Share

4. Mencari keluarga baru

Suasana malam di pesantren begitu tenang dan penuh kedamaian. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan yang berjajar rapi di sekitar asrama santri. Cahaya bulan purnama menyinari halaman, menciptakan bayang-bayang yang bergerak pelan seiring dengan alunan angin.

Di kejauhan, suara jangkrik yang bersahut-sahutan menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Sesekali terdengar lolongan anjing penjaga yang berpatroli, menambah kesan misterius pada malam yang sunyi. Di atas pohon, burung hantu melayang diam-diam, matanya yang tajam mengawasi sekitar dengan penuh kewaspadaan.

Di sudut halaman pesantren, sekumpulan santri duduk melingkar, khusyuk memanjatkan doa dan dzikir. Suara mereka bergema lembut, menyatu dengan keheningan malam. Lampu-lampu minyak yang tergantung di beranda asrama memancarkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Di antara semak-semak, terdengar suara gemerisik dedaunan yang digesek oleh gerakan tikus malam yang mencari makan. Seekor kucing kampung melintas cepat, mengejar bayangannya sendiri yang tercipta dari cahaya lampu.

Langit malam bertabur bintang, memberikan sentuhan magis pada suasana pesantren. Aroma tanah basah dan bunga melati yang mekar di taman seolah mengiringi setiap langkah para santri yang berjalan perlahan menuju tempat tidur mereka. Di kejauhan, suara gemericik air dari kolam kecil menambah kesejukan malam yang hening.

Disinilah mereka berada. Ilmi dan Key, dua santri baru yang baru tiba pagi ini, kini sudah menjadi pusat perhatian. Meskipun baru seharian di pesantren, mereka telah menjadi pahlawan kesiangan. Terutama Key, yang bangga bisa menolong Zena dari hajaran ibu. Dengan penuh canda tawa, kedua santri itu bergurau dengan Gus Karim, pemilik pesantren yang bijaksana dan selalu ramah kepada semua santri.

Malam itu, di bawah naungan langit yang berhiaskan bintang, Gus Karim mengajak Ilmi dan Key duduk di beranda depan pesantren. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi latar belakang yang sempurna untuk perbincangan santai mereka.

“Jadi, bagaimana kalian bisa menolong Zena tadi pagi?” tanya Gus Karim dengan senyum lebar, matanya berkilat penuh minat.

Key tertawa kecil, mengingat kembali kejadian pagi tadi. “Kami sedang berjalan menuju kelas ketika melihat Zena dikejar-kejar oleh ibu. Tanpa pikir panjang, aku dan Ilmi segera berlari dan membantu Zena bersembunyi di balik pohon besar.”

Ilmi menambahkan, “Ya, dan ternyata ibu hanya ingin menyuruh Zena sarapan. Dia marah karena Zena selalu melewatkan waktu makan paginya.”

Gus Karim menggelengkan kepala sambil tertawa. “Zena memang begitu. Dia terlalu asyik dengan buku-bukunya sampai lupa makan. Kalian berdua melakukan hal yang baik.”

Percakapan mereka terus berlanjut, semakin malam semakin riuh dengan tawa dan cerita-cerita lucu. Gus Karim, dengan kebijaksanaannya, sering menyelipkan nasihat-nasihat bijak di antara candaannya. Ilmi dan Key merasa nyaman, seperti sudah lama mengenal Gus Karim.

“Aku ingat dulu ketika pertama kali datang ke pesantren ini,” Gus Karim mulai bercerita, “aku juga membuat kekacauan. Pernah sekali aku jatuh ke kolam ikan saat mencoba menangkap ikan dengan tangan kosong. Santri-santri lain tertawa sampai tak bisa berhenti.”

Mendengar cerita itu, Key dan Ilmi tertawa terpingkal-pingkal. Key berkata, “Jadi Gus juga pernah menjadi pahlawan kesiangan?”

“Benar sekali,” jawab Gus Karim sambil tersenyum, “kita semua punya cerita lucu dan memalukan, dan itulah yang membuat kita lebih dekat satu sama lain.”

Dengan suasana yang penuh kehangatan dan keceriaan, malam itu terasa begitu singkat bagi Ilmi dan Key. Mereka merasa diterima dengan baik di pesantren ini, dan kehadiran Gus Karim menambah rasa aman dan nyaman. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan tempat yang tepat untuk belajar, bertumbuh, dan berbagi cerita dalam perjalanan mereka di pesantren ini.

Tiba-tiba, suasana ceria di beranda pesantren terhenti ketika Zena muncul dengan wajah diperban. Di sebelahnya, Ustadzah Okky berjalan dengan langkah cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. Melihat mereka, senyum di wajah Gus Karim, Ilmi, dan Key perlahan menghilang, digantikan oleh ekspresi cemas.

“Zena, apa yang terjadi?” tanya Gus Karim dengan nada penuh perhatian, bangkit dari kursinya dan mendekat.

