Share

3. Sarah si Algojo

Sudut pandang Gus Karim.

“Saya sudah mengatakan semua yang Zena katakan sebelum jadi santri. Sejujurnya, aku kagum pada Zena karena mau jujur pada perasaannya. Dan aku juga merasa kasihan padanya, karena tekanan dari keluarganya, dia sampai mencari calon suami ke dalam pesantrenku.

Tatapan tajam Gus Karim membuat kedua om Zena gemetar ketakutan. Mereka merasa seakan berhadapan dengan seekor harimau bukan manusia.

Iz membuka mulutnya, meminta bertemu dengan Zena. Gus Karim yang adil pada semua orang pun langsung membukakan gerbang pesantrennya untuk Iz dan Sam.

“Kita sudah di dalam. Sekarang apa Iz?”

“Cari Zena lah! Memang untuk apa lagi kita datang ke tempat panas ini?”

“Gus! Apa pesantren tempatnya memang sepanas ini?”

Gus Karim merasa bingung. Dari tadi angin berhembus semilir, jadi tidak mungkin suasana disini sepanas itu. Malahan, Gua Karim yang memakai baju tebal saja masih merasa kedinginan.

“Disini segar seperti tepi pantai. Kalian ini bercanda saja, hahaha.”

Zena tiba-tiba muncul di perempatan jalan. Gadis itu mengenakan mukena putih. Sebuah sajadah menggantung di tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang kayu penyangga Al-Qur’an.

“Zena! Disitu kamu rupanya!”

Zena yang sedang berjalan bersama dua teman barunya pun terkejut.

“Om Iz dan Om Sam? Ngapain Upin dan Ipin itu kesini?”

Untuk sesaat Zena lupa kalau dia sedang buron. Akhirnya dia paham apa yang terjadi. Zena pun menarik sudut bibirnya sebelah. Bermaksud mengejek kedua omnya dengan senyuman miring.

“Zena. Kesini sebentar nak,” panggil Gus Karim.

Zena pun langsung berlari dan salim ke Gus Karim. Dengan wajah tidak berdosa bertanya kenapa paman-pamannya mencarinya.

“Om Upin dan Ipin ngapain kesini? Aku sedang melaksanakan perintah ibu. Aku sedang mencari pasangan hidupku!”

“Kami sudah tahu alasanmu masuk pesantren dari Gus Karim. Itu salah Zena. Kamu harus menikah dengan pria kaya raya, bukan anak santri yang miskin dan pendidikannya dibiayai oleh Gus Karim!”

“Tidak mau. My Body My Rule.” Sahut Zena dengan lidah terjulur.

“Astaga anak ini. Katakan itu pada ibumu, anak nakal. Akan kupanggil ibumu kesini.”

Mendengar ibunya mau datang, Zena langsung bersembunyi di gudang dan digedor oleh om Sam.

Tidak lama kemudian, Sarah datang dengan sebilah rotan menyala. Rupanya rotan itu sempat dipanaskan di sebelah tungku sebelum dibawa ke pesantren.

Sarah sangat marah. Dirinya kalap ingin menghukum Zena. Zena yang bersembunyi di dalam gudang pun ketakutan setengah mati.

“Zena, keluar!”

“Jangan bikin ibu malu lebih banyak lagi!”

“Zena! Dasar anak tidak tahu diri! Setidaknya buka mulutmu dan katakan sesuatu!!!!”

“AKU TIDAK MAU PULANG.”

Teriakan Zena menggema di gendang telinga Sarah, Iz, dan Sam.

Jauh di lubuk hatinya, Zena hanya ingin pergi sejauh mungkin dari keluarganya. Tapi mau kemana? Zena tidak punya kenalan selain Okky. Zena tidak bisa kemana-mana.

“CORET SAJA AKU DARI KARTU KELUARGA!!!! POKOKNYA AKU TIDAK MAU PULANG.”

Brak brak brak

Iz dan Sam bersama-sama menendang pintu yang tertutup. Zena semakin panik. Mulutnya tidak henti-hentinya mengucap doa. Hatinya tidak berhenti memohon kepada Tuhan. Apalagi yang Zena bisa lakukan selain dua hal itu? Tidak ada. Tidak ada barang yang bisa digunakan untuk menahan pintu. Gudang itu kosong melompong seperti kolam hati nurani Iz dan Sam.

Pada akhirnya pintu itu terbuka. Iz dan Sam menyeret Zena keluar. Dihadapkan pada ibunya yang bermata seram, Zena tidak bisa menyembunyikan ketakutannya.

Beberapa saat kemudian, suasana tegang memuncak. Tanpa aba-aba, sebuah lecutan rotan panas mendarat keras di pipi Zena, membuat suara tamparan menggema di ruangan. Jeritan kesakitan Zena terdengar melengking, menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Lecutan itu juga menghantam tangan kanan Sam, robek seketika, darah segar mengucur deras.

