Suasana malam di pesantren begitu tenang dan penuh kedamaian. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan yang berjajar rapi di sekitar asrama santri. Cahaya bulan purnama menyinari halaman, menciptakan bayang-bayang yang bergerak pelan seiring dengan alunan angin.
Di kejauhan, suara jangkrik yang bersahut-sahutan menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Sesekali terdengar lolongan anjing penjaga yang berpatroli, menambah kesan misterius pada malam yang sunyi. Di atas pohon, burung hantu melayang diam-diam, matanya yang tajam mengawasi sekitar dengan penuh kewaspadaan. Di sudut halaman pesantren, sekumpulan santri duduk melingkar, khusyuk memanjatkan doa dan dzikir. Suara mereka bergema lembut, menyatu dengan keheningan malam. Lampu-lampu minyak yang tergantung di beranda asrama memancarkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Di antara semak-semak, terdengar suara gemerisik dedaunan yang digesek oleh gerakan tikus malam yang mencari makan. Seekor kucing kampung melintas cepat, mengejar bayangannya sendiri yang tercipta dari cahaya lampu. Langit malam bertabur bintang, memberikan sentuhan magis pada suasana pesantren. Aroma tanah basah dan bunga melati yang mekar di taman seolah mengiringi setiap langkah para santri yang berjalan perlahan menuju tempat tidur mereka. Di kejauhan, suara gemericik air dari kolam kecil menambah kesejukan malam yang hening. Disinilah mereka berada. Ilmi dan Key, dua santri baru yang baru tiba pagi ini, kini sudah menjadi pusat perhatian. Meskipun baru seharian di pesantren, mereka telah menjadi pahlawan kesiangan. Terutama Key, yang bangga bisa menolong Zena dari hajaran ibu. Dengan penuh canda tawa, kedua santri itu bergurau dengan Gus Karim, pemilik pesantren yang bijaksana dan selalu ramah kepada semua santri. Malam itu, di bawah naungan langit yang berhiaskan bintang, Gus Karim mengajak Ilmi dan Key duduk di beranda depan pesantren. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi latar belakang yang sempurna untuk perbincangan santai mereka. “Jadi, bagaimana kalian bisa menolong Zena tadi pagi?” tanya Gus Karim dengan senyum lebar, matanya berkilat penuh minat. Key tertawa kecil, mengingat kembali kejadian pagi tadi. “Kami sedang berjalan menuju kelas ketika melihat Zena dikejar-kejar oleh ibu. Tanpa pikir panjang, aku dan Ilmi segera berlari dan membantu Zena bersembunyi di balik pohon besar.” Ilmi menambahkan, “Ya, dan ternyata ibu hanya ingin menyuruh Zena sarapan. Dia marah karena Zena selalu melewatkan waktu makan paginya.” Gus Karim menggelengkan kepala sambil tertawa. “Zena memang begitu. Dia terlalu asyik dengan buku-bukunya sampai lupa makan. Kalian berdua melakukan hal yang baik.” Percakapan mereka terus berlanjut, semakin malam semakin riuh dengan tawa dan cerita-cerita lucu. Gus Karim, dengan kebijaksanaannya, sering menyelipkan nasihat-nasihat bijak di antara candaannya. Ilmi dan Key merasa nyaman, seperti sudah lama mengenal Gus Karim. “Aku ingat dulu ketika pertama kali datang ke pesantren ini,” Gus Karim mulai bercerita, “aku juga membuat kekacauan. Pernah sekali aku jatuh ke kolam ikan saat mencoba menangkap ikan dengan tangan kosong. Santri-santri lain tertawa sampai tak bisa berhenti.” Mendengar cerita itu, Key dan Ilmi tertawa terpingkal-pingkal. Key berkata, “Jadi Gus juga pernah menjadi pahlawan kesiangan?” “Benar sekali,” jawab Gus Karim sambil tersenyum, “kita semua punya cerita lucu dan memalukan, dan itulah yang membuat kita lebih dekat satu sama lain.” Dengan suasana yang penuh kehangatan dan keceriaan, malam itu terasa begitu singkat bagi Ilmi dan Key. Mereka merasa diterima dengan baik di pesantren ini, dan kehadiran Gus Karim menambah rasa aman dan nyaman. