Sudut pandang Gus Karim.
“Saya sudah mengatakan semua yang Zena katakan sebelum jadi santri. Sejujurnya, aku kagum pada Zena karena mau jujur pada perasaannya. Dan aku juga merasa kasihan padanya, karena tekanan dari keluarganya, dia sampai mencari calon suami ke dalam pesantrenku. Tatapan tajam Gus Karim membuat kedua om Zena gemetar ketakutan. Mereka merasa seakan berhadapan dengan seekor harimau bukan manusia. Iz membuka mulutnya, meminta bertemu dengan Zena. Gus Karim yang adil pada semua orang pun langsung membukakan gerbang pesantrennya untuk Iz dan Sam. “Kita sudah di dalam. Sekarang apa Iz?” “Cari Zena lah! Memang untuk apa lagi kita datang ke tempat panas ini?” “Gus! Apa pesantren tempatnya memang sepanas ini?” Gus Karim merasa bingung. Dari tadi angin berhembus semilir, jadi tidak mungkin suasana disini sepanas itu. Malahan, Gua Karim yang memakai baju tebal saja masih merasa kedinginan. “Disini segar seperti tepi pantai. Kalian ini bercanda saja, hahaha.” Zena tiba-tiba muncul di perempatan jalan. Gadis itu mengenakan mukena putih. Sebuah sajadah menggantung di tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang kayu penyangga Al-Qur’an. “Zena! Disitu kamu rupanya!” Zena yang sedang berjalan bersama dua teman barunya pun terkejut. “Om Iz dan Om Sam? Ngapain Upin dan Ipin itu kesini?” Untuk sesaat Zena lupa kalau dia sedang buron. Akhirnya dia paham apa yang terjadi. Zena pun menarik sudut bibirnya sebelah. Bermaksud mengejek kedua omnya dengan senyuman miring. “Zena. Kesini sebentar nak,” panggil Gus Karim. Zena pun langsung berlari dan salim ke Gus Karim. Dengan wajah tidak berdosa bertanya kenapa paman-pamannya mencarinya. “Om Upin dan Ipin ngapain kesini? Aku sedang melaksanakan perintah ibu. Aku sedang mencari pasangan hidupku!” “Kami sudah tahu alasanmu masuk pesantren dari Gus Karim. Itu salah Zena. Kamu harus menikah dengan pria kaya raya, bukan anak santri yang miskin dan pendidikannya dibiayai oleh Gus Karim!” “Tidak mau. My Body My Rule.” Sahut Zena dengan lidah terjulur. “Astaga anak ini. Katakan itu pada ibumu, anak nakal. Akan kupanggil ibumu kesini.” Mendengar ibunya mau datang, Zena langsung bersembunyi di gudang dan digedor oleh om Sam. Tidak lama kemudian, Sarah datang dengan sebilah rotan menyala. Rupanya rotan itu sempat dipanaskan di sebelah tungku sebelum dibawa ke pesantren. Sarah sangat marah. Dirinya kalap ingin menghukum Zena. Zena yang bersembunyi di dalam gudang pun ketakutan setengah mati. “Zena, keluar!” “Jangan bikin ibu malu lebih banyak lagi!” “Zena! Dasar anak tidak tahu diri! Setidaknya buka mulutmu dan katakan sesuatu!!!!” “AKU TIDAK MAU PULANG.” Teriakan Zena menggema di gendang telinga Sarah, Iz, dan Sam. Jauh di lubuk hatinya, Zena hanya ingin pergi sejauh mungkin dari keluarganya. Tapi mau kemana? Zena tidak punya kenalan selain Okky. Zena tidak bisa kemana-mana. “CORET SAJA AKU DARI KARTU KELUARGA!!!! POKOKNYA AKU TIDAK MAU PULANG.” Brak brak brak Iz dan Sam bersama-sama menendang pintu yang tertutup. Zena semakin panik. Mulutnya tidak henti-hentinya mengucap doa. Hatinya tidak berhenti memohon kepada Tuhan. Apalagi yang Zena bisa lakukan selain dua hal itu? Tidak ada. Tidak ada barang yang bisa digunakan untuk menahan pintu. Gudang itu kosong melompong seperti kolam hati nurani Iz dan Sam. Pada akhirnya pintu itu terbuka. Iz dan Sam menyeret Zena keluar. Dihadapkan pada ibunya yang bermata seram, Zena tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Beberapa