kalau aja ayah kamu tahu kamu pulang ter....." "Stop!!" potong Livia sewot dengan mata sedikit melotot. "Kenapa sih harus bawa-bawa ayah? Aku bukan anak kecil kak! Aku tahu mana yang safety mana yang nggak, aku tahu tempat-tempat mana aja yang nggak boleh aku datangi! Aku tahu, aku ngerti!" "Oke... oke... oke... aku minta maaf. Tapi plis kamu jangan kaya gini lagi ya," Nolan menurunkan nada bicaranya. "Kalau kamu ada urusan di luar jam sekolah, minta tolong Pak Sam anterin kamu. Setidaknya itu jauh lebih aman buat kamu daripada kamu pergi sendiri, ya?" ucapnya sedikit memohon. Livia menatap Nolan sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk berlalu ke kamarnya. Dia capek kalau harus berdebat lagi. Namun Nolan tidak diam begitu saja. Dia menahan tangan Livia yang tanpa sengaja justru membuat dekapan Livia pada buku-bukunya mengendur, sehingga buku-buku itu terjatuh, disusul lembaran-lembaran yang terselip di dalamnya. Baik Nolan maupun Livia sama-sama membelalak melihat ke lantai. Dengan cekatan Nolan memunguti lembaran-lembaran tersebut dan dia sangat kaget saat mengetahui isinya. "Via??? Barusan kamu bilang kamu tahu mana yang safety buat kamu dan mana yang enggak. Tapi.... ini Via? Kamu bawa ini ke sekolah? Buat apa?!" mata Nolan melotot sembari mengacungkan benda-benda itu. Namun nada bicaranya dia coba tahan supaya tidak meninggi. Livia yang tadinya menggebu-gebu kini mulai mengendur, cenderung takut. Bukankah dia sendiri yang tidak menginginkan pernikahan itu diketahui banyak orang? Tapi sekarang Nolan justru memergokinya membawa dokumen rahasia ke tempat paling beresiko. "Aku nggak suka benda ini ada di kamarku. Aku nggak nyaman. Tadi rencananya aku mau simpan aja di rumah ayah. Tapi ternyata aku nggak punya waktu buat ke sana," jawab Livia asal. Nolan menyunggingkan senyuman sinis. Dia menggeleng-gelengkan kepala heran. "Tapi kamu punya waktu buat jalan-jalan sama cowok tadi?" "Siapa yang jalan-jalan? Aku nggak jalan-jalan sama dia. Udah lah kak, aku capek. Siniin dokumennya," Livia berusaha meraih dokumen itu dari tangan Nolan. "Nggak!" Nolan menepis tangan Livia. "Kalau kamu nggak mau simpan, biar aku yang simpan!" tegasnya kemudian berlalu meninggalkan Livia. Livia memandangi punggung Nolan yang makin jauh dan menghilang di lantai dua. It's okay! Livia mengangkat bahu, seolah separuh bebannya hilang. *** "APA LIV???!!!" Suara cempreng Sissy menguar di sambungan telfon membuat Livia reflek menjauhkan ponsel dari telinganya. Malam itu Livia menelfon sahabatnya dan menceritakan peristiwa yang terjadi hari ini. "Lo kenapa bisa seceroboh itu sih Viaaaa? Memang apa jaminannya dia nggak bakalan ember? Lagian bisa-bisanya lo bawa barang serahasia itu ke sekolah. Wah parah lo..!" Sissy nyerocos. "Sissy!" bentak Livia. "Gue cerita gini ke elo karena pengen cari tenang, lo malah nyerocos gitu sih? Ya mana gue tahu kalau bakal apes kaya tadi." "Itu mah namanya bukan apes. Tapi lo ceroboh. Lagian bisa kan kalau mau taroh tu barang ke rumah bokap lo nggak usah pake dibawa-bawa ke sekolah dulu. Nunggu hari minggu kek, ya kali gue nolak kalau lo minta gue nganterin ke sana," omel Sissy. "Ya... gimana ya... namanya udah terlanjur nggak nyaman," bantah Livia. Terdengar suara Sissy menghembuskan napas yang menyebabkan bunyi gemuruh di sambungan telepon. "Terus sekarang dokumen itu dimana?" tanya Sissy kemudian. "Nah itu dia, diminta sama Kak Nolan. Katanya dia yang mau simpen. Bagus lah," jawab Livia enteng. Terdengar suara Sissy berdecak. "Ya ampun Via... Via.., kalau boleh gue ngomong ya, lo jangan keterlaluan deh sama Kak Nolan. Kasian tau. Apa sih kurangnya dia kok lo kayaknya benci banget sama dia. Biar bagaimanapun, dia itu suami elo," tutur Sissy memberi nasehat. "Emangnya gue ngapain dia sih Sy? Salah ya kalau gue pengen bebas menikmati masa-masa muda gue tanpa harus ada embel-embel 'istri orang'. Gue kan emang belum pengen nikah..." "Livia!" potong Sissy setengah membentak. "Lo jangan sembarangan deh kalau ngomong. Lo lupa itu