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan tempat yang tepat untuk belajar, bertumbuh, dan berbagi cerita dalam perjalanan mereka di pesantren ini. Tiba-tiba, suasana ceria di beranda pesantren terhenti ketika Zena muncul dengan wajah diperban. Di sebelahnya, Ustadzah Okky berjalan dengan langkah cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. Melihat mereka, senyum di wajah Gus Karim, Ilmi, dan Key perlahan menghilang, digantikan oleh ekspresi cemas. “Zena, apa yang terjadi?” tanya Gus Karim dengan nada penuh perhatian, bangkit dari kursinya dan mendekat. Zena menundukkan kepala, suaranya bergetar saat dia mulai bicara. “Maafkan aku, Gus. Kejadian hari ini membuatku sadar kalau aku tidak cocok tinggal di pesantren. Aku tidak ingin menyeret sahabatku, atau Gus, ke dalam konflik keluargaku.” Air mata mulai mengalir di pipinya. Ustadzah Okky memegang erat tangan Zena, berusaha menenangkan gadis itu. “Zena, kita semua di sini untuk mendukungmu. Kamu tidak sendiri.” Gus Karim menarik napas dalam-dalam, menatap Zena dengan penuh kasih. “Zena, pesantren ini adalah rumah bagi semua yang datang mencari kedamaian dan ilmu. Apapun masalah yang kamu hadapi, kami akan selalu ada untukmu. Jangan merasa bahwa kamu harus menanggung semuanya sendirian.” Ilmi dan Key saling bertukar pandang, merasa sedih melihat teman baru mereka dalam keadaan seperti itu. Key, yang sangat peduli pada Zena berkata, “Zena, kalau kamu pergi dalam waktu dekat, aku tidak bisa mengobati lukamu. Tinggallah selama beberapa hari, setelah itu terserah padamu.” Zena menggelengkan kepalanya, tangisnya semakin pecah. “Aku tidak ingin membuat masalah lebih besar. Keluargaku... mereka tidak akan pernah mengerti.” Ustadzah Okky membelai rambut Zena dengan lembut. “Zena, kita akan bicara dengan keluargamu. Mereka harus memahami bahwa kamu butuh dukungan dan cinta, bukan kekerasan.” Gus Karim mengangguk setuju. “Kita akan mencari jalan terbaik bersama. Tapi jangan membuat keputusan saat kamu sedang sedih dan terluka. Malam ini, istirahatlah. Besok kita akan mencari solusi.” Dengan hati-hati, Ustadzah Okky membantu Zena masuk ke dalam asrama, meninggalkan Ilmi, Key, dan Gus Karim di beranda. Malam yang sebelumnya penuh tawa kini berubah menjadi malam penuh keprihatinan dan kepedulian. Ilmi dan Key duduk diam, merenung. Mereka baru saja tiba di pesantren ini, namun sudah merasakan begitu banyak emosi dan drama. Key menggenggam tangan Ilmi, seolah mencari kekuatan dari sahabat barunya. Gus Karim menatap mereka berdua, memberikan senyum tipis. “Kalian sudah menjadi bagian dari keluarga ini.” Keesokan harinya, di bawah sinar matahari pagi yang lembut, Zena mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Gus Karim. Ia tahu bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan beban yang menghimpit hatinya. Dengan wajah tegar namun penuh rasa bersalah, Zena menuturkan, “Gus, ada sesuatu yang harus saya akui. Alasan sebenarnya saya memasuki pesantren ini bukanlah untuk menuntut ilmu. Saya melarikan diri dari jerat keluarga saya dan berusaha mencari pemuda polos yang mau diajak pura-pura menikah.” Gus Karim mendengarkan dengan seksama, wajahnya tetap tenang meskipun kekecewaan jelas terlihat di matanya. Zena melanjutkan dengan suara bergetar, “Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya salah, tapi hanya itu solusi yang saya punya. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi.” Gus Karim menarik napas panjang, menahan kemarahan yang mendidih di tenggorokannya. Dia tahu bahwa emosi tidak akan membantu menyelesaikan masalah ini. Dengan penuh pengertian, ia berkata, “Zena, saya memahami betapa berat beban yang kamu pikul. Meskipun saya kecewa dengan tindakanmu, saya tidak ingin melihatmu tersesat tanpa arah.” Mata Zena berkaca-kaca, terharu dengan sikap Gus Karim yang penuh pengertian. “Gus, saya... saya sangat menyesal.” Gus Karim mengangguk pelan, “Untuk saat ini, saya ingin kamu mengambil cuti mental. Saya akan memberikan tempat tinggal di dekat pesantren, agar kamu bisa hidup sendiri, jauh dari keluargamu. Dengan begitu, kamu bisa memikirkan rencana hidupmu dengan lebih tenang.” Zena terkejut dan merasa lega mendengar tawaran itu. “Terima kasih, Gus. Saya tidak tahu harus berkata apa.” Gus Karim melanjutkan, “Bahkan, jika kamu tidak keberatan, saya bersedia membantumu mencari pasangan yang sesuai dengan keinginanmu. Namun, ini harus dilakukan dengan cara yang benar, dengan niat yang baik dan tulus.” Zena menundukkan kepala, merasa beban yang selama ini menghimpit dadanya perlahan mulai terangkat. “Saya akan mempertimbangkannya, Gus. Terima kasih atas pengertian dan kebaikan hati Anda.” Gus Karim tersenyum tipis, “Tidak apa-apa, Zena. Di sini, kita adalah keluarga. Kita akan selalu mendukung satu sama lain, apa pun yang terjadi.” Gus Karim lebih pengertian dari yang Zena kira. Membuat pipi gadis tomboi itu merona dadu.Zena kembali ke asrama dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan tadi dengan Gus Karim. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun banyak hal yang masih perlu dipikirkan. Ketika dia tiba di asrama, ia mulai bersiap untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari ketenangan dan petunjuk dalam doanya.Saat mengambil wudu, bayangan wajah Gus Karim muncul di benaknya, dengan senyuman bijak yang menenangkan. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang beliau ucapkan tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Zena tidak bisa menahan diri untuk berangan-angan, berharap memiliki seseorang seperti Gus Karim dalam hidupnya—seseorang yang bijaksana, penuh kasih, dan selalu siap mendukung tanpa menghakimi.Setelah mengenakan mukena, Zena berdiri di atas sajadah, menghadap kiblat. Setelah selesai salat, Zena duduk bersila, berzikir pelan sambil menenangkan hatinya.Tidak lama kemudian, seorang pemuda muncul di depan pintu asrama, tampak seperti baru saja menyusup melewati pen
Key bertemu Ilmi. Keduanya berjalan beriringan. Sudah saatnya Key menceritakan keinginannya menjadi suami bohongan untuk Zena.“Katakan sejujurnya bro. Apa alasan lu pengen membantu sampai segitunya?”“Kenapa ya bro? Gue cuman merasa dia itu ... Cantik."Ilmi terbatuk mendengarnya. "Dari sekian banyak cewek cantik yang kita lihat semasa perjalanan. Pas di Bali, di ibukota, dan di Jogja, lu malah jatuh hati ke gadis kampung? Ternyata selera lu ayam kampung?""Apaan sih lu, ayam kampung adanya di sono noh, di warung makan."Karena kesal, Key menghajar pundak Ilmi. Ilmi tidak ingin kalah dan balas menangkis tinju-tinju Key. "Heaaa!!" Keduanya berkelahi bohongan. Tingkah konyol mereka tidak mengurangi aura wibawa yang terpancar dari diri masing-masing."Cukup! Cukup!""Kenapa, takut? Segitu saja kemampuanmu dokter muda?! Asal tahu saja, gua bisa--"Key menyemprot bibir bocor Ilmi dengan semprotan cabai. "ASU." "Lu