saat kemudian, suasana tegang memuncak. Tanpa aba-aba, sebuah lecutan rotan panas mendarat keras di pipi Zena, membuat suara tamparan menggema di ruangan. Jeritan kesakitan Zena terdengar melengking, menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Lecutan itu juga menghantam tangan kanan Sam, robek seketika, darah segar mengucur deras. Zena terhuyung ke belakang, wajahnya memerah dengan luka yang dalam, air mata mengalir tanpa henti. Sam menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang membakar di kulitnya. “Hentikan! Anda sudah keterlaluan!!!!” teriak Ustadzah Okky dengan suara gemetar namun penuh keberanian. Dia berlari ke arah penyiksa itu, menahan rotan dengan kedua tangannya yang gemetar, seakan kekuatan seluruh tubuhnya tercurahkan dalam upaya menghentikan kekejaman tersebut. “Jangan ikut campur kalau tidak mau terluka.” Ancaman itu terdengar dingin, tapi Ustadzah Okky tak mundur. Matanya bersinar dengan keberanian dan kasih sayang untuk sahabat karibnya, Zena. Sarah, yang awalnya bimbang, sekarang berdiri tegak dengan wajah penuh kemarahan. Namun, dia segan untuk menampar Okky karena ini adalah wilayah kekuasaan Gus Karim, musuh bebuyutan suaminya. Rasa bimbang dan takut tergambar jelas di wajahnya. Sementara itu, Gus Karim yang sedari tadi diam, kini memandang dengan wajah masam. Hatinya bergemuruh melihat santriwatinya dihajar hingga terluka. Perasaan campur aduk antara marah, sedih, dan terhina membanjiri pikirannya. Dia mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua berhenti. “Cukup!” suaranya menggema, memecah kebisuan yang mencekam. Semua mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. *** Pesantren Gus Karim kedatangan tamu spesial hari ini. Seorang santri impor dari luar negeri dan seorang temannya, dokter muda yang tampan dan berpendidikan tinggi. Baru beberapa langkah memasuki pesantren, beberapa santriwati langsung menutupi wajah dengan buku yang mereka bawa. “Tampan banget,” santriwati-santriwati itu hanya berani membatin. Dua pria tampan nan gagah itu adalah Ilmi (nama samaran) dan Key (nama asli tapi dikira samaran karena terlalu pendek). “Sepertinya ada yang bertengkar di sebelah sana,” kata Key, suaranya rendah namun penuh perhatian. “Astaghfirullah ... Siapa yang bertengkar di tengah suasana pesantren yang nyaman? Ayo kita ke sana.” Ilmi memutar matanya, setengah berlari menuju arah keributan. “Tunggu dulu, jangan terlalu cepat, nanti kita tersandung buku-buku santriwati yang jatuh karena melihat ketampanan kita,” candanya sambil menyenggol bahu Key. Key tertawa kecil. Mereka berlari kecil, masih dengan senyum di wajah, tapi segera berubah serius saat melihat apa yang terjadi. Tepat saat keduanya sampai, Zena mendapat lecutan cambuk dari Sarah. Meninggalkan luka menganga di wajah cantik Zena. “Key!!!!” Ilmi berusaha menghentikan Key yang tiba-tiba berlari ke arah Zena. Semua orang terkejut melihat kemunculan Key di tengah-tengah mereka. Key, dengan kecepatan dan keberanian seorang pahlawan, langsung melindungi Zena, memelototi Sarah dengan mata penuh kemarahan dan tekad. Ilmi berdiri di belakang, bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya. “Siapa kalian? Jangan bilang mereka pacarmu?” Zena terlalu lemah untuk menjawab. Sejak kapan dia punya dua pacar. Dua pemuda inilah yang menghambur ke arahnya, seenaknya ikut campur urusan orang. “Saya seorang dokter. Jika ibu berniat memukul wajah anak ibu