permintaan siapa? Jadi lo mau nyalahin nyokap lo juga?" Pernyataan Sissy tersebut sontak membuat Livia reflek menutup mulut menggunakan telapak tangan. "Maksud gue bukan gitu Sy... ya... gue cuman nggak mau aja terlalu dikait-kaitkan dengan status ini. Gue ngerasa nggak bebas," ralat Livia kemudian. "Tapi kan selama ini Kak Nolan nggak pernah ngekang elo. Dia juga nggak pernah mengait-ngaitkan status kalian di hidup lo kan? Lo masih bisa bebas ngelakuin apapun yang lo mau," Sissy sepertinya sedang berpihak pada Nolan dan itu membuat Livia jengkel. Meski Sissy tahu Livia tidak pernah mencintai Nolan, tapi dia paham bagaimana Nolan yang selalu memperlakukan Livia dengan baik. Bahkan bisa dibilang sangat baik. Menurut Sissy, Livia beruntung memiliki 'suami' seperti Nolan. Mana ada laki-laki mapan setampan Nolan yang tiba-tiba mau menerima pernikahan itu padahal dia sendiri tidak begitu mengenal Livia. Nolan itu cowok idaman banget. Dia bisa memilih cewek mana yang dia mau jadi pendampingnya. Tapi apa? Nolan bahkan menerima segala konsekuensinya karena dia menikahi gadis ABG yang masih sekolah. "Ah udahlah nggak usah bahas dia. Lagi nggak mood gue," jawab Livia malas. "Livia common... plis! Lo jangan sebegitunya deh sama suami lo..." "Aaaah udah udah udahhh..." sahut Livia sewot. "Udahan aja telfonnya kalau lo masih ngomongin itu. Besok lo udah masuk sekolah kan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Hmmm," "Ya udah sampai ketemu besok ya. Bye..." Livia langsung menutup telepon. *** Sementara itu di dalam kamarnya, Nolan sedang berdiri di samping jendela kaca dengan pandangan lurus ke luar. Di tangannya terdapat dokumen yang dia ambil dari Livia. Hatinya terasa perih mengingat peristiwa sore tadi. "Kamu pikir cuma kamu yang nggak ingin pernikahan ini terjadi? Kamu salah, Livia... aku juga punya hak untuk memilih... tapi kamu....?" lirih Nolan sembari mengepalkan tangan kirinya. Hatinya sakit mengingat perdebatannya dengan Livia sore tadi. Kalau saja dia mau dan tega, dia pasti akan mengatakan secara terang-terangan pada gadis itu bahwa dia juga tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi Nolan selalu sadar, Livia itu masih terlalu dini. Jadi dirinya lah yang harus banyak-banyak mengalah dan bersabar dalam situasi ini. Nolan menatap foto pernikahan itu lekat-lekat. Tidak terlalu buruk kok. Pernikahan ini bukan aib. Pernikahan ini merupakan salah satu bentuk bakti anak-anak pada orang tuanya. Nolan menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia membalikkan tubuh dan berjalan mendekati meja kerjanya, menarik laci dan melasakkan dokumen-dokumen itu disana. Malam mulai larut, suasana kian hening. Sesaat sebelum Nolan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, dia mendengar derap langkah di depan kamar. Saat dia mengintip, ternyata Livia tengah berjalan menuju lantai bawah dengan botol minuman kosong di tangannya.Paginya, Livia dan Nolan keluar bersamaan dari kamar mereka masing-masing. Mereka berdua tampak sudah sama-sama rapi. Untuk beberapa saat keduanya saling tatap, namun setelahnya Nolan memilih berlalu mendahului Livia tanpa sapaan sepatah kata pun.Livia memutar bola matanya dan mendengus. Ada setitik perasaan kesal atas sikap Nolan pagi itu. Entah apa yang mendorong Livia untuk mengecek ponselnya saat itu juga dan dia kembali merasakan kejanggalan. Nolan yang biasanya setiap pagi mengirimi pesan 'manis', pagi ini tidak ada. Namun Livia tak mau ambil pusing. Bahkan dia sempat berpikir, mungkin karena mereka pagi ini bakal sarapan bareng, atau karena pada saat dia berangkat Livia sudah bangun atau..... lhoh... kenapa kesannya aku jadi mengharapin dia?Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk bersama di ruang makan. Menikmati sarapan tanpa percakapan. Mereka memang jarang sekali sarapan bareng seperti ini. Karena seringnya Nolan berangkat jauh lebih dulu daripada Livia. Tapi entah kenap