Saat Zena memeluk tangannya, Ilmi sudah merasakan pertanda buruk. Saat Zena mengatakan kebohongan luar biasa itu, Ilmi refleks menarik tangannya dan mengucapkan kata-kata mutiara, "You Motherfucker!"Zena tidak membiarkannya lolos. Gadis itu terus memeluk dan mengejar Ilmi yang berusaha tidak terlibat terlalu jauh. Samar-samar telinga Ilmi menangkap suara lirih gadis itu yang meminta tolong padanya, "tolong aku ... Tolong ... Kumohon mas ... ""Zena!!!!""Apa benar kamu berhubungan badan dengan laki-laki ini? Jangan yang jujur!" Bentak ayah Zena.Zena sudah berkeringat dingin. Dengan lirih dia menjawab, "be--benar. Dia pacar pertama yang berhubungan badan denganku. Jadi keperawananku direnggut oleh dia.""Keterlaluan kamu Zena!"Ibu Zena yang dari tadi diam tidak kuasa menahan kesedihan dan pingsan. Untung Iz dan Sam gesit menangkap badan dan kepala Sarah sebelum menghantam beton keras.Zena mengatakan hal mengejutkan lagi. "Aku dan Ilham akan meni
"Kamu menangis?" Ustadzah Okky bertanya pada Key yang matanya berair."Iya ... Siapa sangka Ilmi akan menikah di usia semuda ini ... Aku keduluan," Jawab Key setengah jujur setengah mengada-ngada.Ilmi mencium telapak tangan kanan Zena. Darahnya memanas membayangkan gadis cantik itu ada di ranjangnya. Jiwa playboy nya takluk di hadapan kecantikan Zena yang unik. Bentuk wajahnya oval, dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang yang tegas, memberikan kesan kekuatan yang elegan. Kulitnya halus, berkilau dengan cahaya alami yang memancarkan kesehatan dan perawatan diri yang cermat.Matanya besar dan berbinar, alisnya tegas dan terawat, hidungnya ramping dan proporsional, menambahkan sentuhan keanggunan pada keseluruhan wajahnya. Setiap detail dari wajahnya, mulai dari lekuk dagu hingga kilauan mata, mengkomunikasikan kepercayaan diri dan kharisma yang tak terbantahkan, membuatnya memancarkan aura perempuan tomboi yang tidak hanya cantik teta
Zena menatap 5 jenis hidangan besar di mejanya. Key membelikannya banyak makanan. Apa dompetnya tidak kurus membeli makanan sebanyak ini? “Anu, Key, kamu kan hanya dokter kecil.” “Terus?” “Apa kamu tidak terlalu boros membeli makanan sebanyak ini? Aku tahu harga makanan disini, cukup untuk menguras setengah kantong pegawai UMR rendah hanya dengan sekali makan.” Key tertawa kecil, katanya, “kamu banyak bicara sekali. Aku yang mengajak, aku yang bayar. Tidak perlu memikirkan hal lain.” Kata Key serba ringkas. Melihat Zena tidak mau menyentuh bagiannya, Key pun makan lebih dulu. Key terus memaksa Zena agar makan. Menurutnya Zena kelihatan seperti belum makan berhari-hari. “Aku harus tenang. Jangan buat gerakan berlebihan, nanti Zena malah ilfeel padamu.” Key mencoba menyuapi Zena. “apa yang kubilang tentang jangan bertindak berlebihan? Arghh, Key kau payah sekali!” sementara Zena menatap Key dengan bingung. “m
Zena meletakkan pesanan, satu persatu ke atas meja dengan sopan. Tidak ada kesombongan di hatinya walaupun orang-orang yang duduk disana adalah teman-temannya semasa di pesantren.“Lebih baik bertemu mereka daripada keluargaku. Bolehkah aku menyebut mereka keluarga baruku sekarang?” Zena bertanya-tanya dalam hati. Melihat beberapa ustadz dan ustadzah bergurau dengan anak-anak panti yang mayoritas masih berusia 9 – 10 tahun.“Boleh aku bergabung?” Zena terkesima. Mereka masih ada disini hingga beberapa jam setelahnya. “boleh aku duduk di sebelah kamu, Okky?”“Silakan, kenapa harus minta izin segala sih, hehee.”Terlihat jelas ketidaksukaan di mata ustadz dan ustadzah lain. Zena adalah sumber masalah bagi mereka. Gara-gara Zena, pesantren mereka didatangi oleh keluarga dukun paling ditakuti di desa Parengsek. Kegiatan belajar mengajar jadi terkendali karena para ustadz dan ustadzah bergantian memberikan pengertian pada Hanum dan keluarganya agar berhenti mengganggu