lagi dengan cambuk besar itu, besar kemungkinan Zena akan mendapatkan luka permanen. Tengkoraknya akan rusak dan dia akan menderita luka yang sangat parah dan berujung pada kematian.” Zena kaget mendengar penjelasan Key. Dari suaranya, pria itu sepertinya serius dengan ucapannya. “A—aku tidak mau mati. Tolong aku kak!” Karena sudah terpojok, ditambah tidak mau pulang ke rumah, Zena terpaksa meminta bantuan pada Key dan Ilmi. Sekalipun Zena tidak mengenali mereka tapi melihat aksi Key yang begitu heroik, Zena merasa lebih aman bersamanya ketimbang bersama keluarganya. “Aku akan melindungimu adik. Tenang saja. Iya kan Ilmi?” “Aku sih oke-oke aja. Lagian enggak baik juga memukuli anak disini. Ibu yang baik seharusnya tahu cara menjaga martabat anak.” Ilmi menatap Sarah tajam. Wajah smirknya berubah serius. Sarah semakin marah tapi tidak bisa berbuat banyak.Suasana malam di pesantren begitu tenang dan penuh kedamaian. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan yang berjajar rapi di sekitar asrama santri. Cahaya bulan purnama menyinari halaman, menciptakan bayang-bayang yang bergerak pelan seiring dengan alunan angin.Di kejauhan, suara jangkrik yang bersahut-sahutan menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Sesekali terdengar lolongan anjing penjaga yang berpatroli, menambah kesan misterius pada malam yang sunyi. Di atas pohon, burung hantu melayang diam-diam, matanya yang tajam mengawasi sekitar dengan penuh kewaspadaan.Di sudut halaman pesantren, sekumpulan santri duduk melingkar, khusyuk memanjatkan doa dan dzikir. Suara mereka bergema lembut, menyatu dengan keheningan malam. Lampu-lampu minyak yang tergantung di beranda asrama memancarkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.Di antara semak-semak, terdengar suara gemerisik dedaunan yang digesek oleh gerakan tikus malam
Zena kembali ke asrama dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan tadi dengan Gus Karim. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun banyak hal yang masih perlu dipikirkan. Ketika dia tiba di asrama, ia mulai bersiap untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari ketenangan dan petunjuk dalam doanya.Saat mengambil wudu, bayangan wajah Gus Karim muncul di benaknya, dengan senyuman bijak yang menenangkan. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang beliau ucapkan tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Zena tidak bisa menahan diri untuk berangan-angan, berharap memiliki seseorang seperti Gus Karim dalam hidupnya—seseorang yang bijaksana, penuh kasih, dan selalu siap mendukung tanpa menghakimi.Setelah mengenakan mukena, Zena berdiri di atas sajadah, menghadap kiblat. Setelah selesai salat, Zena duduk bersila, berzikir pelan sambil menenangkan hatinya.Tidak lama kemudian, seorang pemuda muncul di depan pintu asrama, tampak seperti baru saja menyusup melewati pen
Key bertemu Ilmi. Keduanya berjalan beriringan. Sudah saatnya Key menceritakan keinginannya menjadi suami bohongan untuk Zena.“Katakan sejujurnya bro. Apa alasan lu pengen membantu sampai segitunya?”“Kenapa ya bro? Gue cuman merasa dia itu ... Cantik."Ilmi terbatuk mendengarnya. "Dari sekian banyak cewek cantik yang kita lihat semasa perjalanan. Pas di Bali, di ibukota, dan di Jogja, lu malah jatuh hati ke gadis kampung? Ternyata selera lu ayam kampung?""Apaan sih lu, ayam kampung adanya di sono noh, di warung makan."Karena kesal, Key menghajar pundak Ilmi. Ilmi tidak ingin kalah dan balas menangkis tinju-tinju Key. "Heaaa!!" Keduanya berkelahi bohongan. Tingkah konyol mereka tidak mengurangi aura wibawa yang terpancar dari diri masing-masing."Cukup! Cukup!""Kenapa, takut? Segitu saja kemampuanmu dokter muda?! Asal tahu saja, gua bisa--"Key menyemprot bibir bocor Ilmi dengan semprotan cabai. "ASU." "Lu