Zena terhuyung ke belakang, wajahnya memerah dengan luka yang dalam, air mata mengalir tanpa henti. Sam menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang membakar di kulitnya.

“Hentikan! Anda sudah keterlaluan!!!!” teriak Ustadzah Okky dengan suara gemetar namun penuh keberanian. Dia berlari ke arah penyiksa itu, menahan rotan dengan kedua tangannya yang gemetar, seakan kekuatan seluruh tubuhnya tercurahkan dalam upaya menghentikan kekejaman tersebut.

“Jangan ikut campur kalau tidak mau terluka.” Ancaman itu terdengar dingin, tapi Ustadzah Okky tak mundur. Matanya bersinar dengan keberanian dan kasih sayang untuk sahabat karibnya, Zena.

Sarah, yang awalnya bimbang, sekarang berdiri tegak dengan wajah penuh kemarahan. Namun, dia segan untuk menampar Okky karena ini adalah wilayah kekuasaan Gus Karim, musuh bebuyutan suaminya. Rasa bimbang dan takut tergambar jelas di wajahnya.

Sementara itu, Gus Karim yang sedari tadi diam, kini memandang dengan wajah masam.

Hatinya bergemuruh melihat santriwatinya dihajar hingga terluka. Perasaan campur aduk antara marah, sedih, dan terhina membanjiri pikirannya. Dia mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua berhenti. “Cukup!” suaranya menggema, memecah kebisuan yang mencekam.

Semua mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

***

Pesantren Gus Karim kedatangan tamu spesial hari ini. Seorang santri impor dari luar negeri dan seorang temannya, dokter muda yang tampan dan berpendidikan tinggi. Baru beberapa langkah memasuki pesantren, beberapa santriwati langsung menutupi wajah dengan buku yang mereka bawa.

“Tampan banget,” santriwati-santriwati itu hanya berani membatin. Dua pria tampan nan gagah itu adalah Ilmi (nama samaran) dan Key (nama asli tapi dikira samaran karena terlalu pendek).

“Sepertinya ada yang bertengkar di sebelah sana,” kata Key, suaranya rendah namun penuh perhatian.

“Astaghfirullah ... Siapa yang bertengkar di tengah suasana pesantren yang nyaman? Ayo kita ke sana.” Ilmi memutar matanya, setengah berlari menuju arah keributan.

“Tunggu dulu, jangan terlalu cepat, nanti kita tersandung buku-buku santriwati yang jatuh karena melihat ketampanan kita,” candanya sambil menyenggol bahu Key.

Key tertawa kecil. Mereka berlari kecil, masih dengan senyum di wajah, tapi segera berubah serius saat melihat apa yang terjadi.

Tepat saat keduanya sampai, Zena mendapat lecutan cambuk dari Sarah. Meninggalkan luka menganga di wajah cantik Zena.

“Key!!!!” Ilmi berusaha menghentikan Key yang tiba-tiba berlari ke arah Zena. Semua orang terkejut melihat kemunculan Key di tengah-tengah mereka.

Key, dengan kecepatan dan keberanian seorang pahlawan, langsung melindungi Zena, memelototi Sarah dengan mata penuh kemarahan dan tekad. Ilmi berdiri di belakang, bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya.

“Siapa kalian? Jangan bilang mereka pacarmu?”

Zena terlalu lemah untuk menjawab. Sejak kapan dia punya dua pacar. Dua pemuda inilah yang menghambur ke arahnya, seenaknya ikut campur urusan orang.

“Saya seorang dokter. Jika ibu berniat memukul wajah anak ibu lagi dengan cambuk besar itu, besar kemungkinan Zena akan mendapatkan luka permanen. Tengkoraknya akan rusak dan dia akan menderita luka yang sangat parah dan berujung pada kematian.”

Zena kaget mendengar penjelasan Key. Dari suaranya, pria itu sepertinya serius dengan ucapannya. “A—aku tidak mau mati. Tolong aku kak!”

Karena sudah terpojok, ditambah tidak mau pulang ke rumah, Zena terpaksa meminta bantuan pada Key dan Ilmi. Sekalipun Zena tidak mengenali mereka tapi melihat aksi Key yang begitu heroik, Zena merasa lebih aman bersamanya ketimbang bersama keluarganya.

“Aku akan melindungimu adik. Tenang saja. Iya kan Ilmi?”

“Aku sih oke-oke aja. Lagian enggak baik juga memukuli anak disini. Ibu yang baik seharusnya tahu cara menjaga martabat anak.” Ilmi menatap Sarah tajam. Wajah smirknya berubah serius.

Sarah semakin marah tapi tidak bisa berbuat banyak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status