Malam itu Zena menemui neraka dunia.Key yang kembali ke cafe di jam yang sama seperti kemarin tidak bisa menemukan Zena.Coba cari ke bengkel. Kata maid di cafe tersebut.Ke bengkel pun hasilnya sama. Sama-sama zonk. Key berpikir sejenak, mungkin terjadi sesuatu yang buruk. Sebab setahunya Zena tidak pernah absen bekerja. Gadis itu tidak pernah absen mencari uang dan menghindar dari orang-orang yang tidak disukainya. Termasuk yang baru Key ketahui belakangan ini. Zena ternyata tidak menyukai sikap Ilmi di rumah.“Buang jauh-jauh, buang jauh-jauh khayalan itu!” Key memukul kepalanya sendiri dengan lembut. Kalau terlalu kuat, takutnya terjadi pembekuan darah di otak. Sebagai calon dokter, Key tidak mau terkena penyakit apapun sebelum mewujudkan mimpinya.“Tenang kawan. Jangan gila Cuma karena sang bidadari menghilang dari lane.” Key bermonolog. Dia menikmati setiap detik yang ia habiskan saat bermonolog.Yakin berdiam diri takkan menyelesaikan apapun, Ke
“Bro, sedang apa kau di depan rumah temanmu yang sudah menikah?” tanya Ilmi berusaha menyembunyikan wajah senangnya. Key menatap Ilmi lekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan beberapa patah kata saja, “kalian tidak benar-benar menikah. Gus Karim juga memintamu menjaga dan melindungi Zena. Semua masalah kita akan beres asalkan membantu Zena bangkit dari keterpurukannya.” “Bro, aku mau berangkat kerja.” “Kerja apa?” “Ada deh. Pokoknya, kalau kau datang untuk mencari Zena, dia tidak ada disini. Gadis itu berangkat pagi-pagi sekali.” Ilmi sengaja mengarang cerita supaya bisa menggunakan Zena sekali lagi. “Hari ini aku tidak bisa jalan denganmu, nanti malam saja ya.” Ilmi menepuk pundak Key yang masih mematung seolah memikirkan sesuatu. “Iya.” Jawab Key singkat. “Kalau iya kenapa masih diam disini? Mundur sedikit. Aku mau kunci pintu.” Ilmi sedikit mendorong Key. “
Zena memutuskan pindah dari rumahnya saat ini. Baru saja gadis kecil kita mendapatkan pekerjaan baru di toko kue. Jadi mulai besok Zena akan bekerja sebagai koki kue di toko kue tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menampung saya selama beberapa hari disini." Ucap Zena sambil menyalami mbak Rara. "Iya. Sayang sekali kamu gagal di tes itu." "Iya. Mau bagaimana lagi." Zena sudah ikhlas. Mungkin posisi asisten manajer Rara memang tidak ditakdirkan untuknya. "Sekarang kamu mau tinggal dimana?" Zena tidak sungkan menjelaskan semuanya pada Rara. Biar bagaimanapun Rara adalah orang pertama yang bersedia menampungnya. Memberikannya tempat tinggal gratis dengan perjanjian memotong gaji. Mungkin jika Zena sukses dalam tes itu, alur kehidupannya akan berbeda. "Sampai jumpa lagi mbaj Rara. Saya akan memasak kue mulai hari ini." Mbak Rara melambaikan
"Jadi kamu si pegawai baru itu. Sayang sekali sayang gak bisa ospek kamu, padahal perploncoan itu penting." Seorang pegawai senior menghampiri Zena. Menyadarkan gadis kita dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan?" Zena tersipu. Berkata jujur hanya akan membuatnya semakin malu. "Saya cuma sedang gugup." Tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa gugup sama sekali. "Zena?" Mbak Rara memanggil Zena. Dengan segera menghampiri bosnya. "Sudah siap mengikuti tes? Kalau berhasil posisi Asisten Manajer saya akan jatuh ke tangan kamu." "Sudah siap bos. Kalau akan membuat kerajinan tangan dari kayu untuk mengenang hari kerja pertama saya di Malaysia." sahut Zena dengan emosinya yang terkontrol dengan baik. Penting untuk bersikap sopan dan mengontrol luapan emosi agar tidak dianggap kasar. Budaya kerja Malaysia mungkin tidak ada bedanya dengan budaya kerja Indonesia, hanya bahasanya saja yang berbeda.