Saat Zena memeluk tangannya, Ilmi sudah merasakan pertanda buruk. Saat Zena mengatakan kebohongan luar biasa itu, Ilmi refleks menarik tangannya dan mengucapkan kata-kata mutiara, "You Motherfucker!"Zena tidak membiarkannya lolos. Gadis itu terus memeluk dan mengejar Ilmi yang berusaha tidak terlibat terlalu jauh. Samar-samar telinga Ilmi menangkap suara lirih gadis itu yang meminta tolong padanya, "tolong aku ... Tolong ... Kumohon mas ... ""Zena!!!!""Apa benar kamu berhubungan badan dengan laki-laki ini? Jangan yang jujur!" Bentak ayah Zena.Zena sudah berkeringat dingin. Dengan lirih dia menjawab, "be--benar. Dia pacar pertama yang berhubungan badan denganku. Jadi keperawananku direnggut oleh dia.""Keterlaluan kamu Zena!"Ibu Zena yang dari tadi diam tidak kuasa menahan kesedihan dan pingsan. Untung Iz dan Sam gesit menangkap badan dan kepala Sarah sebelum menghantam beton keras.Zena mengatakan hal mengejutkan lagi. "Aku dan Ilham akan meni
"Kamu menangis?" Ustadzah Okky bertanya pada Key yang matanya berair."Iya ... Siapa sangka Ilmi akan menikah di usia semuda ini ... Aku keduluan," Jawab Key setengah jujur setengah mengada-ngada.Ilmi mencium telapak tangan kanan Zena. Darahnya memanas membayangkan gadis cantik itu ada di ranjangnya. Jiwa playboy nya takluk di hadapan kecantikan Zena yang unik. Bentuk wajahnya oval, dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang yang tegas, memberikan kesan kekuatan yang elegan. Kulitnya halus, berkilau dengan cahaya alami yang memancarkan kesehatan dan perawatan diri yang cermat.Matanya besar dan berbinar, alisnya tegas dan terawat, hidungnya ramping dan proporsional, menambahkan sentuhan keanggunan pada keseluruhan wajahnya. Setiap detail dari wajahnya, mulai dari lekuk dagu hingga kilauan mata, mengkomunikasikan kepercayaan diri dan kharisma yang tak terbantahkan, membuatnya memancarkan aura perempuan tomboi yang tidak hanya cantik teta
Zena menatap 5 jenis hidangan besar di mejanya. Key membelikannya banyak makanan. Apa dompetnya tidak kurus membeli makanan sebanyak ini? “Anu, Key, kamu kan hanya dokter kecil.” “Terus?” “Apa kamu tidak terlalu boros membeli makanan sebanyak ini? Aku tahu harga makanan disini, cukup untuk menguras setengah kantong pegawai UMR rendah hanya dengan sekali makan.” Key tertawa kecil, katanya, “kamu banyak bicara sekali. Aku yang mengajak, aku yang bayar. Tidak perlu memikirkan hal lain.” Kata Key serba ringkas. Melihat Zena tidak mau menyentuh bagiannya, Key pun makan lebih dulu. Key terus memaksa Zena agar makan. Menurutnya Zena kelihatan seperti belum makan berhari-hari. “Aku harus tenang. Jangan buat gerakan berlebihan, nanti Zena malah ilfeel padamu.” Key mencoba menyuapi Zena. “apa yang kubilang tentang jangan bertindak berlebihan? Arghh, Key kau payah sekali!” sementara Zena menatap Key dengan bingung. “m