Zena menundukkan kepala, suaranya bergetar saat dia mulai bicara. “Maafkan aku, Gus. Kejadian hari ini membuatku sadar kalau aku tidak cocok tinggal di pesantren. Aku tidak ingin menyeret sahabatku, atau Gus, ke dalam konflik keluargaku.”

Air mata mulai mengalir di pipinya. Ustadzah Okky memegang erat tangan Zena, berusaha menenangkan gadis itu. “Zena, kita semua di sini untuk mendukungmu. Kamu tidak sendiri.”

Gus Karim menarik napas dalam-dalam, menatap Zena dengan penuh kasih. “Zena, pesantren ini adalah rumah bagi semua yang datang mencari kedamaian dan ilmu. Apapun masalah yang kamu hadapi, kami akan selalu ada untukmu. Jangan merasa bahwa kamu harus menanggung semuanya sendirian.”

Ilmi dan Key saling bertukar pandang, merasa sedih melihat teman baru mereka dalam keadaan seperti itu. Key, yang sangat peduli pada Zena berkata, “Zena, kalau kamu pergi dalam waktu dekat, aku tidak bisa mengobati lukamu. Tinggallah selama beberapa hari, setelah itu terserah padamu.”

Zena menggelengkan kepalanya, tangisnya semakin pecah. “Aku tidak ingin membuat masalah lebih besar. Keluargaku... mereka tidak akan pernah mengerti.”

Ustadzah Okky membelai rambut Zena dengan lembut. “Zena, kita akan bicara dengan keluargamu. Mereka harus memahami bahwa kamu butuh dukungan dan cinta, bukan kekerasan.”

Gus Karim mengangguk setuju. “Kita akan mencari jalan terbaik bersama. Tapi jangan membuat keputusan saat kamu sedang sedih dan terluka. Malam ini, istirahatlah. Besok kita akan mencari solusi.”

Dengan hati-hati, Ustadzah Okky membantu Zena masuk ke dalam asrama, meninggalkan Ilmi, Key, dan Gus Karim di beranda. Malam yang sebelumnya penuh tawa kini berubah menjadi malam penuh keprihatinan dan kepedulian.

Ilmi dan Key duduk diam, merenung. Mereka baru saja tiba di pesantren ini, namun sudah merasakan begitu banyak emosi dan drama. Key menggenggam tangan Ilmi, seolah mencari kekuatan dari sahabat barunya.

Gus Karim menatap mereka berdua, memberikan senyum tipis. “Kalian sudah menjadi bagian dari keluarga ini.”

Keesokan harinya, di bawah sinar matahari pagi yang lembut, Zena mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Gus Karim. Ia tahu bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan beban yang menghimpit hatinya.

Dengan wajah tegar namun penuh rasa bersalah, Zena menuturkan, “Gus, ada sesuatu yang harus saya akui. Alasan sebenarnya saya memasuki pesantren ini bukanlah untuk menuntut ilmu. Saya melarikan diri dari jerat keluarga saya dan berusaha mencari pemuda polos yang mau diajak pura-pura menikah.”

Gus Karim mendengarkan dengan seksama, wajahnya tetap tenang meskipun kekecewaan jelas terlihat di matanya. Zena melanjutkan dengan suara bergetar, “Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya salah, tapi hanya itu solusi yang saya punya. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi.”

Gus Karim menarik napas panjang, menahan kemarahan yang mendidih di tenggorokannya. Dia tahu bahwa emosi tidak akan membantu menyelesaikan masalah ini. Dengan penuh pengertian, ia berkata, “Zena, saya memahami betapa berat beban yang kamu pikul. Meskipun saya kecewa dengan tindakanmu, saya tidak ingin melihatmu tersesat tanpa arah.”

Mata Zena berkaca-kaca, terharu dengan sikap Gus Karim yang penuh pengertian. “Gus, saya... saya sangat menyesal.”

Gus Karim mengangguk pelan, “Untuk saat ini, saya ingin kamu mengambil cuti mental. Saya akan memberikan tempat tinggal di dekat pesantren, agar kamu bisa hidup sendiri, jauh dari keluargamu. Dengan begitu, kamu bisa memikirkan rencana hidupmu dengan lebih tenang.”

Zena terkejut dan merasa lega mendengar tawaran itu. “Terima kasih, Gus. Saya tidak tahu harus berkata apa.”

Gus Karim melanjutkan, “Bahkan, jika kamu tidak keberatan, saya bersedia membantumu mencari pasangan yang sesuai dengan keinginanmu. Namun, ini harus dilakukan dengan cara yang benar, dengan niat yang baik dan tulus.”

Zena menundukkan kepala, merasa beban yang selama ini menghimpit dadanya perlahan mulai terangkat. “Saya akan mempertimbangkannya, Gus. Terima kasih atas pengertian dan kebaikan hati Anda.”

Gus Karim tersenyum tipis, “Tidak apa-apa, Zena. Di sini, kita adalah keluarga. Kita akan selalu mendukung satu sama lain, apa pun yang terjadi.”

Gus Karim lebih pengertian dari yang Zena kira. Membuat pipi gadis tomboi itu merona dadu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status