* POV ZENA * Pertama kali menginjakkan kaki diluar negeri, aku gugup setengah mati. "Mbak .... Kita mau tinggal dimana?" tanyaku pada mbak Rara. Orang yang menjemputku ketika turun dari pesawat. "Ke kontrakan kamu." Jawab mbak Rara dingin. Aku mengederkan pandangan ke sekitar. Bandara ini sangat canggih. Hampir semuanya dikerjakan oleh mesin. Tenaga manusia hanya diperlukan di bagian keamanan saja. Kami naik taksi ke tempat tujuan. Wanita ini adalah pengganti wanita yang mengajakku merantau. Sejauh yang aku tahu, wanita ini adalah agen pemandu perjalanan. Sikapnya yang dingin seolah menunjukkan ketidaksukaannya pada perantau sepertiku. "Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menyukai anda. Saya hanya sedang liburan dan juga sedang sakit gigi." Ucapnya. Aku mengangguk. Apa ekspresiku terlalu mudah dibaca? Aku dan Giska berpisah saat menurun
Tanpa sadar aku mengedipkan mata padanya. “Apa kamu tidak ingin mengajakku jalan-jalan? Kamu sedang sibuk ya?” Aku sengaja mengetesnya. Apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau masih ada, dia pasti menerima ajakanku atau minimal membuat janji temu nanti. Senang melihatnya salah tingkah. Untung saja tidak ada orang lain di ruangan ini, kalau ada, apalagi itu staf rumah sakit, mereka bisa terkejut setengah mati melihat dokter yang biasanya berwibawa itu menjadi ciut ketika berhadapan denganku. “Kamu datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang sibuk sekarang.” Gumam Key. Tampak raut wajah yang letih. “Maaf. Aku kangen banget sama kamu. Apa kamu punya waktu luang? Bagaimana kalau healing sambil jalan-jalan?” Tawarku. “Darimana ... Kamu tahu aku bekerja disini?” Gampang saja, bertanya pada orang-orang. Bagi introvert sepertimu bertanya mungkin adalah tindakan yang asing. Dasar oppa penyendiri!
“Kenapa tidak mengabari kami? Ayah bisa menyiapkan reuni keluarga terbaik sepanjang hidupmu. Benar kan? Iz, Sam.”Iz dan Sam. Kedua pamanku datang dengan gaya seorang koboi. Tapi yang mereka tunggang bukan kuda melainkan kerbau.“Kembalilah ke keluarga Zena. Kami tidak sejahat yang kau pikirkan.” Kata paman Iz.“Justru sebaliknya. Kami akan memberimu sebuah perusahaan kalau pulang sekarang. Ini rahasia keluarga kita. Selama ini kamu tidak tidak tahu keluarga kita punya perusahaan kan?” Timpal paman Sam dengan delusinya.Perusahaan apa? Kalau keluarga kami punya perusahaan tidak mungkin ayahku berprofesi sebagai dukun.“Diam kalian dua pengangguran! Jangan ikut campur.” Bentakku lantang.Aku memberi kode pada si botak dan si gondrong. Sebenarnya aku tidak ingat nama mereka, jadi kupanggil saja demikian.Kusuruh mereka mendekat karena instingku berkata: akan terjadi pertempuran sebentar lagi.“Zena! Jangan kurang ajar! Mereka pamanmu.”“Tap
“Sa-saya tidak melakukan apa-apa, sumpah!”Kalau tidak melakukan apa-apa kenapa takut aku mengecek kamera pengawas? Syarif semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.Kamera pengawas sudah di tanganku. “Aku tidak akan melaporkanmu kalau kamu tidak sengaja. Jadi tenanglah! Ataukah mungkin ... Kamu memang sengaja tidur di sebelahku tadi malam?”“Tidak! Sleep Walking lah penyebabnya, hanya itu!”Ketika aku menyalakan kamera pengawas, terlihat gambar baterai kosong. Sial. Gagal sudah keinginanku meluruskan masalah ini.Syarif tampak bernafas lega. Huh, kau tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di dekatku lagi. Bayangkan ada yang melihat kami keluar dari kamar yang sama pagi ini. Betapa malunya aku kalau sampai Okky tahu.“Keluar! Mau itu Sleep Walking atau sengaja, intinya kamu sudah tidur di sebelahku tanpa izin. Jangan kira kamu bisa lolos dari masalah ini.” Ucapku pada Syarif yang baru keluar dari toilet.Sikap san