Zena meletakkan pesanan, satu persatu ke atas meja dengan sopan. Tidak ada kesombongan di hatinya walaupun orang-orang yang duduk disana adalah teman-temannya semasa di pesantren.“Lebih baik bertemu mereka daripada keluargaku. Bolehkah aku menyebut mereka keluarga baruku sekarang?” Zena bertanya-tanya dalam hati. Melihat beberapa ustadz dan ustadzah bergurau dengan anak-anak panti yang mayoritas masih berusia 9 – 10 tahun.“Boleh aku bergabung?” Zena terkesima. Mereka masih ada disini hingga beberapa jam setelahnya. “boleh aku duduk di sebelah kamu, Okky?”“Silakan, kenapa harus minta izin segala sih, hehee.”Terlihat jelas ketidaksukaan di mata ustadz dan ustadzah lain. Zena adalah sumber masalah bagi mereka. Gara-gara Zena, pesantren mereka didatangi oleh keluarga dukun paling ditakuti di desa Parengsek. Kegiatan belajar mengajar jadi terkendali karena para ustadz dan ustadzah bergantian memberikan pengertian pada Hanum dan keluarganya agar berhenti mengganggu
Malam itu Zena menemui neraka dunia.Key yang kembali ke cafe di jam yang sama seperti kemarin tidak bisa menemukan Zena.Coba cari ke bengkel. Kata maid di cafe tersebut.Ke bengkel pun hasilnya sama. Sama-sama zonk. Key berpikir sejenak, mungkin terjadi sesuatu yang buruk. Sebab setahunya Zena tidak pernah absen bekerja. Gadis itu tidak pernah absen mencari uang dan menghindar dari orang-orang yang tidak disukainya. Termasuk yang baru Key ketahui belakangan ini. Zena ternyata tidak menyukai sikap Ilmi di rumah.“Buang jauh-jauh, buang jauh-jauh khayalan itu!” Key memukul kepalanya sendiri dengan lembut. Kalau terlalu kuat, takutnya terjadi pembekuan darah di otak. Sebagai calon dokter, Key tidak mau terkena penyakit apapun sebelum mewujudkan mimpinya.“Tenang kawan. Jangan gila Cuma karena sang bidadari menghilang dari lane.” Key bermonolog. Dia menikmati setiap detik yang ia habiskan saat bermonolog.Yakin berdiam diri takkan menyelesaikan apapun, Ke
Zena memutuskan pindah dari rumahnya saat ini. Baru saja gadis kecil kita mendapatkan pekerjaan baru di toko kue. Jadi mulai besok Zena akan bekerja sebagai koki kue di toko kue tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menampung saya selama beberapa hari disini." Ucap Zena sambil menyalami mbak Rara. "Iya. Sayang sekali kamu gagal di tes itu." "Iya. Mau bagaimana lagi." Zena sudah ikhlas. Mungkin posisi asisten manajer Rara memang tidak ditakdirkan untuknya. "Sekarang kamu mau tinggal dimana?" Zena tidak sungkan menjelaskan semuanya pada Rara. Biar bagaimanapun Rara adalah orang pertama yang bersedia menampungnya. Memberikannya tempat tinggal gratis dengan perjanjian memotong gaji. Mungkin jika Zena sukses dalam tes itu, alur kehidupannya akan berbeda. "Sampai jumpa lagi mbaj Rara. Saya akan memasak kue mulai hari ini." Mbak Rara melambaikan
"Jadi kamu si pegawai baru itu. Sayang sekali sayang gak bisa ospek kamu, padahal perploncoan itu penting." Seorang pegawai senior menghampiri Zena. Menyadarkan gadis kita dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan?" Zena tersipu. Berkata jujur hanya akan membuatnya semakin malu. "Saya cuma sedang gugup." Tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa gugup sama sekali. "Zena?" Mbak Rara memanggil Zena. Dengan segera menghampiri bosnya. "Sudah siap mengikuti tes? Kalau berhasil posisi Asisten Manajer saya akan jatuh ke tangan kamu." "Sudah siap bos. Kalau akan membuat kerajinan tangan dari kayu untuk mengenang hari kerja pertama saya di Malaysia." sahut Zena dengan emosinya yang terkontrol dengan baik. Penting untuk bersikap sopan dan mengontrol luapan emosi agar tidak dianggap kasar. Budaya kerja Malaysia mungkin tidak ada bedanya dengan budaya kerja Indonesia, hanya bahasanya saja yang berbeda.