Livia membuka mata sambil merasakan tubuhnya tidak nyaman.Huuffh... lagi-lagi dia ketiduran di atas meja belajar dengan posisi tertelungkup. Di hadapannya beberapa buku mengamuk. Dan dia baru sadar, kalau ini terjadi karena dia kelelahan mengerjakan PR. Dengan gerakan sedikit malas, Livia mulai mengemasi buku-buku tersebut dan memasukkan sebagian ke dalam tas. Dia hanya bisa memutar lirih saat melihat beberapa tugas yang belum terselesaikan.Bodo amat! Batinnya. Livia sudah menyerah dengan PR Fisika yang telah dia kerjakan sejak dua jam lalu itu dan langsung melasakkan buku tulis bercover CAMPUS ke dalam tas sekolah miliknya.Setelah semua dirasa beres, Livia menggerakkan ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu memakai skincare sebagai rutinitas wajib sebelum tidur. Begitu selesai, dia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Namun saja dia bersiap untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda, Livia menggeram lirih saat melihat botol minuman di atas nakas di baru sebelah temp
Suara alarm yang nyaring memenuhi seisi kamar Livia. Dengan mata yang masih terpejam, tangan Livia meraba-raba nakas untuk mematikan bunyi alarm yang bersumber dari ponselnya itu."BUGG!!" Bukan alarm yang akhirnya membuat Livia terbangun, melainkan botol minumannya yang terjatuh ke lantai. Reflek Livia melompat dari atas tempat tidur karena cairan yang ada di dalam botol itu keluar dan membasahi karpet di bawah tempat tidurnya. Semalam setelah minum, dia lupa menutup botolnya kembali karena ngantuk yang tak tertahan."Adduuuuuhhh... ada-ada aja siiiiih!" Livia menggerutu sembari mencabut beberapa lembar tisu dan mengelap bekas tumpahan air tersebut. Suara alarm masih berdering dan kini mata Livia sudah benar-benar terbuka. Dia menyambar ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Di saat yang bersamaan matanya melihat sebuah pesan masuk di layar.[Aku berangkat ke kantor. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat sekolah. Have a nice day]"Hmmmhh... ck!" Livia berdecak usai membaca pesan y
Saat bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat, Livia langsung meninggalkan kelas. Dia berjalan cepat menuju tempat dimana dia pagi tadi bertabrakan dengan Nicky, yaitu di depan ruang Laboratorium. Tapi setibanya di sana, dia bingung saat melihat sekumpulan murid laki-laki dan perempuan tengah nongkrong. Akhirnya Livia cuma bisa mengamati tempat itu dari jauh, sembari matanya melihat-lihat area di sekitarnya. Matanya berbinar saat melihat lembaran putih seukuran dokumen kertas a4 berada di dekat kaki salah seorang murid. Livia yakin itu miliknya. Kertas itu tampak sudah lecek bekas diinjak-injak. "Ya Tuhan. Nggak pa-pa dokumen itu lecek tapi plis jangan ada yang notice, terus ngambil dokumen itu..." desis Livia lirih. Andai aja Sissy masuk sekolah hari ini. Dia pasti bisa meminta anak itu mengambil kertas tersebut. Karena Sissy kan ahli banget ngomong. Dia pasti punya banyak alasan untuk dikatakan terkait kertas itu. Livia putus asa dan kembali ke kelas. Dan saat jam pulang seko
Paginya, Livia dan Nolan keluar bersamaan dari kamar mereka masing-masing. Mereka berdua tampak sudah sama-sama rapi. Untuk beberapa saat keduanya saling tatap, namun setelahnya Nolan memilih berlalu mendahului Livia tanpa sapaan sepatah kata pun.Livia memutar bola matanya dan mendengus. Ada setitik perasaan kesal atas sikap Nolan pagi itu. Entah apa yang mendorong Livia untuk mengecek ponselnya saat itu juga dan dia kembali merasakan kejanggalan. Nolan yang biasanya setiap pagi mengirimi pesan 'manis', pagi ini tidak ada. Namun Livia tak mau ambil pusing. Bahkan dia sempat berpikir, mungkin karena mereka pagi ini bakal sarapan bareng, atau karena pada saat dia berangkat Livia sudah bangun atau..... lhoh... kenapa kesannya aku jadi mengharapin dia?Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk bersama di ruang makan. Menikmati sarapan tanpa percakapan. Mereka memang jarang sekali sarapan bareng seperti ini. Karena seringnya Nolan berangkat jauh lebih dulu daripada Livia. Tapi entah kenap