Sebenarnya sebelum bisa bertemu Okky, aku harus menghadapi beberapa halangan terlebih dahulu. “Assalamualaikum, Umi, Abi, Gus Karim.” Aku berdiri menunggu di ambang pintu, menunggu mereka bereaksi yang mendengar panggilanku. Aku kembangkan senyum terbaik untuk mereka yang dulu sayang padaku. “Si—siapa kamu?” tanya istri Gus, bangkit berdiri meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Aku tersenyum dan membuka maskerku. “Ini aku, Zena. Apa kabar Umi?” Tubuh Umi yang berisi menabrakku. Umi sangat senang sepertinya. “Apa benar ini kamu?” tanya Umi sekali lagi. Dasar. Padahal dia sudah menghambur ke aku, tapi masih saja mempertanyakan identitasku. “Iya, ini aku Umi. Zena si Gorilla Kampung. Zena pulang sebentar untuk menghadiri pernikahan Okky.” Betapa senangnya Umi bertemu denganku. Ibu-ibu lain pun menggerumbungi aku seperti semut mengepung gula. Mereka penasaran kenapa aku menjadi sangat cantik. Padahal di ingatan merek
"Iya, aku butuh sekarang juga. Aku tunggu di lokasi." Ucapku di telepon. Desa Parengsek ternyata jadi lebih buruk dibanding 4 tahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mendekati orang-orang setelah kejadian memalukan dengan anak-anak tadi. Tiba-tiba pikiranku mengarah ke suatu tempat. Pesantren Gus Karim. Masih ada waktu 20 menit sebelum mempelai wanita tiba. Dan 15 menit sebelum pengawa yang aku pesan sampai. "Mari kita lihat bagaimana pesantren itu sekarang." Gumamku sambil mempercepat langkah. Selama di perjalanan aku bertemu orang-orang yang dulu sempat mengisi hidupku. Kebanyakan adalah petani sawit yang dulunya pernah jadi temanku sewaktu kecil. Ternyata tidak ada dari mereka yang berani merantau dan memilih terjebak di desa ini sampai mereka dewasa. Dulu aku sering bermain dengan mereka walaupun usia kami terpaut jauh. Aku 8 tahun, mereka 14 tahun. Dan mereka semuanya laki-laki. Meskipun mereka laki-laki dan aku perempuan, me
Dering pesan beberapa kali terdengar dari ponselku. "itu pasti dari rekan bisnisku. Duh, maaf aku membatalkan kontrak sepihak." gumamku dalam hati penuh penyesalan. Sekejap saja penyesalan itu datang, beberapa detik kemudian hatiku kembali bersuka cita karena Okky akhirnya menemukan pangeran impiannya. Dulu waktu SD, Okky pernah bilang padaku, kalau laki-laki impiannya adalah yang berbadan atletis dan tidak memiliki janggut. Okky dari dulu menyukai laki-laki Baby Face. Katanya mereka imut tapi di suatu saat bisa jadi sangat ganas seperti macan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Sebenarnya aku sangat panasaran dengan wajah mempelai prianya. Okky sengaja merahasiakannya dariku saat kami telponan. Katanya untuk menjaga kejutannya. Membuatku berpikir, mungkin mempelai prianya aktor atau selebriti muda. Apa yang harus aku pakai di pernikahannya nanti? Tidak, sebelum itu, aku harus mempersiapkan mentalku terlebih dahulu. Bisa