* POV ZENA * Pertama kali menginjakkan kaki diluar negeri, aku gugup setengah mati. "Mbak .... Kita mau tinggal dimana?" tanyaku pada mbak Rara. Orang yang menjemputku ketika turun dari pesawat. "Ke kontrakan kamu." Jawab mbak Rara dingin. Aku mengederkan pandangan ke sekitar. Bandara ini sangat canggih. Hampir semuanya dikerjakan oleh mesin. Tenaga manusia hanya diperlukan di bagian keamanan saja. Kami naik taksi ke tempat tujuan. Wanita ini adalah pengganti wanita yang mengajakku merantau. Sejauh yang aku tahu, wanita ini adalah agen pemandu perjalanan. Sikapnya yang dingin seolah menunjukkan ketidaksukaannya pada perantau sepertiku. "Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menyukai anda. Saya hanya sedang liburan dan juga sedang sakit gigi." Ucapnya. Aku mengangguk. Apa ekspresiku terlalu mudah dibaca? Aku dan Giska berpisah saat menurun
Tanpa sadar aku mengedipkan mata padanya. “Apa kamu tidak ingin mengajakku jalan-jalan? Kamu sedang sibuk ya?” Aku sengaja mengetesnya. Apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau masih ada, dia pasti menerima ajakanku atau minimal membuat janji temu nanti. Senang melihatnya salah tingkah. Untung saja tidak ada orang lain di ruangan ini, kalau ada, apalagi itu staf rumah sakit, mereka bisa terkejut setengah mati melihat dokter yang biasanya berwibawa itu menjadi ciut ketika berhadapan denganku. “Kamu datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang sibuk sekarang.” Gumam Key. Tampak raut wajah yang letih. “Maaf. Aku kangen banget sama kamu. Apa kamu punya waktu luang? Bagaimana kalau healing sambil jalan-jalan?” Tawarku. “Darimana ... Kamu tahu aku bekerja disini?” Gampang saja, bertanya pada orang-orang. Bagi introvert sepertimu bertanya mungkin adalah tindakan yang asing. Dasar oppa penyendiri!
“Kenapa tidak mengabari kami? Ayah bisa menyiapkan reuni keluarga terbaik sepanjang hidupmu. Benar kan? Iz, Sam.”Iz dan Sam. Kedua pamanku datang dengan gaya seorang koboi. Tapi yang mereka tunggang bukan kuda melainkan kerbau.“Kembalilah ke keluarga Zena. Kami tidak sejahat yang kau pikirkan.” Kata paman Iz.“Justru sebaliknya. Kami akan memberimu sebuah perusahaan kalau pulang sekarang. Ini rahasia keluarga kita. Selama ini kamu tidak tidak tahu keluarga kita punya perusahaan kan?” Timpal paman Sam dengan delusinya.Perusahaan apa? Kalau keluarga kami punya perusahaan tidak mungkin ayahku berprofesi sebagai dukun.“Diam kalian dua pengangguran! Jangan ikut campur.” Bentakku lantang.Aku memberi kode pada si botak dan si gondrong. Sebenarnya aku tidak ingat nama mereka, jadi kupanggil saja demikian.Kusuruh mereka mendekat karena instingku berkata: akan terjadi pertempuran sebentar lagi.“Zena! Jangan kurang ajar! Mereka pamanmu.”“Tap
“Sa-saya tidak melakukan apa-apa, sumpah!”Kalau tidak melakukan apa-apa kenapa takut aku mengecek kamera pengawas? Syarif semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.Kamera pengawas sudah di tanganku. “Aku tidak akan melaporkanmu kalau kamu tidak sengaja. Jadi tenanglah! Ataukah mungkin ... Kamu memang sengaja tidur di sebelahku tadi malam?”“Tidak! Sleep Walking lah penyebabnya, hanya itu!”Ketika aku menyalakan kamera pengawas, terlihat gambar baterai kosong. Sial. Gagal sudah keinginanku meluruskan masalah ini.Syarif tampak bernafas lega. Huh, kau tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di dekatku lagi. Bayangkan ada yang melihat kami keluar dari kamar yang sama pagi ini. Betapa malunya aku kalau sampai Okky tahu.“Keluar! Mau itu Sleep Walking atau sengaja, intinya kamu sudah tidur di sebelahku tanpa izin. Jangan kira kamu bisa lolos dari masalah ini.” Ucapku pada Syarif yang baru keluar dari toilet.Sikap san