"Apa-apaan ini? Siapa dia? Kenapa kamu baru pulang sekolah? Jam berapa sekarang, Via? Ada urusan apa kamu sampai nggak mengizinkan Pak Sam nganter kamu? Urusan sama siapa?" cecar Nolan begitu Livia berhenti tepat di hadapannya. Melihat hal itu, Pak Sam dan Bik Sum langsung sama-sama ngibrit ke belakang. "Kamu kenapa sih, kak? Yang penting kan sekarang aku udah di rumah. Memangnya cuma kamu yang boleh punya urusan?" Livia tak mau kalah. "Tapi kamu nggak pernah pulang seterlambat ini. Kamu juga nggak jelas perginya kemana, sama siapa?" "Memangnya setiap hari harus sama? Enggak kan?" Livia memicingkan mata penuh kekesalan. "Selama ini aku udah jadi anak patuh yang selalu pulang tepat waktu, kalau semisal tiba-tiba hari ini aku ada urusan, harus aku abaikan gitu?" "Ya setidaknya kamu bilang mau pergi kemana. Kamu tau nggak sih udah bikin khawatir orang serumah? Kalau aja ayah kamu tahu kamu pulang ter....." "Stop!!" potong Livia sewot dengan mata sedikit melotot. "Kenapa sih harus
Saat bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat, Livia langsung meninggalkan kelas. Dia berjalan cepat menuju tempat dimana dia pagi tadi bertabrakan dengan Nicky, yaitu di depan ruang Laboratorium. Tapi setibanya di sana, dia bingung saat melihat sekumpulan murid laki-laki dan perempuan tengah nongkrong. Akhirnya Livia cuma bisa mengamati tempat itu dari jauh, sembari matanya melihat-lihat area di sekitarnya. Matanya berbinar saat melihat lembaran putih seukuran dokumen kertas a4 berada di dekat kaki salah seorang murid. Livia yakin itu miliknya. Kertas itu tampak sudah lecek bekas diinjak-injak. "Ya Tuhan. Nggak pa-pa dokumen itu lecek tapi plis jangan ada yang notice, terus ngambil dokumen itu..." desis Livia lirih. Andai aja Sissy masuk sekolah hari ini. Dia pasti bisa meminta anak itu mengambil kertas tersebut. Karena Sissy kan ahli banget ngomong. Dia pasti punya banyak alasan untuk dikatakan terkait kertas itu. Livia putus asa dan kembali ke kelas. Dan saat jam pulang seko
Suara alarm yang nyaring memenuhi seisi kamar Livia. Dengan mata yang masih terpejam, tangan Livia meraba-raba nakas untuk mematikan bunyi alarm yang bersumber dari ponselnya itu."BUGG!!" Bukan alarm yang akhirnya membuat Livia terbangun, melainkan botol minumannya yang terjatuh ke lantai. Reflek Livia melompat dari atas tempat tidur karena cairan yang ada di dalam botol itu keluar dan membasahi karpet di bawah tempat tidurnya. Semalam setelah minum, dia lupa menutup botolnya kembali karena ngantuk yang tak tertahan."Adduuuuuhhh... ada-ada aja siiiiih!" Livia menggerutu sembari mencabut beberapa lembar tisu dan mengelap bekas tumpahan air tersebut. Suara alarm masih berdering dan kini mata Livia sudah benar-benar terbuka. Dia menyambar ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Di saat yang bersamaan matanya melihat sebuah pesan masuk di layar.[Aku berangkat ke kantor. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat sekolah. Have a nice day]"Hmmmhh... ck!" Livia berdecak usai membaca pesan y
Livia membuka mata sambil merasakan tubuhnya tidak nyaman.Huuffh... lagi-lagi dia ketiduran di atas meja belajar dengan posisi tertelungkup. Di hadapannya beberapa buku mengamuk. Dan dia baru sadar, kalau ini terjadi karena dia kelelahan mengerjakan PR. Dengan gerakan sedikit malas, Livia mulai mengemasi buku-buku tersebut dan memasukkan sebagian ke dalam tas. Dia hanya bisa memutar lirih saat melihat beberapa tugas yang belum terselesaikan.Bodo amat! Batinnya. Livia sudah menyerah dengan PR Fisika yang telah dia kerjakan sejak dua jam lalu itu dan langsung melasakkan buku tulis bercover CAMPUS ke dalam tas sekolah miliknya.Setelah semua dirasa beres, Livia menggerakkan ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu memakai skincare sebagai rutinitas wajib sebelum tidur. Begitu selesai, dia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Namun saja dia bersiap untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda, Livia menggeram lirih saat melihat botol minuman di atas nakas di baru sebelah temp