Sebenarnya sebelum bisa bertemu Okky, aku harus menghadapi beberapa halangan terlebih dahulu. “Assalamualaikum, Umi, Abi, Gus Karim.” Aku berdiri menunggu di ambang pintu, menunggu mereka bereaksi yang mendengar panggilanku. Aku kembangkan senyum terbaik untuk mereka yang dulu sayang padaku. “Si—siapa kamu?” tanya istri Gus, bangkit berdiri meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Aku tersenyum dan membuka maskerku. “Ini aku, Zena. Apa kabar Umi?” Tubuh Umi yang berisi menabrakku. Umi sangat senang sepertinya. “Apa benar ini kamu?” tanya Umi sekali lagi. Dasar. Padahal dia sudah menghambur ke aku, tapi masih saja mempertanyakan identitasku. “Iya, ini aku Umi. Zena si Gorilla Kampung. Zena pulang sebentar untuk menghadiri pernikahan Okky.” Betapa senangnya Umi bertemu denganku. Ibu-ibu lain pun menggerumbungi aku seperti semut mengepung gula. Mereka penasaran kenapa aku menjadi sangat cantik. Padahal di ingatan merek
"Iya, aku butuh sekarang juga. Aku tunggu di lokasi." Ucapku di telepon. Desa Parengsek ternyata jadi lebih buruk dibanding 4 tahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mendekati orang-orang setelah kejadian memalukan dengan anak-anak tadi. Tiba-tiba pikiranku mengarah ke suatu tempat. Pesantren Gus Karim. Masih ada waktu 20 menit sebelum mempelai wanita tiba. Dan 15 menit sebelum pengawa yang aku pesan sampai. "Mari kita lihat bagaimana pesantren itu sekarang." Gumamku sambil mempercepat langkah. Selama di perjalanan aku bertemu orang-orang yang dulu sempat mengisi hidupku. Kebanyakan adalah petani sawit yang dulunya pernah jadi temanku sewaktu kecil. Ternyata tidak ada dari mereka yang berani merantau dan memilih terjebak di desa ini sampai mereka dewasa. Dulu aku sering bermain dengan mereka walaupun usia kami terpaut jauh. Aku 8 tahun, mereka 14 tahun. Dan mereka semuanya laki-laki. Meskipun mereka laki-laki dan aku perempuan, me
Dering pesan beberapa kali terdengar dari ponselku. "itu pasti dari rekan bisnisku. Duh, maaf aku membatalkan kontrak sepihak." gumamku dalam hati penuh penyesalan. Sekejap saja penyesalan itu datang, beberapa detik kemudian hatiku kembali bersuka cita karena Okky akhirnya menemukan pangeran impiannya. Dulu waktu SD, Okky pernah bilang padaku, kalau laki-laki impiannya adalah yang berbadan atletis dan tidak memiliki janggut. Okky dari dulu menyukai laki-laki Baby Face. Katanya mereka imut tapi di suatu saat bisa jadi sangat ganas seperti macan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Sebenarnya aku sangat panasaran dengan wajah mempelai prianya. Okky sengaja merahasiakannya dariku saat kami telponan. Katanya untuk menjaga kejutannya. Membuatku berpikir, mungkin mempelai prianya aktor atau selebriti muda. Apa yang harus aku pakai di pernikahannya nanti? Tidak, sebelum itu, aku harus mempersiapkan mentalku terlebih dahulu. Bisa